Banyak patner Ferdian yang ingin memperistri Intan, dan itu membuat Nie khawatir jika putrinya jatuh pada laki-laki hidung belang. Karena semenjak acara pembukaan kantor cabang, Intan tidak menggunakan kacamatanya, melainkan ia memakai dress dengan lengan pendek panjang hanya sampai lutut. Seketika mata para laki-laki hidung belang ingin memperistri putrinya.
Banyak tawaran, dari mulai menyerahkan perusahaan untuk putrinya agar mau diperistri oleh salah satu rekan bisnis mereka. Dengan tegas, Ferdian menolak mentah-mentah lamaran itu. Itulah mengapa kedua orangtua Intan ingin segera melihat Intan menikah.
***
Keesokan paginya, Intan masih terlelap di alam mimpinya. Nie dan Ferdian sudah ada di meja makan. Mereka sengaja tidak membangunkan putrinya, akan ada sebuah drama. Sepasang suami istri itu pun setelah selasai makan lanjut duduk di ruang tamu.
"Intan memang kebangetan kalau tidur!" Nie yang sudah merasa kesal dengan putrinya yang masih tertidur meskipun jam menunjukan pukul 10:30.
"Biarkan, nanti juga bangun," ujar Ferdian dengan tatapan mata yang masih fokus pada layar laptopnya dan beberapa dokumen pekerjaan.
Setengah jam berlalu, tapi Intan tak kunjung bangun dan menghampiri mama dan papanya yang sedang duduk di ruang tamu. Gadis itu masih terlelap di alam mimpinya. Nie berinisiatif untuk memulai dramanya.
"Apa mama aja yang bangunin Intan? Terus Papa duduk di sofa sambil memegang kepala. Ceritanya Papa sakit kepala gitu." Nie yang mulai tidak sabar untuk memulai sandiwara dalam keluarganya, sebelumnya Kori dan Rudi beserta istri-istri mereka sudah diberi tahu sebelumnya.
Ferdian mengangguk, kemudian ia mengacak-acak semua dokumen penting itu kesembarang arah. Entahlah, kenapa dokumen penting itu Ferdian hambur-hamburkan ke sembarang arah. Dan itu termasuk rencana Nie, mau tidak mau Ferdian menurutinya. Dari pada ia harus tidur di luar lagi, jadi ia harus menuruti kemauan istri manjanya.
Nie berjalan menuju kamar putrinya. Diketuk berkali-kali namun masih tidak ada jawaban. Hingga Nie memutuskan untuk menelepon Intan. Karena gadis itu lebih mementingkan bunyi suara ponsel, daripada suara pintu.
"Nih anak kalau sudah tidur pasti lupa waktu, padahal semalam tidur jam sepuluh malam." Nie mengoceh sambil terus memainkan ponselnya, mencari nomor ponsel anak perempuan satu-satunya.
Ponsel milik Intan pun berdering. Benar saja, Intan langsung mengangkat panggilan yang ada di ponselnya. Dengan suara khas bangun tidur, tanpa memakai kacamatanya. Intan mengangkat panggilan itu tanpa membaca siapa yang meneleponnya.
"Ha-Halo," ucap Intan setelah menggeser tobol hijau.
"Bangun, Nak! Kamu enggak tau pukul berapa sekarang?" tanya Nie sedikit berteriak. Intan langsung membuka matanya, melihat jam dinding yang menunjukan pukul 11:15 WIB.
"Ya ampun, Mama kenapa enggak bangunin aku dari jam enam sih, Ma?" Intan langsung bangun dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya.
"Anak gadis tidur nyenyak sekali! Malah mama yang disalahin. Sekarang mama lagi cemas, itu papa kamu ...." Nie sengaja menggantung perkataannya agar Intan bertanya.
"Papa kenapa?" tanya Intan yang sudah cemas dan takut kalau dirinya akan dipecat dari toko kue tempat ia bekerja.
Bukannya menjawab pertanyaan Intan, Nie justru mulai menitikan air matanya. Intan yang melihat hal tersebut membuat dirinya takut jika sang papa kenapa-kenapa. Intan mendekati Mamanya dan mengusap air mata Mamanya.
"Papa kenapa, Ma? Kita keluar yuk, Mama ceritakan apa yang terjadi sama papa?" Intan mengajak Mamanya keluar, kini Nie seakan-akan berakting. Berakting bahwa langkah kakinya berat.
"Ma, kita keluar yah, kita lihat papa." Nie mengangguk, mereka berjalan keluar kamar. Seketika Nie berdehem sangat keras, itu adalah kode agar Ferdian melaksanakan perintahnya untuk berpura-pura sakit.
Ferdian yang mendengar suara deheman dari istrinya, ia langsung memegangi kepalanya. Kini Ferdian seakan-akan sedang menjambak rambutnya sendiri, berakting sakit kepala sambil sedikit mengerang kesakitan.
Intan yang mendengar Papanya kesakitan, ia pun langsung berlari ke sumber suara. Ternyata sang Papa sedang menjambak rambutnya, "Apa yang Papa lakukan?" teriak Intan.
"Ini sakit sekali, Nak," tak henti-hentinya Ferdian menjambak rambutnya.
"Kita ke rumah sakit yah, Pa," ajak Intan. Namun yang Intan dapatkan hanyalah sebuah gelengan kepala dari sang Papa. "Ayo, Pa, kita ke rumah sakit. Intan tidak tega melihat Papa seperti ini." Intan mencoba membantu Papanya untul berdiri.
"Ayo, Ma. Mama kenapa diam aja? Kasihan Papa," ucap Intan kepada Mamanya. Karena sedari tadi Nie hanya memandangi Intan dan Ferdian.
"Intan, hutang Papamu banyak, sekarang sudah jatuh tempo. Kita harus segera pergi dari rumah ini, nanti Papa kamu, kita bawa ke klinik terdekat." Nie mencoba dibuat sedramatis mungkin.
"In-Intan masih punya tabungan ko, Ma. Kita bawa Papa ke rumah sakit yah. Ayo, Ma. Bantu aku angkat Papa." Intan merelakan tabungannya demi kesembuhan sang Papa. Dalam pikirannya, ia memikirkan apa yang terjadi sebenarnya? Karena setahu Intan, Papanya tidak memiliki hutang.
"Ma, Mama sudah hubungi Abang dan Kakak?" tanya Intan yang mengingat kedua kakak laki-lakinya. Nie menggelengkan kepalanya, kini Intan sendiri yang pusing karena kejadian ini. Sementara Ferdian masih betah dengan raungan pura-puranya.
Hingga akhirnya Intan dan Nie membawa Ferdian ke rumah sakit. Dan rumah sakit itu pula sudah di bayar untuk mengikuti sandiwara yang sudah dibuat oleh Nie. Asisten atau bisa disebut tangan kanan Ferdian yang sudah mengurusnya. Nie yang melihat putrinya sangat perhatian kepada sang papa, membuat dirinya menangis terharu beneran.
Intan benar-benar tidak tahu dengan masalah ini, mama papanya tidak pernah cerita kalau mereka punya hutang. Nie yang masih setia dengan tangisan palsunya menatap putrinya yang masih dengan ekspresi kebingungan.
"Ma, duduk. Apa Mama tidak cape berdiri terus?" tanya Intan. Nie duduk di samping Intan, masih dengan air mata palsunya. "Sebenarnya apa yang terjadi, Ma?" Intan mulai penasaran.
"Kamu ingat? Perusahaan papa kamu dulu pernah bangkrut, papa mencari dana untuk membangkitkannya. Tapi sekarang kondisi papamu sedang begini," lirih Nie pelan.
Intan pikir semua hutang papanya sudah lunas, ternyata ada yang ditutupi darinya. Intan berinisiatf untuk bekerja keras, agar Papanya bisa sehat kembali. Tiba-tiba ponsel Intan bergetar, ternyata panggilan dari bos nya.
"Ha-halo, pak," sapa Intan saat sudah mengangkat panggilan telepon itu.
"Intan, kenapa hari ini tidak masuk? Tanpa keterangan pula," tanya pemilik toko kue tempat Intan bekerja.
"Maaf, Pak. Papa saya masuk rumah sakit. Sekali lagi maaf yah, Pak," Intan berkali-kali mengucapkan kata maaf.
"Yasudah, semoga papamu cepat sembuh, agar besok kamu bisa bekerja lagi." Setelah mengucapkan kalimat itu, panggilan pun langsung ditutup.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Srisumarni
semangat mama
2020-12-29
2
Armi Aulya
suka alur ceritanya,,,,semngat buat author y...
2020-12-19
3
A. Nusantari
Yaampun aktingnya sungguh deh
semangat!
2020-12-12
3