...Bukan rancangan diriku ataupun dirimu, namun semesta yang mengizinkan kita....
Gemerlap cahaya malam dari Kota Paris menyambut Vivian Wisse dalam perjalanannya menuju Aula New Paris.
Aula yang diterangi berbagai cahaya biru dan ungu seakan mengundangnya masuk lebih dalam.
Vivian berdiri diujung Aula dan melihat acara yang indah itu seorang diri, tanpa ada yang menemaninya.
Ketika Vivian mendengar suara petikan gitar telah berhenti, dirinya memandang seorang pria bertopeng singa yang tadi memainkan gitar sedang berjalan kearahnya.
Entah ini perasaan Vivian saja atau kenyataan, pria itu benar-benar berjalan mendekati dirinya yang sedang mematung.
Akhirnya pria itu tiba benar-benar didepannya.
"Hai, maukah kau berdansa denganku?" Pria itu menyodorkan tangannya pada Vivian sambil tersenyum padanya.
Vivian melihat kilatan cahaya biru menghiasi senyum pria itu dengan indah.
"Baiklah," jawab Vivian tersenyum pada pria itu dan meletakan tangannya dalam genggaman pria itu.
Pria itu membawa Vivian ke tengah Aula yang dipenuhi dengan pantulan cahaya berkilau, hingga membuat perasaan Vivian menjadi tenang dan damai.
Vivian memegang pundaknya dan tangan kirinya ada dalam dekapan jari pria itu.
Alunan melodi romantis yang klassik membuat gerakan kaki mereka menjadi sebuah irama.
Gerakan demi gerakan tercipta dan membuat Vivian terhanyut dalam dekapan dansa bersama pria itu.
Pria itu meninggikan tangannya diatas kepala Vivian dan membuat Vivian berputar dengan anggun didepannya.
Genggaman lembut tangan pria itu membawa Vivian lebih jauh kedalam getaran perasaan.
Vivian memandang kedua mata biru pria itu yang begitu indah, hingga seperti berbicara pada hati Vivian, seperti membuat perasaannya merasakan getaran lagi.
Getaran yang muncul begitu saja hanya karena sebuah tatapan yang diikuti dengan alunan irama kaki mereka.
Vivian terus memandang kearah mata pria itu hingga musiknya berhenti.
Akhirnya, suasana romantis didalam Aula telah usai.
Pria itu belum membuka topengnya, hingga Vivian merasa cukup penasaran padanya.
Namun, Vivian merasa misteri adalah sebuah tantangan yang menyenangkan, jadi Vivian tidak menanyakan siapa pria itu.
Dalam genggamannya, pria itu mengantarkan Vivian keluar hingga kedepan Aula dan mencium kedua tangan Vivian.
Ketika Vivian menuruni anak tangga, topeng kupu-kupu birunya melonggar hingga membuat topeng itu terjatuh dari wajah Vivian.
Namun Vivian tidak terlalu memperdulikan itu karena dia memiliki banyak topeng.
Lagi pula, jika Vivian berbalik dan wajahnya dilihat pria itu, pria itu takkan penasaran lagi padanya dan mungkin akan membuat pria itu memandangnya sebagai orang biasa.
Malam yang penuh dengan misteri dan kenangan sekali bertemu pada pria itu telah usai.
Vivian kembali ke mansionnya dan mulai tidur.
Ketika Vivian tidur, dirinya memimpikan kenangan ketika dia menyukai seorang anak culun yang berdiri di celah pintu masuk dan menyaksikannya bernyanyi.
"Mata biru pria itu ...."
.....
Hari minggu telah tiba, kehangatan matahari menyinari mansion Keluarga Wisse.
Meskipun awan cukup tebal, namun Vivian tetap akan pergi ke toko buku yang berada di pusat Kota Paris.
Vivian berasal dari keluarga yang mampu, tapi Vivian tidak suka menyetir mobilnya sendiri.
Vivian lebih menyukai bus dan mengantri seperti orang-orang biasa.
Ketika tiba di toko buku, Vivian mencari beberapa novel yang paling sedikit dibeli, biasanya berada di pojok dari toko buku.
Menurut Vivian, karya-karya yang belum banyak terekspos adalah kesukaannya.
Biasanya karya-karya yang jarang dibeli orang, adalah karya yang memiliki kejutan didalamnya. Banyak sekali rahasia & keseruan tersendiri ketika membaca novel yang belum terkenal, seperti merasa eksklusif pada novel tersebut.
Setelah Vivian membeli beberapa buku, akhirnya ia keluar dan berjalan-jalan kaki disekitar Kota Paris.
Vivian tiba di sebuah halte yang sepi, terletak dibawah sebuah pohon.
Saat Vivian sedang menuju halte tersebut, hujan yang cukup deras tiba-tiba muncul.
Vivian berlari kearah halte dengan tergesa-gesa, ia takut jika buku-buku yang dibelinya basah.
Namun ketika berlari, Vivian tergelincir hingga membuat lutut kirinya terluka.
Dengan susah payah menahan rasa perih, akhirnya Vivian berteduh dibawah halte itu.
Sayangnya, Vivian tidak membawa plester dan p3k hingga Vivian hanya menahan sakit tanpa mengobati luka di lutut kirinya.
Ketika Vivian duduk dan menunggu hujan yang tidak kunjung berhenti, seorang pria yang memegang payung tiba di halte itu.
Pria itu sepertinya akan menunggu bus yang sama dengan Vivian.
"Lututmu terluka." Pria itu menyapa Vivian dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Ternyata itu adalah plester untuk luka.
"Ini." Pria itu menyodorkan plesternya pada Vivian dan kembali menatap kearah hujan deras.
"Terima kasih," jawab Vivian dan langsung menempelkan itu pada lukanya.
Setelah melihat Vivian sudah memasang plester pada lukanya, pria itu tiba-tiba berdiri dan berlari menembus derasnya hujan.
Pria itu kembali menatap Vivian dari kejauhan dan mengarahkan telujuknya ke sebuah payung yang ditinggalkannya yang berada disamping Vivian.
Vivian mengarahkan pandangannya ke payung itu dan berusaha memanggil pria yang meninggalkannya, namun pria itu sudah menghilang ditengah derasnya hujan.
Vivian yang bingung lalu mengambil payung itu dan berjalan ke stasiun kereta bawah tanah.
Ternyata halte yang disinggahinya sudah ditutup, Vivian baru menyadari itu setelah melihat sebuah halte lainnya jauh dibelakangnya.
Namun disana banyak orang yang berdesakan hingga membuat Vivian memilih menaiki kereta bawah tanah.
Mengingat kejadian itu, Vivian kembali mengenang sebuah kenangan masa lalunya ketika masih SMA.
Vivian memandang kereta bawah tanah yang berjalan perlahan menembus gelapnya terowongan.
Didalam kereta, ketika Vivian mulai merasakan kesepian, ia mulai menyandarkan bahunya dan menangis, ia merasakan sesuatu yang kosong, sesuatu yang membuatnya ingin menangis dan kadang benar-benar membuatnya menangis.
Semua ini bermula saat Vivian masih menjalani pendidikan di SMA.
Pada suatu sore ketika pulang sekolah, Vivian mengunjungi ruangan musik sekolahnya dan berlatih sendiri.
Vivian memilih saat keadaan kosong karena Vivian merasa terganggu ketika ada orang lain, sehingga Vivian tidak bisa menampilkan peformanya dengan baik.
Alunan tuts piano mulai mengisi keheningan aula musik. Vivian menutup matanya dan mulai bernyanyi dengan lembut. Kata demi kata diucapkan dengan penuh irama dan ketulusan.
Namun ditengah dunianya, Vivian mendengar suara pintu masuk aulanya terbuka.
Vivian mengarahkan pandangannya ke pintu masuk dan ada seorang pria yang sedang memerhatikannya dari kejauhan, dia menggunakan kacamata dan berdandan seperti seorang kutu buku, lengkap dengan kerah yang terkancing hingga ke leher dihiasi dengan dasi kupu-kupu.
Karena menilai dari penampilannya, Vivian tahu bahwa pria ini bukanlah orang yang jahat, bahkan dia terlihat lucu karena dia seperti terhanyut dalam alunan melodi Vivian.
Vivian ingin memanggilnya untuk bertanya apakah lagunya bagus, namun pria itu malah melarikan diri ketika Vivian baru saja melambaikan tangannya.
Vivian tersenyum dan menggelengkan kepalanya melihat bagaimana reaksi berlebihan pria culun itu.
Hari-hari berlalu, ternyata Vivian sering melihat pria itu menulis di sudut perpustakaan seorang diri. Hingga Vivian hapal kapan dan jam berapa pria itu ada disana.
Suatu saat Ketika ingin pulang dari perpustakaan, Vivian melihat kelangit begitu mendung dan suram, tiba-tiba hujan deras membasahi seluruh Kota Lyon. Vivian duduk dan menunggu didepan perpustakaan yang telah tutup.
Vivian mengarahkan pandangannya dari arah hujan deras didepannya, dan melihat seorang pria culun berkacamata yang sering diamatinya sejak kejadian di aula musik sedang berlari kearahnya dengan sebuah payung ditangannya. Pria itu beberapa kali terjatuh karena derasnya hujan dan licinnya jalan yang dilaluinya.
Akhirnya pria itu tiba tepat didepan Vivian dan Vivian melihat kedua lutut dan siku dari pria itu terluka.
Tanpa sempat mengatakan apapun, pria itu menyodorkan payung yang dibawanya kepada Vivian dan berlari kembali menerobos derasnya hujan.
Vivian berlari mengejarnya namun pria itu berbalik dan berteriak, "gunakan itu, jangan berlari sepertiku!"
Setelah mendengarkan itu Vivian baru melirik payung yang dipegangnya, di payung itu memiliki kurikatur kartun favorit Vivian, King Julien.
Setelah hari itu, perasaan Vivian semakin tumbuh dan berkembang. Vivian dan pria culun itu sering melirik dengan senyuman dari kejauhan, entah saat diruangan musik pria itu menyaksikan dari celah pintu dan Vivian tahu persis bahwa ada dia disana, entah saat di perpustakaan tatapan mereka bertemu tanpa sengaja dan membuat mereka menjadi salah tingkah.
Tapi anehnya, tidak satupun dari mereka berdua berani mendekat ataupun mengajak berbicara, Vivian merasa nyaman dengan hal ini karena Vivian cukup pemalu, terlebih pria itu juga mungkin merasa nyaman dengan jarak yang jauh.
Hari-hari menyenangkan telah berlalu, hingga saatnya tiba untuk pengunguman kelulusan. Akhirnya pria itu mendatangi Vivian dan memberikannya sebuah gelang yang ikatannya tidak begitu rapi, mungkin karena itu dibuat olehnya sendiri. "Aku ... " ucap pria itu.
Namun Vivian tidak dapat mendengar dengan baik karena mereka sedang berada ditengah kerumunan anak-anak SMA yang merayakan kelulusannya disebuah aula sekolah.
Tiba-tiba setelah mengucapkan beberapa kata, pria itu langsung pergi dan bayangannya hilang dalam kerumunan.
Sepertinya pria itu mengucapkan namanya dan seperti berkata bahwa dia akan menunggu Vivian disuatu tempat.
Namun Vivian tidak dapat mendengar dengan jelas siapa namanya dan dimana mereka akan bertemu nanti, jadi Vivian memutuskan untuk mencarinya dikerumunan.
Pria itu tidak ditemukan dimanapun, Vivian tidak tahu siapa namanya dan bagaimana bisa menghubunginya nanti.
Sebulan setelah kelulusan Vivian, orang tua Vivian harus segera pindah ke Paris dan melanjutkan bisnis obat biologis milik kakeknya. Vivian harus ikut karena di Kota Lyon tidak ada keluarga mereka lagi. Dengan berat hati, Vivian mengikuti semua kemauan orang tuanya untuk pindah ke Paris.
Dalam perjalanan, hujan turun begitu deras dan disertai angin yang cukup kencang.
Ketika Vivian melintasi jembatan Lyons, Vivivan melihat seseorang yang sedang duduk di trotoar seperti orang yang kehilangan tujuan hidup.
Saat ingin memperhatikan lebih dekat dari jendela mobilnya, fokus Vivian teralihkan ke panggilan video dari kakeknya yang merindukan cucunya.
Akhirnya semua berlalu hingga tujuh tahun lamanya, Vivian sering mencarinya namun Vivian benar-benar lupa akan wajahnya, bahkan namanya tidak diketahui.
Selama tujuh tahun, Vivian masih menyimpan perasaan pada pria itu dengan baik.
Hari demi hari Vivian berharap semesta mempertemukan mereka dan Vivian dapat merasakan bahwa dirinya lengkap lagi.
"Baiklah, saatnya beranjak." Vivian menghapus air matanya dan keluar dari kereta.
Kota Paris masih hujan, untungnya payung yang diberikan pria itu masih ada di tangannya, jadi Vivian dapat berjalan tanpa takut basah ke mansionnya.
Sepanjang perjalanan, Vivian melangkahkan kakinya dan bermain dengan genangan air.
Perasaan bahagia saat dirinya dapat sendiri dan menikmati hujan yang turun dengan lembut.
"Aku baru ingat, pria itu bermata biru. Itu mengingatkanku pada ... seseorang ...."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 108 Episodes
Comments
Whiteyellow
Aku datangvya..jangan lupa feedback
Karya contribute ku juga jika berkenan
'CINTAI AKU SAHABAT KECILKU'
dan
'I NEED YOU' 🤗🤩
Salam saling dukung 🙏
2021-02-13
0
Emonee
Vivian dan Morgan like🌟🌟🌟🌟🌟🧡🧡🧡🧡🧡
2021-02-10
0
oniya
lanjut baca
2021-01-29
1