Puluhan kilometer adalah jarak yang sangat jauh sekali, apalagi menggunakan kedua kaki untuk berjalan. Di tambah dengan kekurangan fisik, mungkin jika orang dewasa bisa sampai 3 hari penuh di gabung dengan istirahat ketika di jalan. Namun, dengan fisik yang masih terbilang lemah, Li Fang merasa itu adalah jarak yang luar biasa jauh.
Maka dengan itu, Li Fang saat ini melakukan langkah istirahat setelah berjalan sekitar 1 kilometer. Dia hanya membersihkan wajahnya dari keringat menggunakan kerah pakaiaannya.
Membutuhkan waktu berjam-jam untuk mencapai jarak 1 km. Karena Li Fang jalan dengan sangat pelan, tak mau memancing hewan buas, ketika mendengar suara tapak kakinya.
Li Fang bersandar di sebuah pohon dengan satu kaki tertekuk dan satunya lagi terlungkai lurus ke depan. Terlihat dari nafasnya yang terburu-buru, menandakan dia saat ini tengah kelelahan. Namun, apa daya dirinya hanya bisa menelan ludah, pasalnya air sama sekali ia tak bawa.
"Sepertinya jarak dari apa yang di katakan, Ayah, masih sangat jauh. Mungkin aku akan sampai ke Sekte itu seminggu lagi." Li Fang menyunggingkan senyum masam.
Dirinya berusaha melewati setiap masalah dengan menggunakan senyum, meski senyum itu adalah senyum menyakitkan.
Li Fang mengangkat kepalanya memandang rembulan yang bersinar. Dia tidak merasa air matanya setetes demi setetes bercucuran. Menunjukkan kesedihan yang bercampur menjadi satu, di dalam fikirannya kembali terlintas kenangan sama Ayahnya, Sektenya, Penatua-penatua yang lain.
Air matanya juga mempunyai arti yang banyak, dia mengingat kembali takdir hidupnya yang di ciptakan oleh Sang Pencipta kepadanya sangat tidak adil.
Dan tak lupa juga ia mengingat kembali anak-anak seumuran di Sektenya yang bermain-main bersama kedua Orang Tuanya. Di perhatikan, di berikan kasih sayang, disuapi makan, Li Fang merasa iri karena tak pernah merasakan itu.
Malam yang gelap di dalam hutan, tepat pada saat ini, Li Fang ingin mengeluarkan semua kesedihan yang telah di pendamnya, selama dia menjalani kehidupan di dunia ini.
Beginilah cara mengeluarkan semua kesedihannya, menangis sambil memandang rembulan, yang dapat melegakan hatinya dari semua kesakitan batin yang di terimanya. Beberapa Serigala melolongkan aumannya, seperti merespons apa yang di rasakan dari kesedihan Li Fang.
Namun, dengan sikap waspadanya yang masih stabil. Li Fang mengintip dari batang pohon besar yang ia sandari. Dia mengusap matanya dari genangan kecil air matanya.
Samar-samar dia mendengar dari jarak belakang, beberapa langkah seseorang tengah berjalan, sepertinya sedang mengarah ke sini.
Semakin lama langkah kaki yang terdengar, ia berasumsi di miliki oleh belasan orang yang semakin terdengar jelas oleh telinganya. Yang awalnya hanya samar-samar sekarang sudah sedikit jelas.
Li Fang seketika melebarkan matanya, saat melihat, belasan, puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang dengan masing-masing membawa tubuh manusia yang sudah tak bernyawa.
Li Fang segera berlari mencari tempat bersembunyi, dengan menyembunyikan tubuhnya di balik pepohonan yang memiliki batang besar, dan yang terpenting pohon itu jauh dari jalan oramg-oramg itu lewati.
Orang-orang itu semakin dekat mengarah kesini, Li Fang seketika menahan nafasnya menyembunyikan hawa keberadaannya agar tak ketahuan oleh mereka, seseoramg lewat di depan pohon yang menjadi tempatnya bersembunyi.
Semakin dekat dan semakin jelas orang itu lewat di depannya, dengan mengintip menggunakan sedikit ujung matanya.
Tiba-tiba membuatnya geram, salah satu orang berjubah hitam yang dia lihat di tangannya saat ini terlihat merangkul seorang mayat lelaki setengah baya. Membuat emosinya seketika berada di puncak tertinggi.
Warna dari jubah pakaian mayat itu, wajahnya, rambutnya, semua ciri-cirinya ia sangat kenal jelas, Ayahnya... Ya, itu adalah mayat Wang Yuan.
Li Fang yang murka melihat itu, ingin keluar dari tempat bersembunyi dan menghajar orang itu. Akan tetapi, kaki dan mulutnya tiba-tiba tak bisa ia gunakan. Dia ingin berteriak mengeluarkan kata jorok hingga menambah kedramatisan kemarahannya, tetapi sama sekali tidak bisa ia ucapkan.
Li Fang merasakan tangan seseorang tengah berada di mulutnya. Dan benar saat ia menurunkan matanya, ia mendapati sebuah tangan seseorang menutupi mulutnya.
"Ummm." Li Fang hanya bergumam sambil merontakan badannya.
Karena kegelapan yang menyelimuti tempatnya berada, dia tidak tahu tangan itu milik seorang wanita atau lelaki. Yang jelas itu adalah milik seorang manusia.
"Ah," lirihnya dalam gumaman saat merasakan tekanan seperti totokan mendarat di titik saraf lehernya.
Setelah itu, rasa sakit dari totokan kembali datang dan menempa lehernya. Sebelum kemudian, ia merasakan pandangannya perlahan- lahan menjadi kabur.
**
"Mati pun, dirinya masih tetap saja menyusahkan!" Mo Xing terlihat kesal.
Mo Xing kesal karena tak menemukan Pedang pusaka yang di carinya. Dia sudah memerintahkan semua muridnya untuk menyusuri seluruh tempat di dalam Sekte ini.
Namun, hasilnya nihil dari kata keberhasilan. Sudah beberapa waktu ia menunggu, tetapi tetap saja tak satu orang pun dari muridnha yang memberikan laporan mengetahui tempat Pusaka itu.
Bahkan, Mo Xing karena kekesalan itulah ia telah membunuh semua orang pihak Sekte Pedang Abadi yang di evakuasi ruang bawah tanah. Karena tidak ada dari mereka yang mau memberitahu letak pusaka itu di simpan. Bukannya tidak mau membalas, tetapi mereka memang sebenarnya sama sekali tak mengetahui letaknya.
Di dalam kepusingan yang melanda dirinya, salah seorang muridnya dengan nafas terengah-engah menghampirinya.
Mo Xing, Ming Ling, dan Yang Shu berdiri dari duduknya memandang muridnya yang terlihat sangat bersemangat sekali.
"Apa kau telah mengetahuinya, cepat katakan letaknya!" Mereka bertiga berkata serentak.
Yang di berikan pertanyaan pun, tak menjawab. Muridnya mengambil nafas sebentar, lalu kemudian berkata. "Di-di sana, Ketua. Kita harus melewati sebuah lorong kecil."
Mo Xing dengan senyum merekah membalas, "Bagus, sebentar lagi aku akan mengangkatmu sebagai Penatua. Cepat antar aku kesana!"
Alasan yang membuat muridnya itu sedari tadi sangat bersemangat adalah imbalan yang akan di dapatkannya nanti, diangkat menjadi seorang Penatua. Dia kemudian memimpin jalan paling depan, di ikuti Mo Xing, Ming Ling, dan Yang Shu.
Beberapa saat berjalan, mereka berempat akhirnya sampai di tempat itu. Muridnya saat ini berdiri tepat di atas sebuah papan berbentuk bundar mirip seperti pintu.
"Dimana letaknya, cepat beritahu..."
Mo Xing terlihat sangat girang, meskipun di lihat dari wajahnya tak ada ciri-ciri dari kesenangan itu. Namun, hanya itulah yang bisa ia ungkapkan sebagai ekspresi senang, karena akibat bekas api yang membakarnya.
"Di bawah sini, Ketua. Perkiraanku disinilah tempatnya karena iseng-iseng tadi ku buka. Aku tak menyangka akan melihat sebuah ruangan di bawahnya."
Tanpa memberi respons, dari penjelasan murid bodohnya itu, Mo Xing dan keduanya melangkahkan kakinya turun melewati anak tangga kecil.
Sesampainya di atas tanah dari ruangan sederhana ini. Senyum tipis Mo Xing semakin melebar. Dia dapat merasakan aura yang kuat di dalam ruangan ini, meskipun samar-samar. Namun, ia berasumsi pusaka itu pasti di halangi benda penghalang energi agar tak di ketahui letak keberadaannya.
"Ayo kita cari Pusaka itu..."
Ketiganya dengan cepat bergerak memeriksa semua sudut ruangan ini. Dan setelah beberapa saat mencari.
"Di sini rupanya kau berada, haha."
Mo Xing berada di depan sebuah kotak kayu lusuh berbentuk segi panjang. Dari dalam kotak itu ia dapat merasakan aura yang kuat meskipun berkapasitas sedikit nan samar-samar.
Mo Xing langsung membuka kotak kayu itu, wajah kebahagiaan yang tadi ia tunjukkan sekarang berubah 180 derajat dari sebelumnya.
Ming Ling dan Yang Shu segera menghampirinya lebih dekat.
"Ada apa, Ketua Xing?" tanya Yang Shu.
"Lihat ini, pusaka itu telah di bawa pergi oleh seseorang. Aura kuat itu hanya sisa-sisa dari kekuatan penuhnya saja!" Mo Xing melempar kotak kayu itu.
"Kau sini..." Panggilnya kepada murid yang tadi mengantarnya.
"A-ada apa, Ketua," balasnya dengan sedikit ketakutan.
"Kau mau menjadi Penatua 'kan." Muridnya membalas sembari mengangguk pelan.
"Penatua Kang Somay! Ambil ini..."
Mo Xing tanpa dapat di jangkau kapan dia menarik pedang dari sarungnya yang berada du pinggangnya, tiba-tiba saja kepala muridnya itu terlepas dari tubuhnya.
**
"Di-di mana aku..." Li Fang bertanya-tanya saat sudah sadar.
"Tuan Muda, sekarang berada di gendonganku. Kita sekarang sedang melayang di udara."
Li Fang sekilas menoleh ke bawah memandang pepohonan. Benar, dia sekarang berada di udara, ratusan meter dari hutan.
Li Fang kemudian kembali mengembalikan pandangannya memandang seseorang yang sedang menggendongnya terbang. Dia seperti pernah mendengar suara dari orang itu.
"Pa-Paman San..."
Mendengar namanya di sebut, ia hanya membalas dengan senyuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Lanjut
2023-10-31
0
Harman LokeST
kuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaattkkaaaannnnnnn teeeeeeeeerrrrrrrrrrruuuuuuuusssssssss teekaaaaaaaaaaaaaaaayaaaaaddmuuuuu Li Fang
2023-10-03
0
arif tatta
ok
2021-05-30
0