Jodoh Sang Bahu Laweyan
Tengah malam yang diguyur hujan deras, petir menyambar-nyambar, seorang laki-laki memakai mantel hujan, tergopoh-gopoh keluar dari rumah. Ia berlari dengan segala kemampuannya, dengan payung di tangannya.
Sementara itu, di bawah pohon tak jauh dari rumah yang ditinggalkan laki-laki itu, berdiri seorang perempuan memakai jubah yang bertudung. Tudung jubahnya menutupi sebagian wajahnya yang tirus, dengan mata yang cekung, dan bibir yang melengkung sadis. Meskipun begitu, wajahnya terlihat begitu antusias.
Ia mendekap botol kecil yang terbuat dari kristal di dadanya.
"Kamu mau seorang pengantin kan? Baiklah ... keluarlah, dan tunggu pengantinmu layak mendampingimu!" kemudian wanita itu membuka botol tadi dengan terkikik-kikik.
Asap hitam pekat keluar dari dalam botol, kemudian asap itu melayang masuk ke dalam rumah.
"Siapa suruh kamu merebut calon suamiku, Mayang. Maka keturunanmu lah yang akan menanggung akibatnya ... hihihi ...." kata wanita tadi dengan kilatan dendam di matanya.
Tak berapa lama, laki-laki tadi sampai di rumah dengan membawa seorang perempuan yang menjinjing tas hitam. Meski mereka berdua berjalan dengan susah payah, menerjang derasnya hujan.
Laki-laki itu tergesa-gesa membukakan pintu untuk perempuan tadi.
"Ayo! Ayo cepat Bu Bidan Prapti ... istri saya sudah daritadi merasa kesakitan." kata laki-laki itu sambil mencopot jas hujan yang dipakainya. Kemudian ia membantu perempuan tadi menangkupkan payungnya.
"Iya ... Pak. Iya ... tolong Pak Bagas tunjukkan kamarnya ...." jawab perempuan tadi, yang ternyata adalah seorang bidan.
Bagas berjalan cepat-cepat di depan Bidan tadi.
"Bapak sendirian di rumah ini?"
"Iya, Bu."
"Kalau begitu, tolong siapkan air hangat. Baju ganti buat ibu, dan baju-baju si kecil."
"Kalau baju si kecil sudah di dalam, Bu. Saya ke belakang dulu, untuk merebus air."
Prapti masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalamnya, tergeletak sesosok perempuan yang sudah terlihat begitu kesakitan. Perempuan itu tersenyum, begitu melihat kedatangan Prapti. Setelah menutup pintu, Prapti menghampiri perempuan itu, dan mengelus rambutnya.
"Sudah waktunya ya, Bu?"
Mayang mengangguk lemah.
Setelah Prapti menyiapkan segala perlengkapan bayi yang bersih, ia segera menutupkan kain jarik keatas perut Mayang, dan memeriksa jalan lahir.
"Wahhh ... kepalanya dedek bayi sudah kelihatan, Bu. Yuk, sekarang, Ibu harus berjuang ya," kata Prapti sambil tersenyum.
Tanpa berlama-lama, Prapti segera memberi aba-aba kepada Mayang untuk mulai mengejan.
Beberapa menit kemudian, setelah Mayang berjuang sekuat tenaga, terdengar lah tangis bayi.
"Alhamdulillah ... seorang bayi perempuan yang sehat, dan cantik, Bu."
Mayang tersenyum.
Prapti segera meletakkan bayi itu di atas sebuah meja, dan membersihkan kotoran dan lendir-lendir yang menempel pada bayi dengan handuk lembut. Prapti terkejut dengan tanda lahir bayi ini, berbentuk seperti lingkaran, berwarna coklat kemerahan yang terletak di bahu kiri. Ia baru pernah melihatnya kali ini.
Bagas tergopoh-gopoh membawa seember kecil air panas ke dalam kamar tadi.
"Itu terlalu panas, Pak. Kan buat mandi dedek bayi ...."
Bagas kembali berlari keluar dan masuk lagi, membawa ember besar, berisi air dingin.
"Maaf ... maaf Bu bidan, baru pertama kali saya menemani orang lahiran."
Prapti tersenyum.
"Ndak apa-apa, ayah muda memang begitu, selalu gugup di awal-awal ... sekarang tolong dicampurkan air nya, Pak."
"I—iya Bu ...."
Setelah dirasa airnya pas, Prapti mulai memandikan bayi tadi. Sementara Bagas menghampiri istrinya yang masih terbaring lemah di ranjang.
"Terima kasih ya, Sayang," ucap pria berambut ikal itu sambil mengecup kening istrinya.
Bulu kuduk Prapti meremang, saat berjalan mendekati sepasang suami istri itu. Ia mendekap bayi yang ada dalam gendongannya. Selintas, ia melihat bayangan hitam berdiri di dekat jendela kamar itu. Berusaha tak menghiraukannya, Prapti terus berjalan. Kemudian ia meletakkan bayi tadi di samping ibunya.
"Saya pamit dulu, Pak ... Bu. Dan sekali lagi selamat atas kelahiran bayinya." Prapti mulai memberesi peralatannya. Ia melirik ke arah tadi, tapi sosok bayangan hitam itu sudah tidak ada lagi. Ia mulai berjalan cepat keluar kamar.
"Saya antar ya, Bu." Bagas segera menghampiri Prapti.
Sesampainya di depan pintu rumah, Prapti menoleh ke arah Bagas.
"Sudah, antarnya sampai sini saja, Pak. Nanti kalau ada apa-apa dengan ibu atau bayinya. Segera datang ke tempat saya."
"Ya, Bu. Terima kasih, ini sekedar ucapan terimakasih saya ...." Bagas mengeluarkan sebuah amplop dan menyodorkannya kepada Prapti.
Di luar sana, hujan mulai reda, hanya tersisa gerimis kecil. Prapti segera berjalan cepat-cepat dengan payung di tangannya. Teringat dengan bayangan tadi, membuatnya enggan berlama-lama lagi di rumah itu.
Setelah kepergian Prapti, Bu bidan yang menolong kelahiran putrinya. Bagas buru-buru masuk ke dalam kamar. Ia menimang putrinya yang masih terlelap, dan mulai mengumandangkan azan di telinga bayinya, pelan-pelan. Mayang menangis terharu melihat pemandangan itu.
*******
Prapti baru saja sampai di rumahnya, dan mendapati suaminya terbangun. Setelah Prapti mengganti bajunya dengan baju yang kering dan bersih, suaminya datang menyodorkan teh hangat untuknya.
"Piye Bu? Sudah lahir anaknya? Kok tumben cepet?"
"Iya Pak, tadi sampai sana, kepala bayi sudah terlihat. Tapi aku baru lihat e Pak, bayi yang lahir punya tanda toh merah."
"Wah, kalo kata mbah-mbahku dulu, itu pertanda ndak baik lho, Bu ...."
"Hish, jangan ngomong gitu Pak ... ya semoga aja, ndak ada apa-apa."
"Oh ya, Pak. Tadi pas aku nggendong bayinya, aku juga kayak lihat sesosok bayangan hitam di dekat jendela, sampe merinding rasanya." Prapti bergidik ngeri.
"Ya sudah Bu. Kamu istirahat aja, besok masih tugas di poliklinik desa kan?"
Prapti mengangguk.
"Oh iya, Bu. Masalah kelahiran anak ini, ndak perlu cerita ke siapa-siapa. Ndak enak kalo nanti ada desas desus ndak jelas tersebar."
Prapti mengangguk lagi.
Bagaimana ia akan bercerita kepada orang-orang, ingat kejadian tadi saja, masih membuatnya merinding.
*******
"Sekarang kamu istirahat saja, Bu ... biar aku yang menjaga bayi kita," kata Bagas pada istrinya. Sambil masih menimang gadis kecilnya.
Bagas sangat bahagia, setelah berbagai usaha dan berbagai cara ia lakukan untuk mendapatkan seorang anak. Ia benar-benar takut karena teringat sumpah serapah Retno waktu datang ke pernikahannya dengan Mayang.
"Bapak akan menjaga dan melindungimu, Nduk ... apapun yang terjadi," janji Bagas pada gadis kecilnya. Kemudian ia mengecup dahi putrinya itu.
Ingatan Bagas terlempar pada masa itu. Tadinya ia menyanggupi untuk menikah dengan Retno, tapi kegilaan Retno pada ritual-ritual anehnya, dan segala bentuk koleksi benda mistisnya, membuat Bagas urung menikahi perempuan itu. Meskipun setiap hari Retno mendatangi rumahnya, untuk memohon agar Bagas tetap menikahinya. Bagas bersikukuh dengan keputusan yang sudah dibuatnya.
Bahkan di saat hari pernikahan Bagas dengan Mayang, Retno datang, berteriak-teriak seperti orang gila. Dia mengancam, menyumpah dan mengumpat. Beberapa tamu meringkusnya yang mulai menangis histeris.
Bagas melanjutkan acara pernikahannya. Namun, ia tak pernah tahu. Sejak hari pernikahannya dilangsungkan, akan ada nasib yang kurang baik menimpa keluarganya. Apakah karena keputusannya? Atau memang takdir yang sudah tertulis?
Bersambung ....
******
Piye : Bagaimana.
Nduk : Panggilan sayang, dari orangtua kepada anak perempuan, kependekan dari Genduk.
Jarik : Kain bermotif baik, yang biasa digunakan orang-orang Jawa.
Mbah : Kakek/nenek/leluhur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
rista_su
keren ne koyoe.. dilarang moco tengah wengi ndak gaiso turu
2022-12-20
1
N. M. Aksan
Bikin penasaran. Ada bayangan gelap apa itu?
2022-10-24
0
Yahdinizal
Baca novelku juga dong Author!😁
2021-11-15
1