Tiba di kafe yang disepakati untuk bertemu dengan Dimas,
"Huuuuuuuuhhhhhh,,, " Ana menarik nafas dan membuangnya perlahan untuk mengurangi rasa gugupnya, selama perjalan dengan sepeda motor metiknya Ana terus memikirkan apa yang harus dikatakan pada Dimas, apakah Dimas mau melamarnya? Ataukan dia akan beralasan seperti dulu. Ana bahkan menyiapkan wajah memelas agar Dimas mau segera melamarnya, hanya melamarnya, dia tidak akan minta langsung dinikahi secepatnya. Ana hanya ingin terbebas dari perjodohan itu. Lambaian tangan Dimas menyambut Ana saat masuk ke dalam kafe, Ana tersenyum dan menghampirinya tak perlu dipersilahkan dia langsung duduk.
"Aku udah pesenin minum buat kamu, es kopi latte." Kata Dimas menyodorkan minuman favorit Ana seperti biasa. Ana tersenyum dan menerimanya.
"Kenapa Na, ada masalah?" Tanya Dimas setelah Ana meminum kopi lattenya yang sudah hampir habis setengah gelas karena gugup. Ana masih bingung harus bicara apa pada Dimas. sementara itu Dimas masih menunggu.
"Hei, udah lama?" Spontan Ana berbalik badan menuju suara khas yang sangat di kenalnya. 'Stela? Kenapa ada disini' batin Ana.
"Kenapa Na, kok kaget gitu sih?" Tanya Stella yang langsung duduk di samping Dimas sambil mengglendotkan tangannya ke tangan Dimas. Ana memperhatikan tingkah Stela, bahkan Dimas membiarkannya.
"Oh,,, ini,?" Stela mengacungkan tangannya yang sedang berpegangan erat dengan Dimas, Dimas terlihat tersenyum kecut, Ana masih bingung dan mulai merasakan tak enak dalam hatinya.
"Aku sama Dimas jadian, Anaaaa!" jawab Stela setengah berteriak, yang tak sadar mengguncangkan seluruh dunia Ana, bagai petir ditengah terik matahari. Ana terdiam matanya masih tertuju pada 2 sosok di depannya. panas tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya, ada rasa perih di hatinya, dia menghela nafas panjang, untuk kembali mendinginkan pikirannya.
"Yey,,,,!!!! Selamatnya untuk kalian." Ana langsung merubah ekspresi nya mencoba menutupi hatinya yang terasa teriris, dia menatap sahabatnya. Tapi bagaimana pun dia mencoba, air matanya tetap tak bisa ditahan, merembes lewat ujung mata kirinya.
Ana memeluk Stela, sambil berusaha menghapus air matanya agar tidak terlihat oleh sahabatnya.
"Akhirnya, kalian jadian,,, selamat ya,,,," ucap Ana masih memeluk sahabatnya. Ana memandang Dimas mencoba mencari kejelasan, Dimas hanya menundukkan kepalanya.
"Terimakasih Ana," Stela membalas pelukan Ana.
"Berarti hari ini kalian traktir aku dong anggap aja sebagai perayaan jadian kalian. Eh sejak kapan kalian jadian?" Ana mencoba meredam sakit di hatinya yang teriris semakin dalam. Dimas hanya diam, dia bahkan tak berani menatap mata Ana. Satu jam berlalu Ana pamit dengan alasan tak mau menjadi obat nyamuk.
Dalam kamar Ana, dia menumpahkan segala kekecewaan nya lewat air mata. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Begitu banyak pertanyaan dalam benak Ana, yang jawabannya hanya bisa dia terka sendiri. Ana tak menyalahkan Stela, karena memang Stela tak tahu apa-apa. Air mata yang terus mengalir deras sudah tak bisa dibendung lagi, hingga Ana tertidur karena kelelahan.
"Teteh,,, teeeehhhhh,,,, bangun!" Dini mencoba membangunkan Ana dengan menggoyang badannya. "tidur kaya kebo gini" sungut Dini yang kesusahan saat membangunkan Ana.
"Woi, bangun!" Teriak Dini tepat di telinga kakaknya yang membuat Ana langsung terbangun karena kaget.
"Hah! Apa?" Tanya Ana yang langsung terduduk. Matanya masih berat untuk membuka, terlebih setelah dia menangis lama.
"Ih, teteh abis nangis ya?!" Tanya Dini melihat mata kakaknya bengkak. Barulah Ana tersadar,
dia mengusap mata dengan tangannya. "Emang keliatan banget ya, Dek? Tanya Ana sambil beranjak menuju cermin di kamarnya.
"Astaga! Aduh gimana ini?! Nanti kalo mama sama ayah nanyain gimana?!"
"Ya teteh pake nangis segala, emang nangis kenapa?" Tanya Dini kepo, terlebih karena khawatir, jarang dia liat kakaknya menangis sampai matanya bengkak seperti itu, dia pikir mungkin ada masalah besar.
Ana hanya tersenyum, mendengar pertanyaan adiknya, dia tau kalau Dini khawatir dengan keadaannya seperti itu.
"Dek, coba kamu ambilin es batu, teteh mau nyoba kompres mata pake es batu," kata Ana pada adiknya.
"Huh! Tapi teteh cerita ya, kenapa sampe nangis, kalau gak! Aku aduin ke mama kalau teteh abis nangis,"
"Iya, iya,,, nanti teteh cerita, udah cepetan sana!" Ana memaksa adiknya membalikan badan mendorong menuju pintu kamarnya.
Daripada es batu, ternyata Dini lebih memilih membawa air es dalam wadah juga saputangan kecil.
"Buat apa, dek? Teh Ana dibangunin belum, udah mau magrib ini," tanya mama Meti sambil menyiapkan makan malam.
"Udah mah, ini buat teteh katanya buat maskeran." Jawab Dini singkat sambil melengos meninggalkan mama Meti di dapur.
Dini masuk ke kamar Ana,
"ada, dek? kok airnya sih? tetehkan bilang es batu!" tanya Ana sewot setelah melihat apa yang di bawa adiknya.
"biar gampang ngomresnya Ari teteh, pake es batu mah bisi susah, udah sini biar aku yang kompres, teteh tiduran aja." jawab Dini tak kalah sewot. Adiknya yang satu-satunya ini memang aga judes tapi kalo ada apa-apa, justru dia yang paling perhatian. sambil dikompres, Ana menceritakan semua yang terjadi antara dia, Stela dan Dimas yang mulai membuatnyaterisak lagi, air matanya meleleh melalu sudut matanya yang sedang dikompres adiknya.
"ya udah gak usah dipikirin, untung ketahuan sekarang kalo a Dimas itu ternyata gak bisa dipegang omongannya, coba kalo nanti pas udah dilamar misalnya, ih ngeri!" jawab Dini yang seperti menggoyangkan badannya merasa ngeri. Ana tersenyum mendengar adiknya, kenapa adiknya tiba-tiba dewasa begini, tapi apa yang adiknya katakan itu memang benar, walaupun begutu tak bisa dipungkiri kalau sakitnya seperti ditikam dari belakang apalagi setelah apa yang dikatakan Dimas yang memintanya menunggu.
"inget ya teh, laki-laki itu yang dipegang ucapannya. bukan belalainya, hahaaaa,,,, " kok jadi kebalik ya, dewasaan adeknya, heheee,,,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 130 Episodes
Comments