"What?! Apa dia calon suamiku?"
Aku sedikit meninggikan suaraku, karena terkejut melihat seorang pria muda di depanku yang mengenakan setelan jas rapi. Tatapannya datar tak bersahabat tidak sesuai dengan wajahnya yang unyu-unyu itu. Astaghfirullah, aku tidak habis pikir Ayah sama Mama jodohin aku dengan pria yang 3 tahun lebih mudah dariku? Hell no! Yang benar saja, aku bukan tante-tante girang mau sama brondong.
"Ck!" Kulihat pria yang sialnya tampan itu berdecih tak suka ketika aku menunjuknya.
"Za, jangan gitu jaga sikapmu," peringat Mama padaku. Aku hanya memutar bola mata jengah.
"Gak pa-pa Jeng, namanya juga anak muda, omong-omong anakmu cantik ya Jeng, cocok dengan Devan, anakku," tutur seorang wanita paruh baya yang masih cantik di usianya yang sudah tak muda lagi. Wanita itu bernama Ibu Filza— Ibunda Devan tentunya.
Hari ini adalah hari di mana aku bertemu dengan keluarga si pria yang kutahu namanya Devan. Aku tidak menyangka ternyata calon suamiku masih muda dan berwajah manis berbeda dengan tatapannya yang garang seperti singa.
"Ha ha, iya bener Jeng, mereka emang cocok, walau Elza lebih tua 3 tahun dari Devan, tapi mereka tampak serasi karena wajah Elza masih seperti remaja 19 tahun." Aku tentu tersenyum mendengar pujian dari Mama, siapa sih yang gak mau dipuji awet muda.
"Tapi, Devan gak mau nikah sama Tante-tante."
Mataku membulat sempurna saat Devan mengatakan hal tersebut, pria yang baru beberapa menit lalu kutahu mamanya. Pria ini sok sekali, dia tidak secara langsung telah menghinaku tua. Iya, meskipun aku tahu berapa usiaku sekarang, tapi gak terlalu jauh juga 'kan dari dia? Jadi, kenapa dia malah bilangin aku tante-tante? Gak Tante girang aja sekalian yang nikahin berondong itu.
"What?! Tante-tante kamu bilang?" tanyaku dengan raut wajah seram.
"Hm."
Aku menatapnya penuh dengan permusuhan, karena di sini masih ada Ayah. Jadi, aku tidak terlalu memperlihatkan sifat asliku.
"Kamu pikir kamu siapa, kunyu?! Dasar bocil," sungutku tidak terima. Aku sudah tidak tahan mengeluarkan sumpah serapah untuknya.
"Sudah-sudah, kalian ini baru bertemu sudah seperti Tom and Jerry, saja," sela Ayah menghentikan peperangan sengit yang tercipta di antara kami.
Aku langsung saja memalingkan wajah ke arah lain sama halnya dengan Devan. Seakan ada percikan petir ketika mata kami bersiborok yang menandakan adanya permusuhan yang telah muncul di antara kami.
"Devan, kamu tidak boleh seperti itu kepada calon istrimu," tegur papa Devan yang membuatku tersenyum kemenangan menatapnya.
'Rasain lo, kena semprot 'kan!'
Devan hanya diam saja mendengar teguran papanya, tapi ia tentu saja menatapku jijik. Mata bulatnya yang berembun tampak sangat imut ketika menatapku tajam.
Jika, orang lain yang berada di depan Devan pasti ia akan langsung menerjangnya dan mencubit pipi gembilnya. Entah, skincare apa yang ia gunakan kenapa ia bisa memiliki kulit yang putih bersih serta tembem. Arkh, aku insecure sama pria ini.
"Eum, kalau begitu kalian pergi keluar dulu, kami ingin membicarakan sesuatu mengenai persiapan pernikahan kalian," usir Mama secara halus kepada kami.
"Ogah!" tolakku mentah-mentah.
"Elza!"
"Huft" Aku hanya mampu menghela napas kasar, jika Ayah sudah begini tiada pilihan lain, karena aku sangat menghormati beliau.
"Ya, ya, Elza mau, eih bocil buruan lo," ucapku sembari menatapnya sengit. Kulihat dia mendengkus tidak suka seperti sapi saja, pikirku ngelantur.
* * *
Di sini kami sekarang, di dalam mobil yang sangat dingin pasalnya tuh bocil malah natap inces yang cantik ini kayak mau bunuh aja.
"Woi, kenapa lo natap gue kek gitu, dasar bocil, ah gue tahu, lo suka sama gue 'kan," tudingku padanya. Mataku memicing ketika melihatnya, dan ia malah memutar mata jengah.
"Ck, yang benar aja gue suka sama Tante-tante tepos, kerempeng kayak lo," sanggahnya sembari mengejekku tepos kerempeng.
"Dasar laki gak punya hati lo, tega banget lo ngatain gue tepos," ujarku sembari menatapnya tajam. Jujur harga diriku rasanya telah dilukai secara tidak langsung, padahal aku tidak tepos dan kurus-kurus amat kok. Ukuran bra ku saja 34 itu dikatain tepos? Mungkin karena bodyku gak mirip gitar spanyol jadi dia ngatain aku tepos. Sudahlah, nanti dia nyesel sendiri, tapi nyesel karena apa, Za? Ngaco kamu! Bocil kayak dia mau nyesel karena kamu? Gak akan.
Dia cuma diam mendengar protesku. Karena tak mendapat respon aku coba membuka pintu mobil. Namun, sialnya dikunci sama dia.
"Eh, bocil. Lo kok kunci pintunya, sih?!" sungutku tidak suka.
Dia kemudian menolehkan kepalanya menatapku. Tatapannya begitu dalam dan tajam seakan mata hitam sekelam malamnya itu sedang memperangkatku dalam ilusi sesaat. Aku dibuat diam saat Devan mendekat ke arahku. Aku langsung saja menutup mata mewanti-wanti jika nantinya dia akan menciumku.
Tak!
"Awh!" ringisku saat dia menyentil dahi ini. Astagah, tidak sopan sekali bocah ini kepadaku.
"Pede banget lo, pasti lo mikir gue bakalan cium lo 'kan, jangan mimpi deh," ketusnya sembari menatapku rendah.
'Sialan nih bocah, percuma punya wajah kek bayi, tapi ucapannya pedes amat sampai ngalahin saus samyang,' geramku dalam hati.
"Tuh, sabut pengaman lo belum kepasang, pasanga gih, soalnya gue takut lo nanti mati pas gue bawa mobil," ucapnya tenang ya membuatku mengeryitkan dahi.
Aku kemudian memasang sabut pengaman sesuai dengan perintahnya, dan tidak kusangka ia akan mengendara secepat ini.
"Eh, Bocil! Lo mau buat gue mati muda, ha?! Gue belum nikah woi, kurangin kecepatan berkendara lo, atau gue telepon Mama dan laporin lo," ancamku. Jujur sekarang aku sangat takut pasti wajahku sudah pucat pasih.
"Ck, dasar anak Mama," ejeknya, tapi tetap mengurangi laju kendaraannya yang membuatku mengehela napas legah.
Tak lama, laju mobilnya semakin memelan dan berhenti di sebuah restoran tradisional. Aku lihat papan nama yang tertera di restoran itu.
"Restoran Pingoo?" gumamku.
Aku tahu restoran ini, walaupun restoran ini masih baru, tetapi sudah banyak peminatnya. Konsepnya yang sangat unik yaitu rumah pantai membuat kita betah berlama-lama di restoran ini. Bagaimana tidak ketika kita di dalam restoran kita akan disuguhi pemandangan pinguin berjenis humboldt di dalam wadah raksasa yang sangat dingin.
"Wah, lo suka ke sini, Cil?" tanyaku antusias saat kami berjalan masuk ke dalam restoran.
"Ck, gak usah manggil gue Bocil, nama gue Devan! Ngerti lo, dasar Tante-tante," balasnya mencibir.
"Tapi, lo jangan manggil gue Tante-tante," ujarku akhirnya yang tak ditanggapi olehnya. Jadi, aku hanya mengedikkan bahu.
Devandra Adiguna Prasetyo pria muda berusia 24 tahun dan sekarang dia sudah menjabat sebagai seorang CEO. Namanya sekarang sangat banyak diperbincangkan karena usianya yang masih sangat mudah. Akan tetapi, sudah mampu membawa perusahaannya ketingkat kejayaan. Walaupun dia menjabat masih 1 tahun lamanya, tapi dia sudah bisa meningkatkan profit perusahaannya, sangat hebat bukan? Seperti itu yang kudengar dari Mama semalam dan aku juga mencarinya dipencarian. Mengetik namanya di sana, dan sangat terkagum-kagum ketika membaca profilnya. Pria itu seakan tiada cacat sedikitpun. Namun, ia tak pernah memposting fotonya sehingga tidak ada foto yang terpasang di portal berita ataupun gosip ketika perusahaannya mengalami kemajuan pesat.
Kami masuk dan memilih meja paling pojok yang sedikit berdekatan dengan akuarium raksasa itu sehingga memudahkanku menikmati si pinguin yang sedang bermain-main.
Tak berapa lama kami duduk, pramusaji datang untuk mencatat pesanan kami.
"Saya pesan New York Cheese cake, Mbak," ucapku menyebut pesanan yang kuinginkan.
"Unagi pake bowl." Devan menyebutkan pesanannya dan memberikan buku menu itu kembali kepada pramusaji.
"An," panggilku dia langsung saja melirikku sekilas seraya menaikkan alisnya. Aku sejenak menelan ludah kasar. Jujur jika dia seperti itu tenang, dia sangat tampan. Uh, apa yang kupikirkan, fokus Za.
"Bolehkan gue manggil lo, Ian?" tanyaku sedikit ragu. Meskipun sangat jauh dari namanya, tapi nama itu lucu.
"Terserah!" jawabnya singkat. Lama-lama aku risih juga dia hanya ngomong singkat dan berwajah datar seperti itu, tapi meski dia bersikap seperti demikian tak jarang wanita meliriknya seperti sekarang ini, banyak yang melirik Devan padahal dia tidak berbuat apa-apa. Ck, ingin kugorok rasanya mata para wanita itu, kenapa dia menatap milikku seperti itu. Eh, astagah apa yang kamu pikirkan Za.
Tak berapa lama, pesanan kami pun datang. Kulihat Devan mematikan ponselnya kemudian mulai fokus pada makanannya tanpa melirikku sedikit pun.
"Devan?!" Tiba-tiba kudengar seseorang memanggil nama Devan. Kulihat seorang wanita cantik seumuran dengannya tersenyum cemerlang saat tahu bahwa orang yang ia sebutkan namanya bernar orang yang ia kenal.
'Pasti wanita ini kekasih Devan, ha ha kesempatan nih, buat batalin pernikahan sialan ini,' batinku tertawa senang. Aku hanya diam tetap fokus pada makananku yang rasanya manis ini.
"Astaga, Devan, aku gak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini, kamu apa kabar?" tanyanya sembari tersenyum centil ke arah Devan yang ditanggapi wajar oleh pria unyu-unyu itu.
"Saya baik," jawabnya formal. Buset nih bocah, kalau dia bicara sama aku pasti bawaannya gak ngehargain plus seakan pengen ngajak tawuran. Eh, sekali pacarnya yang diajak bicara dihormati gitu.
"Eum, dia siapa, Dev?" tanya wanita itu yang pasti sedang menunjukku.
"Halo, saya Kakak sepupunya Devan, kamu siapanya Devan, ya?" jawabku memperkenalkan diri sebagai Kakak sepupu Devan, sangat ramah senyuman tulus terpatri di bibir ini. Kulihat Devan mengernyitkan alis seraya menatapku aneh, entah apa yang ia pikirkan.
"Oh, Kakak sepupunya. Aku kira pacarnya tadi, aku Nindy Kak, calon pacarnya Devan," balasnya sembari membalas uluran tanganku.
Ha ha, rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak saja. Calon pacar katanya? Aku saja calon istri. Ck, ck, banyak sekali pacar Devan ini, tapi ini bagus juga bisa aku batalin nih perjodohan semangat Elza.
"Eum, kalau gitu aku deluan ya, lagi ada urusan. Dev, aku deluan ya," pamitnya yang tidak ditanggapi oleh Devan.
Setelah kepergiannya aku menatap Devan aneh yang juga sedang menatapku.
"Ha ha, sekarang gue punya alasan buat tolak perjodohan ini, yes, yes," pekikku tertahan. Aku tidak bisa menahan rasa bahagia ini, walau rasanya tidak rela soalnya Devan sangat imut.
"Jangan mimpi, pernikahan kita sudah dipersiapkan. Jadi lo gak bisa batalin gitu aja," ketusnya.
"Ya, gue bisalah liat aja nanti, wlek," sanggahku sembari menjulurkan lidah ke arahnya yang membuat Devan mencibir.
"Kekanak-kanakan!"
Aku diam saja mendengar cibirannya dan kembali fokus ke makananku yang sangat enak ini, lain kali aku akan ke sini lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments