"Huh, lelahnya," gumamku sembari merebahkan tubuh ini pada kasur king size. Setelah tadi siang sempat berdebat dengan Mama, tetap saja aku kalah aku tidak bisa membatalkannya.
"Huwa! Kenapa hidup gue berubah kek gini sih, awas ya lo An, setelah kita nikah gue bakalan buat perhitungan sama lo," ujarku dengan penuh semangat membara. Karena dia aku tidak bisa bebas lagi ke mana-mana. Rasanya aku ingin berteriak saja bahwa aku tak menginginkannya. Ck, tapi kamu jangan munafik juga Za, bohong kamu kalau gak tertarik sama Devan.
"Argh, pikiran sialan, Devan, Devan, dan Devan, kenapa harus dia?" tanyaku pada diri sendiri sembari mengacak-acak rambut ini frustasi.
Dert! Dert! Dert!
Tiba-tiba ponselku berdering pertanda ada panggilan masuk, kuambil ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kulihat nomor tanpa nama si penelpon tertera di layar ponsel ini. Langsung kumatikan saja tampa mengangkatnya. Bodohlah siapa yang menelpon siapa suruh gak punya nama.
Dert! Dert! Dert!
Ponselku berbunyi lagi, nomor yang sama yang menelponku tadi.
"Aish, ini siapa sih? Ganggu aja! Orang mau istirahat juga," tuturku sedikit geram. Kugeser saja ikon hijau penerima panggilan itu.
[Cewek aneh, kenapa lo matiin panggilan gue tadi?]
Aku menjauhkan ponsel ini dari telinga dan menatap layar ponsel yang tertera nomornya. Astaga ini Devan? Ya, ini dia si pria brengsek yang sialnya unyu-unyu itu kata Mamaku.
"Lo ambil nomor gue di mana, Cil?" tanyaku balik tanpa menjawab pertanyaannya.
Kudengar dia berdecih di seberang sana.
[Itu tidak penting, besok gue jemput lo, jadi lo harus siap-siap,"]
Tut! Tut! Tuk!
"Halo, halo? Woi, dasar bocil main matiin aja, awas lo ya, buat emosi aja tuh bocah," geramku dan melemparkan ponsel ini ke sisi tempat tidur. Besok, udah fiting dan lusa udah nikah. Oh, astaga, secepat inikah?
"Daripada aku pusing sendiri lebih baik aku tidur, hari ini sangat melelahkan," gumamku sebelum menutup mata dan terjun ke alam mimpi.
***
"Hoam!" Selamat pagi dunia, aku menguap saat bangun dari tidurku berusaha mengumpulkan nyawa seraya celingak-celinguk sana sini sampai mataku tertuju pada pahatan manusia tanpa celah yang sedang mentapku datar.
"Kenapa lo ada di situ?!" tanyaku pada seorang pria tampan yang sedang duduk di sofa kamarku.
"Ck, Dasar pemalas, lo pasti lupa dengan janji kita semalam 'kan?" tanyanya. Pria itu Devan, dengan seenak jidatnya masuk ke dalam kamarku dan duduk di sofa kesayanganku juga. Apa Mama sama Ayah tidak melarangnya? Oh, aku tahu mereka pasti telah dihipnotis jadi membolehkan Devan masuk ke dalam kamar anak gadisnya.
"Si-siapa yang lupa?" tanyaku balik sembari menutupi tubuhku sampai leher yang menggunakan piyama bermotif hello kitty.
"Hm, ileran lo masi ada tuh, buruan mandi gue tunggu di bawah." Mataku membulat lantas ku raba pipiku dan tidak ada bekas ileran di sana seperti apa yang Devan katan.
"Awas ya lo, gue bakalan buat perhitungan sama lo!" teriakku tidak terima. Namun, tak dihiraukan oleh Devan karena dia telah berlalu.
Bisa-bisanya dia mengataiku pemalas ileran, awas kamu ya, kita lihat saja nanti. Aku kemudian bergegas ke kamar mandi tidak biasanya aku kesiangan seperti ini. Semua ini gara-gara si Devan.
Aku hanya butuh 15 menit untuk mandi, cepat bukan? Hah, itulah aku tidak ingin terlalu ribet masalah mandi. Hari ini aku menggunakan dress putih gading sebetas lutut yang mengembang di bawa serta terbuka di bagian bahu sehingga mempertontonkan bahu mulusku. Aku melengkapi penampilanku dengan se-set perhiasan yang senada tidak lupa tas tangan yang senada pula dengan dress ku. Fiks, Elza kamu sangat cantik hari ini. Pujiku pada diri sendiri saat menatap pantulan diri ini pada cermin. Aku kemudian tersenyum dan berlalu untuk menemui pria unyu-unyu itu.
Tap! Tap! Tap!
Suara heelsku bertaluh merdu saat bersentuhan dengan lantai. Bagaikan seorang putri raja aku turun perlahan mataku menelusuri di mana gerangan pria itu dan aku melihatnya saat sudah sangat dekat dengan ruang tamu. Kulihat Mama tersenyum ke arahku begitu juga Devan yang menatapku tanpa berkedip. Aku tahu aku ini cantik, tapi tidak segitunya juga kali. Aku mencibir dalam hati. Namun, tak kuperingatkan hanya senyuman yang senantiasa terbit di bibir pinkku.
"Aiyo, anak Mama kok cantik banget, kalau kamu dandan seperti ini kamu terlihat dewasa, Sayang," puji Mamaku yang membuat bibir ini membentuk lengkungan bulan sabit.
"Makasih, Ma, kalau gitu Elza pergi dulu, ya," ujarku pada Mama belum melirik Devan sedikit pun.
"Iya, Sayang. Sebentar Mama menyusul kalian bersama Ibu Filza," tutur Mamaku tersenyum cemerlang.
Aku hanya mengangguk kemudian melirik Devan. "Ayo," ajakku.
"Ma, kami pergi dulu, ya," pamit Devan ramah. Jika, aku melihat sifat sopan dan ramahnya rasanya bibir ini ingin memaki. Kenapa dengan ku dia tidak sopan padahal aku ini lebih tua darinya. Oh, tidak-tidak jangan ucapkan kata tua Elza itu adalah kata keramat. Ok.
"Kalian hati-hati, ya," kata Mama lagi.
Kami pun pergi meninggalkan kediamanku. Di mana Devan masih saja diam, bodohlah dia kan memang seperti itu. Unyu-unyu, tapi es batu.
Saat kami di dalam mobil hanya keheningan yang mengisi sepanjang perjalanan. Sampai ponselku berdering.
Dert! Dert!
[Assalamualaikum, Za.]
"Waalaikumsalam, kenapa Din?" tanyaku saat menjawab telepon dari sahabatku Dinda.
[Za, hari ini ada teman-teman sekolah kita dulu ngadain reuni dan mereka nyuruh gue buat kasih tahu lo, lo mau dateng?] Kudengar suara Dinda di seberang sana syarat akan kekhawatiran.
"Baik, gue bakalan pergi, shareloc aja di mana tempatnya kita reuni," jawabku santai, aku melirik Devan sekilas. Hm, ini saatnya membuat mereka bungkam.
Setelahnya aku mematikan sambungan telepon dan memeriksa lokasi di mana reunian itu diadakan.
"Veranda hotel!" gumamku menyebut lokasi reunian itu.
"Cil, ehem Ian, kita ke Veranda hotel soalnya temen-temen gue ngajak reunian," ujarku padanya.
"Please!" mohonku dengan jurus pupy eyes.
Kulihat Devan memutar mata jengah, tapi tetap memutar balik mobilnya menuju ke lokasi tersebut.
"Makasih, Ian, gue sayang lo," ucapku spontan yang tidak kusadari apa yang sedang kukatakan.
Sementara Evan, ternyata tersenyum tanpa sepengetahuanku.
Tak berapa lama kami pun sampai di hotel tersebut. Devan dengan stelan jas mahalnya lengkap dengan kacamata bertengker apic di hidung bangirnya yang membuat Devan berkali-kali lipat lebih tampan.
"An, nanti di sana lo pura-pura jadi pacar gue ya," tuturku saat kami telah turun dari mobil Devan.
"Kenapa harus pura-pura, bukannya kita akan menikah?" tanyanya sembari menatapku dalam.
"Iya-iya," jawabku cepat.
Devan lalu memberikan lengannya yang kusambut dengan senang hati. Kami berjalan menyusuri koridor hotel, hingga kami dituntun ke sebuah ruangan tempat reunian berlangsung.
Ceklek!
Aku membuka pintu dan langsung disambut gelak tawa para teman se-perjuanganku dulu yang banyak tidak menyukaiku.
"Za, sini," panggil Dinda ketika melihatku. Aku menarik Devan untuk ikut bersamaku duduk di meja yang berbentuk bundar, di sana teman-temanku sudah berkumpul banyak yang membawa kekasih, istri dan suami mereka serta teman-teman yang belum juga menikah seperti ku turut hadir.
"Yo, yo, inikah Elza? Wah, penampilanmu berubah setelah sekian lama ya?" Kudengar suara temanku yang kuingat bernama Ririn sembari menatapku sinis.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman sembari kembali mengobrol singkat dengan Devan.
"Apakah kamu tidak ingin memperkenalkan siapa pria sewaanmu itu?" tanya Ririn dengan nada cibiran.
Pria sewaan, maksudnya? Aku tidak habis pikir ternyata dia masih sangat membenciku.
"Maksudmu pria sewaan?" tanyaku pada akhirnya. Aku sedikit bingung mendengar tudingannya.
"Ha ha ha!" tawa mereka semua pecah kecuali Dinda yang menatapku ibah.
"Ya, siapa yang ingin berpacaran denganmu yang punya kelainan," ujar Ririn lagi semakin merendahkanku.
"Kau tak usah sungkan Za kita semua tahu kau tak mempunyai seorang kekasih dari zaman SMA hingga sekarang, kalau kau ingin aku bisa mengantarkanmu dengan satpam hotel di bawa yang umurnya masih 50-an tahun dan hanya mempunyai dua anak," tutur Dito. Pria yang dulu mengejarku. Namun, aku tolak.
"Kalian sudah keterlaluan," ucapku geram. Saat aku ingin berdiri memaki mereka. Devan menahan tanganku.
"Maaf Pak, tapi saya rasa Anda akan kecewa, karena saya adalah calon suami Elza dan besok kami akan menikah, kalau kalian tidak percaya ini undangan pernikahan kami," ujar Devan sembari mengeluarkan beberapa amplop berwarna merah maron yang kuyakin adalah undangan. Undangan itu bertuliskan tinta emas, jelas namaku dan Devan tertulis di sana. Aku terkejut melihat undangan itu, sampai sejauh mana Devan menyiapkan pernikahan kami?
Mereka sempat kaget, terutama Dito dan juga Ririn.
"Ha ha, kau pikir kami percaya?" bantah Dito tidak ingin mengalah.
"Itu pasti hanya barang yang kau buat sendiri atas permintaan Elza," tambah Ririn yang makin merendahkanku.
"Ha ha ha." Tawa mereka kembali pecah.
"Yasudah, kalau kalian tidak percaya. Sayang, sebentar kalau kau ingin melamarku di kapal pesiar 'kan," ujarku sembari menatap Devan dengan tatapan penuh cinta. Tujuanku untuk membuat mereka cemburu.
Kudengar teman-temanku berbisik-bisik kagum.
"Halah, kamu pasti mengada-ada," ejek Ririn padaku.
"Ya, benar Sayang, kamu ingin apa lagi ketika aku melamarmu?" tanya Devan lembut.
"Aku ingin kapal itu dihias dengan sangat romantis," jawabku sembari melemparkan senyum penuh cinta ke arah Devan yang juga membalas senyumanku.
"Baik, apa pun untuk calon istriku tercinta," ucap Devan lagi seraya mengusap kepalaku lembut.
"Huh, kebetulan aku kenal dengan pemilik perusahaan yang menjual kapal pesiar, mau aku telepon agar kalian mendapatkan bonus," tutur Dito sembari menatap kami remeh.
Devan menaikkan alisnya, "Silahkan, saya juga kenal baik dengan dia," balas Devan santai yang membuatku berdecak kagum.
"An, lo the best, tapi emang lo beneran kenal?“ pujiku padanya juga menanyakan apa hal itu benar? Tapi, sekelas Devan tak perlu diragukan pasti dia mempunyai banyak relasi. Devan hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku barusan.
"Hm, nomornya tertinggal di ponsel gue yang satu, kalian sepertinya tidak beruntung, ha ha," tawa Dito mengejek yang diikuti gelak tawa temanku yang lain. Rasanya aku geram melihat mereka, tapi Devan melarangku untuk bertindak.
"Ah, saya punya nomor telepon pemilik perusahaan tersebut, mau saya bantu telepon, 'kan?" tanya Devan santai. Dia kemudian menghubungi seseorang yang mendapatkan perhatian dari semua teman-temanku.
"Halo, Bang, kamu apa kabar?" tanya Devan di telepon dan dia melospeker sehingga semuanya dapat mendengar.
[Baik, masih ingat nelpon Abang kau rupanya,] jawab pria di seberang sana yang lagi-lagi membuat teman-temanku berbisik.
"Akhir-akhir ini aku sibuk di perusahaan jadi tidak ada waktu menghubungi Abang, oh iya. Aku ingin membelikan kapal pesiar untuk calon istriku, Bang," ucap Devan lagi dengan percaya diri.
[Untuk Adik ipar? Tidak usah dibeli Abang kasih sebagai hadia pernikahan kalian besok,] ujar pria di seberang sana yang menyebutku Adik ipar. Apa dia Kak Axel? Ha, seberapa kaya keluarga Prasetyo ini?
"Terimakasih, Bang, oh iya di sini aku sedang bersama temanmu," kata Devan sembari melirik Dito yang mulai lirik sana lirik sini.
[Siapa?]
"Namanya Dito, Bang, dia katanya berteman baik dengan Abang," ujar Devan lagi sembari menyeringai.
[Jangan percaya, sekarang banyak penipuan seperti itu,] balasnya di seberang sana.
"Baik, kalau begitu aku tutup, ya, salam buat Kakak ipar," ujar Devan sembari menutup panggilan telepon.
"Wah, ternyata calon suami Elza kaya raya."
"Apa tadi? Hadiah pernikahan mereka kapal pesiar?"
"Aku sangat iri."
Berbagai bisikan terdengar di telinga ini yang membuatju tersenyum sinis. Sebelumnya kalian meremehkanku, sekarang kalian memuji-muji. Meskipun Devan tidak bertindak aku bisa menyelesaikannya, tapi aku sangat berterima kasih.
"Alah, itu pasti sewaanmu juga 'kan Elza?" tuding Ririn yang menolak kalah.
"Ck, sudah ada bukti masih tidak percaya," cibirku.
"Ya, benar karena sekarang banyak penipuan," sindir Dito sembari menatapku sinis.
"Calon suamimu pasti hanya seorang karyawan biasa, tidak seperti dengan suamiku dia adalah seorang menager di Dexel Grup, salah satu perusahaan terbesar di Indoensia," ujar Ririn membanggakan suaminya. Ya, Dito dan Ririn adalah pasangan suami-istri.
"Dexel Grup? Bukannya itu perusahaan ku, hm aku baru tahu dia adalah menager di sana, dan aku tidak tahu ada karyawan yang seperti dia di perusahaanku," tutur Devan lirih yang mampu kudengar. Aku tentu kaget mendengarnya.
"Anda tahu siapa CEO di perusahaan itu?" tanya Devan tidak bersahabat.
"Ck, apa kau ingin kurekomendasikan?" tanya Dito dengan nada mencibir. Ingin rasanya kusumpal mulut bau Dito ini dengan kaus kaki.
"Anda besok tidak perlu datang ke perusahaan lagi," tutur Devan sembari menatap Dito datar.
"Emang kau siapa menyuruhku berhenti bekerja dari perusahaan tempat ku bekerja, ha?!" Dito geram mendengar penuturan Devan.
"Saya pemilik perusahaan itu. Saya tidak suka dengan karyawan seperti Anda, menyalahgunakan kekuasaan," lanjut Devan dengan masih tatapan yang sama.
Dito terdiam sejenak, begitupun dengan yang lainnya.
"Apa benar, dia pemilik perusahaan itu, Sayang?" tanya Ririn panik kepada suaminya—Dito.
"Gak mungkin, CEO di perusahaan gue masih di luar negeri." Dito berucap percaya diri. Karena dia belum pernah bertemu dengan atasannya itu, hanya mendegar namanya saja.
Teman-teman yang mendukung Dito dan selalu menjilatnya karena dia bekerja di Dexel Grup langsung saja kembali mencibir Devan.
"Gue kenal CEO di perusahaan gue, jangan ngaku-ngaku lo, dasar penip—"
Dert! Dert!
Dito tak dapat melanjutkan perkataannya. Karena kalimatnya terpotong oleh dering ponselnya.
"Ya, halo sekertaris, ada apa mencari saya?" tanya Dito ramah.
[Kamu tidak usah datang ke kantor lagi. Manusia bodoh! Kenapa kau memaki Bos kami.]
"Tapi, maksudnya Bos? Saya tid—"
Tut! Tut! Tut!
"Selamat bersenang-senang, ayo Sayang kita sudah telat untuk fiting."
Aku tersenyum. Ternyata Devan sangat hebat tidak sia-sia aku mengajaknya.
Rasakan kalian pasti tercengan, bukan? Ha, akhirnya bisa lega juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Sweetz Herlin
suka ceritanya😊😊😊
2020-12-30
1