"Siapa?" tanya Nie saat Intan memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celananya.
"Bos, Ma," jawab Intan. Nie mengangguk pelan, kemudian seorang dokter keluar dari ruangan Ferdian berada. Nie dan Intan langsung menghampiri dokter dan siap menghujani dokter dengan beberapa pertanyaan.
"Bagaimana keadaan suami saya, Dok? Apa dia bisa sembuh? Penyakitnya tidak parah, kan?" Dokter yang memang sudah dibayar untuk mengikuti sandiwara ini pun hanya mengeluarkan ekspresi wajah yang sedih.
"Sebaiknya saya jelaskan di ruangan saya," ajak Dokter itu pada Nie. Nie mengangguk pelan, setelah itu Nie menatap ke arah Intan.
"Intan, kamu jaga papamu yah. Mama mau ke ruangan dokter." Intan menganggukan kepalanya. Setelah itu, Intan langsung masuk ke ruang inap papanya.
Sementara itu, Dokter Nina dan Nie sedang bersenda gurau, melepaskan rasa rindu mereka. Intan berkali-kali berdo'a agar Papanya cepat sembuh dan sadar dari pingsannya. Tak lama Nie datang dengan mimik wajah pura-pura sedih.
"Mama, ada apa dengan Papa?" tanya Intan yang melihat Mamanya duduk di sofa yang ada di dalam ruangan tersebut.
Nie tidak menjawab pertanyaan anaknya, ia duduk dengan wajah yang gusar. Membuat Intan kembali bertanya-tanya, apa yang terjadi kepada papanya? Hingga akhirnya Intan memutuskan untuk memainkan ponselnya.
Tiba-tiba tangan Ferdian bergerak, Intan yang melihat hal itu langsung memanggil Mamanya untuk mendekat. Nie mendekati suaminya, kemudian keluar memanggil dokter. Intan senang akan kesadaran Papanya. Tak lama setelah itu, dokter pun masuk beserta perawat dan Nie yang ada di belakang.
"Cepat periksa Papa saya, Dok," pinta Intan, Dokter pun mendekat ke arah Ferdian.
"Sebuah mukzizat, Pak Ferdian sudah sadar dengan cepat. Hanya butuh istirahat total. Kondisinya masih lemah dan jangan terlalu membuat dia banyak pikiran," terang sang Dokter kepada Nie dan Intan.
"Apa tidak ada yang serius, Dok?" tanya Intan memastikannya.
"Tidak ada. Tapi kalau Pak Ferdian terlalu banyak pikiran, maka itu akan berakibat fatal pada kepalanya. Saya sudah memberikan resepnya kepada Bu Ferdian," jawab Dokter Nina dengan menahan tawanya.
"Kapan papa saya boleh pulang, Dok?" tanya Intan lagi.
Sekarang juga boleh pulang, hanya saja saya sudah dibayar untuk mengikuti sandiwara ini, batin Dokter Nina yang terus tersenyum kepada Intan.
"Papamu harus nginap, agar cepat sembuh." Kali ini Nie yang berbicara. Intan sungguh penasaran dengan penyakit yang diderita papanya.
Ketika Intan ingin bertanya lagi, Ferdian memanggil namanya. Intan berjalan menuju papanya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Duduk di samping ranjang pada kursi yang sudah disediakan di sana. Mengelus tangan papamya sangat lembut agar sang papa tidak kumat kembali.
"Apa ada yang sakit, Pa?" tanya Intan. Gadis itu lagi-lagi mengeluarkan air matanya. Ferdian menggelengkan kepalanya. Dokter Nina pergi, begitu pula dengan Nie yang mendekat ke arah suaminya.
"Papa sudah bangun? Apa yang sakit, Pa?" pertanyaan yang ditanyakan Intan diulang lagi oleh Nie. Dan lagi-lagi hanya mendapat gelengan kepala.
Ferdian tidak nafsu makan, minum, bahkan untuk berbicara enggan untuk melakukannya. Intan bingung dengan perubahan sifat papanya. Ia mencoba untuk bertanya. Namun Ferdian langsung tertidur saat Intan mendekatinya.
Sudah dua hari Ferdian di rumah sakit, dan sudah dua hari pula Intan tidak bekerja kerena tidak tega meninggalkan papanya. Sungguh, Ferdian menanti putrinya untuk bertanya kepadanya. Tapi Intan juga tidak bisa bertanya karena takut kondisi papanya kumat kembali. Karena ini masih pagi, Intan mengajak papanya mengelilingi taman rumah sakit.
Setelah berada di taman rumah sakit, Intan duduk di salah satu bangku yang sudah tersedia. Ferdian masih saja diam tidak bersuara. Intan mencoba mengembalikan semangat papanya agar cepat sembuh.
"Pa, Papa enggak capek berada di rumah sakit?" tanya Intan membuka topik pembicaraan. Ferdian masih diam tidak pernah menjawab pertanyaan Intan. Hingga akhirnya Intan geram dengan semua ini.
"Pa, jangan diamin Intan gini dong. Kalau Papa menginginkan sesuatu bilang sama Intan, nanti Intan akan usahakan memenuhi keinginan Papa," pinta Intan kepada Ferdian yang dian tak bersuara.
"Yakin kamu mau memenuhi semua apa yang papa inginkan?" tanya Ferdian memastikan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Intan. Gadis itu mengangguk pelan penuh keraguan.
"Papa ingin kamu menikah dengan anak temen papa. Kalau tidak ...." Ferdian sengaja menggantung kalimatnya agar Intan penasaran apa yang akan terjadi ketika Intan menolak untuk menikah.
"Kalau tidak apa, Pa?" tanya Intan yang pikirannya dipenuhi oleh tanda tanya.
Ferdian hanya menarik napasnya panjang-panjang, setelah itu ia keluarkan secara perlahan. Intan masih terus menunggu jawaban Papanya, "Pa, jawab pertanyaanku," pinta Intan yang terus mengelus tangan Papanya.
"Kita akan kehilangan perusahaan dan rumah, serta aset-aset tanah lainnya," jawab Ferdian dengan wajah yang menunduk lemah.
Intan mencoba berpikir sambil sesekali menaikan kacamatanya yang hampir jatuh. Ia tidak ingin dijodohkan, Intan masih terus berpikir dengan keras. Hingga ia mengingat kedua kakaknya yang sudah sukses dengan rantauannya.
"Pa, kenapa kita tidak tinggal dengan ka Kori saja. Kan ka Kori sudah sukses." Spontan Intan mengucapkan apa yang ia pikirkan, sementara Ferdian yang masih menunduk semakin dibuat cemas. Ferdian takut jika sandiwaranya tidak berjalan lancar.
Nie yang membututi putri dan suaminya menuju taman, ia mendengar semua apa yang mereka bicarakan. Sesegara mungkin ia mengirimkan pesan kepada Kori dan Rudi untuk mengikuti sandiwara ini. Dengan senang hati, Kori dan Rudi pun menuruti keinginan mamanya.
Tanpa aba-aba, Nie menghampiri suaminya dan putrinya. "Ternyata kalian di sini, mama mencari kalian dari tadi loh." Nie mengedipkan matanya kepada Ferdian. Karena Ferdian tahu kalau istrinya sudah ada di belakang mereka sejak tadi.
Intan mengambil ponsel di dalam saku celananya, mencaru nomor kakak pertamanya, yaitu ka Kori. "Ma, Pa, aku mau telepon ka Kori dulu yah," pamit Intan, papanya menganggukan kepal, tapi lain dengan mamanya. Tangan Intan ditarik oleh Nie untuk duduk kembali.
Lagi-lagi Intan semakin bertanya-tanya dengan sikap mamanya. Ia pun duduk di samping mamanya, karena sepertinya Nie akan berbicara sesuatu. Hingga memutuskan untuk mendengarkan perkataan mamanya terlebih dahulu. Nie menghela napasnya pelan. Mulai mengasah otaknya untuk berbicara kepada putri satu-satunya agar mau menuruti keinginan mereka.
"Ada apa, Ma?" tanya Intan, karena Mamanya tak kunjung berbicara setelah menyuruh ia duduk kembali.
"Kamu yakin mau menghubungi kakakmu?" tanya Nie memastikan. Intan mengangguk, karena tidak ada yang lain selain meminta pertolongan kepada kedua kakaknya.
"Sekarang Kori saja sedang dalam kritis perusahaannya, apalagi abangmu," terang Nie. "Makanya mereka tidak pulang, meskipun tahu kondisi Papa sedang sakit," lanjut Nie dengan Ekspresi sedih.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Andayani Ahmat
wow sandiwara nya keren.
2021-11-24
0
🍾⃝ɴͩɪᷞɴͧᴅᷠʏͣᴀ ᴘuᴛʀɪ
kompak bgt,satu keluarga bikin sandiwara
2021-03-21
0
nuRRaffa
akting nya keren,cucok niih jd bintang film😆😆😆
2021-01-18
4