Malam yang bertambah larut, ia akan mendekati cerahnya pagi. Masalah yang semakin rumit ia akan mendekati solusi.
Hujan yang mulai reda membuat celah kesempatan para murid untuk bergegas pulang sebelum mereka terlambat kalau-kalau nanti hujan kembali membesar.
Pukul setengah lima sore sebagian lampu rumah dan jalan mulai berkedip menyala di sepanjang perjalanan. Walau hari masih sore suasana saat ini terkesan sudah malam, mungkin itu dikarenakan langit yang mendung.
Aku dan Bu Lisa kini tengah dalam perjalanan menuju rumah. Motor besarku dengan cepat melintasi genangan air dijalan menimbulkan cipratan kearah dua sisi.
“Dek, kita ke sana dulu, ya?” Ujarku saat mengendarai motor menunjuk sebuah warung makan yang berada di sisi jalan.
Seperti kesepakatan kami sebelumnya, bahwa ketika kami sudah lepas dari cengkraman sekolah, sebutan aku pada Bu Lisa akan berubah.
“Nantikan aku masak Mas." jawabnya samar-samar dari balik helm.
"Tidak usah masak dulu, kamukan lagi capek karena di sekolah banyak tugas."
Bu Lisa terdiam sejenak sebelum menganggukan kepalanya.
Setelah mendapatkan persetujuan darinya, aku bergegas memarkirkan motor di seberang warung makan tersebut.
Saat kami masuk, tidak ada orang sama sekali di sana dan yang terlihat hanya seorang wanita paruh baya sedang mengelap meja. Tentu dengan penampilan seperti itu aku langsung menyadari bahwa ia adalah pemilik warungnya.
“Bu, makan untuk dua porsi ya!" Aku memesan.
Pemilik warung itu mengangguk, segera masuk kedalam gerainya untuk memasak.
Sambil menunggu, aku mencari tempat duduk yang nyaman untuk makan aku dan Bu Lisa, hingga akhirnya kami memilih duduk di samping jendela dekat dengan jalan raya.
Tidak sampai sepuluh menit, makanan pun datang, dikarenakan suasana saat itu agak dingin kami hanya memesan makanan yang hangat-hangat dengan minuman wedang jahe.
“Gimana enakan?” Tanyaku pada Bu Lisa setelah kami selesai makan.
“Kalau yang masaknya ibu-ibu paruh baya seperti itu masakannya biasanya enak, lebih berpengalaman."
Aku tersenyum menyaksikan istriku mengelap bibirnya dengan tisu, dia terlihat amat menikmatinya. Aku pindah posisi yang semula berhadapan lalu kini di sampingnya.
“Jangan deket-deket, malu tuh dilihat ibu warung,” Bu Lisa berkata canggung saat tanganku merangkul pinggangnya tiba-tiba.
Aku tidak menjawab, lebih memilih menyeruput wedang jahe yang masih terasa panas, "Kamu mau?"
Bu Lisa menggeleng "Aku tidak suka minuman yang ada jahenya, Raka."
“Mas dong panggilnya... Kitakan sudah bukan disekolah lagi.” Tuturku menuntut, padahal dia sebelumnya sudah memanggilku 'Mas' tadi.
“Iya M.. a.. s.. R.. a.. k.. a.." Dia memutar matanya dengan malas.
Aku tertawa kecil, siapa yang tahu bahwa guru yang di sangka killer ini memiliki humor. Semua murid disekolah hanya melihat sisi sikap dingin dan tegasnya tanpa tahu bahwa dia mempunyai sifat imut seperti ini.
Melihat langit yang kian menggelap, kami pun menyudahi dan hendak berpamitan pulang.
“Bu, jumlahnya berapa ya?”
Wanita paruh baya itu menengok, sebelum menghitung dengan menunjuk-nunjuk makanan yang telah aku habiskan “Totalnya tiga puluh ribu, mas."
Aku mengangguk, mengambil dompet di saku celana, namun sayangnya setelah beberapa detik mencarinya dompet tersebut tidak ada, hilang. Aku segera mendekat kearah Bu Lisa dan berbisik pelan padanya.
“Dek, kamu bawa uang gak?" Bisikku didekat telinganya.
"Adek bawa, memang kenapa?" balasnya yang malah ikut berbisik.
"Pinjem dulu ya, dompet mas hilang."
“Bentar” Dia merogoh tas dan mengeluarkan dompetnya. Ia sudah mulai mengerti keadaanku. Dan tanpa banyak bertanya ia memberikan uangnya pada pemilik ibu warung tersebut.
“Ini uangnya, Bu."
“Oh iya terima kasih.” Jawab wanita paruh baya itu tersenyum hangat.
“Terimakasih ya, Dek, nanti aku bayar kalau pulang ke rumah,” aku tersenyum canggung ketika sudah berada diluar. Rasanya malu sekali, yang awalnya pengen naktir Bu Lisa, Eh, justru malah ketraktir.
“Tidak apa, kitakan sudah berkeluarga. Aku sudah sepatutnya membantu seperti ini."
Seakan waktu terhenti, aku tak bisa percaya tentang apa yang di ucapkannya saat ini. Desir kebahagiaan terasa hangat di dalam hati menjulur ke seluruh tubuh dengan lembut.
Yang aku tidak sangka dari kata-katanya adalah kelembutan hangat itu, kelembutan yang membuat detak jantungku berdetak cepat.
\*\*\*
Tidak ada yang lebih menenangkan selain merasakan pijitan air dari shower ketika mandi, kalau diingat lagi bahkan ini lebih nyaman dari pijitan itu sendiri.
Seandainya saja mandi malam itu tidak beresiko terkena penyakit mungkin aku akan lama di sana. Namun tentu aku tidak melakukan hal tersebut, bagaimanapun aku harus bergegas keluar, kulitku sudah mulai berkerut dari tadi.
Didepan sana, tepat di atas kasur sudah terletak pakaian gantiku dengan lengkap. Aku tersenyum, pasti ini ulah istriku padahal sebelumnya aku tidak menyuruhnya menyiapkan pakaian.
“Benar-benar istri yang baik." Gumamku pelan.
Tidak sulit mencari Bu Lisa karena saat ini dia sedang duduk di sopa tengah rumah, mata hitam indahnya yang besar memandang lurus menatap buku.
Aku langsung melangkah menghampirinya, saat ini dia tengah memakai baju rumahan yang terbilang sederhana dan simpel. Ketika ia tidak memakai baju dinasnya, ia terlihat seperti orang gadis remaja seumuran SMA, terlihat lebih muda dan cantik.
Tanpa perlu persetujuan darinya, aku langsung tidur di pahanya yang membuat sang empu sedikit kaget dan menoleh. Bu Lisa tidak berkomentar apapun yang berarti dia mengizinkan aku tiduran di pahanya.
“Dek, tolong dong ambilkan remot TV, di sana!” Aku menunjukan jari yang mengarah ke meja, karena saat itu aku tiduran, tanganku tidak bisa menggapainya.
Ia tidak menjawab melainkan langsung mengambil remot itu dan memberikannya padaku.
Beberapa menit berlalu, aku sedikit menggerutu kesal. Aku membuang nafas pelan melihat tontonan deretan berita yang menurutku tidak berguna dan tidak seru. Tidak bisakah mereka menontonkan kartun di malam seperti ini? benar-benar membosankan... atau setidaknya mereka menayangkan hiburan, itu lebih baik dari pada berita TV yang hanya menyangkan cerita itu-itu saja.
Aku yang sedang berada dalam pahanya menengok ke atas melihat dia yang masih asik membaca. Matanya lincah menyusuri setiap barisan huruf, Bu Lisa benar-benar tidak terganggu dengan keberadaanku disini.
Di karenakan tidak ada tontonan telivisi yang seru, aku membalikan posisi tubuh kearah sebaliknya, mengarah perut Bu Lisa. Aku menggerakkan tangan mencoba mengelus perut Bu Lisa.
Bu Lisa menutup bukunya karena merasakan usapan tanganku, tindakanku jelas membuatnya terganggu.
"Aku ingin di masa depan nanti, ada seseorang yang akan tumbuh disini," Aku bergumam sambil mengelus perutnya.
Saat itu aku tidak tahu bahwa wanita akan sesensitif itu dengan perasaanya, tepat ucapan itu aku keluarkan, Bu Lisa langsung menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan namun ada kesan rasa bersalah.
“Maap Raka, sampai saat inipun aku belum melaksanakan sebagian hakmu padaku,” itulah kata-kata yang ia lontarkan padaku dengan nada pelan.
Aku seketika menyadari ada perkataanku yang salah, sepertinya aku telah salah bicara. “Bukan seperti itu Dek maksudnya... tadi itu hanya ungkapan saja, tidak lebih.”
Dia tersenyum penuh paksaan sebelum akhirnya pamitan ke kamar. Aku disisi lain hanya mematung melihatnya hilang dari pandangan, bingung harus berbuat seperti apa.
“Ahh... Benar-benar sial! Kenapa tadi aku berbicara seperti itu...”
\[**Sudah direvisi**\]
\*\*\***Like dan votenya, serta silahkan komentar kekurangannya**.. !!
**Terimakasih**\*\*\*..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Elizabeth Zulfa
Raka brharap punya baby dimsa dpan itu hal wajar kali...kalisa Jan trlalu sensitif lah ampek lngsung ngehindar gitu... toh Raka g nuntuh hak batinnya skarang kn...
2021-08-31
0
y/n
panggilan nya yang aja deh thor jangan adek ih
2021-04-06
6
Zifa Zifa
akuuu zuuuukkkaaaa thooorrr😆😆😆😆 bikin greget aja thooorrr 👍👍👍👍laaannnnjuuuttt
2021-03-25
0