23 November 2012
Lampu jalan yang temaram dan tumpukan salju yang membuat telapak kakinya kedinginan akibat hanya mengenakan sandal kamar mandi tak begitu dipedulikan gadis yang tengah memburu waktu itu. Langkahnya—atau tepatnya lariannya begitu cepat. Orang-orang di jalanan yang menatapnya penuh keheranan tak lagi dipedulikannya. Yang ada di dalam pikirannya hanyalah, bagaimana caranya bisa lolos dari kejaran pria-pria berjas hitam yang masih berusaha menangkapnya.
"Jangan lari, Agassi (nona)!" seruan itu membuat gadis yang mengenakan syal merah di lehernya itu semakin mempercepat larinya. "Nona Jung Eun So! Jangan lari!"
Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang, pria-pria itu agak tertinggal darinya. Namun itu tidak membuatnya berangsur lega. Eun So semakin cemas karena kedua kakinya seperti mulai lelah. Sekeliling pinggangnya mulai merasa nyeri sementara ia belum menemukan tempat persembunyian. Yang ia takutkan ketika tubuhnya tidak tahan lagi berlari sehingga pria-pria itu bisa menangkapnya.
Gadis berpostur 169 cm itu berbelok dan berhenti tepat di depan sebuah taman kanak-kanak. Kepalanya menoleh ke belakang dan tak menemukan pria-pria itu namun derap lariannya bisa tertangkap jelas oleh telinganya.
Tanpa pikir panjang lagi, gadis itu menaiki pagar taman kanak-kanak yang tidak begitu tinggi lalu melompat ke dalam. Eun So menunduk dan merapatkan tubuhnya dengan tembok pagar sementara telinganya mengawasi suara yang semakin dekat lalu hilang.
Napas Eun So masih memburu meski ia sudah merasakan sebuah kelegaaan karena berhasil bersembunyi dari pria-pria yang sangat ingin menangkapnya itu. Kaki-kaki mungilnya yang sejak setengah jam yang lalu tak berhenti berlari kini mulai susah digerakkan. Eun So meringis, menahan rasa nyeri di sekeliling pinggangnya. Air matanya sampai jatuh karena menahan rasa yang luar biasa sakit.
Di balik tembok pagar Taman kanak-kanak itu, Jung Eun So tergeletak tak berdaya.
**
Laki-laki bermantel hitam itu baru saja keluar dari salah satu restoran menara Namsan. Cuaca yang dingin membuatnya berhenti sejenak lalu mendongak ke langit malam yang terang-temaram oleh lampu menara. Salju yang terus-menerus turun mengenai kepalanya sedikit mengganggu pandangannya. Meski tidak sederas satu jam yang lalu, tetap saja laki-laki itu merasa risih karena beannie hat yang ia kenakan mulai dilumuri salju.
Namsan tower adalah tempat favorit Seung Ho. Ia sering datang. Berjalan-jalan di sekitar menara untuk melihat lalu lalang pengunjung kemudian menikmati seoul view di malam hari atau hanya sekadar menyesap teh hangat di cafe N-Grill adalah jadwal wajibnya. Kelakuannya seperti turis mancanegara saja.
Berada di Namsan meskipun hampir setiap hari adalah pengalaman pertama bagi laki-laki yang memiliki tinggi 179 cm itu sehingga ia akan terus datang seperti turis asing yang akan selalu penasaran dengan landmark dari kota Seoul ini.
Bagi Park Seung Ho, Namsan Tower seperti rumahnya sendiri sehingga ketika ia merindukan keluarganya dia akan pergi ke Namsan untuk mengurai rasa itu sendiri.
"Jika kaurindu keluargamu kenapa tidak menelepon, bukannya seperti sebatang kara yang tak tahu arah dan tujuan hidup!" sindiran Shin Hyeok—housemate—selalu tak diacuhkannya.
Seung Ho merasakan sebuah getaran di dalam saku jaketnya. Itu getar ponsel miliknya. Seung Ho segera mengambilnya lalu mengeceknya.
Satu pesan singkat masuk.
Seung Ho-ya, eodi-yo? (kau dimana) Aku sudah berulang kali memanggilmu, tapi kau tidak juga keluar! Cepatlah! Aku mulai kedinginan.
Pesan dari Shin Hyeok.
Seung Ho mengulas senyum simpulnya. Dia baru ingat kalau tidak meninggalkan kunci di bawah keset yang berada tepat di depan pintu masuk. Pantas saja housemate-nya itu memburunya untuk cepat pulang. Seung Ho bisa membayangkan bagaimana paniknya Shin Hyeok menahan dingin sambil menunggunya pulang.
Baiklah! Aku pulang, sekarang!
**
Mendapati Shin Hyeok menggigil dan mendekap erat tubuhnya yang tanpa jaket di teras rumah membuat Seung Ho menyeringai jahil. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu sampai-sampai merasa adegan yang ia lihat barusan adalah acara komedi di dalam televisi.
"Kauseharusnya memakai perlengkapan musim dingin jadi tidak perlu menungguku hampir beku begini." Seringai Seung Ho menasehati Shin Hyeok yang masih saja menggigil karena cuaca mencapai minus 20 derajat celcius.
"Bisa tidak kaubuka saja pintunya tanpa mengomel?" Shin Hyeok mendesah, lalu buru-buru masuk dan mencari minuman penghangat di dapur.
Salah satu alasan Shin Hyeok jauh dari keluarganya adalah tidak tahan dengan nasihat-nasihat keluarganya yang ia rasa terlalu—sok tahu—dan ketika mendapat housemate seperti Seung Ho, Shin Hyeok merasa dirinya selalu dikelilingi kesialan. Mungkin itulah sebabnya kenapa laki-laki yang memiliki rambut menyerupai landak itu lebih senang bermain dengan gadis-gadis di luar.
"Seung Ho-ya, sepertinya kau harus menambah persediaan soju kita. Dingin sekali hari ini."
"Kenapa harus aku? Memangnya cuma aku saja yang akan mati kedinginan tanpa soju, hah?" rasanya Seung Ho ingin sekali menendang bokong Shin Hyeok ketika temannya itu hanya bisa menghabiskan persediaan makan mereka.
"Oh, tentu memang hanya kausaja karena besok aku bersenang-senang di Jeju-Do bersama kekasih baruku." Katanya seolah itu sudah biasa.
Seung Ho terkesiap, "Geurae?" ekspresi wajahnya seperti tidak terima. "...dan kaubaru memberitahuku sekarang? Keterlaluan sekali! Ssshhh!" Seung Ho mendesis untuk menahan rasa geramnya.
Sementara rekan serumahnya itu hanya mengangkat kedua bahu dengan respon datar dan berlalu ke kamarnya di lantai atas. Karena berdebat dengan Seung Ho bukanlah tipe dari seorang Kim Shin Hyeok.
"Ya, apa kausudah mendapat izin dari kantor?" Seung Ho berteriak, namun rekannya itu tidak menjawab.
**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
❤️YennyAzzahra🍒
Like duluuu
2020-11-13
0