Episode 3 [Book 1]

Avrora: Water Voice

Chapter 3

\=\=\=\=\=\=\=\=

Semenjak mengetahui tentang Avrora, Inna semakin susah tidur. Inna tidak tahu apa yang dikatakan Rey benar atau tidak. Diliriknya jam dinding biru yang menunjukan pukul 20.16 malam. Inna masih memikirkan tentang Luna. Apa yang Rey katakan mengenai Luna membuat Inna semakin penasaran. Apa benar Luna ada hubungannya dengan Avrora?

Inna bangun dari kasurnya dan berjalan mengarah ke laptopnya. Dia mencari daftar nama siswa Luna di Akademi Tessera. Inna yakin sekali nama Luna ada kaitannya dengan akademi daripada dengan Avrora yang sama sekali tidak jelas. Di laptop itu menampilkan banyak orang dengan nama Luna. Memakan waktu yang lama untuk mencaritahu siapa Luna yang didengar Inna, tetapi ada satu nama yang menarik perhatian Inna.

“Luna Mermaid,”

Inna ketik kembali nama Luna Mermaid dan ada banyak daftar riwayat hidupnya hingga kematiannya yang bermunculan. Ada satu artikel dari majalah jurnal akademi yang menampilkan berita utama mengenai Luna.

“Siswi Akademi Tessera berhasil melindung Peri Putri Duyung,” kata Inna membaca judulnya. Di berita itu tidak hanya memberitakan kabar gembira, melainkan juga kabar sedih. Di hari yang sama ketika Luna Mermaid menyelamatkan Peri Putri Duyung, dia meninggal dunia.

Inna menyentuh lehernya tidak nyaman. Suara yang sebelumnya ia dengar benar-benar seperti suara air. Dan Inna yakin sekali Luna yang dimaksudkan suara itu adalah Luna Mermaid. Luna juga berasal dari asrama 'Alam' air, jadi kemungkinan dialah orang yang disebutkan.

Inna mematikan laptopnya dan segera membaringkan badannya ke kasur putih. Memaksa matanya untuk tidur.

....o.O.W.O.o....

Ketika matahari menjadi sangat panas di luar sana, Inna membaca beberapa buku di perpustakaan utama akademi. Buku-buku itu hampir menutupi Inna dari depan dan terlihat sekali bahwa Inna baru membaca setengah dari mereka.

Sejujurnya Inna merasa belum puas dengan informasi yang dia dapatkan. Inna selesai membaca buku itu dan bersandar sebentar karena lelah. Inna kembali melihat buku hologram dan buku tua di depannya dengan tatapan kesal. Sebenarnya Inna bisa saja mencari dengan teliti di internet, tetapi kebanyakan informasi yang terlihat penting itu tidak dapat diakses dan hanya memberikan nama dan pengarang buku saja.

Di sinilah Inna, di perpustakaan yang cukup sepi karena murid-murid lainnya dapat mengakses internet dengan leluasa, sedangkan dia harus mencarinya di buku.

Sebenarnya Inna sedang mencari tentang Peri Putri Duyung. Di buku menyatakan Peri Putri Duyung terletak di Danau Warna dan Inna tahu jika Peri Putri Duyung pastinya makhluk yang sangat langka. Makhluk langka pastinya memiliki nilai jual yang mahal.

Sepertinya inilah motif utama Sir Carlos untuk mencuri hampir setengah populasi Peri Putri Duyung. Seorang kapten yang tidak diketahui asal usulnya, Sir Carlos, mendaratkan kapalnya dan mendeklarasikan perang dengan kerajaan. Laki-laki yang berhasil mewujudkan keinginannya itu adalah laki-laki yang sama yang dikalahkan oleh Luna Mermaid.

Inna pernah mendengar cerita ini dari ayahnya. Sayangnya Inna sama sekali tidak tertarik karena Inna tahu jika ayahnya sengaja menceritakan hal itu agar dia tertarik masuk akademi.

Inna berdiri dari kursinya dan segera merapikan buku-buku itu. Tiba-tiba seorang hologram muncul di samping Inna. Hologram yang berpostur wanita tua itu tersenyum kepada Inna. Inna membalas senyuman itu dengan raut muka terkejut. Seberapa pun Inna mencoba beradaptasi di akademi, tetap saja hologram-hologram itu terus membuat Inna merasa tidak nyaman. Sebenarnya hologram manusia sudah sering digunakan di beberapa sekolah dan perusahaan. Penggunaan hologram tidaklah sembarangan. Wujud empat dimensi itu digunakan kerajaan untuk mengawasi beberapa lokasi yang penting. Di Kerajaan Timur, beberapa sekolah dan perusahaan diwajibkan memiliki hologram.

Hologram itu melihat Inna dengan tatapan datarnya. Rasanya Inna seperti ketahuan mencuri sesuatu walaupun itu tidak benar adanya. Hologram itu melihat buku-buku yang sempat Inna ambil dengan teliti. Kalau Inna menebak, sepertinya hologram itu sedang memindai buku yang sedang Inna baca. Hologram itu kemudian tersenyum ke Inna dan menyentuh bahu Inna sebelum bertanya. “Apakah kamu pernah ke Danau Warna?”

Inna menggelengkan kepala dan merinding karena hologram itu bisa menyentuhnya. Teknologi ini sudah sangat luar biasa.

Hologram itu melepaskan sentuhannya. Inna sebenarnya merasakan ada keanehan dengan negaranya. Kerajaan Timur terkenal sebagai negara tertutup. Tidak ada yang tahu mengenai sejarah Kerajaan Timur. Ketika ada saja orang yang mencaritahu, maka kerajaan dan pemerintah seolah-olah memberikan jalan berbatu. Hologram itu mengambil buku yang Inna baca dan menaruhkannya kembali ke tempat asal. Walaupun wanita tua itu hanyalah hologram, Inna tetap merasa tidak enak hati melihatnya mengembalikan buku-buku itu dengan tangan keriputnya. Inna pun antusias membantu mengembalikan buku-buku itu.

Inna melihat meja yang sebelumnya bertumpukan oleh buku kini bersih dan menyisahkan sedikit debu. Hologram itu berjalan menjauhi Inna. Inna melihat hologram itu dengan tatapan aneh. Dihiraukan Inna dan berjalan keluar perpustakaan.

Kaki Inna berhenti bergerak ketika ia kembali mendengar suara.

Suara air yang sama.

Kali ini tidak menyebutkan nama Luna. Hanya bisikan saja dan suara itu berasal dari arah hologram itu pergi. Inna berjalan ke arah hologram itu dan suara air semakin terdengar jelas.

Inna berhenti di sebuah lemari kaca yang di dalamnya terdapat beberapa buku-buku tua. Inna memberanikan diri membuka lemari itu. Tangannya mengambil salah satu buku yang cukup besar dengan gambar bunga teratai di tengahnya. Tiba-tiba Inna merasakan seseorang menyentuh bahunya. Inna menoleh ke belakang dan menemukan hologram yang sama itu mendapatkan Inna sedang memegang buku yang barusan diambil.

“Kamu harus tanda tangan dulu sebelum meminjamnya,” kata hologram itu yang terdengar sangat berbeda. Kaku dan dingin. Inna mengangguk dan mengikuti hologram itu ke meja resepsionis. Inna mengucapkan terima kasih dan pergi dari sana.

....o.O.W.O.o....

Kamar itu selalu saja dihiasi dengan vas putih yang berisikan bunga mawar biru. Cahaya matahari yang menerangi ruangan itu berasal dari jendela. Angin musim semi menari bersama gorden putih. Beberapa tumbuhan menghiasi pintu.

Pemilik kamar itu adalah Primrose. Di tangannya memegang beberapa kertas-kertas. Digenggamnya kertas itu dengan kuat, sepertinya Primrose sedang marah.

Pintu itu terbuka dan seorang laki-laki datang bersama minuman di tangannya. Dipanggilnya nama pemilik kamar itu. “Prim,”

Primrose menoleh ke kakaknya, Villian.

“Cobalah bersantai sedikit, Glenda tidak akan suka melihatmu seperti ini,” kata Villian yang melihat adiknya memasang raut muka marah. Primrose tidak bereaksi terkejut ketika nama depan ibunya dipanggil oleh Villian.

Villain memberikan minuman kepada Primrose dan diterimanya. “Terima kasih,”

Arah mata Villian melihat ke kertas-kertas itu dengan curiga. Villain tidak ingin bertanya kepada Primrose karena sepertinya Primrose juga tidak akan menjawabnya.

“Aku harus pergi,” kata Primrose keluar dari kamarnya bersama kertas-kertas itu.

Villian tidak berkata apa-apa dan tidak menyahut perkataan Primrose. Dia masih di sana sambil melihat bunga mawar biru itu yang mulai menjatuhkan kelopaknya.

....o.O.W.O.o....

Mata Inna membaca buku yang baru saja ia dapatkan. Inna berada di atas atap akademi sambil merasakan hembusan angin. Membaca adalah hobi yang sangat disukai Inna. Jiwanya yang haus dengan apa yang tertulis di sana tidak dapat membuat Inna menyadari bahwa seseorang berada di belakangnya.

“Innadellona, kan?” tanya suara berat yang berasal dari belakang Inna. Inna hampir saja terloncat dari tempat duduknya.

Inna melihat Ben yang kini berada di sampingnya. “Sejak kapan kamu di sini?” tanya Inna sambil berdiri dan berusaha menjauhi Ben.

“Ah, benar, kamu sahabatnya Rey,” kata Ben. Ben kemudian duduk dan berkata, “Dari tadi aku sudah di sini,”

Inna kembali duduk bersebelahan dengan Ben. Mata Ben tertarik dengan buku yang dipegang Inna. Inna memegang buku itu dengan erat, tanda bahwa Inna menyadari tatapan Ben. Ben tersenyum kepada Inna. “Aku sudah berbicara dengan Yhogi dan memberitahunya kamu adalah Avrora baru,” katanya.

“Tahu darimana aku Avrora?” tanya Inna. Ben tidak tersenyum dan kini memandang langit biru sebagai lawan bicaranya.

“Yhogi sendiri yang bilang,” kata Ben.

Inna menatap Ben dengan bingung. Yhogi lagi? Siapa laki-laki itu?

“Aku yakin sekali Rey sudah memberitahumu mengenai Avrora,” kata Ben lagi. Inna menjawab dengan anggukkan yang tentu saja Ben tidak akan tahu. Ben kini melihat ke arah Inna dengan tatapan seriusnya. “Kalau begitu kita harus menemukan Avrora lainnya,” lanjut Ben.

Inna membalas Ben dengan tatapan meremehkan. “Kamu yakin? Karena aku tidak peduli dengan Avrora,” kata Inna. Ben melihat Inna dengan tatapan kesal.

“Tetapi kamu peduli dengan Luna, kan?” tanya Ben dengan nada suara yang serius. Inna membalas tatapan kesal Ben dengan raut muka terkejut. Ben tahu mengenai Luna?

Ben cepat-cepat mengatakan sesuatu sebelum Inna bertanya lagi kepadanya. “Ayo berkerja sama Inna,” Ben terlihat memelas.

“Berkerja sama?” tanya Inna.

“Bantu kami menemukan Avrora lainnya, sebagai balasannya kami akan memberitahumu semua hal mengenai Luna dan suara-suara air itu,” kata Ben.

Inna mendekatkan diri ke arah Ben dengan tatapan kesal. “Kami?” tanyanya.

“Sebenarnya ini permintaan dari Yhogi,” jawab Ben risih. “Kamu harus ikut Pertandingan Tessera Clocear bersama aku, Yhogi, dan... Rey,” lanjut Ben.

Inna mengalihkan pandangannya ke arah lain. Pertandingan yang sangat terkenal di Akademi Tessera, Tessera Clocear. Pertandingan yang diselenggarakan empat tahun sekali. Berarti tahun ini pertandingan itu akan diadakan. Pertandingan yang melibatkan setiap pergantian musim. Pemenangnya akan memiliki pintu hijau menuju prajurit khusus yang bertugas melindungi keluarga kerajaan.

“Kita masih kelas satu. Bukannya ini terlalu cepat? Kelas malam saja belum mulai,” kata Inna untuk memastikan bahwa pertandingan Tessera Clocear bukanlah main-main. Inna tidak mau membahayakan dirinya untuk mencari Avrora yang tidak jelas.

“Informasi saja untukmu, kamu ingin mencaritahu lokasi Farre Houses, kan?” tanya Ben.

Inna membelalakkan matanya ketika Ben menyebut Farre Houses atau sebutan lain dari Danau Warna. Tahu darimana Ben mengenai itu? Inna saja baru tahu dari buku ini. “Kamu tahu darimana?” tanya Inna.

“Yhogi.” Balas Ben.

Dia lagi?

“Tentu saja.” Kata Inna dengan senyuman palsu.

....o.O.W.O.o....

Hiasan yang terbuat dari perak di meja kepala sekolah menjadi objek yang bisa mengalihkan pandangan dari remaja muda di depannya. Yhogi berada di ruang kepala sekolah dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak membuat Glenda Moonlight tidak bisa membaca apa yang dipikirkan pemuda itu.

Moonlight memberikan satu data mahasiswa kepada Yhogi dan diterimanya. “Kamu kenal dia?” tanya kepala sekolah itu.

Glenda Moonlight berjalan ke arah deretan piala sekolah yang berhasil membuat Yhogi melirik ke arahnya sebentar dan kembali memasang wajah kaku nan serius. “Ya,” jawab Yhogi.

“Sebenarnya aku meminta Primrose untuk menemuinya, ternyata dia lebih susah dari yang kukira,” kata Moonlight. “Kamu mau menggantikannya?” lanjutnya bertanya kepada Yhogi.

“Tentu saja.” Jawab Yhogi. Glenda Moonlight mempersilahkan Yhogi keluar.

Yhogi segera keluar dari ruangan tersebut tanpa melirik kepada kepala sekolah dan menutup pintu dengan pelan, berusaha terlihat setenang mungkin. Dia berjalan menuju lift dan segera menelepon Ben.

“Halo,” tanya Ben dari sana.

“Ben, apakah kamu bisa mencari anggota yang lainnya untuk pertandingan nanti?” tanya Yhogi langsung ke pokok pembicaraan.

“Kenapa? Maksudku sih bisa, tetapi kenapa?” tanya Ben dengan nada terheran.

“Aku sedang ada urusan,” jawab Yhogi yang tidak ingin terlalu terbuka.

“Kamu ada saran anggota seperti apa yang harus kucari?”tanya Ben.

Yhogi menjawab dengan asal sebelum menutup teleponnya. “Cari 'Alam' api.”

Yhogi sedikit kesal karena rencananya untuk mencari Avrora di pertandingan nanti menjadi sedikit kacau, tetapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang memberitahunya bahwa Avrora yang lain akan segera ditemuinya nanti.

....o.O.W.O.o....

Ben menggerutu di Hp-nya yang sudah mati. Inna melihat Ben sambil menaikkan alisnya. “Aku penasaran bagaimana bisa kamu mengenal Yhogi? Dia kelas tiga, kan?” tanya Inna.

Ben melihat ke arah Inna ketika selesai memasukan Hp-nya ke dalam kantong celananya.

“Waktu acara mulut bebek kepala sekolah, Yhogi menjadi pengawas rombonganku,” jawab Ben. Ben segera berdiri dan berpamitan kepada Inna. "Kalau begitu aku harus pergi dulu, Yhogi menyuruhku untuk mencari anggota keempat kita,"

Inna yang mendengar itu merasakan hatinya sedikit senang. “Yhogi tidak ikut?” tanya Inna berharap.

“Tahu darimana?” tanya Ben.

Inna tidak menjawab pertanyaan Ben dan justru berkata. “Aku bantu cari, boleh?” tanya Inna.

“Boleh sih. Yhogi bilang kita membutuhkan anggota yang memiliki 'Alam' api.” Kata Ben yang terheran kenapa Inna bisa senang seperti ini. Inna mengangguk paham, kemudian mereka berdua kembali ke asrama mereka masing-masing.

....o.O.W.O.o....

Besoknya ketika jam makan siang, Inna tidak bertemu dengan Rey karena dia harus menemui guru. Inna bukan tipe penyendiri yang selalu menyendiri, tetapi dia memang tidak bisa bergaul dengan orang lain. Bisa dibilang Inna berhati-hati mencari teman.

Di sana, Inna duduk di pojok sendirian. Inna memilih membaca buku, sayangnya dia tidak bisa konsentrasi membaca. Inna lirik ke arah meja di sampingnya yang berisikan gadis-gadis pesolek. Inna melihat arah mata gadis-gadis itu yang sedang melihat Noah Dracred. Gadis-gadis itu saling berbisik satu sama lain, cekikikan, dan bertukar pandang sama sesamanya.

Inna beralih melihat Noah yang sedang makan sendirian. Tidak sadar menjadi pusat perhatian. Noah sesekali melihat sekitarnya dan kembali lanjut makan.

Sesuatu yang membuat Inna terheran adalah kenapa Noah terkesan sangat susah didekati. Inna kenal sekali dengan keluarga Dracred, salah satu dari lima keluarga bangsawan. Seharusnya dengan marga seperti itu akan ada banyak orang yang mau berkenalan dengan Noah. Atau mungkin justru sebaliknya.

Merasa tidak ada gunanya memikirkan Noah, Inna melanjutkan makannya. Baru saja Inna mau makan, tiba-tiba terdengar suara bantingan tepat di arah meja Noah.

Di meja Noah kini dipenuhi oleh senior kelas dua. Kedatangan senior itu merupakan sesuatu yang mengejutkan karena sekarang adalah jam istirahat siswa kelas satu.

Salah satu senior bermata biru sedingin es memandang Noah. Noah membalas senior itu dengan tatapan yang sama. Sepertinya terjadi sesuatu saat Inna tidak memperhatikan mereka. Inna penasaran apa yang akan terjadi nantinya. Beberapa murid lainnya juga berpikiran sama dengan Inna. Mereka semua memandang kedua laki-laki itu, tetapi Inna menjadi sedikit tidak nyaman karena kantin semakin ramai.

Inna melihat ke kiri dan kanannya, mencari Helper yang bisa menghentikan mereka. Nihil. Tidak ada satupun Helper di sini. Tidak biasanya Helper tidak muncul di saat seperti ini. Inna pun segera pergi dari kantin. Suara ribut dari seluruh siswa membuat Inna menghentikan langkahnya. Inna melihat kejadian dimana Noah dan senior itu saling menyerang satu sama lain.

Senior itu dengan esnya menyerang Noah tanpa memberi Noah celah untuk menyerang balik. Inna yang melihat adegan itu menghentikan niat awalnya untuk kembali ke kelas. Inna sadar jika gerakkan Noah sedikit aneh. Noah bukannya tidak dapat mengeluarkan 'Alam'nya, tetapi dia tidak mau menggunakannya.

Kedua laki-laki itu saling menghajar satu sama lain walaupun hanya senior itu saja yang kerap kali menggunakan 'Alam'nya. Senior itu mengeluarkan ribuan pisau es dan Noah sudah siap dengan perisai apinya. Pertarungan itu berhenti tepat ketika Henna Winter datang bersama Helper di belakangnya.

Pintu yang dibanting dengan kasar itu menampilkan sosok wanita dengan tatapan dinginnya. “Aku suka cara kalian menyambutku,” kata Henna Winter. Wanita itu melihat sekitarnya dimana tempat itu sudah kacau dengan serangan-serangan mereka. Bukan. Lebih tepatnya oleh laki-laki es itu. “Siapa nama kalian berdua?” tanya Winter.

Senior itu melihat ke arah Noah sebentar sebelum menjawab. “Sand Spike.”

“Noah Dracred.” Balas Noah.

“Kalian berdua bersihkan kekacauan ini tanpa bantuan siapa pun,” kata Winter dengan nada tenangnya. Para Helper yang berada di belakang Winter tidak melakukan apa-apa. Mereka justru melihat para kerumunan murid-murid. Ketika menyadari itu, semua murid berlari kembali ke kelas mereka.

Inna masih tetap di tempat karena ia sangat penasaran kenapa kedua laki-laki itu melakukan hal yang sangat dilarang di akademi.

Henna Winter melihat senior itu. “Sand Spike, khusus untukmu setelah selesai membersihkan tempat ini segera menemui wakil kepala sekolah,” kata Winter.

“Kenapa?” tanya senior itu tidak terima.

Winter tetap dengan nadanya yang tenang menjawab. “Dari kalian berdua, sepertinya hanya Anda sendiri yang berniat menghancurkan tempat ini.”

Henna Winter akhirnya pergi dari kantin itu. Winter sempat melihat ke arah Inna, tetapi dianggapnya sebagai angin. Helper yang di sana juga memandang Inna seolah memintanya untuk pergi. Inna akhirnya pergi dari sana daripada mencari masalah.

Inna tahu sekali bahwa Noah sama sekali tidak serius melawan senior itu. Harus Inna akui jika Noah memiliki pertahanan yang bagus. Ketika Inna keluar dari kantin, dia tidak sengaja bertemu dengan Ben dan sepertinya dia juga sempat menonton perkelahian tadi. Dan Inna bisa menebak apa yang dipikirkan Ben saat ini.

....o.O.W.O.o....

Noah tidak menyangka hukumannya akan memakan waktu hingga malam. Dia langsung saja menuju kasurnya dan beristirahat. Belum lama matanya terpejam, Noah terbangun dari kasurnya. Dia merasakan tubuhnya sangat panas.

Noah segera membuka jendela kamarnya karena merasa pendingin ruangan sama sekali tidak membantunya. Noah berkeringat akibat hawa panas yang ia rasakan. Tiba-tiba dia merasa perih. Ada sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Noah bisa melihat sinar oranye terpancar dari belakang punggungnya. Noah cepat-cepat melihat dirinya di cermin dan membuka bajunya. Di sana dia melihat punggungnya kini terukir gambar api dan hewan Phoenix.

Kini Noah susah bernafas dan membiarkan dirinya tertidur di lantai. Matanya masih mencoba untuk terbuka sayangnya dia tidak bisa. Terakhir yang Noah ingat adalah salah satu kelopak bunga mawar biru jatuh di hadapannya sebelum dia benar-benar telah memasuki dunia mimpi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!