[EPS. 4]

"Jadi, Bibi Ino adalah Pengamat di Institut Penelitian Fisik dan Kimia...?---Tunggu. Aku seperti pernah mendengar dan melihat tempat itu,?" setelah aku mencoba untuk mengingatnya, kepalaku tiba-tiba kembali terasa sakit.

"Ahkk.. Kepalaku..."

Aku pun berusaha menahan rasa sakit itu hingga membuatku terkapar lemas di ranjang. Mungkin, setelah aku tidur, rasa sakit ini akan berkurang.

.

.

*keesokan harinya*

"Hoam~ sudah jam berapa ini?" tanganku berusaha menggapai sebuah ponsel yang berada di atas meja.

07.15 JST

Kepalaku terasa masih sakit meski, aku sudah kelebihan jam bangunku dari yang biasa. Aku pun bergegas menuju kamar mandi.

#SKIP➡

Kartu milik Bibi Ino masih kutaruh di atas meja. Untuk sekarang, aku akan membawanya dulu. Mungkin setelah bekerja, aku akan mengembalikannya ke rumahnya.

...--RAI POV END--...

.

.

^^^At The University Of Tokyo Hospital ||^^^

#SKIP TIME➡

07.45 JST

Untuk kedua kalinya Rai melangkahkan kakinya di rumah sakit. Dan ini juga pertamanya Rai bekerja di sana.

Rai menghela napasnya. "Ya. Semangat!" gumamnya menyemangati dirinya sendiri.

Berniat untuk mengembalikan kartu identitas milik Bibinya ke rumahnya, secara kebetulan Rai bertemu dengan Ny. Ino di rumah sakit.

"Bibi!" seru Rai.

"Un---O. Ryuzaki-kun," ucap Ny. Ino sembari membalikkan tubuhnya.

"Bibi, bukankah ini milikmu?" Rai pun menunjukkan kartu pengenal milik Ny. Ino. Ekspresi Ny. Ino tampak terkejut saat Rai menunjukkan kartu tersebut kepadanya.

"A... Iya, itu milikku." ucap Ny. Ino sembari mengambil kartu identitas tersebut dengan cepat. "Terima kasih banyak," ucapnya sembari tersenyum.

"N.. Tadinya aku ingin mengembalikannya ke rumahmu nanti. Tapi, aku malah bertemu dengan mu di sini" perhatian Rai pun langsung teralihkan kepada secarik kertas yang dipegang oleh Ny. Ino. "Bibi sedang apa di sini? Memeriksakan kondisi kesehatan?"

"Kau juga.. Sedang apa di sini?" tanya Ny. Ino yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Aku bekerja di sini,"

"Sungguh?"

"Tentu saja, Bibi."

"Lalu.. Jas dokter-mu mana? Apakah kau sengaja tidak memakainya?" tanya Ny. Ino yang baru sadar jika Rai tidak memakai jas putihnya itu.

Rai memandangi dirinya sendiri. "Astaga...! Aku lupa mengambilnya kemarin. Atau mungkin tertinggal ya...?" ucapnya panik. "Maaf, Bibi. Aku harus pergi. Sampai jumpa lagi" ia pun pergi.

"Un. Sampai jumpa" ucap Ny. Ino sembari melambaikan tangannya kepada Rai. "Aku tak habis pikir, jika kartu ini tertinggal di rumahnya---Arghh... Kenapa aku bisa lupa seperti ini,?! Mungkin Kuroto yang menularkan penyakit lupanya padaku." batinnya sembari menepuk keningnya. Ia pun memandangi secarik kertas yang sedari tadi berada di tangannya. "Ryuzaki, atau siapa pun tidak boleh tahu jika Hiroki itu mengidap Kepribadian Ganda. Jika mereka tahu... Bagaimana nasib Perusahaan Hitachi dan Hiroki Group?"

#LINE!

Ny. Ino pun mengambil ponselnya dari saku celananya.

...Incoming Massage...

...From: Mangetsu-sama...

...Cepat kerjakan tugasmu!...

Setelah mendapatkan pesan tersebut, Ny. Ino pun segera pergi dari rumah sakit.

...‹« T.G.V »›...

'NEW MEMBER INFORMATION ROOM'

Rai menghela napasnya lega. "Untungnya tertinggal di sini" gumamnya.

"Kau anggota baru di sini?"

Rai mendengus siapa pemilik dari suara itu.

"Ya." jawab Rai sembari menolehkan kepalanya pada sumber suara. Ternyata itu adalah seorang dokter pria yang berada di sampingnya.

"Magang?" Dokter itu kembali bertanya kepada Rai.

Rai menanggapinya dengan sebuah senyuman manis sembari menganggukkan kepalanya. "Ya."

"O. Aku baru saja selesai masa magangku. Jujur saja... Selama bermagang menjadi dokter bedah, ternyata merepotkan."

"E..?"

"Un. Apa lagi harus berurusan dengan dokter senior itu yang selalu tak henti mengawasi. Segala sesuatu yang kita lakukan jika tidak sesuai peraturan---A... Intinya... Kau sebaiknya hati-hati dengan dokter senior ya."

Rai mengangguk. "Baiklah."

"Semoga berhasil.!" Dokter itu pun pergi.

"Un. Terima kasih atas masukannya" ucap Rai sembari tersenyum. "Apakah seburuk itu?" gumamnya. Setelah mengambil jas dokternya, ia pun pergi meninggalkan ruangan tersebut.

#SKIP➡

Rai berjalan menyusuri loby yang begitu ramainya. Begitu juga tak jarang, ada perawat yang berlari karena panggilan darurat.

"Katsura Ryuzaki!" panggil seseorang dari belakang.

"Ya?" Rai menolehkan kepalanya, dan membalikkan tubuhnya. "Paman."

"Senang bertemu denganmu di sini. Selamat atas pekerjaan pertamamu." Tn. Kuroto pun mengulurkan tangannya kepada Rai untuk berjabat.

Rai tersenyum sembari membalas jabatan Tn. Kuroto. "Terima kasih"

"Rai. Aku membawa seorang dokter senior untuk membimbingmu."

Ekspresi wajah Rai seketika berubah menjadi datar ketika yang ia lihat ternyata adalah seorang pria ketus yang tidak sengaja ditabraknya kemarin. "Dia? Kenapa harus dirinya?!" batinnya sembari menatapnya datar.

"Seharusnya bukan dirinya. Karena dokter senior dari Department Penyakit Dalam tidak ada yang bisa aku bujuk untuk membimbingmu. Hanya dia saja yang bisa. Meskipun bukan dalam pakarnya, dia ini bisa dibilang ahli dalam teori juga, jadi dia mengetahui hal-hal umumnya."

"Lebih tepatnya paksaan. Bukanlah bujukan." batin pria bernama Hideyoshi itu sembari tersenyum. "Namaku adalah Takamura Hideyoshi. Aku adalah dokter bedah yang hebat. Senang aku bisa bertemu denganmu" pria itu mengulurkan tanggannya untuk berjabat dengan Rai.

Rai pun membalas jabatan dari pria itu sembari tersenyum kaku. "Senang bertemu denganmu juga, namaku Katsura Ryuzaki. Aku adalah keponakan dari Katsura Kuroto. Orang-orang (yang terdekat) biasa memanggilku Rai."

Tn. Kuroto memicingkan matanya. "Tidak perlu jelaskan se-detail itu," bisik pria paruh baya itu. "O ya. Ini adalah kartu identitas-mu sementara. Karena formulir aslimu belum ditandatangani oleh Direktur Department Penyakit Dalam" ucapnya sembari memberikan kartu identitas Rai. "Hideyoshi-sensei, aku serahkan dia kepadamu ya! Bimbing dia dengan baik" ucap Tn. Kuroto sembari menepuk bahu Hideyoshi. Ia pun pergi meninggalkan mereka berdua.

"E, Paman!"

Hideyoshi menyorot tajam mata Rai sembari bersedekap.

Rai menelan ludahnya sembari memandangi tatapan Hideyoshi.

"Sepertinya... Aku pernah bertemu denganmu, Dokter Magang---Sekarang, mari kita mulai!" Hideyoshi pun menarik kerah pakaian Rai bagian belakang.

Rai spontan berteriak yang membuat semua mata tertuju kepada mereka. "Tidak perlu ditarik seperti itu. Aku bisa jalan sendiri!"

Hideyoshi menyeringai. ia pun menggiring Rai menuju Ruang Praktik.

#SKIP➡

'TRAINING PRACTICE ROOM'

Setelah sampai, Hideyoshi pun melepaskan kerah pakaian Rai.

"Huh! Menyebalkan sekali!" gerutu Rai sembari membenarkan pakaiannya.

"Ehem.. Ehem..." Hideyoshi berdehem sembari mencoba terlihat sebagai seorang dokter profesional.

"Ruangan apa ini, Senior?" tanya Rai polos sembari memandang Hideyoshi.

"Ruang Praktik Pelatihan" jawab Hideyoshi.

"Un... Baiklah," Rai pun mencatatnya dalam sebuah aplikasi note book yang ada di ponselnya.

"Kau ini... Malah bermain ponsel ya!" ucap Hideyoshi sembari berkacak pinggang.

"Jangan salah paham! Aku hanya mencatat ucapanmu tadi. Karena bagiku itu penting. Aku juga lupa untuk membawa kertas"

"Dasar dia ini,! Ingatannya mungkin rendah, sehingga harus mencatatnya." gumam Hideyoshi sembari membuang wajahnya.

Mereka pun masuk ke Ruang Praktik Pelatihan. Yang mungkin, bagi Rai terasa tak asing lagi.

Hideyoshi pun berjalan menuju meja praktik. Ia memperlihatkan betapa banyaknya alat-alat yang digunakan untuk operasi. Ia mengambil salah satunya dan kemudian membalikkan tubuhnya.

Rai membelalakkan matanya. "Mau apa kau dengan alat itu?!" ia seketika terkejut ketika Hideyoshi tiba-tiba memegang sebilah pisau bedah.

"Apa?" Hideyoshi semakin mendekat ke arah Rai.

"Menjauhlahh!!!"

DUGH!

Rai membenturkan tubuhnya pada sebuah lemari yang berdominan putih.

"Kau ini kenapa sih?! Aku hanya ingin memberitahumu tentang alat ini." Hideyoshi menganalisa kelakuan Rai yang sepertinya ketakutan dengan pisau yang sedang ia pegang. Hideyoshi memutar malas bola matanya. "Ch! Ayolah! Bagaimana kau bisa menjadi seorang dokter jika dengan pisau saja kau takut,?"

Mendengar ucapan dari Hideyoshi, Rai yang merasa tak terima berusaha menyangkal. "E, aku tidak takut. Kukira, kau akan berbuat hal buruk kepadaku dengan pisau itu."

"Jangan berpikiran konyol!" ucap Hideyoshi sembari terkekeh. "Apa kau pikir, aku ini sekejam itu?!" ia meminta pendapat Rai sembari bersedekap.

"Un. Seorang pria yang mudah marah seperti dirimu memang layak dipandang seperti itu." jawab Rai sembari bersedekap.

Hideyoshi mendesis sembari bersedekap. "Kau ini... Baru saja bertemu, sudah bicara yang tidak-tidak tentang diriku. Untungnya kau adalah keponakan dari Kuroto-sama." ucapnya dengan nada yang sedikit pelan diakhir. Hideyoshi pun mengambilkan boneka manusia simulasi, lalu diletakkannya di ranjang. "Baiklah. Lihatlah ke mari! Dokter bedah yang hebat ini akan menunjukkan praktik simulasi pengobatan gawat darurat"

"Yang pertama, bersihkan dulu darahnya. Lalu selepas itu, beri ia pertolongan pertama dulu!"

*suara mencakar*

Ketika akan mendekati Hideyoshi, Rai mendengar sesuatu yang membuat perhatiannya terpancing. Suara itu berasal dari pojokkan sana.

"Se-Senior!" panggil Rai sembari menepuk-nepuk bahu Hideyoshi.

Karena merasa masih kesal dengan Rai, Hideyoshi berusaha tidak menggubrisnya. Ia masih fokus terhadap praktik simulasi.

"SENIOR!!!" Rai berteriak sembari memukul bahu Hideyoshi cukup keras. hingga membuat Hideyoshi akhirnya mau menanggapinya.

"Apa?! Kau tidak lihat aku sedang apa? Bukannya memperhatikan." ucap Hideyoshi sembari berkacak pinggang. Ia menatap Rai kesal.

"Lihat deh!" Rai memaksa kepala Hideyoshi untuk menoleh ke tempat yang berada kerangka manusia tersebut.

Hideyoshi melepaskan tangan Rai darinya. "Un. Kerangka... Lalu apa?" ia bersikap seolah tidak ada apa-apa.

*suara mencakar*

"Kau dengar suara itu 'kan?" tanya Rai.

Hideyoshi mengangguk sembari menolehkan kepalanya kepada Rai. "Periksa saja! Agar pasti." ia beralih ke belakang Rai.

"Kau yang menyuruh memeriksa, kenapa kau di belakangku?" tanya Rai heran sembari menolehkan kepalanya.

"Tidak perlu pentingkan hal itu! Cepat periksa!" Hideyoshi menepuk bahu Rai dengan keras.

Mereka memandang dengan penuh keseriusan. Rai sesekali menyuntuh kerangka manusia itu.

Tiba-tiba, tanpa disadari oleh mereka ada sesuatu yang menyenggol kerangka manusia itu hingga membuatnya terjatuh.

Sontak hal tersebut membuat mereka berdua yang sedang terpaku padanya pun terperanjat.

"AAA...!!!" Jerit Hideyoshi. Ia spontan berlari, memojokkan dirinya di samping lemari.

Jeritan Hideyoshi sampai-sampai terdengar keluar. Hingga mencuri perhatian seseorang.

"Adakah sesuatu yang terjadi di dalam sana?" tanya salah satu perawat wanita yang panik dengan keadaan di dalam.

CKLEK!

Setelah Perawat itu masuk, ia melihat Hideyoshi sedang memojok di samping lemari. Tingkahnya mirip seperti seseorang yang ketakutan dan tidak mau melihatnya. Sedangkan Rai hanya berkacak pinggang sembari memperhatikan terus kerangka manusia yang terjatuh tersebut.

"Tolong jangan apa-apa 'kan aku! Aku tidak mau berurusan dengan dirimu." gumam Hideyoshi dengan nada yang ketakutan dan hal itu masih bisa didengar.

Rai yang mendengar ucapan Hideyoshi pun langsung menoleh.

"Hideyoshi-sensei...?!"

Sang perawat dan juga Rai berusaha menahan tawanya masing-masing.

Hideyoshi pun tersadar bahwa sekarang tingkahnya sama seperti anak kecil. Ia pun bangkit sembari membalikkan tubuhnya.

*saling menatap*

"Meow~" seekor kucing pun keluar.

"A.. Ehem... Ehem." Hideyoshi berdehem gugup sembari membenarkan dasinya yang sebenarnya tidak perlu dibenarkan itu. "Kenapa bisa ada kucing di dalam sini?! Bawa dia pergi!"

"Un. Baiklah," Perawat itu pun menggendong kucing cokelat itu, lalu membawanya pergi keluar.

Rai menghela napasnya. "Ternyata, hanya kucing. Kukira apa." gumamnya

"Astaga! Apa yang barusan aku lakukan?!" guman Hideyoshi frustasi. "Reputasi-ku pasti akan hancur hanya karena seekor kucing! Dan tingkahku yang melenceng dari jati diriku." lanjutnya sembari memegang kepalanya.

"Senior, mari kita lanjutkan bimbingan ini!" ucap Rai. "Sudah... Jangan dikhawatirkan!" Ia menaruh tangannya di bahu Hideyoshi.

Hideyoshi menghela napasnya kasar. "Baiklah." ia pun kembali pada praktik simulasi.

Rai melihatnya fokus.

"Meskipun ini hanyalah simulasi. Tapi, perhatikanlah dengan baik! Ini juga berguna bagimu saat terjun langsung nanti."

"Baik."

"Sekarang cobalah! Dokter Bedah yang hebat ini ingin melihat potensimu."

"A-Aku...? Haruskah?"

Hideyoshi bersedekap. "Jika ada pasien di luar rumah sakit, dalam keadaan luka cukup parah... Dan kau juga berada di sana... Apakah kau tidak akan mengacuhkannya?!"

"Tentu saja aku akan menolongnya."

"Ya sudah, cobalah!" Hideyoshi memberikan gunting bedah dan pisau bedah. "Gunakan alat ini saja!"

Rai menuruti apa yang diperintahkan oleh Hideyoshi. Tangannya bergerak dengan lihai. "Se-Seperti ini?" tanyanya yang sedikit gugup.

"Un."

#SKIP➡

'EMERGENCY ROOM'

Hideyoshi kemudian mengajak Rai untuk berkeliling rumah sakit. Yang pertama, mereka menuju ke Ruang Unit Gawat Darurat terlebih dulu.

"Itu adalah Unit Gawat Darurat." ucap Hideyoshi sembari menujuk ke ruangan tersebut. "Aku tidak terlalu suka dengan tempat itu."

Rai kembali mencatat ucapan Hideyoshi. "... Hideyoshi-san... Tidak suka ditempatkan... Di Unit Gawat Darurat ..."

Hideyoshi kemudian lanjut menuju ke ruangan lainnya.

#SKIP➡

'APPRENTICE DOCTOR'S ROOM'

Mereka sampai di depan sebuah ruangan.

"Kuroto-sama bilang kepadaku.. Bahwa dari pihak Department belum menandatangani formulir aslimu 'kan,? Oleh sebab itu.. Ruanganmu sementara di sini ya. Bersama dokter magang umum"

"Baiklah"

"Ok. Kita lanjut..."

#SKIP➡

'OPERATING ROOM'

"Ini adalah Ruang Operasi. Bisa dibilang, di sini adalah tempat keseharianku. Karena sebagai dokter bedah yang hebat, sudah pastinya aku dipanggil setiap hari–Maksudku setiap saat."

Rai menganggukkan kepalanya sembari mencatatnya. "Sedari tadi dia menyematkan kata 'dokter bedah yang hebat' di setiap kalimatnya. Tidak ada yang lain apa?" batinnya.

Hideyoshi pun mengajak Rai ke lantai atas dengan menaiki elevator.

#SKIP➡

'CEO ROOM'

"Ini adalah Ruang CEO. Kau pasti sudah tahu bukan,?"

"Tentu saja, ini adalah ruangan Pamanku–Katsura Kuroto. Dia sangat baik dan pengertian. Dia memang pelupa. Tapi, dia selalu ingat akan tugas, dan tanggung jawabnya" ucap Rai dengan ponsel yang masih berada di tangannya.

"Hei! Bisakah kau tidak menjawab ucapanku dengan hal seperti itu?!"

Rai menatap malas Hideyoshi. "Jika ada yang bertanya, maka aku akan menjawab dengan jujur. Jika tidak, aku akan diam." pandangannya kembali pada ponselnya.

"Maksudku, kau hanya perhatikan dan amati saja, paham? Tak perlu kau jelaskan lebih mendetail."

"Iya.." jawab Rai kembali menatap malas Hideyoshi.

"Baiklah, kita lanjut,!"

#SKIP➡

'MANAGER OFFICE'

"Ini adalah Ruang Manajer. Yamada Toshiki."

Rai terdiam.

"Hei, Dokter Magang. Kenapa kau diam?!" sentak Hideyoshi.

"Kau bilang padaku untuk diam dan amati. Aku sedang mencobanya."

"Menjengkelkan sekali kau ini! Aku yakin, tak ada wanita yang mau dengan pria seperti dirimu."

Rai menghela napasnya. "Tapi, setidaknya aku ini tampan dan manis" ucapnya sembari tersenyum.

Hideyoshi memejamkan matanya sembari menahan amarahnya. "Jangan tanggapi dia Hideyoshi!" bisik batinnya. "Tambahan dariku adalah peraturan,..."

"...jangan main-main saat bekerja, utamakan profesionalitas,..."

Rai mencatatnya dengan cepat.

"...dan... Dilarang... Memainkan... Ponsel... Disaat... Bekerja! Kecuali darurat" Hideyoshi menekan ucapannya sembari menatap Rai intens. "O ya... sedari tadi, kulihat headphone ini berada di lehermu terus. Apa ini bekerja?" Hideyoshi pun mengambil headphone putihnya Rai tanpa meminta izinnya terlebih dulu.

"E-E..! Jangan ambil itu!"

"Kenapa memangnya?"

Rai mengambilnya headphone-nya kembali dengan cepat. "Tidak sopan sekali,! Ini penting bagiku kau tahu," gerutunya sembari memasangkannya kembali di leher.

"Tsk! Ya sudah. Bimbingan hari ini, selesai. Sisanya... kuserahkan kepada dirimu."

"Un. terima kasih banyak atas bimbinganmu hari ini." ucap Rai sembari membungkukkan tubuhnya.

"Selamat bekerja, Dokter Magang!"

#SKIP TIME➡

12.00 JST

"A... Sudah waktunya istirahat." gumam Hideyoshi sembari melihat arloji-nya. Ia kebetulan melihat Rai. Ia kemudian menghampirinya. "Dokter Magang!"

Rai menoleh ke belakangnya. "Senior," sahutnya dengan sebuah kapsul obat di kanannya.

"Kau sedang apa?" tanya Hideyoshi penasaran.

"Un,? Aku... A-Aku tidak sedang apa-apa," jawab Rai gugup. Ia memasukkan kapsul yang berada di tangannya ke sakunya.

"Ingat! Jangan macam-macam,! Sekarang sudah jam istirahat. Ikutlah denganku ke kantin!" ajak Hideyoshi. "Atau... Aku akan memotong habis rambutmu dengan Gunting Diseksi Tipe Mayo." ancamnya. ia menatap tajam Rai meyakinkan bahwa ucapannya seakan-akan benar. "Apa kau bisa membayangkan, jika... Hal itu sampai terjadi pada dirimu?"

"Dengan hantu saja takut, sok-sok-an ingin memotong rambutku sampai habis" sindir Rai dengan nada pelan sembari membuang wajahnya.

"Apa kau bilang?!"

"Baik-Baik..." akhirnya Rai pun menuruti kemauan Seniornya itu.

"O ya... Kau sudah mendapat tugas pemeriksaan? Berapa pasien yang kau tangani?" tanya Hideyoshi sembari melangkah.

"Belum." jawab Rai.

"Kenapa?"

"Ada yang tidak bisa kujelaskan,"

"Ck! O ya. Aku lupa untuk memberi tahumu beberapa peraturan lagi."

"Apa itu?" Rai menyiapkan ponselnya untuk kembali mencatat.

"Dilarang membantah jika diberi perintah, dokter dengan status magang diwajibkan memakai seragam, berperilakulah yang sopan kepada senior, maupun sebaliknya, tidak boleh melanggar aturan rumah sakit." tutur Hideyoshi. "Jika memiliki asisten tidak boleh---"

Tiba-tiba suara roda berjalan terdengar di telinga mereka.

"Sensei!!! Tolong dia!" seru seorang Perawat dengan rambut terikat yang datang dengan mendorong ranjang pasien bersama satu perawat lainnya.

"Apakah yang dia maksud itu kita?"

"Tentu saja."

"Aku 'kan masih magang dan dibimbing olehmu. Dan kau dokter bedah."

Hideyoshi melirik kepada Rai. "Lalu? Tunggu apa lagi? Cepatlah tangani!" ucapnya sembari pergi dari sisi Rai.

Rai pun menghampiri kedua perawat. "Kita bawa dia ke Unit Gawat Darurat!"

.

.

'EMERGENCY ROOM'

Ranjang pasien mulai dimasukkan ke ruangan. Rai dibantu oleh dua perawat wanita untuk menangani pasien.

"Ahkk... Dadaku sakit sekali... Ahkk!!!" sang pasien meringkup kesakitan. Napasnya terdengar mengi. "Uhuk.."

"Tenaglah! Kami akan berusaha."

Rai kemudian menelentangkan tubuh pasien secara perlahan, lalu menempelkan steteskopnya pada dada pasien.

"Minggir kau! Jangan mengambil tugasku di sini!" sela seorang dokter pria dengan kasarnya kepada Rai. Ia mengambil alih tugas Rai itu.

"Dia adalah dokter Hiroyuki Nagasaki" ucap sang perawat berambut pendek yang berada di samping Rai, pelan. Membuat Rai menoleh kepadanya. "Dokter yang bekerja di Department Gawat Darurat dan Department Penyakit Dalam bagian Obat Pernapasan. Dia itu memang selalu terlambat dengan alasan yang sama"

"Napasnya sesak." ucap sang dokter.

Mata Rai pun terpanah pada jari-jari sang pasien. "Kukunya berwarna biru," batinnya.

"Ambilkan aku obat hirup!" titah Tn. Hiroyuki.

"Baik." salah satu perawat itu kemudian mengambilkannya.

"Terima kasih" Tn. Hiroyuki pun memberikan alat pernapasan tersebut kepada pasien. "Tenangkan dirimu! Dan cobalah bernapas secara perlahan.!"

Sang pasien menuruti perintah sang dokter.

"Bagaimana? Sudah membaik?" tanya Tn. Hiroyuki.

"Sedikit," jawab sang pasien.

Rai menghela napasnya lega. "Syukurlah–O ya. Saya ingin menanyakan sesuatu. Apakah Tuan suka merokok?" tanyanya kompak dengan Tn. Hiroyuki.

Tn. Hiroyuki langsung menoleh kepada Rai.

"Memangnya kenapa jika aku merokok hah?!" sang pasien menyentak mereka berdua.

"Masalahnya, napas Anda terdengar mengi, dan dada Anda terasa sakit bukan? Batuk Anda juga berdahak" jelas Tn. Hiroyuki.

"Jadi maksud Sensei..?" sela salah satu perawat dengan rambut terikat.

"Dia mengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronis" ucap Rai.

"Hei-Hei.. Kau itu dokter magang baru 'kan? Jangan asal memberi diagnosis!" ucap Tn. Hiroyuki sembari berkacak pinggang.

"Aku tidak asal. Karena itu sudah jelas. Lihat saja! Kuku tangannya juga berwarna biru"

Setelah Rai memberi tahunya, Tn. Hiroyuki baru sadar jika kuku tangan pasien biru.

"Tapi, diagnosis belum bisa dipegang sepenuhnya. Kita harus melakukan spiometri terlebih dulu, memeriksakan sampel darah dan dahak, juga CT-scan untuk melihat gambaran paru-paru secara lebih detail"

"Ck! Seharusnya aku yang memutuskan tindakan seperti itu. Bukannya dirimu yang berstatus sebagai 'dokter magang'. Dan dari mana kau tahu harus spiometri?" ucap Tn. Hiroyuki masih dengan berkacak pinggang.

"Karena untuk mengetahui kondisi paru-paru, dan kapasitas paru-paru. Dan juga karena itulah yang digunakan untuk mendiagnosis Penyakit Paru Obstruktif Kronis 'kan?"

"Hmm... Benar juga" gumam Tn. Hiroyuki. "Kalau begitu... Cepat lakukan!"

"Baik. Sensei," ucap kedua perawat kompak.

Rai pun mengambil sebuah suntikkan, lalu menyuntik sang pasien. Cairan merah itu pun mulai terisi di dalamnya.

"CT-scan dilakukan diakhir saja. Salah satu dari kalian ikut bersama Dokter Magang ini," titah Tn. Hiroyuki.

"Baik. Biar aku saja yang ikut bersama Ryuzaki-sensei." usul seorang perawat dengan rambut terikat.

"Baiklah. Nanti aku akan kembali untuk membawa pasien melakukan CT-scan." Rai dan juga perawat itu pun pergi.

#SKIP➡

"Bagaimana hasilnya?" tanya kedua perawat yang menunggu hasil dari CT-scan.

"Positif hasilnya. Pasien mengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Itu adalah kesimpulan dari melakukan spirometri, CT-scan, sampel darah dan dahak" jawab Tn. Hiroyuki.

"Selain itu... Dilihat dari saluran pernapasannya juga menjadi bengkak dan menyempit," tambah Rai. "Apakah sang pasien terus saja batuk dengan dahak sebelum aku datang kembali untuk CT-scan bersama Hiroyuki-sensei?" tanyanya kepada salah satu perawat yang mengawasi pasien tadi.

"Un." jawab sang perawat.

Rai pun mendekati sang pasien yang tengah berbaring itu.

"Tuan. Ini hasil CT-scan-nya" Rai menyerahkan hasil CT-scan yang berada di tangannya itu kepada sang pasien, sembari tersenyum. "Kau sudah positif mengidap Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Maka dari itu, jagalah kesehatanmu ya. Terutama memfokuskan pada paru-paru!"

"Hei. Kau itu masih muda. Jangan mengatur orang yang lebih tua darimu!–O ya. Kau Si Peretas itu 'kan? Kenapa kau bisa menjadi dokter di sini?! Uhuk... Uhuk.."

"Mmm... Jangan terlalu banyak menyentak orang juga! Istirahatlah!" ucap Rai masih dengan tersenyum.

"Aku akan memberimu obat hirup. Kombinasi bronkodilator, dengan kortikosteroid. Jika itu masih belum bisa membuatmu membaik... Kau bisa meminta obat tabletnya kepada mereka, atau salah satunya" Tn. Hiroyuki menunjuk kedua perawat yang berada di belakangnya.

"Kenapa harus kami?" tanya Perawat dengan rambut yang terikat.

"Tenang saja, aku akan memberikan resep obatnya–Kau memegang data pasien 'kan? Jika pasien sudah diputuskan untuk rawat jalan, dan ia meminta obat tabletnya di saat aku tidak ada, maka berilah!"

"Baiklah.."

"Sudah selesai. Lakukan pemeriksaan lagi dengannya jika sudah waktunya. Aku juga nantinya akan melakukan hal itu. Dan juga memutuskan perawatan apa yang ia jalani"

"Baik."

Setelah selesai, Tn. Hiroyuki dan Rai pun keluar dari ruangan tersebut.

"Bravo...!" tepukan itu sontak mengejutkan Rai yang baru saja keluar dari ruangan. Suara itu ternyata milik Hideyoshi. Ia tiba-tiba saja berdiri di hadapan Rai.

......«TO BE CONTINUED»......

...つづく...

.

.

Bagaimana saran anda tentang ini? Sudah menarik? Atau, kurang berasa? Tenang. Masih ada kelanjutannya 😉

(Jika kalian suka) Tolong bantu saya like dan komen ya! Agar saya bisa memperbaikinya, dan lebih semangat!

助けてください! Tasuketekudasai! 🙏🙏

😄😄😄 Mata ne...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!