“APAA..?!” Saras dan Rama kaget mendengar ucapan Pak Yusuf. Mereka sampai berkata serempak.
“Betul yang dikatakan Papamu.” Bu Retno berkata dengan dingin. Ia tau Rama yang berada di sebelah Saras tak akan suka mendengar omongannya. “Aidan sudah tegaskan. Hutang Papa yang 500 juta ke Mr. Karl akan dia lunasi. Lalu semua biaya rumah sakit Papa akan ditanggungnya dengan satu syarat. Kamu harus mau menikah dengan Aidan!”
“Iya Saras.” Sambung Pak Yusuf. “Syarat itu mudah diikuti, makanya Papa dan Mama setuju kalau Aidan jadi suamimu.”
Saras jengkel. “Hei! Papa sama Mama gak bisa gitu. Yang bener aja mutusin hal penting gini tanpa persetujuan Saras?!”
Rama juga kesal. Merah padam wajah Rama mendengar itu.
“Omongan Saras benar. Om sama Tante gak bisa begitu.”
“Kenapa gak bisa?” Bu Retno sengit.
“Karena saya sudah lebih dulu melamar Saras. Dan Saras menerima lamaran saya!” Tegas Rama.
Pak Yusuf mengangkat kepalanya. “Apa benar?” Pak Yusuf menoleh ke Saras. “Lelaki ini sudah melamar kamu?”
“Iya Pa.” Sahut Saras. “Rama sudah melamar Saras dengan menyiapkan cincin berlian dan uang seratus juta. Saras setuju menerima lamaran Rama!”
"Haah..?! Kamu menerima lamaran dia yang cuma sanggup ngasih seratus juta?” Bu Retno sengit. Ia setengah hati melirik Rama. Lantas Bu Retno memegang tangan Saras. “Aidan itu bisa ngasih kita uang milyaran! Kamu harus pilih dia jadi suamimu!”
“Enggak!” Saras langsung berkata tegas. “Cinta bukan masalah uang, Ma. Saras mau menerima lamaran Rama karena dia baik dan sayang sama Saras.”
“Tapi dia Cuma sanggup ngasih kamu seratus juta.” Pak Yusuf jadi pusing. Ia memegangi dadanya yang tiba-tiba sesak. “Kita butuh uang jauh lebih banyak dari itu Saras….Hhh… Hhh…”
Nafas PakYusuf tiba-tiba berat. Ia memegangi dadanya. “Sakit… hhh…. Hhhh…” Eskpresi Pak Yusuf jelas menahan sakit yang luar biasa. Nafasnya memberat. Matanya tiba-tiba mendelik.
“Papa…” Bu Retno panik menatap suaminya.
“Papaa….!” Saras juga panik.
Rama kebingungan. Serba salah harus berbuat apa.
“Ini gara-gara kamu!” Bu Retno menatap Rama. “Suami saya gak suka kamu melamar Saras! Keluar kamu dari ruangan ini!”
*
BUUKK!
BUUKK!
BUUKK!
Tinju Rama mengenai batang pohon itu dengan keras. Rama kesakitan. Tapi dia gak perduli.
“Kamu gak bisa begitu Saras!” Ia lantas mendekati Saras yang terpaku bersender di samping mobil. “Masa kamu mau mencampakkan aku begitu aja?!”
Saras mau menangis. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. “Ini bukan keinginanku Rama. Ini aku lakukan supaya Papaku sehat. Supaya masalah hutang keluargaku teratasi.”
“Tapi kamu sekarang mau melupakan aku dengan gampang. Seolah aku sampah yang gak ada gunanya. Cuma karena setan itu bisa ngasih uang banyak ke keluarga kamu!” Rama menumpahkan unek-uneknya.
“Dia bukan setan. Kamu aja yang nganggap dia begitu.”
“Nah.” Rama makin kesal. “Sekarang kamu mulai belain dia! Kamu sudah mulai suka sama dia!”
“Aku bukan belain dia Aidan. Aku sekarang lagi belain Papaku yang kondisi jantungnya tambah memburuk. Aku pasti nyalahin diriku kalau sampai Papa meninggal karena marah sama aku. Dan yang pasti, aku gak mau Papaku meninggal….”
Rama terdiam. Ia menatap Saras seolah Saras bukan gadis yang sudah beberapa tahun ini mengisi hatinya.
Saras mematung. Menatap jauh ke depan ke arah belantara gedung-gedung bertingkat jakarta yang terlihat dari tempat parkir rumah sakit itu. Tapi sesungguhnya ia tak melihat kesana. Pikirannya sedang kemana-mana.
KLONTANG!
Sebuah kaleng minuman ringan yang tercecer dekat tempat sampah ditendang Rama dengan keras. Kaleng itu terpelanting menjauh.
Saras terganggu mendengar suara kaleng itu. “Kamu jangan bikin aku tambah pusing, Rama. Kamu harus ngertiin aku!”
“Oh gitu.” Rama sinis. “Sekarang aku disuruh ngertiin kamu. Tapi kamunya gak mau ngertiin aku! Iya?! Kamu egois sekarang. Mana janjimu yang bilang kamu gak akan berpaling ke orang lain karena kamu sudah nerima lamaran aku? MANAAA..??!!”
Saras tak menyahut.
Rama mendekati Saras. Ditariknya wajah Saras agar menghadap wajahnya. “Aidan itu sudah membuat Bapakku meninggal dalam kondisi stres. Dan sekarang dia juga merebut pacar yang sudah siap aku nikahi. Aku pasti dendam dengan orang sejahat dia!”
*
“Ha ha ha ha…” Tawa Pak Argajaya Wibowo, Papanya Aidan berderai.
Ia bersama Aidan, Saras, Bu Retno dan Pak Yusuf berada di halaman belakang sebuah rumah yang besar dan megah di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Halaman rumah itu luas dan asri. Mereka sedang minum teh dengan santai sambil menatap kejernihan air sebuah kolam renang yang ada disitu. Di meja tampak banyak makanan enak dan buah-buahan segar terhidang.
“Silakan… Silakan Saras, Bu Retno, Pak Yusuf . Silakan dinikmati hidangan ala kadarnya di gubuk kami.” Pak Argajaya merendah. Suaranya empuk dan ramah.
Saras membatin. Kalau rumah semegah dan seluas ini dibilang gubuk, tentu rumah papanya yang sederhana lebih pantas dibilang kotak peti kemas.
“Pak Argajaya ini dulu teman akrab Papa waktu masih kuliah. Dulu…. waktu masih sama-sama kere.” Pak Yusuf tertawa sambil bercerita ke Saras.
“Ah, sekarang juga masih kere. Biasa aja.” Pak Argajaya kembali merendah. “Kebetulan aja saya kebeli rumah di Pondok Indah.”
“Iya. Kebetulan juga perusahaannya maju. Mobilnya banyak. Rumahnya gak cuma satu. Punya vila keren. Punya kebun luas berhektar-hektar di Puncak.” Pak Yusuf menimpali. “Semua serba kebetulan ya, Pak?”
Semua orang itu ngakak. Tubuh Pak Argajaya yang gemuk sampai terguncang-guncang mendengar gurauan Pak Yusuf.
Saras melihat Papanya sangat gembira. Tampak segar dan bersemangat. Jauh berbeda dengan beberapa hari lalu saat kondisi jantung Papanya memburuk selama 2 hari. Setelah Saras berjanji akan mematuhi keinginan Papanya agar mau jadi istri Aidan. Tiba-tiba Pak Yusuf kembali segar seolah tak pernah sakit jantung.
“Nah, bagaimana Saras?” Pak Argajaya menatap Saras. “Om mengundang kalian kesini karena Om setuju Aidan menikah sama kamu.”
“Tapi Om. Saya sama Aidan baru kenal. Aneh aja tiba-tiba Aidan mau menjadikan saya istrinya?” Saras bicara jujur.
Aidan tersenyum. “Umurku sudah 33 tahun. Sudah capek putus melulu dengan perempuan cantik. Sekarang aku butuh perempuan yang gak cuma cantik. Aku butuh perempuan yang perhatian dan hatinya baik.”
Saras dan orang-orang disitu menyimak ucapan Aidan.
“Waktu kamu sibuk memikirkan Papamu.” Aidan menatap Saras. “Aku langsung punya feeeling bagus ke kamu. Kamu bukan sekedar cantik. Kamu gadis yang baik dan perhatian. Kamu pasti bakal jadi istri yang hebat.”
Saras tersanjung. Lelaki tampan, gagah dan kaya raya ini memujinya. Harus diakui Aidan makin mempesona di matanya. Ah, pasti Rama memang hanya kelewat benci karena Aidan lebih segala-galanya dibanding Rama.
“Jadi aku dengan tulus bilang ke kamu.” Aidan tiba-tiba menunduk. Kaki kanannya di depan sementara kaki kirinya lurus serata tanah. Ia mengeluarkan sebuah cincin yang berkilauan dari kantong bajunya. Diangsurkannya cincin itu ke dekat tangan Saras. “Maukah kamu jadi istriku Saraswati Danisa?”
Saras diam. Ia melihat Aidan berlutut di depannya. Ia melihat Papanya, Mamanya dan Pak Argajaya menunggu jawabannya.
Saras ingat. Rama melakukan hal yang sama beberapa hari lalu. Dan sekarang ada lelaki lain yang melamarnya. Ah, apakah ia tak menghianati Rama hanya karena Aidan lebih didukung Papa dan Mamanya?
“Bagaimana Saras? Apa kamu bersedia menerima lamaranku?” Aidan mengulang ucapannya.
Semua orang itu menatap Saras.
Saras rikuh. Ia tahu semua orang menunggu jawaban dari bibirnya.
BERSAMBUNG…….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Anthy Khalid
pasti ada rasa menyesal nantinya pd diri saras...tdk mempercayai omongan rama.
semudah itukah cinta berpaling...hanya krn harta😏😏😏
2021-05-29
0
Cut Aya Sofia
ada orang tua sebegitunya
2021-02-15
1
🌻Ruby Kejora
like mendarat
2021-02-09
1