Bangun tidur berselimut resah. Entah mengapa sekilas suara wanita saat menelpon Dika semalam membuatku ku tak tenang.
Penasaran sungguh menyelimuti hati dan pikiranku, tapi egoku berkata jangan tanyakan apapun. Bukannya akan lebih baik jika memang Dika ada main dengan perempuan lain. Dengan begitu aku tak perlu susah payah untuk mencari alasan lepas darinya. Ku patut diriku di depan cermin. Kulit putih, rambut panjang dengan poni, mata bulat, kalau hidung aku susah mendeskripsikannya, mancung nggak pesek nggak, mungil juga nggak gede banget juga nggak, ya begitulah. Aku punya gigi yang rapi jadi aku sangat percaya diri ketika tersenyum. Tinggi badan memang aku hanya 155, agak mungil sih. Berat 45. Tapi jangan disangka aku gendut ya, beberapa bagian tubuhku membesar tepat pada tempatnya.
Rina mengawali paginya dengan sebuah monolog yang panjang. Setelah dirasa semuanya oke, akhirnya Rina beranjak meninggalkan kamar menuju meja makan untuk sarapan bersama Mamanya.
"Pagi Ma," sapa Rina pada mama.
"Pagi sayang. Mama masakin nasi goreng nih," kata Mama sambil menaruh nasi goreng di atas piring Rina.
"Aku aja deh Ma."
Akhirnya mereka berdua sarapan dengan diselingi beberapa obrolan ringan seperti biasa.
"Ma aku berangkat ya," pamit Rina kepada Mama setelah menandaskan makanan di piringnya beserta segelas susu.
"Berangkat sama siapa?" tanya Mama.
"Sama Dian Ma," jawab Rina sambil mencium punggung tangannya.
"Tumben, emang Dika ke mana?"
"Itu bocah sibuk kayaknya mah, persiapan olimpiade apa-apa gitu loh," ucap Rina dengan malas.
"Kok gitu sih ngomongnya, lagi berantem ya?"
Rina hanya mengidikkan bahu.
"Mama nggak mau ikut campur, yang jelas apapun itu selesaikan dengan kepala dingin. Kalaupun suatu saat pisah, Mama harap kalian tetap baik-baik," kata Mama sambil berjalan mengiringi Rina menuju depan rumah.
"Iya Ma, Mama tenang aja."
"Tuh Dian," kata Mama sambil menuju ke sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah.
"Rina berangkat ya Ma." Rina pun segera berlari untuk menghampiri Dian.
"Hai, kok nggak masuk deh kamu tadi udah lama ya nunggunya?" tanya Rina pada Dian.
"Belum kok. Aku tadi sempat bingung, mau jemput kamu dulu apa Nita, akhirnya aku ke kamu dulu," kata Dian sambil fokus pada setirnya.
"Nita juga mau nebeng?"
"Iya, katanya mobilnya masuk bengkel."
Rina hanya ber-oh Ria.
Tak berselang lama akhirnya mereka tiba di depan rumah Nita. Dia nyelonong begitu saja karena nampaknya dia sudah standby untuk beberapa waktu lamanya.
"Wah tumben nih, si Rina bareng, biasanya kan sama si brondong."
"Tadi sarapan apa sih, ngomongnya kok nggak jelas," timpal Rina pada Nita.
"Makan tumis ranjau," jawab Nita saat baru saja menutup pintu mobil Dian.
"Hahahaha....!" Pecahlah tawa mereka bertiga. Beginilah mereka kalau sudah bersama. Mereka bertiga memang sudah bersahabat sejak lama, sejak bangku SMP tepatnya. Berada di kelas yang sama dan karakter yang sama membuat mereka merasa nyaman jika bersama. Hanya saja ketika masuk bangku SMA, hanya Nita dan Rina yang ada di kelas yang sama, sedangkan Dian berada di kelas yang berbeda. Namun hal ini tidak menjadi halangan untuk tetap akrab jika bersama.
"Lu udah putus Rin sama si..., siapa itu?"
"Dika," sambung Nita tiba-tiba.
"Tau ah," jawab Rina asal.
"Tahu gimana maksudnya," tanya Dian penasaran.
Rina hanya membuang muka dan melihat keluar jendela. Sebenarnya Rina sendiri juga bingung dengan perasaanku terhadap Dika.
Rina sangat ingin lepas darinya, namun kenapa harus ada rasa tak nyaman hanya karena ada suara wanita saat Rina menelepon Dika.
Wanita itu siapa? Bahkan aku belum memastikan apakah memang benar-benar ada wanita di sana atau hanya halusinasiku saja. Rina membatin dalam diam.
"Eh eh eh, tau nggak sih kalian?" ucap Nita tiba-tiba.
"Enggak!" jawab ku dan Dian serempak.
"Ih..., kalian kok gitu sih?" gerutu Nita.
"Kita gimana sih Nita? Bukannya tadi kamu nanya, ya kita jawab jujur dong," jawab Dian dan Rina pun mengangguk.
"Ya terus nanya kek, ada apa sih, apa gimana gitu, jangan cuma nggak doang."
"Oke oke, ada apa Nita sayang, kita pengen banget tahu," kata Rina sambil melihat ke arah belakang.
"Gini loh gini loh," Nita memajukan tubuhnya hingga dia merapat ke jok depan diantara Rina dan Dian.
Rina menoleh ke arahnya sedangkan Dian tetap fokus pada jalan.
"Ponakanku kan ada tuh yang sekolah di tempat Dika..."
Mendengar nama Dika disebut, Rina tersentak. Namun Rina berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Rina memasang ekspresi wajah sedatar mungkin seolah saat nama itu disebut Rina sama sekali tak bereaksi.
"Terus?" tanya Dian.
"Dia itu banyak banget loh yang naksir, udah cakep body oke, kalau tajir ya nggak tau juga sih, tapi kayaknya ngelihat dia memperlakukan Rina doi nggak mungkin deh berdompet tipis," terangnya dengan sedikit nada ragu di ujung kalimatnya.
"Terus intinya apa ini," tanya Rina tak sabar.
"Iya lu nggak sayang gitu, kalau misal Dika tiba-tiba lepas?"
Rina hanya mendengus mendapat pertanyaan semacam itu dari Nita.
"Lah, emang udah putus ya?" tanya Dian.
"Tau deh, tanya tuh ama yang di sebelah kamu."
Rina yang dibicarakan kembali membuang muka.
"Iya Rin, udah putus kamu sama dia. Kayaknya kemarin kamu masih pulang bareng dia deh. Aku sempet lihat dia nunggu kamu di gerbang, iya kan?" tanya Dian.
"Aku lagi males sama tuh bocah, bisa nggak sih bahas yang lain," kata Rina.
"Emang ada masalah apa sih?" tanya Dian sambil memarkirkan mobilnya.
Rina terhenyak, ternyata tanpa terasa sekarang mereka sudah sampai di sekolah.
"Ck, apa ya? Masalahnya dia masih terlalu, bocah," jawab Rina dengan memberi penekanan lebih pada kata terakhir yang diucapkan.
"Bocah?" beo Dian.
"Udahlah, biarin tuh si Rina, aku juga nggak paham sama dia. Apa dia nggak ngerasa kalau dia lebih bocah daripada yang dibilang bocah?" kata Nita yang menarik Dian untuk berjalan terlebih dahulu meninggalkan Rina.
Masa iya sih, aku kayak bocah? Aku kan lebih tua dari Dika. Ah jangan tersugesti deh sama omongan Nita. Batin Rina.
Saat Rina sadar, ternyata mereka sudah jauh meninggalkannya. Pengen dikejar, tapi males ah. Ngapain juga pagi-pagi kudu lari-larian. Batin Rina.
"Permisi dik, kantor di sebelah mana ya?" tanya seseorang yang tiba-tiba telah berhasil membuyarkan lamunan Rina.
Rina yang semula menunduk, kemudian perlahan mendongakkan kepalanya. Sosok yang tinggi tegap, dengan mengenakan almamater berwarna biru tua, sneaker putih, celana Chino plain, dan kaos kerah putih berhasil mengambil alih seluruh atensi Rina.
"Dik," panggilan itu kembali datang. Dan akhirnya membuat Rina mampu menapakkan kakinya di bumi lagi.
"Eh iya Kak, gimana?" tanya Rina malu-malu karena ketahuan tengah memperhatikan laki-laki di depannya.
"Kantor Dik, kantor kepala sekolah ada di mana ya?" tanyanya lagi.
"Eeemm," Rina berpikir sejenak. "Mari Kak, saya antar," kata Rina kemudian.
"Nggak ngerepotin kan?" tanya kakak itu lagi.
"Enggak Kak, kebetulan kelas Rina ngelewatin Kantor Kepala Sekolah," jawab Rina.
Akhirnya mereka berjalan beriringan.
"Nama kamu siapa?"
"Rina Kak," jawab Rina sambil menunduk malu.
"Saya Rio," kata Rio sambil mengulurkan tangannya.
Rina menjabat uluran tangan itu sambil tersenyum. Rina segera melepaskan genggaman tangan itu kala merasa tak nyaman bersalaman sambil berjalan seperti yang baru saja mereka lakukan.
"Maaf ya," kata Rio kala menyadari ketidak nyamanan Rina.
Begini nih kalau cowok dewasa, tanpa aku ngomong pun dia udah tahu kalau aku nggak nyaman. Batin Rina.
"Udah sampai Kak, Rina ke kelas dulu," pamit Rina pada Rio.
"Makasih Rina," kata kak Rio.
Namun Rina tak menoleh mendengarnya. Bukan tak mau, tapi dia hanya malu.
"Ya ampun Rina, kenapa pake salting sih," lirih Rina sambil berlari menuju kelasnya.
TBC
Alhamdulillah, done dear untuk part ini.
Makasih ya yang udah mampir.
Dukung author dengan meninggalkan jejak.
Terimakasih.
Happy reading.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 500 Episodes
Comments
Devia Ratna
mantapppp
2022-10-31
0
Devia Ratna
sejauh ini aku suka ceritanya.. meskipun sebel sama rina
2022-10-30
0
Mommy Gyo
like hadir lagi thor jangan lupa mampir ya 🙏
2021-08-12
0