Rama memegangi kakinya. Tampak darah mengucur di betis. Uugghhh..! Rama meringis. Rasa sakit luar biasa mendera bagian yang ditembus timah panas itu.
PLUUKK! Pisau di tangan Rama jatuh dan terlepas. Rama mencoba berdiri namun ia kesakitan dan terjatuh.
Polisi segera mendekat dan meringkus lelaki itu.
Saras menangis melihat polisi meringkus Rama. Lelaki itu luka, lemas dan sudah tak berdaya.
*
Bu Hanifah tertegun.
Dari ruang kaca Bu Hanifah melihat Rama dibawa keluar dari sel lalu dijaga oleh seorang polisi dan didekatkan kepada Bu Hanifah. Rama berjalan tertatih. Ia mengenakan celana pendek sehingga terlihat betis kaki kanannya ada luka bebat yang masih merah tanda darah belum sepenuhnya kering.
“Ibu hanya diberi izin bicara sebentar dengan anak ibu. Silakan.” Polisi berkata sopan.
“Iya Pak Polisi. Terima kasih.” Sahut Bu hanifah.
Rama dan ibunya tidak bertemu langsung di ruangan yang sama. Mereka berbeda ruangan dan terhalang oleh kaca penyekat. Namun tangan mereka bisa bersentuhan.
“Ibu…” Rama menangis memegang tangan ibunya.
“Rama, anakku…” Suara Bu hanifah parau. “Ibu lihat kaki kamu luka…” Bu Hanifah ingin menangis. Tapi ditahannya karena malu disitu ada banyak pengunjung lain.
“Iya Ibu. Polisi terpaksa menembak kakiku karena aku mengejar Saras yang lepas.”
Bu Hanifah terisak. Tak kuasa menahan tangisnya.
“Gak usah nangis, Bu. Kakiku akan sembuh meski aku mungkin gak bisa lincah lagi kalau berlari.” Rama malah cemas menatap ibunya. “Ibu gak dicelakai mereka kan?”
“Enggak, Rama.” Angguk Bu Hanifah. “Aidan mengancam tapi dia gak benar-benar menyiksa ibu.”
Rama mendengus. Kesal.
“Mereka benar-benar setan. Pintar sekali membuat orang ketakutan.” Wajah Rama mengeras. “Aku sangat cemas mereka bakal melukai ibu, makanya Saras aku lepas.”
Bu Hanifah menyahut lesu. “Ibu dengar Saras sudah kembali ke rumahnya. Dia akan tetap menikah dengan Aidan sore ini.”
Rama terdiam. Lama.
Bu Hanifah ikut diam. Ia memperhatikan wajah Rama yang suram. Tentu Rama tak rela Saras akan menikah dengan Aidan.
Setelah beberapa jenak diam dalam hening, Rama mengangkat kepala. Ia menatap ibunya. “Seandainya aku bebas. Ingin sekali aku mencegah pernikahan itu dan meninju wajah si Aidan sampai babak belur!”
“Sudahlah, Rama. Kau dalam posisi yang sebenarnya dizolimi mereka. Tapi sekarang malah kau yang masuk ke penjara.”
“Iya Bu. Itu yang membuat aku tambah dendam kepada Aidan!” Mata Rama berkilat marah.
“Jangan begitu anakku. . Kalau kau tetap dibalut dendam, hidupmu tidak akan tenang.”
“Ibu terlalu baik jadi orang.” Sengit Rama. “Setelah Aidan dan ayahnya merampas semua kebun dan rumah Bapak. Lalu aku luka ditembak dan masuk penjara hanya karena ingin mempertahankan Saras. Apa aku enggak boleh dendam ke Aidan?!”
Bu Hanifah terdiam. Ia sadar, Rama bukan anak kecil yang dengan mudah berubah pikiran. Kalau Rama berpikir seperti yang dikatakannya Bu Hanifah bisa maklum. Jujur dalam hatinya. Bu Hanifah juga merasa Aidan dan Pak
Argajaya memang keterlaluan.
*
“Kamu gak masalah kalau akad nikah kita dilaksanakan sore ini?” Aidan menatap Saras. “Nanti malam langsung resepsi pernikahan kita di hotel ini juga lho.”
Saras sudah ada di ruang sebuah hotel mewah berbintang lima. Ia melihat ada Papa dan mamanya di dekatnya. Kedua orang itu memperhatikannya.
Aidan menatap Saras. “Kalau kamu belum siap mental. Gak apa kita tunda akad nikah dan resepsi ini.”
Saras melihat tatapan Aidan penuh pengertian. Ah, siapa bilang lelaki tampan ini dingin dan jahat. Buktinya ia tak memaksa Saras harus mau melaksanakan akad nikah dan resepsi hari ini.
Pak Argajaya ternyata berdiri di pojok ruangan. Ia mendekati saras. “Semua terserah keputusan Saras. Kalau kamu masih trauma karena diculik, sebaiknya kita tunda akad nikah dan resepsi ini.”
Saras tak enak hati. Ia tau bahwa persiapan akad nikah dan pesta resepsi di hotel sudah disiapkan dengan baik. Berapa banyak waktu dan biaya dihabiskan untuk menyiapkan semua itu. Jika ia menundanya maka ia juga akan mengecewakan Papa dan Mamanya. Bukan hanya Aidan dan ayahnya.
Saras mengangguk. “Gak perlu ditunda. Saya siap melaksanakan akad nikah sore ini dan pesta resepsi malam nanti.”
Papa dan Mama Saras mendesah lega.
Aidan dan pak Argajaya juga senang.
Tangan Saras digenggam Aidan. Lelaki itu tersenyum bahagia. “Aku gembira kau siap menikah denganku. Aku janji, tak akan ada lagi orang yang akan merusak acara akad nikah dan resepsi kita.”
Ucapan Aidan keliru.
Aidan tak menyangka bahwa akan ada kejutan di acara akad nikahnya dengan Saras.
Selepas ashar beberapa kerabat dan teman dekat Aidan serta Saras sudah ada di ruangan hotel tempat akad nikah berlangsung.
Aidan mengenakan jas hitam rapi dan berdasi biru cerah. Di sebelahnya Saras tampil cantik mengenakan kebaya indah berwarna putih rancangan seorang desainer kebaya ternama.
Penghulu dan saksi nikah sudah siap. Pak Yusuf, Ayah Saras tersenyum bahagia di samping penghulu. Ia menatap Aidan yang siap mengucap akad nikah.
“Silakan Pak Penghulu memandu ijab kabul.” Pak Argajaya tersenyum kepada lelaki tua berkopiah dan berjas hitam di depan Aidan dan Saras.
Pak Penghulu mengangguk tenang. “Sebelumnya saya akan jelaskan sedikit. Dalam proses pernikahan secara Islam sebelum melakukan akad nikah, ada beberapa syarat atau rukun nikah yang harus dipenuhi. Rukun nikah ini adalah. Ada pengantin pria. Ada pengantin wanitanya. Ada orang tua atau wali nikah bagi wanita. Ada saksi nikah bagi pria minimal 2 orang laki-Laki yang sudah baliq. Lalu yang paling penting dan akan kita laksanakan sekarang adalah acara ijab dan kabul.”
Pak penghulu melanjutkan. “Ijab adalah Kata-kata yang diucapkan oleh ayah dari pengantin perempuan atau walinya. Kabul adalah Kata-kata yang diucapkan oleh pengantin pria sebagai jawaban dari Ijab yang diucapkan ayah atau wali dari pengantin perempuan.”
Hadirin manggut-manggut mendengar ucapan Pak Penghulu.
“Prosesi Ijab Kabul ini adalah prosesi serah terima dari orang tua atau wali dari pihak perempuan yang hendak melepaskan putrinya untuk dinikahkan dengan sang pengantin pria. Maka dari itu Ijab kabul ini diucapkan oleh ayah dari pengantin perempuan kemudian dijawab oleh pengantin prianya.”
Pak Yusuf menatap pak Penghulu. “Saya siap menikahkan anak saya Saraswati Danisa dengan Aidan…”
Pak penghulu mengangguk. “Baiklah. Sebelum ijab kabul dibacakan saya akan bertanya lebih dulu kepada pengantin wanita. Saya harus tanyakan ini karena hal ini penting. Saudari Saraswati Danisa Binti Yusuf, apakah saudari menikah ini murni karena keinginan sendiri atau karena ada paksaan?”
DEEGG!
Saraswati kaget. Ia tak menyangka akan ditanya demikian oleh Pak Penghulu.
Aidan dan ayahnya juga kaget. Apalagi Pak Yusuf dan istrinya.
Dalam hati Pak Yusuf berpikir. Ia curiga pak Penghulu seolah tau bahwa ia yang lebih menginginkan Saras menikahi Aidan. Sekarang Pak penghulu menanyakan hal itu kepada Saras.
Pak penghulu melihat suasana jadi tegang karena pertanyaannya tadi. “Mungkin perlu saya jelaskan. Pernikahan tidak boleh terjadi karena paksaan. Jadi calon pengantin wanita memang menikah karena keikhlasan
dan kerelaannya. Bukan karena paksaan.”
Saraswati terdiam.
“Saya ulangi lagi pertanyaan saya.” Pak Penghulu menatap Saras. “Saudari Saraswati Danisa Binti Yusuf, apakah saudari menikah ini murni karena keinginan sendiri atau karena ada paksaan?”
BERSAMBUNG…….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Ani Mendur
biasa jo
2023-07-13
0
R_armylove ❤❤❤❤
mampir lagi ka
2021-03-31
0
Nyai iia
selamat pagi..
semangat up nya thor..
like kembali mendarat..
saling dukung yuk..
jangan lupa mampir ya dan tinggalkan jejakmu..
peluk manja "i will die in love"
2021-01-23
0