Akan Ada Bingkainya
Sore yang mendung, semendung hatiku ada kah jalan keluarnya? Sepertinya tidak, ada sesuatu seperti sebongkah batu yang ingin keluar. Menangis? Itupun sepertinya habis di mataku atau ada yang bisa kulakukan lagi? Tepukan halus membuyarkan lamunanku .
"Arin, Arin, bagaimana? Sedari tadi aku bercerita kenapa kau diam saja? Kau tak mendengarkan aku?" Suara Lestari seperti tepukan kecil di kepalaku.
"Ya, aku tahu, aku dengar ceritamu hampir sama denganku, gagal menikah ya kan?" Jawabku sekenanya. Lestari tersenyum kecil. "Tapi aku tak seperti kamu juga, kamu ditinggal menikah hampir dua kali" Lestari tertawa mengejekku.
"Kamu di tinggal selingkuh, begitu kan?" Aku juga balik mengejeknya.
"Apa bedanya lestari apapun ceritanya intinya sama, kita ditinggal nikah sama calon imam" Ucapku memotong perkataan Tari panggilan sayangku pada lestari.
Dia hanya mengaduk es teh nya lalu meminumnya sedikit "Sabtu depan mantanku akan menikah, aku di undang, aku tak ingin hadir."
Lestari meminta tanggapanku.
"Aku tahu kau pasti akan bilang begitu, tapi menurutku kau harus wajib datang" Bibir Tari mencibir.
"Kamu ingin aku sampai di sana, melihat mantanku Leo menikah lalu bersalaman, keringat dingin keluar, ujung ujungnya pas pulang aku menangis keras seperti kamu waktu itu" Aku terperangah melihat Tari dengan mata melototnya.
"Oh ya Tuhan, benar juga kejadian memalukanku tahun kemarin. Saat putus dan menerima undangan pernikahan mantanku aku tegar seperti karang tak bersedih tapi saat datang memenuhi undangannya aku hanya diam seperti patung. Namun dalam diamku ada yang sangat menyayat dalam hatiku seperti silet lalu di taburi garam, pedih sekali. Tari tertawa kecil.
"Masih ingat kan? Waktu itu kamu sok tegar dan kuat, aku pikir itu benar, kamu dandan secantik cantiiknya. Aku sungguh terpukau dengan penampilanmu, sepertinya kamu ingin mengalahkan pengantinnya, ternyata ha ha ha."
Ku tutup telingaku mendengar tari tertawa "Kau menangis dan berteriak di parkiran" Tari masih terus mengejekku.
"Oh, Tari jangan di lanjutkan lagi aku malu benar benar malu aku kira parkiran sepi ternyata oh my God, banyak yang melihatku" Kututup wajahku, mirip dengan pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula.
"Aku tak akan hadir di pernikahan dia, aku akan pergi liburan saja, kau mau ikut denganku?" Tari bertanya padaku.
"Aku tak tahu, aku sedang banyak pekerjaan, kamu tahu hari ini aku buat kekacauan, banyak yang salah di pembukuannya banyak yang eror" Ku acak rambutku yang tipis ini.
"Ini melebihi di tinggal mantan, aku bisa tak punya uang bila sampai bosku marah karena ini dan hilang pekerjaanku." Lestari hanya tertawa kecil sambil melihat jam tangannya.
"Sudah ..sudah hadapi nasibmu guys, ayo balik ke kantor jam makan sudah hampir habis." Lemaslah aku, tak terbayang kan aku akan menghadapi bosku ku yang cerewet dan terlebih partner kerjanya pun akan datang, matilah aku.
Ternyata apa yang kubayangkan mulai terbukti aku di panggil ke ruangan rapat.
Di tempat itu, bosku duduk bersebelahan dengan partner kerjanya yang wajahnya tertutup oleh buku. Sepertinya fokus sekali melihat angka angka pembukuan ku yang salah.
"Selamat siang" Kataku sambil mengambil kursi tepat di depan mereka.
"Selamat siang" Ucapnya.
"Saya tidak akan berbasa basi lagi, pasti kamu tahu kenapa kamu di panggil kemari?" bosku menatap tajam seperti ingin menusuk diriku, aku hanya mengangguk.
"Ini partner bapak, kamu mengerjakan pembukuan dia dan terus terang masa kerja kami tergantung dengan dia." Bosku berhenti berbicara dia menatap ke arah sebelahnya.
Seorang lelaki mapan, berkacamata dengan kumis tipis yang membuat dia ..ehm lamunanku buyar saat memandangnya. Wajah itu seperti pernah melintas di masa laluku dulu.
"Arina Saputri, lulusan terbaik katanya." Suara itu benar benar dari masa lalu aku.
"Kau ..apa aku mengenal bapak? Sepertinya kita pernah kenal." Kataku mendahuluinya. Rasa penasaran mulai menggelayut dalam pikiranku.
"Ya , aku Dimas kamu masih ingat? Kita teman SMA dulu."
Aku mengangguk, mencuri pandang padanya, dia sangat berbeda, dulu culun sekali. Salah satu cowok yang pernah menembak aku, tapi ku tolak.
"Lama tak jumpa ya Mas? Saya mau minta maaf karena pekerjaanku yang salah, aku sedang tak fokus." Dimas tersenyum kecil.
"I'ts oke, itu karena kamu temanku, aku masih bisa memakluminya, tapi kau tetap harus memperbaiki kesalahanmu ini!" Tegas Dimas padaku. Dia lalu menyerahkan pembukuan itu padaku.
Aku mengangguk, bersyukur dia tak memecatku. Dimas menengok ke arah bosku.
"Mulai hari ini mungkin aku akan berkantor di sini pak, kalau anda tak berkeberatan." Pandangan matanya ke arah bosku yang di balas dengan mengangguk pelan.
"Tentu saja, saya senang anda juga bisa membantu, apalagi kalian berdua sudah berkawan lama, kalian bisa jadi team yang hebat!" Ucap bosku dengan mengetuk ngetuk jarinya di meja.
"Saya hanya membantu menyelesaikan kesalahan saja, saya tak ingin memakai bantuan asisten anda." Dimas tersenyum ke arahku . "Kalau bisa carikan saya seseorang untuk membantu pekerjaan saya selama di sini ." Dimas seperti ingin mengejekku, aku hanya diam. Karena posisiku yang salah aku tak bisa banyak bicara.
"Ku harap besok sudah selesai Arina Saputri, ku tunggu di mejaku jam 8 pagi" Dimas menatapku tajam. Aku hanya menganggukkan kepala tak menjawab.
Ada rasa kesal yang tersimpan di pandangan matanya itu. Aku lalu pamit keluar ruangan, di balik pintu aku terdiam, syukurlah aku tak mendapat marah seekstrim yang kubayangkan. Aku tak menyangka Dimas sekarang jadi atasanku, ko bisa? Mungkin aku harus menanyakan ini kepada bosku.
"Sebenarnya partner bapak itu pak Harun, pamannya nak Dimas, dia menanam modal di sini hampir 50 persen. Karena banyak usaha yang di pegang pamannya, makanya Dimas di sini untuk membantu pak Harun dan saya senang kalian berdua ternyata sudah berteman." Aku diam mendengar penuturan bosku.
"Kamu itu asisten handal Arin, kamu pasti akan sangat membantunya."
"Ya sudah, bapak mau keluar dulu, tolong kamu rapikan ruangan nak Dimas, nanti bapak akan cari orang yang bisa bantu bantu dia selama di sini."
"Baik pak, terima kasih." Aku mengangguk memperhatikan bosku keluar. Sebelum sempat masuk lagi ke dalam kantor seseorang memanggilku.
"Arin..Arin..!." Ternyata Dimas.
Aku takjub memandangnya, ku perhatikan dari sepatunya yang mengkilat, celana hitamnya yang licin hingga ke baju kemejanya yang biru rapi, dia sangat berbeda.
"Ya pak, selamat pagi bapak memanggil saya?" Dimas menghampiriku, bau parfumnya semerbak. Ah aroma lelaki yang menarik, pikiranku jadi nakal aku tersenyum sendiri.
"Ya, aku perlu bantuanmu, bisa kau bawa ini?" Aku tertegun, Dimas menyerahkan setumpuk kertas ke tanganku.
"Kamu periksa, masukkan juga itu ke pembukuan yang kemarin, jangan lupa buatkan aku kopi. Aku tunggu di ruanganku."
"Tapi pak, aku kan..." Belum sempat aku berbicara Dimas sudah memotong pembicaraanku.
"Aku berubah pikiran, sekarang kamu asistenku, aku sudah bilang dengan bos kamu, ok..ayo cepat!"
Apa? Aku asistennya, apa yang sedang terjadi? Sudah terbalikkah dunia ini gerutuku.
Belum sempat aku berpikir Dimas sudah berteriak. "Arin, kopiku ?"
Ya kopi, cepat cepat ku buatkan kopi untuknya, tapi saat di minum alisnya berkerut.
"Arin, ini kopi terlalu pahit, aku tak suka, bisa kamu buatkan lagi?"
"Oh, maaf pak, aku tak menanyakan bapak dulu mau minum kopi apa."
"Ya, sudah tolong cepat tidak pakai lama!" Dimas menggerakkan jarinya agar aku membuatkan lagi.
Dimas hanya tersenyum kecil, seperti ada sesuatu di balik senyumnya itu.
"Arin, ini terlalu manis! Kurangi gulanya sedikit!" Kata Dimas saat meminum kopiku lagi. Padahal dia baru satu tegukan. Tuh kan aku merasa Dimas mulai menjahiliku, hingga kopi yang ke empat Dimas belum juga mau. Oh Tuhan, aku merasa dia benar benar ingin mengerjai aku.
Hingga akhirnya dia hanya ingin air putih segelas. Kesal sekali, tapi aku hanya diam saja, bagaimana lagi.
"Arinn.." Dimas memanggilku.
"Aku akan keluar selama dua jam, untuk itu kau harus menyelesaikan pekerjaan yang ini. Aku kembali, semua sudah harus ada di mejaku !" Perintah Dimas padaku.
"Hah ?
Pekerjaan lagi?" Aku bergumam
"Tapi pak berkas yang bapa berikan tadi...."
"Aku tak mau tahu, harus selesai!" Dimas lalu mengambil ponselnya di atas meja dan pergi begitu saja, membuatku tambah kesal, aku gigit jariku. Apa si maunya? Kerja rodi begini gumamku dengan terduduk lemas.
Hari ini aku benar benar seperti robot dengan baterai baru, mengerjakan apa yang Dimas suruh. Bersyukur semua pekerjaan selesai tepat waktu, tapi ku tunggu dia tak muncul juga.
Katanya hanya dua jam ini sudah lima jam hampir jam makan siang. Bisa bisa aku tak makan hari ini, tiba tiba telepon berdering, ternyata suara Dimas di seberang sana,
"Arin, saya mungkin tak kembali ke kantor, pekerjaan ku belum selesai, bisa kau tangani nanti bila ada klienku datang?" Katanya.
"Ya siap pak Dimas!"
"Ok, aku rasa kamu sudah mengerti !" Belum sempat saya menjawab Dimas sudah menutup teleponnya ih aneh tuh orang.
Ku ceritakan semua pada Lestari dia tertawa dengan senangnya.
"Ha ha masih untung kamu tak di pecat, dapat bos baru pula tampan juga."
"Tapi dia menyuruhku ini itu, pekerjaan yang banyak seperti tidak ingin memberiku nafas." Ku suap makananku.
"Aku rasa dia masih cinta sama kamu" Ucapan Lestari membuatku tersedak. "Cinta..kamu gila, saya hampir tujuh tahun tak bertemu dengan dia Tari!"
"Buktinya, dia masih ingin dekat dengan kamu" Tari memutar mutar sendok makannya.
"Aku masih tak mengerti" Ku tatap mata Tari meminta jawaban.
"Begini, awalnya dia tak ingin berkantor disini, melihat kamu dia jadi kerja di sini lalu dia tak mau kamu jadi asistennya tapi akhirnya dia memilih kamu itu kan aneh, kalau sudah tak cinta buat apa ingin berdekatan dengan kamu terus iya kan?" Menurutku penuturan Tari ada benarnya juga tapi aku hanya menjawab dengan mengangkat bahu maybe yes maybe not. Tari kan terkadang halunya sangat tinggi.
Hari berikutnya masih sama, pekerjaanku semakin banyak Dimas hanya bicara seperlunya padaku tapi kadang ku perhatikan dia suka terdiam entah apa yang ada di pikirannya.Terkadang ku curi pandang juga apabila dia sedang melamun.
Kenapa Dimas tak semenarik ini dulu. Aku masih ingat dia cowok yang jauh dari kata ideal. Mukanya pas pasan, keren juga gak, bicaranya kaku, dia seorang yang sangat datar.
Tapi ku akui aku sempat schok saat Dimas mengatakan cinta padaku. Padahal dia tahu aku sedang dekat dengan Reihan. Meskipun kami beda jurusan sepertinya dia sering memperhatikanku. Pada akhirnya mantanku Reihan yang menikah lebih dulu. Kami putus begitu saja tanpa alasan yang jelas.
Kata kata Dimas datar sekali tanpa ekspresi seperti orang yang sedang jatuh cinta. Saat aku menolak pun dia hanya diam saja, dia hanya minta berfoto bersama. Dia katakan sekolah akan usai, apa salahnya berfoto bersama untuk kenang kenangan.
"Arin..Arin!" Tangan Dimas melambai di depan wajahku mengagetkanku, malu sekali, pasti Dimas tahu aku sedari tadi memperhatikannya.
"Ya, pak ada apa?" Kataku cepat seolah olah sedang baik baik saja."
"Aku mau makan siang, apa kau mau ikut denganku?" Ajaknya padaku.
Apa? Dia menawariku makan, tapi hari ini kebetulan aku membawa makanan sendiri.
"Maaf Pak aku membawa bekal sendiri."
"Oh ya, apa kau memasak sendiri ?" Dimas tak percaya padaku .
"Ya pak , apa bapak mau coba?"
"Ehmm..boleh juga, kau masih seperti waktu SMA selalu membawa bekal." Dia hanya tersenyum.
"Tapi aku tak ingin mencobanya" Dimas seperti ingin mengejekku.
Aku hanya mengangguk, sombong sekali, dulu waktu SMA kalau lihat aku bawa makanan begini pada jam istirahat dia pasti mendekatiku terus, kalau belum di kasih secuil makananku dia tak beranjak pergi.
Sekarang bodo amat aku tak perduli lebih baik aku makan tapi melihat dia sombong begitu aku pikir sangat menarik, cool gitu.
Sudah hampir dua minggu aku menjadi asistennya, tak ada yang spesial menurutku, dataaar sekali dan monoton hanya pekerjaan dan pekerjaaan yang dia berikan padaku.
Padahal aku berkhayal dia ngobrol denganku, bercerita pasti kan asyik tuuuh, mengenang masa masa dulu. Sekarang pergi pagi pulang malam, kaku sekali, dia sangat cuek padaku.
Apa yang mesti kulakukan? Ku mainkan pinsil yang ada di tanganku, aku bosaaan, aku telungkup kan kepalaku ke meja hingga tak terasa aku tertidur.
Entah berapa jam aku tertidur, saat mencoba membuka mataku ruangan di depanku sudah sepi sepertinya sudah pulang tapi lampu ruangan masih menyala.
Memang hari ini Dimas sudah bilang padaku akan bertemu seseorang di luar, aku menengok kanan kiri, melihat ruangan lain yang hanya di batasi dengan kaca..sepi sekali.
Betapa kagetnya aku melihat jam di tanganku sudah jam 9 malam, pantas sunyi Dimas pun mungkin sudah pulang tapi kenapa dia tak membangunkan aku, tak ada seorangpun yangmembangunanku.
Cepat cepat kurapikan tasku, aku juga harus pulang, sudah lewat jam pulang kerja. Saat hendak menutup pintu, aku berpapasan dengan pak satpam kantor.
"Mbak Arin, belum pulang mbak? Aku kira mbak ikut sama yang lainnya" Katanya.
"Ikut dengan yang lain..? Memang ada acara pak? Aku ketiduran di dalam .."
Oh pantas mbak, aku dengar sih mereka ingin ke cafe yang baru buka itu loh mbak, ada promo gratis, mungkin mereka kira mbak Arin pergi sama pak Dimas ke sana."
" Pak Dimas? Oh ya, apa dia sudah kembali kemari?" Pak satpam hanya mengangkat bahu.
"Sepertinya pak Dimas belum balik lagi kemari."
"Ya, sudah pak saya pulang saja takut kemalaman di jalan." Aku lalu bersiap pergi "Baik mbak hati hati di jalan."
Aku berjalan dengan cepat, kemana Dimas sudah malam begini, jangan jangan habis ketemu dengan klien dia langsung pulang. Tapi kenapa dia tak bilang, seharusnya kabarin aku terlebih dahulu tidak seperti ini gumamku, sambil terus berjalan ke tempat parkir.
Suasana begitu sepi, aku suka dengar dan suka nonton film horor di tempat parkir itu suka banyak kejadian yang aneh aneh, perampokan, setan juga, aku jadi merinding.
Aku tengok kanan kiri lagi, mobilku masih di ujung sana. Betapa kagetnya, aku berteriak saat melihat seekor kucing yang melintas di depanku.
Kucoba menyeimbangkan badanku yang akan jatuh, aku merasa ada tangan dingin meraih tanganku dan menangkap ku, ketika tersadar, aku sudah ada di pelukan seseorang.
Ku pukul pukul dia setengah berteriak " Lepaskan ! lepaskan !" Terdengar suara seseorang yang aku kenal.
"Arin..Arin kau kenapa? Ini aku Dimas!" Aku melihat ke arahnya.
Dia masih memegang tanganku, aku terpana " Dimas ..? "
"Ya ini aku? Kenapa kamu menjerit?" Dimas menatapku bingung.
Tatapan mata itu melelehkan aku.
"Tidak pak aku hanya sedikit kaget, aku pikir tadi ada yang melintas, aku kira apa aku hanya terkejut." Aku melirik tangan Dimas yang masih memegangi ku.
Dimas melepaskannya "Oh , maaf aku pikir ada apa aku baru parkir mobilku di seberang sana saat ku dengar teriakanmu."
"Ya makasih " Aku berusaha menghilangkan rasa kagetku.
"Kenapa kamu baru pulang jam segini? kamu pasti menunggu aku, aku lupa memberi kabar" Dimas diam masih memperhatikan aku.
"Aku tertidur pak, aku pikir bapak sudah pulang dan tidak kembali kemari" Aku masih sedikit bingung.
"Ini sudah malam hampir jam 10, lebih baik ku antar kau pulang" Saran Dimas padaku.
"Tak usah pak, aku baik baik saja."
"Arin ..aku takut terjadi apa apa denganmu di jalan, mobil kamu biar saja di sini, kau pulang bersamaku besok kan libur, aku kan suruh orang untuk mengantar mobil ke rumahmu" Dimas tetap memaksa aku untuk menerima ajakannya.
Aku pikir benar juga apa yg di katakannya, apalagi ini mobil kesayangan ayahku, akhirnya aku berikan kunci mobilku padanya, kapan lagi aku bisa pulang di antar oleh Dimas, aku pun mengangguk setuju.
Selama perjalanan kami hanya diam dengan pikiran masing masing, bingung mau bicara apa, padahal biasanya aku cerewet sekali, kenapa kali ini mulutku seperti terkunci aku hanya memandang jalan dan kelap kelipnya lampu yang kulewati.
"Arin, bolehkan ku tanya sesuatu ?
"Dimas bertanya padaku mencoba mencairkan suasana.
"Ya apa?" Sahutku menoleh ke arahnya "Kenapa kau putus dengan Reihan?"
"Reihan? Reihan teman SMA kita dulu maksud kamu?" Aku malah balik bertanya.
Aku tersenyum geli, "Itu kan masa muda, seperti judul lagu kisah kasih di sekolah hanya sebatas itu mungkin di bilang cinta monyet apa cinta panda gitu" Kali ini Dimas yang tersenyum.
"Tapi ku dengar yang terakhir ini mungkin bukan cinta panda atau sama dengan itu, ku dengar kau batal menikah?" Aku terdiam menatapnya."
"Darimana kau tahu aku gagal menikah, aku tak pernah mengatakan apa apa padamu?" Dimas menoleh ke arahku.
"Mungkin bisa di bilang kabar burung atau kabar angin" Dimas menatapku pandangannya kembali ke jalan.
"Ya, aku berpacaran dengannya hampir setahun, setelah putus dengan Reihan aku menjomblo lama, lalu aku menjalin dengan seseorang selama 2 bulan, aku ingin mengenal dia lebih lama tapi dia ingin mengajakku menikah, aku menolak, mungkin itulah kenapa dia akhirnya memilih wanita lain" Sahutku pelan.
"Kenapa?" Dimas bertanya lagi.
"Aku tak tahu dia baik, lelaki yang baik tapi seperti ada yang tidak yakin dalam hatiku, kau tak perlu tahu apa itu, hanya aku yang bisa merasakannya" Jawabku sambil menatapnya.
Kami beradu pandang, bibirnya tersenyum tipis, dada saya bergetar, cepat cepat ku alihkan pandanganku ke depan .
"Kau sendiri, sudah berapa wanita yang singgah di hatimu?" Aku balik bertanya. Dimas diam sesaat.
"Tidak ada, aku tak menjalin hubungan dengan siapapun." Jawabnya datar.
Aku jadi terdiam, itu berarti dia hanya jatuh cinta padaku? Tanyaku dalam hati, apa benar?
"Arin, bila kau ingin bertanya padaku kenapa itu bisa terjadi, aku tak tahu tapi dulu di masa lalu aku menyatakan cinta pada seorang gadis dan di tolak, maka detik itu juga aku seperti tak ingin menjalin dengan wanita manapun" Ada muka yang sedih terlihat di wajah Dimas.
Aku tak bisa berkata apa apa, leherku seperti tercekik, apa benar yang di katakan Dimas itu berarti, hanya aku satu satunya wanita yang di cintainya.
"Arin..Arin.." Dimas menghentikan mobilnya.
"Ya .." Ku alihkan pandangan ku kepadanya, kami bertatapan lagi dadaku tambah bergetar menatap sepasang mata yang hitam itu.
"Ya ada apa?" Tanyaku padanya.
"Sudah sampai, rumahmu masih ini kan?" Alis Dimas mengarahkanku untuk melihat keluar. Kami sudah sampai cepat sekali.
"Ya benar ternyata kau masih ingat rumahku apa kau mau mampir pak? Nada Suaraku berusaha biasa saja meredakan dadaku yang berdegup kencang.
"Tidak terima kasih, sudah malam salamku untuk orang tuamu, ngomong ngomong kalau kita sedang berdua panggil nama saja." Dimas tersenyum lagi tatapan matanya seperti banyak tafsir antara senang dan gugup pula.
"Ya baik terima kasih juga pak!"
Aku lalu turun dan melambaikan tanganku padanya.Ternyata dia masih sendiri ada kesempatanku untuk mendekati dia lagi.
Aku bergegas masuk ke dalam rumah, aku masih senyum sendiri.
"Ayo, Kaka diantar siapa malam malam gini?" Suara Gita mengagetkanku.
"Teman kantor, kamu ngintip yah" Aku mencubit hidungnya .
"Ku kira pacar baru, ngomong ngomong mobil Kaka di mana?" Lalu Gitapun duduk di ruang tamu.
"Ada, kaka tinggal di kantor besok ada yang antar, habis tadi kemalaman, takutnya ada apa apa di jalan makanya dia mengantarku pulang." Akupun lalu ikut duduk di samping Gita .
"Tumben kamu belum tidur adikku sayang biasanya jam segini sudah mimpi" Gita bergeser lebih dekat padaku.
"Aku sengaja menunggu Kaka pulang memang ada yang ingin aku bicarakan dengan Kaka" Suara Gita terdengar mulai serius.
"Begini ka, kalau tak ada halangan keluarga dari Ervan, minggu depan akan kemari, ada yang akan di bicarakan tentang kami berdua."
"Maksudmu ..Ervan mau melamar kamu?" Gita mengangkat bahu. Ervan adalah pacar Gita adikku mereka berpacaran sudah cukup lama hampir 5 tahun .
"Bila dia ingin melamarku kata Kaka gimana?" Gita balik bertanya.
"Ya gak gimana gimana kaka malah senang status hubunganmu ada kejelasannya."
"Tapi Ka" Gita memotong pembicaraanku.
"Kalau Ervan melamarku itu berarti aku akan mendahului Kaka, apa itu tak apa apa?" Suara Gita terdengar pelan mungkin takut menyinggung perasaanku.
"Gitaku sayang, kamu adik kakak satu satunya bila kamu bahagia Kaka ikut bahagia. Apapun keputusanmu kaka akan selalu ada di sampingmu " Aku lalu membelai rambutnya.
"Lagian ini kan sudah era digital sepertinya udah tidak tabu seorang Kaka di langkahi adiknya, karena masalah jodoh itu di tangan Tuhan" Ucapku sok bijak , padahal itu untuk menghiburku juga.
"Ka, terima kasih sudah mengerti aku aku selalu berdoa yang terbaik untuk kaka, terutama jodoh terbaik. Kaka orang yang sangat spesial insha Alloh kaka akan mendapatkan seseorang yang spesial juga" Gita menggenggam tanganku. Aku jadi terharu lalu menarik dia dalam pelukan ku.
"Amiiin, terima kasih sayang, kaka merasa beruntung punya adik seperti kamu, apapun yang kamu perlukan kaka akan bantu semampu Kaka" Aku mengangguk di depan Gita. Kami lalu berpelukan lagi seperti orang yang akan berpisah jauh.
Tapi memang hari berlalu cepat sepertinya baru kemarin kami main bersama sekolah, dan jalan bersama. Sekarang Gita perlahan akan pergi menjauh dariku bersama seseorang untuk menggapai masa depannya.
Sedang aku? Tak jelas, tapi aku tak boleh bersedih itu akan membebani perasaan Gita.
"Ya sudah, kamu lebih baik tidur sekarang, kaka mau mandi dulu." Gita memelukku lagi.
"Selamat malam kakakku cantik, mimpi yang indah yaa" Lambainya sambil berjalan menuju ke kamarnya. Ku buka pintu kamarku perlahan, ku rebahkan badanku di atasnya, banyak yang aku pikirkan sekarang lelah sekali.
Mulai Berdekatan.
Ternyata Dimas benar, esok harinya dia datang dengan mobil ayahku, dia sangat santai dengan kaus putih dan celana hitamnya, aku melihat dari balik kaca ruang tamu kebetulan aku hendak keluar.
Aku lihat dia sedang bersama ayahku sambil sesekali matanya melihat ke mobil ayahku, aku gugup sekali, apa yang mesti aku lakukan? Ini kali pertama kunjungan Dimas ke rumahku tapi aku tak mungkin di dalam terus pura pura tidak tahu dia datang, Dimas akan curiga padaku.
Dengan merapikan rambutku sedikit aku berjalan sambil membawa segelas minuman, Dimas melihat ke arahku "Tak usah repot repot Rin aku hanya sebentar" Ucapnya .
"Hanya minuman saja nak Dimas, lagipula seharusnya Arin yang berterima kasih semalam sudah di antarkan pulang, tahu sendiri sekarang lagi marak begal" Ayahku yang menjawab pertanyaan Dimas .
"Ya pak " Dimas menjawab ayah , ku letakkan gelas berisi air teh panas di atas meja.
"Ya sudah kalian ngobrol dulu, bapak mau melanjutkan hobi bapak jalan jalan pagi maklum nak Dimas di usia bapak segini harus banyak bergerak" Ayahku lalu menggerak gerakkan tangannya, Dimas tersenyum simpul melihat ayahku yang berjalan ke teras rumah.
"Silahkan di minum Mas!" Aku mencoba mencairkan suasana, Dimas mengangguk diteguknya air teh sedikit.
"Rumahmu nyaman sekali banyak tanaman" Dimas berkata sambil melihat sekeliling.
"Hobi ayahku Mas, dia sangat suka dengan tanaman."
"Ya, kulihat saat kemari ayahmu sedang memotong daun tanaman" Dimas tersenyum lagi.
"Kau sendiri tak kemana mana?" Tatapan matanya lembut ke arahku. Jantungku berdegup kencang .
"Aku tak kemana mana Mas libur gini enaknya tidur" Aku tertawa.
"Ya sama aku juga" Kami lalu tertawa bersama.
"Kau suka dengar kawan kita lama Rin, gimana kabarnya? Setelah lulus dan kuliah di luar negeri aku jadi kehilangan kontak" Dimas menanyakan kawan kawan yang dulu sekolah bersama.
"Aku hanya mendengar selintas lintas saja, aku dengar dari Yuki, angkatan kita akan mengadakan reuni." Dahi Dimas berkerut.
"Yuki yang gemuk itu maksud kamu?"
" Ya Mas, sekarang dia sudah langsing, cantiik lagi, badannya seperti ini" Aku memperagakan siluet gitar dengan tanganku .
"Oh ya, aku jadi ingin lihat, nanti nomor aku kau daftarkan Rin, aku ingin ikut reuni lama tak jumpa pasti banyak perubahan yang terjadi." Aku hanya mengangguk.
Dimas pagi ini manis sekali, kami lalu terdiam, ingin bicara tapi bingung mau bicara apa jadi asyik sama pikiran masing masing, saat seperti itu ibu keluar dan menemui kami. Ibu lalu bertegur sapa dengan Dimas.
"Rin, ibu sudah selesai masak bilang Ayahmu waktunya makan nanti sakit maag nya kambuh lagi, ajak sekalian nak Dimas."
"Tak usah bun, saya juga mau pulang."
" Yah ko gitu si nak Dimas, kapan lagi cicipin makanan ibu mumpung masih hangat" Ibu mencegah Dimas pergi, terlihat ayah datang menghampiri.
"Ayo nak Dimas sekalian temanin bapak makan, sehabis makan temenin bapak main catur" Ayah merangkul Dimas dan mengajak masuk ke dalam, Dimas jadi canggung tak bisa menolak lagi.
"Tahu, masakan ibu enak lu nak Dimas di jamin tak beracun ha ha" Ibu malah bercanda.
Dimas duduk di sebelah ayah di depan aku persis, jadi sering berpandangan, sedangkan ibu menyiapkan minum, sendok dan piring.
"Arin juga pintar masak tapi dia banyak malasnya" Ayah bercanda, aku jadi malu.
"Tuh lihat nak Dimas, pipi Arin semu merah, itu pertanda malu!" Dimas tersenyum kecil kearahku sambil mengangkat alisnya tanda meledek.
"Yah kan ikut ayah!" Aku jawab candaan ayah, ku ambilkan nasi lalu ku berikan pada Dimas.
" Makasih Arin" Aku tersenyum.
"Nih nak Dimas cobain ikan goreng plus sambal bikinan ibu, pasti bikin mata yang ngantuk langsung melek betul gak pak?" Ibu melirik ayah yang mengangkat jempolnya.
Kami makan dengan lahapnya di selingi ngobrol ngobrol ringan, aku banyak diam, ayah dan Dimas cepat sekali akrab, Gita tak ikut makan bersama, pagi pagi sekali dia sudah pergi joging di GBK bersama pacarnya.
Tak lama usai makan ayah dan Dimas bermain catur. Mereka kadang tertawa, dari balik kaca aku sangat bahagia melihatnya.
Dimas cepat sekali beradaptasi dengan keluargaku, hingga tengah hari Dimas baru pamit pulang.
"Terima kasih Rin, sudah lama saya tak merasakan kehangatan keluarga."
Dimas memang sudah yatim piatu, dia di besarkan oleh pamannya.
"Saya juga mau berterima kasih kau mau menemani yahku, kamu kan tahu di keluarga kami tidak ada anak lelaki jadi ada kamu di sini seperti teman buat dia!" Aku sedikit malu mengatakan hal itu.
Dimas tersenyum simpul, tak lama taxi yang di pesan datang," Aku pulang Rin, sekali lagi terima kasih." Aku mengangguk dan melambaikan tangan padanya.
Sejak hari itu sepertinya Dimas mulai perhatian padaku, sesekali bila habis bertemu kliennya dia akan membelikan aku sesuatu entah itu makanan atau minuman ringan.
Kadang juga pas jam makan siang , kami berdua makan di luar, aku jadi banyak tahu tentang dia, hobinya dan sedikit keluh kesahnya. Saat mendengar ceritaku lestari tertawa kecil.
"Jangan jangan kalian berdua sudah bucin niiih" Aku tertawa kecil.
"Bucin? Waduh jangan bikin aku baper Tari, tapi tak menolak juga si kalau dia nembak aku duluan." Kataku sambil sesekali memainkan ponsel.
Tari mendekatkan wajahnya ke arahku," Bagaimana kalau kau yang nembak duluan, lebih asyik tuuh!" Saran Tari .
"Jangan gila kau, kalau dia suka sama aku kalau tidak, busyet mukaku mau di taro dimana." Ku kibaskan tanganku ke arahnya.
"Ha ha ha bilang saja takut patah hati, tahu tidak? Menurutku, kalau seseorang sedang merasakan jatuh cinta dia juga harus siap untuk patah hati karena itu konsekuensinya bila sudah bermain hati." Tari tertawa lebar seperti sedang mengolok olok aku.
"Itu menurutmu buatku tidak!" Aku mendengar ponselku yang berbunyi, Dimas menelpon, cepat ku angkat.
"Ya, hallo pak Dimas ada apa?"
"Arin sebentar lagi saya kembali ke kantor, kutunggu kamu di luar ada yang harus kita lihat" Suara Dimas di seberang sana.
"Baik pak baik, saya akan tunggu diluar." Jawabku.
"Kau mau kemana Rin?" Tari penasaran melihatku beranjak berdiri.
"Aku tak tahu Dimas mengajakku keluar ada yang mau di lihat katanya, dadah Tari!" Aku melangkah meninggalkannya.Tari melambaikan tangannya.
Ada sekitar 20 menit aku di depan, mobil Dimas berhenti di depanku, aku pun duduk di kursi depan." Mau pergi kemana Mas?" Dimas menoleh ke arahku.
"Nanti juga kamu tahu, ayo masuk!" Mobil Dimas melaju lagi, aku bertanya tanya apa Dimas mau mengajakku makan atau mungkin dia mau nembak aku? Ha ha ..ngayal terus.
Ku buang jauh jauh pikiran itu, ini kan masih jam kerja tak mungkin Dimas yang aneh aneh, kami lalu sampai di sebuah rumah besar di pinggir jalan. Dari jauh rumah ini tak terlihat , karena mungkin tertutup sama pepohonan yang rindang tapi sungguh asri sekali. Andai aku punya rumah seperti ini.
"Rumah kamu Mas?" Aku bertanya penasaran. "Bukan Rin, pamanku membeli rumah ini dia menyuruhku untuk melihatnya!" Dimas berjalan terlebih dahulu menuju teras rumah.
"Rumah yang besar, siapa yang akan tinggal di sini mas?" Aku bertanya lagi, dia berpaling dan berdiri tepat di depanku, dia tersenyum memandangku lembut.
"Mungkin aku dan calon istriku!" Kata Dimas dengan yakin .
"Oh..kau akan menikah?" Aku semakin penasaran dengan jawaban Dimas, dia lalu mendekat ke arahku.
"Tentu saja, menikah dengan kamu bagaimana?" Dimas semakin mendekat padaku. Akupun mundur selangkah, kubalikkan badanku ke arah lain, rasanya malu sekali. Jantung ini semakin berdebar. Aroma parfum Dimas semakin membuat ku melayang, cepat kualihkan pandanganku. Dimas memanggil seperti berbisik di telingaku.
"Arin, maukah kau menikah denganku?" Aku tersentak kaget, aku menoleh ke arahnya ternyata Dimas sudah tepat berada di depanku, pas di depanku seperti tidak ada jarak, wajah kami bertemu, kurasakan napasnya, menyentuh hidungku.
Kami bertatapan lama..lama sekali, tak ada kata hanya pandangan mata kami yang bicara, keringat dingin mulai kurasakan aku pejamkan mataku, kurasakan tepukan halus di kepalaku.
" Ariiin..sayangnya yang saya katakan itu cuma bohong ha ha ha, kamu pasti terbawa suasana ya ha ha aku cuma bercanda." Dimas tertawa lepas, membuat ku jadi dongkol setengah mati. Ku pikir berikutnya dia akan romantis padaku .
"Sebenarnya rumah ini untuk putrinya pamanku dua bulan yang lalu mereka menikah, kebetulan suaminya akan dipindah tugaskan di sini jadi pamanku membeli rumah ini agar mereka tak mengontrak rumah" Dimas menjelaskan padaku setelah tertawanya berhenti.
"Kamu buat aku baper saja." Aku berkata dengan sedikit kesal.
Aku ikuti Dimas yang berjalan masuk ke dalam, sebuah ruang tamu yang tak terlalu besar tapi sangat nyaman dengan interior yang sangat unik.
Di sudut ruang tamu terdapat lidi lidi panjang dengan lilitan bunga plastik mawar yang indah, lebih ke dalam lagi sebuah ruang keluarga yang lumayan luas tapi cat rumahnya sungguh bagus berbeda dengan ruang tamu di sini sedikit gelap tapi rasanya nyaman.
Tanganku mengusap usap dindingnya, seekor cicak jatuh hampir mengenai tanganku, reflek aku pun menjerit dan memegang tangan Dimas yang ada di sebelah aku. Ada apa Rin?" Dimas menoleh ke arahku.
"Itu Mas itu cicak!" Aku menunjuk dengan telunjukku mengarah tempat dimana cicak jatuh. Dimas membungkuk dan mengambil cicak itu lalu membuangnya, tanganku masih memegang tangan Dimas.
"Kamu sama cicak itu besaran kamu Ariiin, masa takut sama cicak, anak cicak lagi " Dimas tersenyum meledek.
"Aku bukan takut Mas tapi geli, iih" Badanku bergidik.
Dimas tersenyum, pandangan matanya ke arah tanganku yang masih memegangnya. Saat ku sadar cepat cepat ku lepaskan tanganku.
"Ku perhatikan kalau kau kaget kau pasti reflek memegang tangan orang lain bila kamu sedang sendiri siapa yang kau pegang?" Dimas bertanya padaku.
"Aku pegang tanganku sendiri kenapa? kau tak suka aku pegang." Ucapku menatapnya .
"Ha ha ..jangan hanya di pegang di peluk kamu juga aku bersedia." Dimas tertawa lepas.
Spontan ku pukul punggungnya.
"Dasar ngaco.." Dia hanya tertawa tawa saja. Tak berapa lama Dimas berjalan lagi , kami melihat ruangan demi ruangan lagi tak terasa hampir dua jam kami ada di situ. Dimas mengajakku kembali ke kantor.
Hari ini aku benar benar sedang tidak mau berpikir tentang apapun, pekerjaan yang selalu banyak dan selalu menguras tenagaku .
Ku lihat Dimas masih asyik dengan laptopnya, serius sekali andai ada lalat yang hinggap pun tak akan mengganggunya aku tersenyum geli. Dimas menoleh ke arahku.
Kenapa setiap aku sedang memperhatikan dia, dia selalu tahu. Dimas mendekatiku .
"Arin, sepulang kerja kau ada acara?" Tanyanya aku hanya menggeleng.
"Memang kenapa?"
"Aku hanya ingin mengajakmu, maksudku ada seorang klien setia kita akan merayakan ulang tahun perkawinannya dia mengundangku, dia klien lama pamanku tak mungkin aku hadir sendiri, bisa bisa saya di sana hanya jadi pajangan saja tapi itupun kalau kau bisa kalau tidak pun tak apa apa." Kata Dimas lagi.
"Aku tidak ada acara si Mas tapi apa tak sebaiknya kita tak berganti pakaian dulu biar aku cantik dulu gitu" Suaraku setengah manja padanya.
"Maksud aku juga begitu tapi sepertinya waktunya tak cukup karena ini undangannya mendadak, kita ada waktu cuma setengah jam itupun mungkin untuk perjalanan kesana. Kau tahu sendiri kan Jakarta sangat macet, lebih baik kita tidak terlambat!" Dimas memberikan alasan padaku.
Aku hanya mengangguk setuju, terserah kamu Mas, kan kamu yang ngajak bisikku dalam hati.
"Lagipula kau sudah sangat cantik, tanpa berganti pakaian pun kau tetap cantik" Rayuan gombal Dimas sambil mengacungkan jempolnya. Rayuan apa itu gumamku tapi jujur senang juga Dimas ngegombal begitu, jangankan jujur bohongpun aku senang.
Ternyata tempat acara itu tidak terlalu jauh, di sebuah hotel yang mewah, sebuah ruangan besar di hiasi bunga bunga..
Ada ucapan selamat datang dan karangan bunga dari relasi pemilik acara, mereka mengadakan ulang tahun perkawinan emas, wah berapa tahun itu mereka berumah tangga senang sekali bila aku juga bisa seperti itu muda dan tua bersama.
Tak sengaja tanganku bersentuhan dengan tangan Dimas, kurasakan Dimas malah menggenggam tanganku berjalan menuju ke yang punya acara.
"Selamat malam om dan tante selamat ulang tahun" Yang di panggil om merentangkan tangannya dan memeluk Dimas.
"Ini pasti Dimas, ganteng sekali, dulu terakhir om bertemu kamu masih SMA." Ucap om .
Kata Dimas namanya om haris, Dimas pun memeluk erat om Haris, bu Haris disebelahnya tersenyum, sambil menepuk nepuk punggung Dimas tanda sayang.
"Sehat selalu ya om dan tante" Dimas mencium pipi kanan kiri Tante.
"Kau datang dengan siapa Mas pacarmu?"Tante menatapku, meski garis usia terlihat di wajahnya dia terlihat muda dan energik.
"Ya, om tante kenalkan ini asistenku namanya Arin, dulu teman sekolahku waktu SMA." Dimas menjelaskan. Aku julurkan tanganku bersalaman dengan mereka berdua.
"Gadis yang cantik, kenapa kalian hanya berteman padahal cocok kalau jadi pasangan" Om melirikku memberi tanda pada Dimas, aku hanya tersenyum malu apalagi Dimas meraih tanganku lagi.
"Mudah mudahan om doakan saja ya om." Dimas tertawa kecil
"Ya tentu Mas mari silahkan nikmati pestanya ya, om dan tante akan menemui tamu tamu yang lain.
"Ya terima kasih."Jawab kami bersamaan.
Dimas mengajakku ke tempat meja berisi minuman. Aku hanya mengangguk saja mengikutinya, pestanya cukup meriah, alunan musik live mulai terdengar mendendangkan lagu lagu lama seangkatan yang punya acara ucapku pada Dimas.
"Tapi enak juga Rin mendengarkan lagu lama mengingatkan masa masa SMA benar tidak?" Dimas meneguk air minumnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Alya Yuni
Tolak Dimas ko mlahan di tinggl it pemblsan buatmu Arina
2022-10-19
0
Alya Yuni
Ngapain ju hadir lbih baik di rumah dri pda nangis mcm orng gila
2022-10-19
0
Susilawati Susilawati
semangat selalu ❣️❣️
2021-02-06
0