Pemandangan para penduduk desa yang saling tertawa lepas kepada sesamanya, menciptakan senyuman kecil dari bibir Selena. Setelah keributan kecil yang terjadi, dan kaburnya beberapa pembunuh yang masih bertahan, tentu menciptakan suasana yang begitu hangat.
Ketika Selena memandangi mereka dengan lembut, seseorang menarik tangannya. Lalu ia menurunkan kepalanya melihat orang yang menarik tangannya adalah gadis kecil yang sudah tidak asing lagi.
“Kakak itu … ada di mana?” tanya gadis kecil itu dengan tatapan risau.
“Maaf, aku juga tidak tahu dia pergi kemana.” Entah Selena yang tidak tahu harus menjawab apa, hanya bisa mengelus rambut hitam gadis kecil itu dengan lembut.
“Tidak mungkin …. Padahal aku belum berterima kasih padanya ….”
“Tenang saja, mungkin dia bukan tipe orang yang senang dengan ucapan seperti itu,” ucapnya setengah tersenyum.
Sementara tidak jauh dari tempat Selena dan gadis kecil itu berdiri, para penduduk desa dan Balt tampak melepas kangen bersama Ravid, saling tertawa layaknya sebuah keluarga.
Namun seorang wanita dewasa tiba-tiba saja mendekati mereka berdua. Senyumnya tampak sungkan ketika memandanginya.
“Ano, aku minta maaf. Apa anakku membuat masalah untukmu, Nona?”
“Ah, tidak. Dia hanya ingin berterima kasih,” jawabnya datar.
Wanita itu ternyata ibu dari gadis kecil yang sedang memeluk boneka dombanya. Usia wanita itu mungkin sekitar 30 tahunan, jelas dari wajahnya yang masih terlihat muda.
“Kalau begitu, aku juga ingin berterima kasih karena telah menemukan anakku, Nona. Aku sempat khawatir karena meninggalkannya sendirian di dalam rumah. Takutnya pembunuh itu akan melukai anakku,” ucapnya setengah membungkuk menyampaikan rasa terima kasihnya dengan tulus.
Selena tentu tidak bisa mengatakan yang sebenarnya kepada wanita itu kalau yang menemukan anaknya adalah Lemiel. Penduduk desa sendiri sebenarnya masih ketakutan dengan sosok Lemiel meski telah diberi penjelasan oleh Ravid dan juga Balt.
“Maaf, nyonya. Tapi bukan saya yang menemukannya.”
“Eh?” respon wanita itu sambil menutup mulutnya yang setengah terbuka. Namun keterkejutannya segera memudar ketika anak perempuannya memegangi tangannya.
“Ibu, yang menyelamatkanku itu adalah kakak berwajah seram tadi!” serunya tiba-tiba dengan senyuman lebar sekaligus manis.
Selena menatapnya datar dengan reaksi yang diberikan anak itu. Apa dia tidak menyadari kalau orang yang menyelamatkannya adalah orang yang sempat ingin di bunuh oleh penduduk desanya?
Ibunya terfokus dengan ucapan anaknya, mengira kalau Rin sedang berhalusinasi. Ya, tentu saja, mana mungkin ada seorang pembunuh yang rela menyelamatkan seorang anak kecil pikirnya.
“Rin, sepertinya kamu sudah melihat hal yang tidak-tidak,” ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. “Maaf Nona, anakku sudah mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal.”
“Apa yang kukatakan itu benar, ibu!” Gadis kecil yang bernama Rin itu tetap nekat dengan pernyataannya, sambil menggembungkan pipi merah apelnya.
“Hehe... hentikan itu, Rin. Huft, sebaiknya Ibu harus memberitahu Ayahmu untuk tidak sering membacakan buku cerita untukmu.” Wanita itu tetap meyakinkan dirinya dengan senyuman yang semakin dipaksakan.
Selena yang sedari tadi mengamati ibu dan anak itu hanya bisa memasang ekspresi seramah yang ia bisa. Jika mengatakan yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi pada wanita tiga puluh tahunan itu ketika mengetahui
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona. Ayo, Rin.” Wanita itu menyipitkan matanya dengan senyuman ramah, sebelum menarik pulang anaknya yang terus menggerutu.
Ravid lalu mendekat, berdiri di samping Selena dengan wajah polosnya.
“Ada apa Selena?” tanya Ravid, sambil memandangi Rin bersama ibunya yang baru saja pergi setelah berbicara dengan Selena.
“Tidak apa-apa.”
“Ngomong-ngomong, kemana perginya Lemiel? Kau tahu kan kita tidak akan mungkin pergi ke kota dengan berjalan kaki.”
“Jangan tanya aku.”
Selena memang selalu mengatakan sesuatu secara datar, singkat dan blak-blakkan. Ravid sendiri orang yang tidak kenal rasa malu ataupun canggung, jadi ia tidak peduli dengan sifat siapapun kepadanya termasuk Selena yang selalu merespon perkataanya dengan wajah datar.
Terlihat para penduduk desa yang selesai mengobrol bersama Balt mulai pergi meninggalkan Ravid dan Selena satu persatu. Raut wajah mereka tampak berseri-seri, berjalan menuju lapak dagangan mereka yang sempat terganggu akibat kekacauan sebelumnya.
Keheningan pun tercipta di antara Selena, Ravid dan juga Balt. Tapi mereka mendengar kebisingan yang samar-samar. Mungkin lebih tepatnya suara dua orang pria yang saling berdebat dari kejauhan.
“Oi, itukan ...?” Ravid mendesah pelan, melihat sumber suara tersebut.
“Sedang apa dia di sana?” tanya Selena dengan tatapan datar.
Perdebatan yang terdengar oleh mereka ternyata berasal dari suara Lemiel dan seorang pria tua yang sepertinya adalah seorang pedagang, bersama kereta kuda yang terparkir di dekatnya.
Lemiel dan pria tua itu telihat sedang mendebatkan sesuatu, entah tentang apa karena terdengar samar-samar bagi mereka berdua.
“Oi pak tua, kenapa kau masih saja keras kepala?! Cepatlah antarkan aku pulang!”
“Tapi ... daganganku belum ada satupun yang terjual. Setidaknya tunggulah sebentar lagi sampai ada yang membelinya, Tuan Rakshassin,” ucap pria tua yang tampak biasa saja saat berbicara dengan Lemiel.
“Sudah kukatakan berulang kali. Tidak akan ada yang mau membeli barang daganganmu. Apa kau tidak sadar dengan kekacauan tadi? Kemana saja kau sebenarnya?!”
“Tentu saja aku membuka daganganku. Aku berpikir kalau orang-orang itu akan tertarik membelinya hehehe,” kata pak tua itu dengan tawa polosnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Mana mungkin hal itu terjadi, pak tua?!” bentaknya melihat kebodohan yang ditunjukkan pria tua itu.
“Tapi kau sendiri yang mengatakan kalau berdagang di tempat ini akan menguntungkan. Tapi lihatlah, tidak ada satupun pelanggan yang mau mendatangiku.”
Lemiel tak bisa membalas omongannya, senyumnya berubah menjadi kecut. Harus dipungkiri kalau memang dia yang mengatakan itu. Tapi Lemiel hanya ingin memanfaatkannya agar mendapat tumpangan gratis.
Sebenarnya Lemiel tidak sepenuhnya berbohong. Desa Kubaku sendiri terkenal dengan sebutan desa pedagang di kerajaan Drakea. Jarak desa Kubaku memang terbilang sangat jauh dari pusat kota, tapi itu tetap menguntungkan mereka karena berdekatan dengan perbatasan dari kerajaan-kerajaan lain.
Rumor tentang desa Kubaku sendiri telah menyebar di beberapa kerajaan lain, sekaligus menarik minat para pengembara atau orang-orang kaya yang memburu dagangan mereka.
Terkenalnya mereka bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Hampir seluruh pedagang di desa Kubaku menjual banyak barang-barang berkualitas tinggi seperti alat-alat sihir ataupun persenjataan dengan harga yang cukup murah.
Tapi itu juga menjelaskan kenapa desa Kubaku merupakan sasaran empuk bagi para penjahat. Banyaknya pengunjung dari berbagai kerajaan, dan berbagai ras, membuat kejahatan cukup merajalela di desa gersang ini.
“Jangan menyalahkanku, pak tua. Aku sendiri tidak menduga akan terjadi hal-hal seperti ini.” Lemiel berusaha membela pernyataannya.
“... karena aku tidak mendapatkan keuntungan hari ini. Berarti, kau akan membayar biaya tumpanganmu kan, Tuan Rakshassin?” tanya pak tua itu, sambil menggosok-gosok tangannya disertai tawa kecil.
Gelak tawanya terdengar begitu tengil, bahkan raut wajahnya menambah kesan menyebalkan seperti pedagang licik bermata duitan.
“Baiklah, baiklah aku akan membayarmu nanti, dasar kakek tua sialan!” jawabnya dengan kesal.
“Ahaha, senang bekerja sama denganmu, Tuan Rakshassin. Baiklah, kalau dihitung dari keberangkatan awal, kau hanya perlu membayarku dengan 5 koin emas.”
“Hah?!” responnya kesal. “Jangan bercanda kau sialan! Uang sebanyak itu setara dengan seluruh daganganmu!”
“Habisnya, aku memang datang kesini untuk menjual semua daganganku. Kau sendiri yang menyakinkan itu padaku.”
“Lalu kenapa harus aku yang disalahkan?!”
“Jadi aku harus bagaimana?”
“Kenapa kau malah menanyakan itu padaku? Begini saja, aku akan membayarmu sebanyak 5 perunggu, tapi itu akan kubayar nanti setelah aku menerima bayaran dari Klienku.”
“Jangan bercanda, Tuan Rakshassin! 5 perunggu bahkan tidak bisa memesan segelas anggur yang paling murah!” protes pria itu.
“Kenapa kau lebih mementingkan minum-minum?!”
“Sebagai pedagang senior sudah seharusnya aku mendapatkan jatah istirahat!”
“Apanya yang senior?! Bahkan daganganmu saja tidak ada satupun yang terjual. Ah, hentikan saja ini. Berbicara denganmu hanya membuat lukaku semakin parah,” keluhnya dengan helaan nafas berat.
“Kalau begitu biarkan aku untuk tetap berdagang di sini. Aku tidak ingin pulang ke kota dengan tangan kosong.”
“Tapi kalau sampai aku sekarat, kau harus bertanggung jawab.”
“Kenapa itu malah menjadi tanggung jawabku?!”
Karena perdebatan mereka semakin menyimpang ke hal-hal yang tidak jelas, Selena dan Ravid mendekatinya yang seketika mengakhiri perdebatan mereka.
“Apa yang sebenarnya kau bicarakan?” tanya Selena dengan tatapan masam.
“Memangnya apa lagi selain mencari tumpangan ke kota.” Lemiel memandangnya dengan senyuman pahit.
Selena memejam matanya lalu menghela nafas berat. “Aku akan membayar 5 koin emas untukmu, Kek. Apa kita bisa berangkat sekarang?”
“Ah, benarkah? Syukurlah aku bisa minum-minuman enak malam ini!” seru pria tua itu hingga menitihkan air mata.
“Oi, kenapa kau mau membayar semahal itu untuk kakek bejat ini?!” Lemiel memprotes keputusan Selena yang mau memberikan uang kepada kakek tua itu.
“Tak apa, lagipula tidak akan ada kereta lagi yang menuju Dhuris.”
Lemiel memalingkan tatapannya dari kakek tua itu dengan raut wajah malas. Sementara kakek itu memasang senyuman mengejek yang memancing kekesalan Lemiel.
Mungkin kelakuan kakek itu terbilang cukup konyol ketika berdebat dengan Lemiel. Tentu sebagai warga kerajaan Drakea, kakek itu mengetahui rumor yang menyebar tentang Lemiel.
Tapi sebenarnya tidak semua penduduk kota Dhuris ketakutan dengan kehadiran Lemiel, bahkan beberapa dari mereka bisa cukup akrab dengannya.
Lemiel sendiri menghiraukan rumor kejahatan yang ia miliki. Lagipula hal hal berbau kriminal bukanlah sesuatu yang baru di kerajaan Drakea dan bukan hambatan baginya untuk beradaptasi di lingkungan sekitarnya.
Namun situasi tersebut tidak berlaku untuk desa Kubaku yang masih ketakutan akan rumor tentangnya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Di belakang, Balt menghampiri mereka dengan wajah menurun.
Balt mulai melirik Lemiel dengan sedikit berat hati. Lemiel yang mengetahuinya pun memiringkan senyuman tanpa memandanginya.
“Ternyata kau baik-baik saja ya.”
Balt tak membuka mulutnya. Mengingat apa yang telah dilakukan padanya dan mendengar semua penjelasan dari Ravid, Balt masih kesulitan melawan rasa kebersalahannya.
Menyadari keheningan diantara mereka, pedagang tua itu lalu bergegas pergi dan menaiki kursi depan kereta kudanya.
“Ayolah kita pergi sekarang, aku sudah tidak sabar untuk minum-minum bersama wanita cantik!” seru pria tua itu dengan tawa yang memiliki niat bejat.
“Ternyata kau kakek tua yang mesum!” teriak Ravid kesal sambil menunjuknya.
“Ayolah, sesekali kakek tua sepertiku ingin merasakan masa mudanya kembali.”
“Entah kenapa aku sangat kesal dengan senyumannya!” geram Ravid ketika melihat senyuman menyebalkan dari kakek tua itu.
Tanpa memperdulikan keributan mereka dan kehadiran Balt, Selena berjalan begitu saja menaiki bagian belakang kereta sendirian. Ravid yang telah melihat Selena duduk duluan pun melirik sebentar kearah Balt dengan tatapan perpisahan.
“Aku pergi dulu, Balt. Aku akan kembali setelah menjadi lebih kuat!” seru Ravid hingga menyipitkan matanya.
Balt mengangguk tanpa berbicara sepatah katapun. Dia hanya memiringkan senyuman melihat perginya Ravid yang sedang menaiki bagian belakang kereta kuda itu.
Lemiel tiba-tiba mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Balt, memasang senyuman tipis namun tersirat akan sesuatu. Balt seketika mengernyitkan alisnya saat menyadari Lemiel mulai membisikkan sesuatu.
“Aku janji tidak akan membocorkan siapa identitasmu yang sebenarnya,” bisiknya dengan nada berat.
Lalu Lemiel berjalan memejamkan matanya, menaiki bagian belakang kereta kuda milik pedagang tua itu sedang duduk menunggunya dengan kesal akibat Lemiel yang terlalu lama menaiki kereta.
Balt memandang punggung Lemiel yang menaiki kereta tersebut dengan tatapan kosong. Balt terdiam mematung, wajahnya seketika berkeringat dingin saat Lemiel membisikkan itu.
Meski Lemiel sendiri telah berjanji, tetap saja perkataan pria bermata merah darah itu membuatnya tidak tenang dan bisa menghantuinya kapan saja.
Apa Dray yang mengatakan itu padanya?! batin Balt dengan mata melebar.
To be Continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
kimzky
iye iye
2021-02-06
0
oyttigiz
hadir Kaka dan kasih like , mampir balik ke karya aku Sang Pengacau dan Jagoanku ternyata CEO
2020-12-26
1