Beberapa tahun kemudian, Mesha sudah tumbuh menjadi gadis yang rupawan. Meski banyak laki-laki yang jatuh hati padanya. Ia tidak pernah menggubris. Masa-masa sekolahnya dihabiskan dengan teman perempuannya, Zafia.
Siang ini, kantin di SMA Wijayakusuma, begitu lengang, kelas lain masih menjalani kegiatan belajar dan mengajar. Sedangkan hari ini, kelas duabelas diundang datang untuk membubuhkan cap dua jari ijazah mereka.
"Habis ini, kamu mau kerja atau kuliah, Sha?"
"Aku sih pengennya kuliah, kalo orang tuaku setuju, aku mau kuliah di luar kota, Fi. Kalau kamu?" jawab Mesha sembari menopang dagunya dengan sebelah tangan.
Zafia membetulkan letak kacamatanya, dan mengunyah makanan ringan yang dibelinya tadi.
"Mmmm ... aku juga nerusin kuliah, orang tuaku udah setuju, Sha. Tapi mereka gak mau aku kuliah di luar kota." tutur Zafia disela-sela bunyi kunyahan.
Mesha memainkan gelang pemberian Zay dulu, menemukan Zay adalah salah satu alasan kenapa ia ingin berkuliah di luar kota.
Zafia memandangi tingkah Mesha dengan senyuman.
"Kamu pengen nemuin cowok masa kecilmu ya, Sha?"
Mesha mengangguk.
"Aku gak tau, seperti apa wajah dia sekarang, yang aku ingat, dia juga memakai gelang yang sama denganku ini." ucap Mesha sambil menunjukkan gelang yang dipakainya.
"Hmmm ... bener kan dugaanku," ucap Zafia bangga.
"Dia itu, satu-satunya orang yang mau menerimaku, saat orang lain gak menginginkanku, Fi. Kayak kamu ... cuma kamu yang mau temenan sama aku." Mata Mesha menerawang jauh.
Zafia melihat sosok itu lagi, sosok yang diselubungi asap hitam. Tak jauh dari mereka duduk. Zafia melongo.
"Kenapa, Fi?"
"Gak ada apa-apa, kok." jawab Zafia sembari mengucek matanya dan membetulkan letak kacamatanya.
*****
"Tapi, Pak. Mesha kan masih baru lulus SMA, kenapa bapak menyetujui itu?" Mayang menunduk memegang kepalanya dengan bertumpu pada lututnya.
"Ya gimana lagi, itu atasan bapak, Bu. Dia pengen Mesha jadi mantunya!"
"Tapi bapak kan tau, Mesha pengen kuliah!"
"Gampang itu, Bu. Kalo nikahnya sama anaknya pak Wiryawan, kan Mesha bisa lah sambil kuliah."
"Tapi, Pak ... lebih baik kita tanya dulu lah sama Mesha!"
Mesha baru saja keluar dari kamarnya.
"Tanya apa, Bu?" saut Mesha.
"Eh, itu ... kamu belum tidur, Nduk?"
"Tadi hampir tidur, Bu. Tapi Mesha haus, jadi mau ambil minum dulu."
"Oh gitu ...."
Kemudian Mesha berjalan menuju ke dapur.
Beberapa saat kemudian, Mesha sudah kembali dari dapur.
"Sini, Nduk. Sini, bapak mau ngomong, bentar."
Mesha duduk di sebelah bapaknya dengan patuh.
"Kenapa, Pak?"
"Ada orang yang mau melamar kamu, Nduk."
Mesha terperanjat, matanya terbelalak.
"Ta ... tapi, Pak. Mesha gak mau nikah dulu, Mesha mau kuliah!"
"Kan bisa nanti, sehabis nikah, sambil kuliah."
"Tapi, Pak .... Mesha gak mau!" Mata Mesha mulai berkaca-kaca.
"Yang nurut sama bapak, ya , Nduk! Ini juga demi kebaikanmu."
"Pak, kenapa sih, Bapak maksa gitu?"
"Bapak juga ndak enak kalo harus menolak lamaran itu, Nduk."
"Tapi kan, Pak ...."
Sekarang Mesha benar-benar menangis. Rencananya gagal, kalau seandainya ia menikah dengan laki-laki pilihan bapaknya itu.
"Mesha ... yang tenang ya, Nduk." Mayang mencoba menenangkan putrinya itu.
"Tapi, Bu. Mesha masih belum siap. Mesha masih pengen mencoba banyak hal, masih pengen ...." ucap Mesha masih sesenggukan.
"Kenapa kamu kok egois gitu sih Mesha? Kalo kamu ndak mikirin diri sendiri, pikiran bapakmu ini!" suara Bagas makin meninggi.
Mesha masih terisak, hatinya sakit. Ia memainkan gelang manik-maniknya dengan putus asa. Ia berharap perjodohan ini batal, atau pernikahannya yang batal. Pokoknya. apapun itu, yang penting ia bisa melanjutkan belajarnya sampai jenjang perkuliahan dengan tenang di luar kota.
Mesha masuk ke dalam kamar, meneruskan tangisnya dengan tertelungkup di kasur, dan lama-lama ia tertidur.
*****
Keesokan harinya, Mesha berangkat ke sekolah lagi, dengan mata membengkak. Meskipun hari ini tidak ada jadwal atau undangan. Mesha hanya malas berada di rumah.
"Kamu kenapa, tiba-tiba ngajak ke sekolah. Sha?"
Mesha memalingkan wajahnya ketika seseorang menyentuh bahunya saat duduk di taman.
"Gusti! Itu mata kenapa, Sha?" Zafia melonjak kaget.
Mesha meringis kecut.
"Aku lagi males di rumah! Pengen kabur rasanya, Fi!"
Zafia menyentuh dahi Mesha dengan punggung tangannya, kemudian menyentuh dahinya sendiri. Mesha melirik sebal, melihat tingkah sahabatnya itu.
"Aku masih waras, Fi!"
"Ooohh ... kirain! Lagian, kenapa sih ngomong ngaco kayak gitu?"
"Aku gak ngaco!"
"Kenapa sih, kenapa?" tanya Zafia. sambil duduk di sebelah sahabatnya itu.
"Kalo kamu tiba-tiba dijodohin, setelah lulus SMA, apa kamu mau?"
"Kalo aku ya gak mau lah! Aku pengen kuliah, terus jadi wanita karir, sukses, bahagiain orang tua, terus ... tunggu! Jangan bilang, kamu dijodohin!"
Mesha mengangguk pasrah.
"Beneran?"
"Iya Fi. Itu, atasan bapakku, punya anak yang sudah mapan, bapak mau aku jadi keluarga mereka."
"Aku udah bilang, gak mau. Tapi aku juga merasa, kok aku terlalu egois kalo menolaknya. Gimana dong Fi?"
Mesha mulai mengacak-acak poninya, frustasi.
"Ya gimana, Sha ... aku gak bisa komentar apa-apa, kan yang paling ngerti kamu ya dirimu sendiri. Ya coba dipikir lagi."
"Hiiiisshhh !" Mesha menelungkupkan wajahnya di kedua tangannya.
"Pesen coklat panas aja, Sha. Siapa tau bisa ngembaliin moodmu."
Mesha masih meletakkan wajanya di kedua telapak tangannya, sembari mengangguk, mengiyakan usul Zafia.
Beberapa menit kemudian, Zafia sudah membawa dua cup coklat panas yang dipesannya di kantin, dan mengulurkannya pada Mesha.
"Ya udah lah, aku coba dulu, ngeliat calon jodohku itu siapa, buat nyenengin ortu," ucap Mesha setelah meneguk coklat panasnya yang sudah mulai dingin.
Mesha memainkan gelang manik-maniknya lagi.
"Apa yang harus aku lakukan, Zay?" gumamnya, lirih.
Mesha sampai di rumah saat jam makan siang, ia mendapati ibunya sedang menata makanan di meja makan.
Setelah menguluk salam, ia menyalami ibunya dan mengecup punggung tangan ibunya.
"Baru pulang, Nduk? Makan yuk, udah mateng semua."
Mesha mengangguk.
"Aku ganti baju dulu, Bu."
Mesha menyantap makan siang bersama ibunya.
"Tadi di sekolah, ngapain aja, Nduk?"
"Ketemu sama temen aja, Bu."
"Oh ...."
Mesha terdiam lagi, menikmati makan siangnya.
"Mesha, ibu sebenarnya mendukung semua keputusan kamu. Tapi ibu juga ndak mau kalo Bapak jadi malu. Jadi ibu mohon pengertianmu."
Mesha mendongak dan menangkap ekspresi memohon dari ibunya. Mesha menghela nafas.
"Iya, Bu. Mesha coba, demi bapak dan ibu."
Setelah selesai makan siang, Mesha masuk ke kamarnya dan duduk terpekur di ranjang. Sekejap, dia seperti melihat sesosok Laki-laki berbaju hitam yang sering dilihatnya. Sosok itu seperti memandanginya. Mesha menggelengkan kepala sembari memejamkan mata.
Saat matanya dibuka lagi, sosok itu entah kemana. Siapa sebenarnya sosok tadi? Mesha bertanya-tanya dalam hati.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Kustri
Gelang'a msh muat🤔
Lanjutkaaan
2021-11-13
1
Skolastika Nur Intan Kusuma
lanjut jadi penasaran
2021-10-12
1
Supatah Eko Yuwono
lanjut brow.....
2021-03-21
1