Perkataan orang lain bisa membuatmu bahagia layaknya laksana kamu terbang, dan juga bisa membuat sedih laksana terjatuh ke jurang kesedihan.
Sepulangnya sekolah, wajahku sedikit murung memikirkan tentang kejadian tadi.
Seharusnya aku memang tidak berbicara kasar padanya. Bagaimanapun perkataan Bu Lisa memang benar, dia disini sebagai guru, bukan menjadi seorang istri.
Untuk berpikir ke sana aku menghela napas pelan. Baiklah, kali ini aku tidak akan memalingkan muka padanya.
Sudah sejak sejam lalu sekolah dibubarkan, entah itu para murid dan guru sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun kenapa meski jam hampir menunjuk ke angka 4, Bu Lisa masih tidak terlihat.
Kelima kalinya aku melihat jam tangan. Ini hampir satu jam lebih aku menunggu di pertigaan pasar. Untungnya hujan sudah reda, jadi tidak masalah menunggu lebih lama.
Baru saja dipikirkan, datang dari kejauhan ada angkutan umum yang berhenti tepat di pertigaan pasar. Wajahku tersenyum hangat melihat siapa yang turun. Dari semua penumpang yang berada di angkot, Bu Lisa terlihat mencolok dari lainnya. Tentu saja karena ia yang paling cantik.
Aku memandang wajahnya dari kejauhan saat di setiap langkah Bu Lisa mengarah kesini. Rambut lurusnya yang panjang beberapa kali tertiup miring, yang membuatnya harus bersusah payah membenarkan kembali.
Aku memandang wajahnya yang manis begitu lama sampai tak sadar dia sudah berada di depan tubuhku.
“Ayo pulang!" Seru Bu Lisa ketika sudah dekat.
“Kamu cantik.” kataku tersenyum mengabaikan kalimat dia sebelumnya.
“Bukannya tadi kamu selalu membuang muka saat bertemu di sekolah."
Aku menggaruk kepala sambil menyeringai lebar, "Tadikan di sekolah aku marah karena Ibu mengusirku dari kelas."
“Ohh, Kalau sekarang?”
“Kalau sekarang tentu saja tidak, mana bisa aku marah lama sama istriku ini."
Bu Lisa memutar bola matanya dengan malas mendengar gombalan tersebut. Ia tidak menjawab ucapanku melainkan langsung menaiki motor di jok belakang.
Saat beberapa waktu aku melihat ke langit. Awan sudah mendung di atas sana, jika benar, maka malam nanti akan ada hujan deras di kota ini.
Tidak ada yang aku lakukan selain bergegas maju menaiki motor, tidak terlalu lama, hanya membutuhkan lima belas menit berkendara hingga akhirnya bisa tiba di rumah.
Kata rumah, tentu saja maksudnya adalah rumahku dan dia. Tempat tinggal ini adalah hadiah dari pernikahan kami 3 bulan lalu, yang berasal dari orang tuaku.
Sesudah memarkirkan motor di garasi dan memasuki rumah, aku menghempaskan tubuh pada sopa tanpa peduli seragam yang masih melekat. Rasanya malas sekali jika bergerak atau beraktivitas apapun.
"Sayang, ambilkan minum dong... Aku haus!"
Bu Lisa yang baru saja meletakan sepatunya mendongak, dari wajahnya ia hendak berbicara padaku tetapi tidak jadi. Dia lebih memilih langsung mengambil air minum di dapur.
"Terima kasih." Kataku setelah menerima gelas darinya.
Bu Lisa menjawabnya dengan anggukan dan senyuman tipis, setelah itu ia pergi ke kamar berniat mandi dan ganti baju.
\*\*\*
Di malam harinya, hujan deras terdengar sayup-sayup dari luar rumah. Saat itu, aku baru bangun dari tidur akibat terlalu keenakan berbaring di sopa.
Hal pertama yang aku lakukan setelahnya adalah mencari keberadaan Bu Lisa. Tidak terlalu sulit menemukannya karena dari yang aku tahu, di jam seperti ini dia sekarang berada di kamar.
“Kenapa Ibu tidak membangunkanku?” Aku bertanya saat tiba dikamar, menganggu dia yang kini sedang memainkan laptopnya di kasur.
“Sudah hampir lima kali aku mencoba membangunkanmu, Raka. Tetap saja kamu tidak sadar-sadar, jadi lebih baik aku membiarkanmu lebih lama beristirahat." Jelasnya tanpa menoleh sedikitpun.
Aku menyeringai sekaligus menggaruk kepala. Ibuku saja dulu, untuk bisa membangunkan ku harus dengan air seember.
“Kamu mandi dulu gih, nanti aku akan siapkan baju juga makannya." Seakan tau apa yang harus dia lakukan, Bu Lisa segera bangkit dan mengambilkan handuk untukku.
Aku langsung mengangguk patuh dan dengan cepat menyambar handuk tersebut. Tidak terlalu lama di sana, karena perut kosong aku mempercepatnya sesingkat mungkin.
Aroma masakan Bu Lisa sudah tercium harum dari dalam kamar yang membuat perutku semakin lapar dan ingin segera menyantap makanan.
Sesampai di sana Bu Lisa tengah asik memasak. Bahkan kedatanganku ke dapur tidak di sadari olehnya. Aku tersenyum jail melihatnya dan sepintas ide jahat terlintas di dalam pikiran.
“DORR!”
Aku berkata dengan suara keras yang membuat Bu Lisa menjerit kaget. Dan setelah apa yang aku buat, ia malah reflek langsung memukulku dengan spatula yang di pegangnya.
Pukulan spatula itu memang pelan namun masalahnya adalah terdapat minyak panas yang masih menempel di sana, dan dengan telak tetesannya terbang pas ke arah wajahku.
Seketika aku berteriak kaget, mengusap wajah yang terkena minyak panas.
Bu Lisa tertawa lepas melihatku, “Lain kali jangan ganggu orang yang masak, kan tau sendiri akibatnya sekarang.”
Aku mengusap pipi yang masih terasa panas, “Dasar."
Beberapa menit berlalu untungnya masakan Bu Lisa sudah matang sehingga kekesalanku menguap di gantikan dengan senyuman.
“Bagaimana masakannya, enakan?”
Melihat wajah dari pertanyaannya, dia sepertinya mengharapkan penilaian atas masakan yang dia buat.
“Enak sayang, masakannya juga lezat-lezat.” Aku tersenyum memujinya.
“Benarkah?” Tanyanya lagi yang langsung aku jawab dengan anggukan.
Dia tersenyum bahagia, wajahnya yang cantik seakan lebih bersinar saking senangnya. Aku menghentikan ayunan sendok, menatap Bu Lisa. Apakah betul dia itu guru matematika yang galak?
“Eh, kamu tidak makan bersamaku?” Bu Lisa tiba-tiba bangkit dari kursi dan hendak pergi dari dapur.
“Aku sudah makan tadi." Jawabnya singkat.
“Kalau begitu temenin.”
“Memangnya kamu gak bisa makan sendiri?”
“Bukan gitu, kalau di temenin kan rasanya beda di banding sendiri, lebih asik.” aku menjawab asal, menyendokkan makanan ke mulut.
Dia menghela nafasnya pelan sebelum dengan terpaksa berbalik dan kembali duduk di kursi meja makan. Aku tersenyum melihatnya, dia selalu patuh dengan apa yang aku perintahkan dan tak pernah membantah. Benar-benar istri idaman.
Selesai makan aku hendak membereskan piring yang telah dipakai sebelumnya, itung-itung membantu Dia. Namun saat aku siap mencucinya dia tiba-tiba melarang, katanya ini adalah tugasku.
Aku pun mengalah dan membiarkannya. Sepintas adegan seperti ini terasa tidak asing, sampai aku akhirnya berani untuk melakukan sesuatu padanya.
Masih memakai celemek yang dia pakai, aku memeluk perutnya dari belakang, yang justru membuatnya terkejut dan protes. tetapi setelah aku mengatakan hanya lima menit saja, Bu Lisa pun diam dan menurut.
Tentu saja itu hanya kebohongan. Bahkan setelah lima menit pun aku tetap tidak melepaskan pelukan dengannya.
Lalu mungkin karena risih Dia mengomel padaku, “Raka lepaskan! Aku tidak bisa bergerak."
Aku menghiraukan ucapannya, saat ini aku tergoda mencium bau rambutnya yang harum, Entah apa merk shampo yang dia pakai, namun yang pasti dengan mencium aromanya membuatku tenang dan *rileks*.
“Raka aku mohon ..." Dia menatap mataku dengan wajah yang hampir menangis.
Aku menelan ludah, dia terlihat sangat cantik. Pada akhirnya, aku melepaskan pelukan itu yang setelahnya langsung dibalas cubitan keras di pinggang, “Dasar tidak sopan” celetuknya melotot padaku.
“Enggak apa-apa kali ... kan kita udah sah” kataku menyeringai.
Dia memutar bola matanya dengan malas, tidak membalas lagi.
Sekitar jam 9 malam aku dan dia duduk menyandar di kasur. Saat ini baik aku ataupun dia sama-sama memainkan ponsel, sibuk dengan dunia masing-masing.
“Sayang. Boleh gak aku meminta hak sebagai suami." Setelah berpikir terlebih dahulu, aku akhirnya mengatakan sesuatu yang terpendam sejak tadi.
Dia melirikku sebelum mematikan hp yang di pegangannya, dengan wajah sedikit ragu-ragu dia bertanya, “Kau meminta hak yang itu?”
Aku mengangguk, meski tidak mengerti maksud kata 'itu' dari ucapannya.
“Mm... sepertinya aku belum siap, Raka. Aku masih agak takut.”
Aku mengerutkan dahi, “Kenapa tidak siap dan takut? Aku hanya ingin meminta tentang pernikahan kita, maksudku, tentang aturan pernikahan."
Bu Lisa yang sebelumnya menunduk kini kembali mengangkat kepala dan menatapku, "maksudnya?”
“Aku ingin kita memiliki panggilan khusus biar romantis. Jadi aku menginginkan agar Ibu memanggilku dengan sebutan ‘Mas’ mulai detik ini, nahh sedangkan untuk sebaliknya aku tidak memanggil ‘ibu’ lagi, melainkan dengan sebutan 'Adek'. Gimana?"
Dia tiba-tiba seperti menghembuskan napas lega, seperti terselamatkan oleh sesuatu, “Sebenarnya permintaan ini agak ganjil mengingat bahwa aku lebih tua darimu, namun kamu adalah suamiku. Sudah kewajiban agar aku mematuhi apa yang kamu minta, jadi perlahan aku akan mencobanya." Dia tersenyum manis.
Saat itu hatiku tersentuh bahagia atas ucapannya, walaupun jika di pikir bahwa dia menikahi berondong. Dia tidak pernah membantah dan selalu menuruti permohonan ku yang aneh.
\[**Sudah Direvisi**\]
\*\****Jangan lupa vote dan likenya***..!!
***Terimakasih***\*\*..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Elizabeth Zulfa
Raka sama kalisa ini beda brp taun sih Thor..
2021-08-31
1
ibah
ceritanya menarik..
2021-08-05
3
🍾⃝ͩʜᷞεͧrᷠaͣ☠ᵏᵋᶜᶟ✰͜͡w⃠
Lisa usianya brp thor 🙄
2021-05-07
2