Part 3

"Hani," tegur Herman saat melihat putrinya itu hendak pergi meninggalkan rumah.

"Mau kemana kamu?" tanya Herman lembut.

"Main!" balas Hani saat ini gadis itu tengah mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan juga celana jeans ketat sepadu dengan jaketnya.

Menatap papanya kemudian Ayan secara bergantian.

"Kok belum pulang sih?" tanya Hani dalam hati. Memasang wajah datar gadis itu hendak melangkah keluar.

"Jangan pergi!" cegah Herman, berhasil menghentikan langkah putrinya itu.

"Dan temani calon suami kamu di sini!" lanjutnya memerintah.

Hani membuka mulutnya lebar-lebar menatap jijik ke arah Ayan.

"Tapi pa-"

"Gak ada tapi-tapian. Jangan buat papa kecewa dengan sikap kamu yang tidak sopan ini!" tandas Herman. Pria itu menggelengkan kepalanya dengan kedua bola mata melotot.

Memberi ancaman melalui matanya.

Hani menghela napas lelah. Gadis itu berjalan malas ke arah Ayan.

Menjatuhkan tubuhnya ke sofa lalu menguap. Membuka jaket dan menyisahkan baju lengan pendek berwarna putih itu di tubuhnya.

"Nak Ayan, titip Hani dulu ya. Om mau ke belakang ada urusan," pamit Herman.

"Baik om, silahkan." balas Ayan dengan suara lembut.

2 menit usai kepergian Herman. Tidak satupun dari mereka berdua yang mau memulai pembicaraan hingga membuat gadis bernama Hani itu merasa bosan.

Memutar bola matanya malas. Gadis itu mulai menatap pria yang terus menunduk di depannya.

"Om, atau siapapun lo?! Gue mau memperjelas hubungan kita di sini!"

Ayan membuat kerutan pada dahinya kemudian menatap Hani bingung.

"Om?"

"Om, gue gak suka sama lo! Jadi ...." Hani menarik napasnya dalam-dalam menatap Ayan dengan serius.

"Mari kita batalkan pernikahan ini!" sambungnya.

Ayan tersenyum miris, pria itu melipat kedua tangannya ke dada.

"Bagaimana bisa kamu bilang tidak suka dengan saya?" Hani menaikan sebelah alisnya. Mendengarkan perkataan pria di depannya.

"Bahkan mengenal saya saja kamu belum. Bagaimana kepribadian saya dan kenapa saya tetap mempertahan kamu untuk menikah dengan saya?sementara di luar sana masih banyak wanita ...."

"Kenapa?" pungkas Hani penasaran.

Ayan mengedipkan kedua matanya sekali lalu pria itu membuat seringaian manis.

"Karena saya ingin merubah kepribadian kamu menjadi yang lebih baik,"

Hani bangkit. Gadis itu menatap Ayan dengan tatapan tidak percaya. Berkacak pinggang, gadis itu berkata."Jadi maksud om. Saya ini orang jahat?" tanya Hani tidak percaya.

Wah mau ngajak gelud?

"Bukan begitu maksud saya," jelas Ayan agar Hani tidak salah paham dengan ucapannya barusan.

"Terus apa?" sinis Hani bertanya.

"Ada apa ini?" tanya Sabrina menyela percakapan antara putrinya dan calon menantunya itu.

Hani melirik mamanya. Menghela napas gadis itu kembali duduk.

"Tidak ada apa-apa kok tante," ujar Ayan.

"Mama kira kalian berantem tadi,"

Ayan menggelengkan kepalanya sambil menatap Hani. Tersenyum kecil pria itu berniat untuk pamit. Sudah sejam lebih dirinya berada dirumah Hani. Tidak baik jika dirinya terlalu lama disini.

"Kalau begitu saya permisi dulu,"

Hani menatap Ayan sambil tersenyum lebar. Dalam hatinya gadis itu bersorak riang.

"Lo kok cepat benget sih pulangnya?" tanya Sabrina dengan wajah sedih.

"Lain kali saya akan lebih lama main disini," ujar Ayan agar calon mertuanya itu agar tidak bersedih.

"Janji kamu ya?" tutur Sabrina. Yang diangguki Ayan.

Melirik calon istrinya, pria itu tersenyum.

"Saya permisi dulu, Falia." ujarnya lalu beranjak daro sofa.

"Hah?" desis Hani pelan, gadis itu mengerutkan keningnya sambil  mengulang kalimat terakhir yang  Ayan katakan.

"Falia?"

Ayan terkekeh pelan, melihat ekspresi Hani saat dirinya memanggilnya dengan sebutan Falia.

"Iya, nama kamu kan Falia Hani?"

"Tapi nama panggilan gue Hani!" tegas gadis itu sembari berdecak sebal.

"Tapi saya lebih suka panggil kamu Falia,"

Hani menandak canggung dengan situasi ini, padahal yang Ayan ucapkan itu hanyalah sebuah kata sederhana.

"Kenapa?" tanya Ayan saat melihat Hani masih diam dengan tatapan kosongnya.

"Hey ... Falia?" Ayan melambai-lambaikan tanganya tepat di depan wajah Hani. spontan membuat gadis itu langsung tersadar dari lamunannya, lalu tanpa sengaja netra mereka saling bertemu yang menimbulkan desiran darah dari keduanya.

Tapi harus kalian ketahui bahwa seorang Falia Hani adalah gadis yang keras kepala. Atau bisa disebut dengan kepala batu. Dia selalu teguh pada pendiriannya yang telah berjanji tidak akan goyah pada pria tua yang di jodohkan dengannya.

Hani tetap akan menolak hatinya untuk pria tua itu, padahal salah satu sisinya sedang berkompromi dengan logika bahwa ia menyukai sikap Ayan yang sangat baik terhadapnya.

"Ya udah pulang sana!" usirnya.

Ayan tersenyum simpul, kemudian mengatupkan kedua tangannya. Menatap Hani dan Rosita secara bergantian.

"Assalamualaikum," ucapnya.

"Kumsallam." balas Hani cuek.

Setelah kepergian Ayan dari rumahnya. Gadis itu langsung beranjak dari sofa menuju kamarnya, moodnya langsung hilang saat bertemu dengan pria yang nantinya akan menjadi suaminya itu.

Hingga dia sampai dikamarnya. Hani langsung menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan kuat.

"Ganteng sih, tapi gue gak suka cowok alim!"

"Ngebosenin, dan pastinya nanti gue bakal di biarin."

Dia bermonolog sendiri sambil mengacak-ngacak rambutnya.

"Kenapa sih hidup gue gini amat?"

"Mama, Papa mau ngejodohin gue, mending kalo itu sama oppa-oppa korea. gue janji gak akan nolak!"

"Lah ini?"

Hani melempar bantal di sampingnya. Memasang wajah malas gadis itu mendengus kesal.

"Ya kali gue nikah sama om-om? Malah tuh muka datar banget kek triplek? terus kalo senyum ngirit, udah gitu so alim lagi! Dan terakhir kalo ngomong ga ada manis-manisnya?"

"Cih," Hani berdecih,"Gimana pun caranya gue harus batalin pernikahan ini!"

Hani mengubah posisinya menjadi duduk. Kemudian memainkan jari di keningnya seperti orang yang sedang berpikir keras.

"Apa gue mogok makan aja ya? supaya mama batalin perjodohan ini?"

Hani menggeleng cepat,"Gak ... gak! Yang ada nanti cacing-cacing di perut gue demo lagi!"

Hani menegakkan tubuhnya, perlahan menurunkan kedua kakinya ke lantai. Berdiri, gadis itu berjalan bolak-balik seperti setrikaan yang sedang merapikan pakaian.

"Ohhh Tuhan ... kenapa engkau menghukum Hani yang cantik ini? Hani masih ingin seperti gadis lain yang merasakan indahnya masa puber!" kata Hani berpuitis, gadis itu mengangkat kedua tangannya seperti orang sedang berdoa.

Gadis itu menggulum bibir atasnya. Menatap langit atap dengan perasaan sedih.

"Ini gak adil!"

"Apa gue kabur aja?!"

Satu hentakan kaki ia lakukan, menjambak rambutnya berkali-kali kemudian melempar tubuhnya kembali ke atas kasur empuknya.

"Arrrghhhh ...." Hani mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Terbesit pikiran gilla yang mengisi seluruh otaknya.

"Apa gue bunuh diri aja?"

...***...

Ayan baru saja memarkirkan mobil diparkiran rumahnya, seulas senyum terukir di bibirnya. Mengingat ekspresi lucu Hani yang bengong, terkesan menggemaskan bagi Ayan.

Pria itu berjalan menuju dapur, mengambil gelas dan menuangkan air dari dalam lemari es kedalam gelas itu.

"Gimana?" suara Rosita benar-benar mengagetkannya. Ayan melirik bundanya itu yang sedang tersenyum lebar.

"Apanya?" tanya Ayan datar tanpa ekspresi sama sekali.

"Ihhh anak Bunda ini gimana sih? Ya ekspresi Hani lah? Dia senengkan?"

Ayan menaruh gelas ditangannya lalu menjawab singkat, "Mungkin,"

Ayan duduk dimeja makan, lalu mengambil makanan ringan seperti kacang garing dan memakannya. Diikuti oleh sang Bunda yang ikut duduk.

"Kok gitu jawabnya?" tanya Rosita, sambil menunggu jawaban putranya wanita itu ikut memakan kacang garing di tangan putranya.

Hening. Tidak ada jawaban dari Ayan. Membuat Rosita geram.

Menatap Ayan yang masih sibuk menikmati kacang polong di tangannya.

"Ayan!" panggil sang Bunda. Tapi Ayan masih tetap fokus memakan kacangnya, tanpa memeperdulikan panggilan dari Bundanya itu.

"Kacang itu enak! Tapi kalo dikacangin itu Antonim."

Sontak Ayan langsung menghentikan aktivitasnya ia menyiritkan kebingungan, lalu meralat ucapan sang Bunda, "Antonim?" yang dibalas anggukan kecil dari Rosita.

"Iya! Antonim dari enak apa coba?"

"Hambar," jawab Ayan asal.

"Kamu itu nggak pernah berubah ya? Selalu bersikap gak peduli. Gimana ada yang mau suka sama kamu?!" cetus Rosita menggeleng melihat sikap dingin putranya.

Mendengar perkataan sang mama, Ayan langsung merangkul bahu sang mama dengan manja.

"Kan masih ada Bunda," ucap pria itu sembari mencium pipi Bundanya lembut.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!