Black Shadow
Hari ini adalah awal permulaan bagi Arindita menjadi mahasiswi pindahan di salah satu universitas terbaik di Bandung, karena keputusan keluarga untuk bertolak ke Bandung membuat Arindita harus terpaksa ikut berpindah kampus.
"Are you okay, sweety?" tanya sang bunda, Arindita yang tertunduk lesu pun dengan terpaksa menampakkan senyuman terbaiknya untuk sang bunda. "Hm.. I'm okay." ujar Arindita.
"Kau ingin Bunda antar ke kampus?" tanya bunda lagi, tangan bunda mulai menggenggam tangan Arindita, mencoba memberikan kekuatan bagi sang putri untuk terus semangat menghadapi hari ini, hari dimana ia harus beradaptasi kembali dilingkungan baru.
"Aku bisa berangkat sendiri Bunda, don't worry." balas Arindita. Arindita mulai beranjak pergi meninggalkan ruang makan, ia mencium kedua pipi sang bunda, dan berlalu pergi.
"Aku berangkat Bunda, Bunda jaga diri dirumah ya." ucap nya seraya melambaikan tangannya sebelum memasuki mobil miliknya.
Arindita menghembuskan nafasnya kasar, ia masih mengumpulkan keberanian dan semangat untuk berkuliah hari ini. "Kau pasti bisa, Arindita. Fighting!" ucap Arindita kepada dirinya sendiri. Mobil pun keluar dari area perumahan tersebut dan memecah keramaian kota Bandung siang itu.
***
"What's up Bro.." sapa Ari ke Al yang sedang nongkrong di kantin bersama Julian.
"Sini Ri duduk, kita lagi ngopi nih, kamu mau ngopi Ri?" tanya Al. Ari pun duduk di kursi yang Al berikan untuknya. "Boleh, pas banget nih aku belum ngopi siang ini. Oia, gimana acara nanti malam Bro?" tanya Ari dengan penuh antusias.
"90% ready to show, tapi kita ada kendala nih." jelas Al. Al memutar acak gelas kopinya sambil melamun. "Ada masalah?" tanya Ari.
Ari dan Al sama-sama mahasiswa tingkat akhir yang berkesempatan mengemban amanah menjadi salah satu anggota executive mahasiswa, semua mahasiswa dan mahasiswi kampus kenal dengan mereka berdua, karena mereka adalah penyiar radio dari stasiun radio hits dikalangan para milenial Bandung dan kini mereka berkesempatan menjadi salah satu panitia OSPEK mahasiswa dan mahasiswi baru di kampus tersebut. Sama-sama memiliki postur tubuh yang proposional, doyan gym dan lari. Paras mereka pun terbilang cukup membuat para mahasiswi menggila dibuatnya.
Ada satu yang tidak banyak orang tahu tentang mereka berdua, yaitu bakat sixth sense yang didapat karena keturunan keluarga masing-masing.
"Hm.. Tadi ada mahasiswi baru datang ke kantor BEM (Badan Executive Mahasiswa), perempuan itu memaksa masuk saat kita semua sedang rapat untuk persiapan nanti malam, dia terus bicara bahwa kita harus memindahkan tempat acara dari outdoor ke indoor, kalau kita memaksa untuk terus melanjutkan acara musik di lapangan utama kampus 'mereka' akan datang dan mengusik kita semua." jelas Al, Ari yang mencoba menelaah ucapan Al pun masih bingung dibuatnya.
"Mereka? Siapa yang dia maksud dengan 'mereka'?" tanya Ari penasaran. "Seingat ku, kampus kita tidak punya musuh dengan kampus lain, dan lagi ini kan acara yang digelar oleh kampus, bukan acara event. Lagi pula enggak mungkin kita mindahin panggung yang udah nyaris rampung ke aula utama, impossible Bro kasian dong panitia lainnya, apalagi yang mendekor panggung dari semalam sampai mereka tidak tidur." tambahnya lagi, ia menguatkan Al agar berfikir ulang atas saran dari anak baru tersebut.
"Tapi Ri, entah kenapa firasat ku enggak enak sejak anak itu datang dan menyuruh kita untuk pindah." ucap Al. Dia terus memutar otaknya mencoba menelaah kembali kata demi kata yang diucapkan oleh mahasiswi baru tadi pagi.
"Mungkin gak si menurut kalian, kalau yang dimaksud dengan 'mereka' adalah makhluk tak kasat mata?" tanya Julian yang tak lain adalah salah satu anggota BEM lainnya yang sedang mengopi bersama Al dan Ari di kantin.
Seketika Al dan Ari pun menatap Julian secara bersamaan. "Pftt.." Ari menahan tawanya saat mendengar ucapan Julian.
"Benar kan Al? Kita tidak punya musuh di kampus lain, acara ini saja sudah atas persetujuan pihak kampus, apalagi masalahnya kalau bukan tentang mereka yang tak kasat mata? Aku hanya mencoba menelaah berdasarkan logika ku saja." jelas Julian, Ari pun tersenyum mendengarnya.
"Kau bilang logika, tapi kau membahas sesuatu yang tidak bisa diterima logika. Sudahlah, tidak usah di fikirkan terus, acara hanya tinggal menghitung jam saja. Lebih baik kita fikirin bagaimana caranya supaya acara berjalan dengan lancar." ujar Ari. Kopi Ari pun datang, ia mulai menyesap kopi tersebut.
"Wah, kopi kantin memang tiada duanya." ucap Ari sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa takjub akan rasa kopi yang sebetulnya tidak ada bedanya dengan kopi buatannya sendiri.
"Cih, aku sudah paham dengan gaya mu." ujar Al sambil tangannya melambai memanggil ibu kantin, bersiap untuk membayar kopi miliknya dan Ari.
"Kau memang terbaik Bro." ucap Ari. Mereka pun tertawa dan bercengkrama riang di kantin siang itu.
Lama mereka saling berbagi tawa dan canda di kantin, Al semakin merasa risih, sejak Julian membahas 'mereka' yang tak kasat mata, Al merasa seperti banyak pasang mata yang memantau dirinya dari belakang. Tingkah aneh Al pun tertangkap oleh Ari, Ari mencoba untuk mengalihkan pembicaraan dan mencoba untuk mengajak kedua kawannya pergi meninggalkan kantin.
"Acara sudah mau dimulai nih, yuk ke lapangan, kasian anak-anak yang lain nunggu kita kelamaan." ucap Ari sambil berdiri, dan mematik api ke batang rokok yang sudah ada di mulutnya. Al dan Julian pun mengikuti Ari berdiri dan bersiap meninggalkan kantin.
Saat mereka bertiga beranjak dari kursi kantin, tanpa sengaja Arindita yang sedang duduk di samping meja Ari dan Al pun mampu menyimak semua pembicaraan yang terjadi. Arindita meremas gelas plastik kopi instant miliknya. Wajahnya memucat seperti orang ketakutan, tubuhnya menegang, tangannya gemetar ketika ketiga pria disampingnya berlalu pergi. Arindita memejamkan matanya, mencoba menenangkan otaknya.
"Ya Tuhan, jangan lagi, ku mohon. Aku harap semua tidak lebih sekedar bunga tidur ku saja." lirih Arindita didalam hatinya.
"Neng baik-baik saja?" tanya sang pemilik warung kantin ke Arindita. Arindita yang sedang memejamkan mata pun akhirnya membuka matanya kaget, ia kaget karena elusan tangan ibu kantin di pundaknya.
"Ah.. Tidak apa-apa bu, hanya sedikit pusing." ujar Arindita dengan senyuman ke ibu kantin tersebut. Ibu kantin pun hanya membalas senyuman dan pergi kembali ke dalam warung kantin miliknya.
Arindita pun bergegas pergi dari kantin tersebut, untuk menuju gedung kelasnya. Kebetulan kelas Arindita hari ini akan mulai jam dua siang ini. Selama menunggu jam kelasnya tiba, Arindita mencoba berdiri di salah satu gedung kelas semester empat jurusan Ekonomi. Arindita memfokuskan pandangannya ke arah panggung yang akan dipakai untuk acara kampus malam ini. Arindita tak henti-henti memandangi panggung tersebut.
"Kenapa tempatnya sangat mirip dalam mimpi ku, ku harap mimpi itu tidak terjadi disini." pikir Arindita. Tanpa Arindita sadari ada seorang pria yang menatapnya dan terpesona akan sosok Arindita yang berdiri dari sebrang tempat pria itu berdiri saat ini.
"Aku tidak pernah melihatnya." pikir pria tersebut. Pria itu memberanikan diri untuk menghampiri Arindita.
"Hm, sesi pengumpulan tanda tangannya sampai disini dulu ya, Kakak ada urusan. Tuh lihat Kak Ari lagi nganggur, kalian enggak mau tanda tangannya? Apa kalian tidak tahu dia itu Ari si penyiar radio hits masa kini?" ujar pria itu meyakinkan para mahasiswi baru yang saat ini memburunya tiada henti, dan seketika mereka langsung berpindah ke tempat Ari, dengan penuh semangat pria itu berjalan menghampiri Arindita.
"Kau mahasiswi baru? Aku tidak pernah melihat mu sebelumnya." ucap pria itu, namun Arindita enggan menjawab dan menggubris ucapannya.
"Hey.." sapanya lagi, ia melambaikan tangannya mencoba menyadarkan Arindita dari lamunannya.
"Ah, sorry." ucap Arindita yang mulai tersadar dari lamunannya dan berbalik arah meninggalkan pria itu. Bak pria yang sedang di mabuk asmara, pria itu memberanikan diri untuk meraih tangan Arindita, mencoba menahannya agar tidak pergi sebelum berkenalan. Arindita pun menoleh kesal ke arah pria itu karena belum pernah ada pria yang berani memegang tangannya kecuali sang ayah.
"Kita belum berkenalan, perkenalkan aku Dewa Wicaksono. Lalu siapa namamu?" tanya Dewa dengan penuh senyum mempesonanya. Arindita yang kesal pun akhirnya menepis kasar tangan Dewa yang mencengkram tangannya dan pergi begitu saja meninggalkan Dewa disana tanpa sepatah kata pun. Dewa bukannya marah malah tersenyum senang, baru kali ini ia menemukan perempuan yang mengabaikannya.
"Kita pasti akan bertemu lagi." ucapnya pelan sambil melihat punggung Arindita yang semakin menjauh dan kini sedang menyapa Pak Ruby yang tak lain adalah sepupu jauh Arindita yang bekerja sebagai dosen di kelas bahasa, mereka pun berjalan bersama memasuki kelas.
Kelas yang ramai seketika hening saat pak Ruby masuk bersama seorang mahasiswi cantik dan tomboy. "Siang semua, sebelum kita mulai bapak mau perkenalkan kalian dengan mahasiswi baru yang akan bergabung di kelas ini. Silahkan perkenalkan diri." ucap pak Ruby yang mencoba membuka sesi perkenalan tersebut.
"Hai, nama ku Arindita Maharani, kalian bisa memanggil ku Ar. aku pindahan dari kampus X di Jakarta." ucap Arindita, ia mencoba menampilkan senyumannya walau sulit.
Tok.. Tok.. Tiba-tiba suara ketukan dari arah pintu membuyarkan keheningan, "Maaf Pak, saya telat." ucap Dewa, Arindita terkejut bahwa ia akan bertemu dengan pria ini lagi disini, di kelasnya.
"Oh God, tamat sudah aku harus sekelas dengannya." ucap Arindita dalam hati sambil memejamkan matanya sekilas dan memijit pelan keningnya yang tidak pusing itu.
Dewa berjalan mendekati Arindita, "Kita bertemu lagi, Arindita." sapa Dewa didepan kelas sambil menaruh kedua tangannya kedalam saku celana. Senyuman tak henti-hentinya tersemat di bibir Dewa, Arindita hanya menatap tajam Dewa tanpa ekspresi.
"Baiklah, Dewa silahkan kembali ke kursi mu, dan Arindita.." belum juga pak Ruby selesai bicara Dewa sudah menggandeng tangan Arindita untuk mengekorinya dan duduk disampingnya. Sontak sikap Dewa membuat beberapa mahasiswi lainnya iri dibuatnya. Ruby mencoba menahan rasa kesalnya melihat Dewa yang begitu antusias akan Arindita.
"Duduklah.. Kelas akan dimulai, apa kau berdiri karena ingin mengganti Pak Ruby mengajar?" sarkas Dewa. Arindita mau tidak mau akhirnya menurut dan duduk tepat disamping Dewa. Dewa terus saja tersenyum melihat Arindita yang tak bergeming dibuatnya.
Mata kuliah pun berjalan dengan baik, tak terasa saat ini sudah masuk pukul enam sore, kelas pun dibubarkan karena suasana sudah tidak kondusif, beberapa panitia sudah mulai melakukan check sound. Anak kelas pun sudah mulai berhamburan keluar ruangan, tak terkecuali Arindita.
Awalnya Dewa ingin mengajak Arindita untuk ikut nongkrong di kantin kampus bersamanya, tapi karena dia adalah salah satu pengisi acara tersebut dan harus melakukan GR dengan panitia lainnya, akhirnya Dewa mengurungkan niatnya.
Arindita pun pergi ke Mushola untuk melaksanakan ibadah solat maghrib. Usai solat ia pergi ke kantin dan berdiam diri disana, ia melamun dan masih terus membayangkan mimpi buruknya semalam, kejadian yang satu per satu mulai menampakkan benang merah dari mimpinya itu. Arindita memutuskan untuk membuka laptopnya dan mulai melanjutkan novel miliknya untuk mengalihkan fikiran nya akan mimpinya semalam, hingga tak terasa satu setengah jam sudah ia menulis.
Arindita memutuskan untuk menyudahi kegiatannya, karena acara sudah mulai berlangsung. Arindita mencoba berdiri kembali tepat ditempat ia pertama kali bertemu Dewa. Arindita berdiri dan bersandar di tembok sambil menyesap kopi instant yang ia bawa dari kantin kampus. Arindita tidak menyadari bahwa yang saat ini tampil mengisi acara adalah Dewa dan kawan-kawan.
"Kalian siap untuk lagu kedua?" sapa Ari dari atas panggung dan disaut dengan riuh suara teriakan para mahasiswi dari bawah panggung, ya Ari saat ini mengisi acara sebagai MC dan vokalis. Dewa yang sedang rehat untuk mengatur nafasnya pun seketika terdiam melihat sosok Arindita dari atas panggung.
Tiba-tiba suara teriakan histeris dari seorang mahasiswi yang berdiri tepat dibawah panggung pun membuat semuanya bergidik ngeri. Beberapa panitia mencoba menenangkan mahasiswi tersebut, tapi langkah mereka terhenti saat mahasiswi tersebut tertawa melengking karena kesurupan.
Arindita yang sedang menyesap kopi pun terdiam dan menumpahkan kopinya, matanya terbelalak kaget saat melihat satu per satu para mahasiswi yang ada di lapangan utama terkapar pingsan secara berurutan. Mahasiswi yang kesurupan itu pun terus saja tertawa tiada henti sambil kepalanya bergidik ke kanan dan ke kiri dan menatap ke arah Ari dan kawan-kawan. Ari dan Dewa pun tercengang dibuatnya, apalagi Al yang saat ini ada di balik panggung, seketika mereka yang pingsan satu per satu bersuara, ada yang tertawa, teriak histeris, dan menangis, sama persis seperti kejadian dalam mimpinya.
Beberapa panitia mencoba melerai kesurupan massal yang terjadi malam itu. Pandangan Dewa tertuju ke Arindita yang kini sedang meringkuk ketakutan sambil tangannya mencoba menutup kedua telinganya. Dewa yang sedang diatas panggung pun langsung loncat dan berlari secepatnya ke arah Arindita.
"Stop.. Please... Ini Pasti mimpi. Bunda... Tolong aku bunda... Tolong.." lirihnya, ia mencoba menutup telinganya agar tidak terdengar suara riuh para mahasiswi yang kesurupan massal. Tiba-tiba Arindita dibuat kaget karena seseorang menarik tangannya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Inamustika
awal yg menarik thor,,,,
2021-01-29
0
W⃠🦃𝖆𝖑𝖒𝖊𝖎𝖗𝖆 Rh's😎
Aku mampir thor, bawa like, komen, rate bintang lima
2020-12-25
0
🕌 M⃟ars™Melia ᵐᴵʷ🍭🌺⃟⃝࿐🕌🖤
Melia DTG lagi thor
2020-12-25
0