Mia dan Tio sama-sama kaget akan pertemuan yang tidak terduga. Mereka masih berdiri mematung saling menatap, seakan mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat sekarang.
"Ehem.." Suara Ibu Nurjanah memecah kesunyian yang terjadi. Dia mendekat pada Mia dan berbisik di telinga anaknya itu.
"Ibu tahu prianya ganteng. Tapi, jangan melamun seperti ini juga. Cepat salami kedua orang tuanya dan kakeknya " ucap Ibu Nurjanah.
"Oh, iya. Baik, Bu" ucap Mia yang seakan baru tersadar dan lepas dari pengaruh hipnotis.
Mia lalu menyalami papa dan mama Tio, kakek dan bahkan menyalami Tio juga.
Tapi ekspresi wajah Tio tetap datar.
Sebelas tahun telah berlalu. Aku rasa dia tidak mungkin mengenaliku lagi.
Batin Mia.
**********
Sekarang mereka semua sudah duduk di atas meja makan.
Mia yang duduk bersebrangan dengan Tio hanya dapat menunduk, ketika Tio menatapnya intens untuk kesekian kalinya. Mia sendiri tidak dapat mengartikan arti dari tatapannya itu. Sorot matanya tajam, tetapi tatapan mata Tio datar, hampir tidak ada ekspresi.
Apa arti dari tatapan matanya itu ya ? Apa artinya benci ? marah ? kesal ? Yah, pasti seperti itu. Dia pasti kesal karena orang yang dijodohkan dengan dirinya, adalah aku. Gadis tanpa pesona apapun.
Batin Mia.
"Jadi, apa kegiatan Mia sekarang ?" tanya Bu Lesta, Mamanya Tio.
"Saya bekerja, Bu. Di sebuah perusahaan penerbitan" ucap Mia.
"Oh.." Mama Tio mengangguk.
foto : Mia.
"Ayo, mengobrolnya sambil di makan Bu Lesta. Biar makanannya tidak dingin" ucap Ibu Mia.
Mereka lalu mulai menyantap hidangan yang sudah di sajikan oleh Ibunya Mia.
"Pasti repot ya, Bu. Memasak menu hidangan sebanyak ini. Mana masakannya enak-enak lagi" ucap Mamanya Tio.
"Enggak kok, Bu. Ini biasa saja. Biasa juga saya memasak menu ini untuk dirumah. Jadi benar-benar sudah terbiasa" ucap Ibunya Mia.
Sudah biasa masak semua ini. Aduh, Ibu ketara amat bohongnya.
Batin Mia.
"Tapi udang baladonya terasa pedas sekali ya" ucap Pak Rey, papanya Tio.
Sontak semua mata tertuju pada papanya Tio.
"Maaf, lain kali akan saya kurangi cabainya" ucap Ibu Mia.
Mama Tio langsung mencubit pinggang Papa Tio dari bawah meja.
"Papanya Tio memang tidak tahan pedas Bu Nurjanah. Dan maaf, dia ini orangnya sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran" ucap Mama Tio.
Dia benar-benar berpikir, apa yang mau dia pikirkan saja. Padahal sebelum pergi, aku sudah memperingatkannya tadi. Tio.. Tio.. contohlah papamu ini. Dia tidak membicarakan sesuatu di belakang. Melainkan langsung di depan mukanya. Huft..
Batin Bu Lesta.
"Nak Tio ini pernah bersekolah di luar negeri ya ?" tanya Pak Arif.
Sebagai orang tua, papa Mia juga mencemaskan bagaimana sifat dari calon menantunya ini. Apalagi kehidupan di luar negeri, terkenal bebas.
"Iya, Pak" ucap Tio.
Seolah tahu apa yang di khawatirkan Pak Arif sebagai orang tua. Pak Marta, kakeknya Tio menengahi.
"Dia hanya kuliah di luar negeri dan memang sempat bekerja di sana sementara waktu. Tetapi untuk pendidikan SD sampai dengan SMAnya, dia bersekolah di sini. Lagipula disana dia tinggal di rumah pamannya. Jadi ada yang mengawasinya selama di sana" sambung kakeknya.
"Ooh.." Pak Arif mengangguk.
"Kalau Mia bersekolah dimana sewaktu SMA dan kuliah ?" tanya Mamanya Tio.
"Di SMA Negeri 1 dan Universitas Negeri Harapan, Bu" ucap Mia.
Mamanya Tio kaget mendengarnya.
"Loh, satu sekolah dengan Tio berarti. Kakek juga cerita, selisih umur kalian kan hanya setahun. Berarti harusnya kalian sudah saling kenal sewaktu SMA kan ?" ucap Mama Tio.
Semua mata tertuju pada Mia sekarang. Seolah menunggu jawaban Mia.
Mia lalu melirik ke arah Tio. Tapi Tio tidak bergeming sama sekali. Sedari tadi, dia memang irit untuk berbicara.
Tiba-tiba, suasana berubah hening. Mia bingung untuk menjawab pertanyaan mama Tio sekarang.
Sebelas tahun telah berlalu. Apa Tio masih mengingatnya ? Untuk semua pesona yang Tio miliki, wajar kalau ingatan tentang Tio masih melekat di otakku. Tetapi, aku ? Gadis tanpa pesona apapun. Mustahil bagi Tio untuk mengingatku. Apalagi dia telah lama melanjutkan kuliah di luar negeri dan sempat bekerja di sana. Aku yakin, kenangan sewaktu kami pernah dekat dulu hanya angin lalu baginya.
Batin Mia.
"Hmm.. Saya dan kak Tio.." ucap Mia terhenti tiba-tiba.
Seketika dia sadar, masih memanggil Tio dengan sebuatan kakak. Dia lalu merubah panggilannnya.
"Maksud saya, Saya dan Tio memang bersekolah di SMA yang sama, Bu. Saya juga tahu dengan Tio, karena prestasinya dan jabatannya sebagai ketua OSIS di sekolah kami. Tetapi mungkin hanya saya yang mengenal Tio. Tio sepertinya tidak mengenal saya, karena saya hanya adik kelasnya dan juga murid yang tidak menonjol di sekolah" ucap Mia.
"Oh, jadi benar kalian satu sekolah. Mungkin karena Tio orang yang termasuk cuek dan tidak peduli pada sekitar, makanya dia tidak mengenal Mia. Bukan karena kamu tidak menonjol, sayang" ucap Mama Tio.
Mia senang mendengar ucapan mama Tio, terdengar seperti tidak merendahkan orang lain.
Mia tersenyum menanggapi ucapan mama Tio. Dia juga sempat melirik ke arah Tio, untuk mengetahui ekspresi wajah Tio setelah mendengar ucapannya. Tetapi ekspresi yang ditampilkan tetap sama, dingin.
"Jadi kapan kalian akan menetapkan tanggal pernikahannya ?" ucap Papa Tio kembali.
Sontak Mia dan seisi ruangan menoleh ke arah Papa Tio. Mereka terkejut bukan main. Apalagi Mia yang sedang meminum air mineral dari gelasnya langsung tersedat saat mendengarkan pertanyaan dari papa Tio.
"Uhuk.. uhuk.. uhuk.." Mia tebatuk-batuk.
"Sayang, kamu enggak apa-apa kan ?" tanya Mama Tio pada Mia.
"Iya, Bu. Saya enggak apa-apa" ucap Mia.
"Maaf ya semuanya. Kalau pertanyaan papa Tio membuat kaget kalian semua. Suami saya ini memang tipe orang yang ceplas ceplos" ucap Mama Tio yang merasa tidak enak. Dia melirik geram pada suaminya.
"Kan kita sudah sepakat, sayang. Kalau mereka harus saling mengenal satu sama lain dulu" ucap Mama Tio.
"Benar begitu kan Pa ?" tanya Bu Lesta pada Kakek Tio.
"Iya, benar. Kalian saling mengenal dulu beberapa hari ini. Kalian juga berhak menolak perjodohan ini, kalau kalian merasa tidak cocok. Tetapi, jangan lama-lama kalian membuat keputusan. Kakek sudah ingin melihat cucu kakek menikah" ucap Pak Marta.
Keadaaan kembali hening.
"Kalian berdua sudah makan kan ? Kalau begitu coba kalian mengobrol dulu berdua. Agar mengenal satu sama lain" ucap Pak Marta.
"Iya, betul kata Pak Marta. Mia ajak Tio mengobrol ke teras sekarang" ucap Ibu Mia.
Mia dan Tio akhirnya beranjak ke teras depan. Suasana canggung meliputi mereka yang hanya ada mereka berdua di sana.
Mereka berjarak berjauhan. Mia duduk di kursi teras. Sedangkan Tio lebih memilih berdiri dengan jarak yang cukup jauh dari Mia.
Tio mengeluarkan rokoknya, dan mulai menyalakan pemantiknya. Dia merokok, menghembuskan kepulan asap dari mulutnya.
Ternyata dia perokok. Sejak kapan ya ? Tidak heran juga sih. Dia kan tinggal diluar negeri, yang terkenal akan pergaulan bebasnya. Apanya yang diawasi oleh pamannya ? huft..
Batin Mia.
Selama setengah jam, mereka hanya berdiam diri tanpa ada pembicaraan sama sekali.
Mia merasa kebingungan. Tidak tahu apa yang mau dijadikan bahan obrolan.
Ah, aku kesal sekali. Dia juga tidak berbicara sepatah katapun dan malah asyik merokok. Kakinya tidak keram apa, terus berdiri di pojokan itu dari tadi. Aku saja yang dari tadi duduk di kursi ini merasa pegal. Pokoknya, aku tidak tahan lagi.
Batin Mia.
"Ehmm.. Tio, kalau memang tidak ada yang akan kita obrolkan, sebaiknya kita masuk ke dalam saja. Disini banyak nyamuk. Aku rasa waktu setengah jam ini juga sudah cukup lama buat mereka beranggapan kalau kita telah mengobrol" ucap Mia sambil berdiri dari duduknya.
Tio hanya diam tidak merespon ucapan Mia. Dia masih sibuk menghisap rokoknya. Namun selang beberapa detik kemudian, Tio melemparkan rokoknya ke lantai dan mematikan rokoknya dengan menginjaknya.
Tio lalu melangkah mendekat memghampiri Mia. Kini mereka berdiri berhadapan.
Mau apa dia ?
Batin Mia.
Tio menatap Mia dengan sorot mata yang tajam. Dia memandang Mia dari atas ke bawah. Tatapan matanya sinis.
Cih ! Tio ?
Batin Tio.
Dia masih intens memandangi gadis yang berdiri di hadapannya sekarang. Tak lama kemudian Tio menyeringai.
"Senang berkenalan denganmu, Nona Mia !" ucap Tio yang sengaja menekankan kata 'Nona' pada Mia.
Tio lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Mia yang masih berdiri mematung di sana.
"Loh, kalian sudah mengobrol ?" tanya Mama Tio.
Tio hanya menjawab dengan tersenyum.
Tak lama kemudian, Mia menyusul masuk ke dalam.
"Mia, sudah mengobrolnya ?" ulang Mama Tio.
"Iya, Bu. Tadi sudah mengobrolnya" ucap Mia berkilah.
"Baiklah, kalau begitu kami pulang dulu ya Pak Arif dan Bu Nurjanah. Jangan lupa besok, datang ke rumah kami. Gantian, saya yang mengundang Ibu dan Bapak makan malam dirumah" ucap Mama Tio.
"Baik, Bu Lesta. Besok kami pasti datang" ucap Ibu Mia.
Mia, Ayah dan Ibunya lalu mengantar kedua orang tua Tio, kakek dan Tio ke depan teras.
Ayah dan Ibunya Mia terlihat sangat antusias melambaikan tangan mengantar kepergian keluarga Martadinata. Hanya Mia yang masih terlihat bengong atas kejadian yang di alaminya hari ini.
Nona Mia ? Seperti yang aku duga, dia benar-benar tidak mengingatku. Seharusnya aku tidak perlu terkejut lagi bukan ? Tapi, mengapa sekarang aku merasa kecewa ya..
Batin Mia.
Minta Like-nya dongggg.. Komen dan votenya juga ya, makasih 🙏🏼😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
LangitDia
suka deh Ama ceritanya, lucu emaknya Mia
2022-11-06
0
Widi Nuhgraeni
Tio menambah kesalahpahaman
2021-11-04
0
Zuni Tree
dr baca kisah rey dan lesta langsung baca sini
2021-06-18
0