Dengan perasaan pasrah Areta berjalan menyusuri tangga putar bercat coklat tersebut, ia pasrah jika Kian akan melakukan hal yang tidak pantas itu lagi. Wajah Areta yang lebam berusaha ia tutupi dengan rambut panjang hitam lurusnya, sebagai upaya agar Kian tidak mempertanyakan dari mana luka itu berasal.
Perlahan Areta membuka pintu dengan hati-hari ia mengintip sejenak untuk melihat sang empunya rumah sedang melakukan apa.
Ia melihat Kian sedang duduk santai dengan kimono handuk berwana hitam memegang beberapa kertas, di atas meja terletak secangkir kopi dan cerutu berwarna coklat seolah sebagai penghias meja.
Mata Kian menangkap kedatangan Areta, namun ia hanya melihat sepintas, setelah itu kembali memperhatikan kertas-kertas yang ada di hadapannya.
"Masuklah!" Kian berkata tanpa menatap Areta yang nampak masih ketakutan.
Gadis itu masuk dengan hati-hati dan berdiri di hadapan Kian.
"Sebentar, aku sedang sibuk dengan beberapa masalah remeh di pusat perbelanjaanku, rasanya aku ingin menjualnya saja, karena cukup menyita waktuku."
Areta bingung, kenapa Kian menceritakan masalah pekerjaannya kepada dirinya. Mereka baru saja saling kenal, di pertemuan pertama itu pula yang membuat Areta menjadi benci kepada laki-laki ini. Namun Areta hanya diam tidak menjawab perkataan Kian.
Laki-laki itu meletakkan berkas dan pulpen di atas meja, kemudian ia berdiri dan melepaskan tali pengikat kimono handuknya. Karena terkejut, Areta menutup matanya dengan kedua tangannya.
"Mengapa kau malu? Bukankah kau telah melihat semua yang ada pada diriku?" ujar Kian, menatap datar wajah Areta.
"Cepat mandikan aku!" perintahnya lagi, sembari berjalan ke kamar mandi.
Areta terpaku menatap tubuh polos Kian yang tanpa sehalai benang yang menempel di kulitnya yang halus.
Dengan langkah ragu Areta berjalan mengekor di belakang Kian yang berjalan dengan tegap dan mendongakkan kepala.
Kian berdiri tepat di bawah shower, air hangat keluar dari sana, uapnya menguar hingga memenuhi kamar mandi.
"Sabuni aku!" perintahnya dengan nada datar.
Areta pasrah menerima hal demikian, ia tidak punya pilihan lain, toh akhirnya dia akan pergi dari sini siang ini. Jadi anggap saja ini kenang-kenangan untuk Kian.
Tiba-tiba saat tubuh Kian penuh dengan busa sabun, Kian menarik pinggang Areta, dengan satu tangan sementara tangan yang lain tampak berkacak pinggang.
Kian memandang tajam mata Areta seolah ingin mengitimidasi gadis itu dengan manik mata coklatnya. Ia menggoyangkan kepala kekanan dan kekiri menciptakan cipratan air yang keluar dari rambutnya hingga mengenai wajah Areta, baju Areta juga basah kuyup sehingga menampilkan lekuk tubuh bak biola tak berdawai.
Hal itu membuat Areta malu dan secara sadar ia menutup bagian sensitifnya dengan tangan sebisanya.
"Apa yang kau tutupi dariku, Areta?"
Areta hanya menunduk membisu tidak menjawab pertanyaan Kian. Pria itu tampak gusar karena seolah Areta tidak menginginkan berada di dekatnya. Padahal ia sudah bersikap baik dengan gadis ini.
"Mengapa kau enggan menjawab pertanyaanku? Apakah mulutmu bisu? Kian mendongakkan kepala Areta dengan mengangkat dagunya dengan tangan.
Luka lebam terlihat jelas di sudut kiri bibir Areta, pelipisnya juga tampak membiru, dengan cermat Kian mencari luka yang ada di bagian lain, lengan dan kaki Areta juga tampak merah. Membuat Kian tidak nyaman.
"Kenapa tubuhmu lebam-lebam?" tanya Kian, tegas. "Coba kataka padaku, siapa yang telah menghajarmu?"
"Ti-tidak tuan, a-ku terpeleset, tadi–"
Jawaban Areta tampak gugup dan ketakutan, seolah ia sedang menyembunyikan sesuatu hal.
"Jawab! Siapa yang melakukannya padamu?!" tanyanya lagi.
Areta hanya menggeleng lemah, ia benar-benar takut membuka mulutnya karena ancaman dari Silda.
Kian mematikan kran air, lalu mengambil handuk untuk dirinya dan Areta.
"Lepaskan bajumu, pakai ini. Sebentar lagi akan ada yang mengantarkan baju bersih untukmu!"
Areta menuruti perkataan Kian dengan melepas pakaian ketika Kian telah keluar dari kamar mandi itu. Dia mengikat kimono handuk yang tampak kebesaran karena itu adalah milik Kian.
Dengan pelan ia keluar, matanya langsung tertuju kepada Kian yang telah duduk di pinggir ranjang besarnya.
"Kemarilah! Aku akan mengobati luka-lukamu," ucap Kian dengan sedikit lembut.
Areta menghampirinya dengan perasaan cemas, ia takut jika kejadian semalam terulang kembali. Ketika Kian merenggut mahkota yang ia jaga sepanjang hidupnya.
"Duduk!"
Kian mengobati luka Areta dengan sangat hati-hati, hal itu membuat jantung Areta seolah berhenti berdetak, hingga ia harus menahan napas karena itu.
"Katakan padaku siapa yang melakukan ini kepadamu?"
Mulut Areta seketika terkunci, ia tidak berani mengumbar siapa yang telah menganiaya dirinya.
"Kau berada di bawah perlindunganku, kau tidak perlu takut memberi tahu akan semua yang telah menimpamu di sini. nyawamu ada di tanganku," ungkap Kian dengan tangan masih sibuk menekan-nekan wajah Areta.
Areta memejamkan mata ketika Kian menghembukan napasnya dan menyapu wajah Areta.
"Wangi mint, ya ... ini wangi mint, padahal ia baru saja menghisap cerutu, tapi kenapa tidak ada bau nikotin yang teresidu oleh bau mulutnya," gumam Areta.
"Sudah selesai, kau tetap di sini! Menunggu baju bersihmu datang. Aku akan berganti baju sendiri."
Tak perlu menunggu waktu lama selang beberapa menit, seseorang mengetuk pintu kamar Kian.
"Masuk!" perintah Kian dengan nada suara dingin, berbeda sekali saat ia berbicara kepada Areta.
"Boss ... ini pakaian nona Areta," ucap pelayan tersebut melirik ke arah Areta yang duduk mematung di tepian tempat tidur.
"Berikan padanya!"
"Baik."
Dress cantik berwarna navy sangat cocok untuk kulit Areta yang putih tanpa noda, namun sayang di beberapa bagian tubuh gadis itu terlihat luka lebam.
Saat mata Kian menyambar visual Areta yang begitu cantik, tanpa sadar ia berucap lirih, "Indah." Saking kecilnya suara Kian sampai-sampai Areta tidak bisa mendengar suara Kian tersebut.
"Sudah siap? Ayo sarapan bersamaku!"
Kian berjalan dengan tegap, pria itu tampak gagah dengan stelan tiga potong berwarna navy dan kemeja putih sebagai dalamannya namun tanpa dasi sebagai pemanis. Mereka terlihat seperti pasangan karena memakai pakaian dengan warna yang sama.
Irene telah menunggu mereka, matanya tertuju kepada Areta yang berjalan mengekor di belakang Kian.
"Silda!" panggil Kian, wanita itu langsung berlari ke arah bossnya dengan secepat kilat.
"Saya boss."
"Kau tahu siapa yang membuat tubuh Areta seperti ini?" tanya Kian, mengeluarkan hawa pembunuh yang sangat menakutkan.
"Ti-tidak boss–" jawabnya gugup.
"Cari tahu, jika tertangkap. Lemparkan dia ke aquariun hiu yang ada di belakang!"
"Ba-baik Boss–"
Kian berjalan kembali menuju meja makan, ia duduk di sebelah Irene. Sementara Areta hanya berdiri di belakang Kian yang sudah duduk.
"Mengapa kau berdiri?" tanya Kian mengkerutkan kening menatap wajah Areta.
Dengan cekatan Areta langsung menyambar kursi lalu duduk dengan tenang.
"Kau sepertinya sangat memperhatikan Areta, 'ya?"
"Tentu ... karena ia adalah peliharaanku," jawab Kian seenaknya.
"Peliharaan!" gumam Areta, tanganya mengepal penuh kebencian, seumur hidupnya ia tidak pernah diperlakukan seperti ini.
•
•
•
Bersambung
Jangan lupa Like, Komen dan Vote, 'ya 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Gendhuk sri
emang gk ada cctv secara orkay
2022-11-13
1
Dede
jujur sj areta sm kian kl yg memukul km itu silda. biar dia di lmpar ke dlm kolam yg ada ikan hiu. biar mampus
2022-08-24
0
Winsulistyowati
Asiik Bos..Critanya..👍🖐️💪
2022-03-22
0