Malam makin larut, angin malam yang masuk melalui celah jendela kamar serasa ikut menemani Alika yang masih terjaga kala itu.
Hati yang resah membuatnya tidak bisa tidur, menggeliat sana sini dalam pelukan suaminya. Lamunan nya kini terbuyarkan, dikala suaminya terbangun karena pergerakannya.
"Kenapa belum tidur Dek?" tanya Ali, dengan tangan perlahan mendekap tubuh Alika kembali ke pelukannya.
"Maaf, aku mengganggu tidur Kak Ali," lirih Alika.
"Tidak apa-apa, Adek kenapa selarut ini belum juga tidur, apa sakit?"
Tanya Ali, sambil menempelkan telapak tangan nya memegang kening Alika.
"Tidak apa-apa kok Kak!" Dengan cepat Alika membalas pelukan Ali, menyandarkan kepalanya di pelukan suaminya.
"Jika ada apa-apa bicarakan saja, jangan menyembunyikan sesuatu dari suami mu ini," goda Ali, tersenyum kecil sambil meraih wajah Alika sampai kini mereka saling berhadapan.
"Kak Ali," rengeknya "ayo tidur," sambung Alika masih tidak enak hati untuk bicara.
"Bicarakan dulu, setelah itu Adek baru bisa tidur nyenyak kan?" Goda Ali lagi, kini dia mencubit pipi Alika, kejadian seperti ini mengingatkan nya saat di mana Alika dengan begitu malu meminta izin nya untuk belajar membuat kue, sampai Alika tidak bisa tidur nyenyak sebelum membicarakan kemauannya.
"Ceritakan saja, aku bukan orang lain yang baru mengenal Adek, dari tadi sore setelah pulang dari rumah Bang Ansell Adek terlihat murung, apa ada sesuatu?"
tanya Ali, melihat perubahan Alika setelah pulang dari rumah Ansell, membuatnya tau kalau ada sesuatu yang di sembunyikan istrinya.
"Maaf, selama ini aku pasti selalu merepotkan Kak Ali, Kak Ali selalu bekerja keras dan berusaha yang terbaik untuk menjadi suamiku, dan aku pun ingin menjadi istri yang berbakti dan bisa membantu meringankan beban Kak Ali." Lirih Alika, kini dia tidak bisa menyembunyikan apapun dari suaminya.
"Aku belajar membuat kue bukan tanpa alasan Kak, saat itu aku berencana untuk membuat bisnis kue sendiri, apa Kak Ali akan mengizinkan ku?" sambung Alika, bicara dengan tertunduk malu.
Ali tertegun, tangan nya perlahan ia angkat mengelus kepala Alika.
"Aku tidak merasa di repot kan Dek. Apa yang aku lakukan itu sudah sewajarnya karena itu tanggung jawab ku," ucapnya dengan begitu serius.
"Justru aku yang minta maaf karena selama ini belum bisa membahagiakan Adek," lanjut Ali dengan suara melemah, dan raut wajah yang ia tekuk.
"Kak Ali, aku ingin membuka toko kue karena merasa bosan dan ingin mempunyai aktivitas saja, jadi jangan memasang ekspresi seperti itu, Aku sudah cukup bahagia kok dengan apa yang kita dapatkan sekarang," tutur Alika, berusaha menghangatkan suasana, merasa tidak nyaman melihat raut wajah suaminya.
"Emangnya Adek sudah sepenuhnya bisa membuat kue?" Tanya Ali meyakinkan kompetensi istrinya. Bukankah baru tadi pagi menyelesaikan pembelajaran nya, kenapa sudah mau buka toko kue sendiri? Begitu pikirnya. Karena menurutnya terlalu terburu-buru untuk membuka toko kue sendiri sebelum Dia lebih banyak lagi belajar.
"Sudah Kak, bahkan aku sudah siap membuka bisnis sendiri loh," antusias Alika dengan tersenyum lebar sampai memperlihatkan deretan gigi putihnya.
Ali ikut tersenyum, merasa ikut senang melihat ekspresi Alika.
"Jika Adek merasa tidak terbebani dan mampu melaksanakannya, silahkan, kita mulai semuanya dari awal dengan berangsur angsur Dek." Tutur Ali memberi saran.
"Kak, Aku sudah merencanakan semuanya kok, bagaimana kalau membuka toko kue di pusat kota, kita akan dengan mudah mendapatkan pelanggan karena tempat nya sangat strategis, gimana menurut Kak Ali?" tanya Alika, masih begitu antusias menceritakan segala rencana nya.
Ali terdiam, walau tau seperti apa semangat istrinya jika menginginkan sesuatu, tapi tidak pernah membayangkan kalau rencana nya sudah sejauh itu.
"Dek maaf, bahkan aku tidak punya cukup uang untuk mengikuti kemauan mu," batin Ali, hanya bisa menatap wajah Alika yang begitu antusias, dengan penyesalan.
"Kak Ali tidak usah memikirkan dari mana modalnya, aku akan mengurus nya Kak, kita bisa meminta bantuan Kak Ansell, Kak Ansell pasti akan membantu."
Lanjut Alika menjelaskan, sudah sadar akan perubahan suaminya yang tidak lagi ada respon untuk nya.
Ali memang sadar akan segala kekurangan nya dalam bidang materi, namun dia punya prinsip dan cara sendiri untuk membahagiakan dan menuntun pasangan nya. Dan mungkin itu tidak sama dengan apa yang di bayangkan istrinya.
"Hei, gadis kecil ini sepertinya penuh dengan semangat ya? tapi alangkah baiknya kita memulai sendiri dari awal sayang, jangan terlalu tergesa-gesa, meskipun sudah di rencanakan hasilnya belum tentu akan seperti yang kita harapkan." tutur Ali. Ada seulas senyum di bibir Ali yang sedang mengacak-acak manja rambut istrinya. Walaupun perkataan nya cukup serius, namun ia tidak ingin sampai menyinggung perasaan istrinya.
Bukan maksud dia mematahkan semangat Alika. Dia hanya tidak ingin istrinya itu sampai tergesa-gesa dalam memutuskan sesuatu.
"Kita bisa memulainya di rumah makan kita Dek, memulainya dengan modal kecil dulu, nanti jika sudah ada hasil dan kemajuannya, hasilnya kita jadikan untuk menambah modal lagi, dengan berangsur-angsur semuanya tidak akan terasa berat sayang." lanjut Ali menjelaskan. Sungguh dia tidak bermaksud mematahkan semangat istrinya, dia hanya tidak mau istrinya salah melangkah dan akhirnya hanya bisa menanggung resiko atas segala langkahnya.
"Iya Kak, maaf," lirih Alika, hanya itu yang mampu keluar dari bibir nya. Hingga membuat Ali merasa bersalah pada istrinya.
"Bersabarlah, jangan terburu-buru dan jangan putus asa dari rahmat Allah Sayang," bujuk Ali, kini Ia kembali mendekap Alika ke pelukannya.
***
Akhir pekan telah tiba, inilah hari-hari yang paling membahagiakan bagi Ansell karena bisa sepanjang waktu menemani Zahra tanpa harus memikirkan pekerjaan kantor nya.
Ansell kini terlihat memasuki rumah, rupanya akhir pekan ini menjadi kesempatan nya untuk berolahraga, terlihat dari penampilannya sekarang yang di penuhi keringat membasahi baju yang sedang di kenakan nya.
"Assalamualaikum..." Ansell perlahan masuk, menghampiri Zahra yang terlihat sedang duduk di ruangan tengah.
"Waalaikumsalam..." Mata Zahra langsung tertuju ke arah suaminya, langsung terkejut melihat penampilan Ansell yang begitu acak-acakan.
"Habib, habis oleh raga atau habis ujan-ujanan, kenapa baju nya sampai basah begitu?" canda Zahra sambil menggelengkan kepalanya.
"Habis berenang Dek," Ansell tidak kalah bercanda meladeni istrinya.
Tersenyum lebar sambil ikut duduk di samping Zahra.
"Dan ini kenapa pula rambutnya kusut begini Bib, bau keringat pula," omel Zahra, walaupun bibirnya terus mengomel namun tangan nya dengan cepat mengambil handuk kecil di bahu Ansell dan membersihkan semua keringat di kening suaminya.
Ansell tersenyum, saat menatap lekat wajah cantik Zahra rasanya ia tidak pernah puas menatap wajah cantik itu, walaupun sudah hampir setahun menikahi nya rasanya Ansell tidak pernah puas memandangi nya.
Rasanya ia masih ingat awal pertemuan mereka yang selalu bertemu dengan ketidak sengajaan, bahkan saat itu dia tidak pernah bisa dengan jelas melihat wajah Zahra karena wanita itu selalu menundukkan kepalanya. Namun sekarang berada, Ansell benar-benar bersyukur karena wanita itu sudah seutuhnya menjadi miliknya.
"Walau bau dan kusut begini tapi tetap tampan 'kan?" tutur Ansell, mencoba menggoda Zahra dengan ke narsisannya.
"Huh, mulai lagi," tangan Zahra kini kembali mengacak-acak rambut Ansell. Malu mengakui kalau sebenarnya di pandangan nya pun, dengan keadaan yang acak-acakan seperti ini, suaminya itu terlihat makin tampan berbeda dengan biasanya.
"Wajah Ummi memerah, tidak mau mengakui kalau Abie lelaki paling tampan Dek," bisik Ansell, seakan ia sedang bicara pada jabang bayi dalam perut Zahra, padahal mata terus saja memandang wajah cantiknya.
"Adek makin menggemaskan kalau sedang tersipu seperti itu," gemas Ansell dengan tangan yang sudah tidak bisa di kendalikan mencubit pipi istrinya.
"Habib, sakit," rengek Zahra
"Akui dulu kalau aku tampan, baru aku berhenti," Ansell malah makin gencar membuat sentuhan lembut di pipi istrinya, sang empunya terus merengek sakit, padahal sang pelaku mencubit nya dengan penuh kasih sayang.
Saat mereka terus sibuk dengan candaannya, terlihat pelayan menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa, walau merasa tidak enak mengganggu percakapan Tuan dan Nona nya, pelayan itu memberanikan diri mendekat karena ada sesuatu yang harus di sampaikan.
"Tuan, Non, maaf saya mengganggu, saat saya sedang bersih-bersih di atas saya tidak sengaja mendengar ponsel Tuan terus berdering, takut jika itu penting jadi saya mengambilnya." Si pelayan itu pun dengan cepat memberikan ponsel itu pada Ansell.
"Terima kasih, Bibi bisa kembali lagi bekerja!"
Ansell kini memeriksa ponsel nya. Langsung memincangkan matanya merasa aneh dan kaget saat melihat begitu banyak panggilan tidak terjawab dari satu nomer tidak di kenal.
"Siapa ini sampai dua puluh panggilan tidak terjawab?" batin Ansell heran.
"Siap Bib?"
"Tidak tau, nomer nya tidak terdaftar di ponsel ku," jawab cuek Ansell, sambil mengangkat kedua bahunya.
Tidak lama, terdengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya.
Ansell pun menyentuh layar ponsel itu, sampai kini terlihat jelas sebuah pesan di sana.
"Bagaimana kabar mu Sell? tidak mungkin kau masih membenci ku sampai tidak mengangkat panggilan ku kan? Rupanya kau tidak pernah mengganti nomor ponsel mu ya, atau mungkin kau masih menunggu kedatangan ku?
Aku kembali, ku harap kau tidak melupakan ku.
Sahabat mu."
Ansell langsung tersentak, jantung nya serasa berdebar begitu kencang karena terlalu kaget.
Pikiran nya langsung kalut, berpikir keras untuk mengingat, namun langsung menenangkan kembali perasaan nya saat sadar ada Zahra di depan nya.
"Kenapa Bib, siapa?" Zahra ikut terkejut melihat ekspresi Ansell. Dengan cepat Ansell tersenyum mengubah ekspresi nya, menghilangkan keterkejutan nya di depan Zahra.
"Tidak apa-apa Dek, ini si Raka, katanya pekerjaannya sudah selesai dan sekarang minta bayaran nya." jawab Ansell ngasal, karena ia pun belum yakin pesan itu dari siapa.
"Oh, kirain siapa," sahut Zahra, jadi tenang kembali saat tau pesan itu dari adik ipar nya.
"Dek, Aku mandi dulu ya, setelah ini kita sarapan bersama," pamit Ansell beranjak bangun, sambil mengecup kening Zahra, dan bergegas menuju kamarnya.
"Maaf Dek aku harus berbohong, aku harus memastikan dulu kalau ini...." batin Ansell menggantung, dia hanya bisa berdoa kalau orang yang mengirimkan pesan itu bukan orang yang sekarang ada di pikirannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Yayoek Rahayu
baik banget suaminya Alika
2022-08-13
0
MeliMelo💦
Sembari nunggu up baCa ulang lagi...🤗🤗
2021-05-24
0
Turwaty suketi
Albert
2021-05-17
0