Aku Wanita Simpanan
Anindia Azizzah, biasa dipanggil Izzah. Hidupnya mulai berubah sejak Ibunya meninggal karena sakit radang paru-paru, saat itu usianya baru 5 tahun. Setahun kemudian, ayahnya menikahi seorang wanita yang tidak pernah bisa menerima keberadaannya.
Mereka dikaruniai seorang puteri, Maharani namanya. Rani sama jahatnya dengan Ibunya. Perlakuan Ibu tiri Izzah begitu jahat, sejak kecil dia diperlakukan layaknya pembantu. Harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Mulai dari menyiapkan makanan, mengepel rumah, mencuci piring, sampai mencuci semua pakaian anggota keluarga. Ayahnya seperti tidak perduli, buktinya ayahnya tidak pernah melarang perlakuan buruk Ibu tiri Izzah terhadapnya.
Sejak kecil Izzah berjuang sendiri untuk bersekolah. Uang jajan tidak pernah diberikan ayahnya, dia hanya membayar iuran sekolah Izzah. Hingga saat ini usia Izzah menginjak 24 tahun, ayahnya tetap saja acuh terhadapnya. Entah apa yang membuatnya seperti itu, padahal dulu ayahnya sangat menyayanginya.
Sejak tamat SMA, Izzah bekerja paruh waktu ditoko pakaian milik Ibu Nuri. Dia wanita yang sangat baik. Sore harinya Izzah mengajar ngaji anak-anak di mushollah dekat dengan rumah. Ibu tiri Izzah tak melarangnya asal semua pekerjaan rumah sudah beres.
Pagi ini saat hendak berangkat kerja Ibu tiri Izzah menghadangnya didepan pintu kamar.
"Izzah mulai hari ini kau harus berhenti bekerja dengan Ibu Nuri... "
Deg, dada Izzah berdegup kencang. 'Ada apalagi ini, bukankah tugas rumah sudah ku selesaikan semuanya.' gumam Izzah dalam hati.
"Tapi kenapa Bu...? " Jawab Izzah.
"Tidak usah banyak tanya ikuti saja apa kata Ibumu." Sahut ayah Izzah yang tiba-tiba muncul. "Ibumu bilang pada ayah, bahwa dia sudah menemukan pekerjaan yang tepat buat kamu di kota, katanya sih kerja di butik temannya. Gajinya juga lumayan besar."
"Tapi kenapa harus di kota, disini Izzah juga sudah bekerja dengan Bu Nuri, gaji Izzah juga lumayan bagus untuk mencukupi kebutuhan Izzah.. " ucap Izzah panjang lebar.
"Sudah nggak usah banyak omong, segera bereskan barang-barangmu Ibu akan mengantarmu ke kota hari ini juga, teman Ibu pemilik butik itu sudah menyiapkan kos untuk mu." Sahut Ibu tiri Izzah.
"Tapi Bu, Izzah tidak mau pergi dari rumah ini. Di kota Izzah tidak mengenal siapapun. Bagaimana nanti hidup Izzah disana...?" Mata Izzah mulai berair membayangkan hidup sendiri di Ibu Kota yang kejamnya melebihi Ibu tirinya ini.
"Apa kata mu, kau tidak mau meninggalkan rumah ini? Hei anak tidak tau diuntung, sudah baik aku menampungmu di rumah ini selama hampir 20 tahun, apa kau tidak tau malu harus menumpang lebih lama dengan orang tuamu. Sudah tak usah banyak bicara, kau hanya punya waktu 30 menit untuk mengemasi barang-barangmu." hardik ibu tirinya.
Izzah memeluk kaki ayahnya berharap dia tidak menyetujui keinginan Ibu tirinya.
"Ayah Izzah mohon jangan perlakukan Izzah seperti ini. Ini sama saja ayah mau ngusir Izzah.. " tangis Izzah pecah seketika.
"Izzah, dengarkan ayah baik-baik, sudah saatnya kamu hidup mandiri. Jangan lagi bergantung pada ayah dan Ibumu ini."
'Apa? Bergantung kepada mereka. Bukannya sejak kecil aku berjuang sendiri. Baiklah mungkin benar inilah saatnya aku keluar dari rumah yang layak disebut neraka ini.' gumam Izzah.
"Hei kenapa melamun, sudah sana cepat bereskan barang-barangmu" Bentak Ibu tiri Izzah yang sontak membuyarkan lamunannya.
Terbata-bata Izzah menaiki anak tangga menuju kamarnya dilantai atas. Kamarnya berada persis disamping kamar Rani, dan kamar Izzah merupakan kamar yang paling kecil diantara semua kamar yang ada di rumah ini.
Bergetar tangan Izzah membuka gagang pintu kamar, bersamaan dengan Rani keluar dari kamarnya dan melihat Izzah sedang menitikkan air mata.
"Eh kenapa loh?" tanya Rani dengan senyum mengembang.
Izzah hanya diam tak menghiraukannya. Merasa jengkel karena tidak dijawab, Rani berteriak.
"Eeh budek, kalau orang nanya dijawab, bukan malah diam gak jelas."
"Maaf Ran, aku lagi buru-buru." jawab Izzah.
"Hahahaha kasian deh yang kena usir. Emang enak...??? ucap Rani dengan tertawa.
Izzah hanya diam tak menjawab apapun. Tangannya sibuk memasukan baju-bajunya kedalam tas. Setelahnya Izzah turun kelantai bawah bersiap untuk berangkat.
Izzah mendekati ayahnya dan mencium punggung tangan ayahnya.
"Yah, Izzah pamit, doakan Izzah supaya betah di kota" ucap Izzah.
Belum sempat ayahnya menjawab, ibu tirinya sudah menarik paksa tangannya.
"Sudah-sudah gak usah pake' acara pamit dan sedih-sedihan segala. Sana pergi, bila perlu gak usah balik lagi." ucap Rani yang baru turun dari lantai atas.
"Ayo cepat, nanti kita bisa ketinggalan kereta." kata ibu tiri Izzah seraya menarik tangannya kasar.
Izzah melangkah keluar rumah dengan meneteskan air mata di pipinya. 'Bismillah..' ucapnya dalam hati.
Tiba di stasiun, Izzah kembali merasa begitu sedih, karena harus pergi dari tanah kelahirannya ini. Izzah hanyut dalam lamunan mengenang masa kecilnya dulu.
Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki berlari tergopoh-gopoh berteriak memanggil namanya.
"Izzah... Izzah tunggu aku... "
Ibu tirinya melihat dengan sinis.
"Mau apa laki-laki gembel itu...?" Ucapnya ketus.
"Permisi Bu Novi, saya mau bicara dengan Izzah sebentar... "
"Sudah sana cepat, sebentar lagi kereta datang" jawabnya.
Namanya Ifan, sahabat Izzah sejak kecil. Dia selalu ada untuk Izzah. Izzah tahu Ifan menaruh hati padanya. Tapi Izzah sama sekali tidak memiliki perasaan terhadapnya.
"Izzah kenapa kau harus pergi...?"
"Fan, aku mau hidup mandiri."
"Sejak dulukan kamu sudah mandiri Zah, kenapa tiba-tiba harus pergi ke kota dengan alasan mau hidup mandiri."
"Ada tawaran pekerjaan yang baik disana Fan." jawab Izzah meyakinkan.
"Izzah disini kau punya dua pekerjaan yang lumayanlah buat hidup sehari-hari."
"Fan, ini sudah keputusan ku, mohon kau bisa mengerti."
"Izzah aku mencintaimu, dan aku akan menunggumu kembali."
"Jangan tunggu aku Fan, mungkin saja aku tidak akan kembali. Carilah wanita yang jauh lebih baik dariku Fan."
"Tapi Zah...?"
Tuuuttt....tuuuttt..... Suara sirine kereta api mendekat ke stasiun.
"Sudah ya Fan, aku pamit. Mengertilah dan maafkan aku. Assalamualaikum..." ucap Izzah lirih.
"Waalaikumsalam...." jawab Ifan.
"Hei Izzah cepat sedikit lama banget ngobrolnya, nanti kita ketinggalan kereta." Teriak Ibu tirinya.
Izzah mempercepat langkah kakinya, "Bismillah, lindungi aku Ya Allah" ucap Izzah saat kakinya melangkah masuk ke dalam kereta.
Di dalam kereta, lamunannya semakin menjadi-jadi. Membayangkan segala kemungkinan yang akan dia lalui sendiri di Ibu Kota. Matanya fokus menatap deretan rumah-rumah, pohon-pohon, serta persawahan yang silih berganti berlarian seirama dengan suara kereta. "Ya Allah, lindungi aku, bantu aku" ucapnya dalam hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 337 Episodes
Comments
Ummu Sakha Khalifatul Ulum
Lanjut
2023-03-01
1
Khaerani Ahmad
Baca dulu aja ah.
2021-08-01
1
Ugieh Azha Sugiharti
Pdhl tdk semua ibu tiri kejam.
2021-07-23
1