Tok, tok, tok!
"Mel, Ame!" Sbastian mengetuk pintu kamar Camelia. Tidak berapa lama, pintu itu terbuka. Memperlihatkan sosok cantik, yang walaupun masih 'muka bantal' tapi parasnya tak terperikan.
"Apaan sih, Bucin."
"Aku mau ke kantor."
"Hem, terus kenapa?"
Sbastian terlihat salah tingkah. "Gak kenapa kenapa sih, cuma pengen bilang aja."
"Ya sudah pergi gih sana, oh ya pulang nanti bawain oleh-oleh dong. Ini 'kan hari terakhirku di Jakarta."
"Kamu mau apa?" tanya Sbastian
"Apa aja, yang penting oleh-olleh. Oke!" jawab Camelia, lallu menutup pintu kamarnya tepat di hadapan Sbastian.
"Hah. Dasar keterlaluan. Bukannya cium tangan kek, bilang hati-hati kek buat aku. Eh malah cuma titip oleh-oleh doang terus tutup pintu," omel Sbastian. Saat Sbastian berbalik hendak pergi, tiba-tiba pintu terbuka dan ada yang menabrak tubuhnya dari belakang. Sbastian merasakan lengan Camelia melingkar di sekitar pinggangnya.
"Amel. Ada apa?" tanya Sbastian dengan bingung. Pria itu hendak membalikkan tubuhnya untuk menatap Camelia, tetapi Camelia menahannya.
"Shut, diam sebentar. Aku cuma ingin memastikan sesuatu," ujarnya dengan suara pelan, lalu Camelia memejamkan mata. Saat itulah ia merasakan detak yang tidak normal di bagian dadanya.
lama mereka hanya berdiam seperti itu. Lalu Camelia tiba-tiba melepaskan pelukannya dan kembali masuk ke dalam kamar. Gadis itu meninggalkan Sbastian yang masih merasa bingung atas apa yang baru saja dilakukannya.
Sbastian berbalik ingin mengetuk pintu kamar Camelia dan menanyakan apa yang terjadi padanya, tapi ponselnya bergetar.
"Ya ada apa? Baik saya segera ke kantor sekarang." Ia kemudian berbalik pergi.
Sementara itu Camelia terduduk sambil bersandar di balik pintu kamar, ia menangis lalu meletakan ponselnya kembali di telinganya. "Ya Ola, sepertinya benar katamu. Aku jatuh Cinta."
Sebenarnya saat Sbastian datang mengetuk pintu kamarnya tadi, ia sedang berbicara dengan Ola melalui telepon. Camelia menceritakan semua yang terjadi padanya, perlakuan Sbastian yang manis, orang tua Sbastian yang baik, hingga perlakuan buruk yang diterimanya dari Isabel dan Ibunya, serta tentang perasaannya.
Ola menasehatinya agar memastikan bagaimana perasaannya kepada Sbastian dan ia sudah memastikannya dengan memeluk Sbastian barusan. Hatinya merasa nyaman dan bahagia saat di dekat pria itu. Akan tetapi rasanya ia sangat tidak tahu diri. Siapa dia hingga berani jatuh cinta pada pangeran tampan dan kaya raya seperti Sbastian.
"Kalau kamu memang jatuh cinta sama dia, kamu tinggal bilang sama dia, Mel, aku yakin dia juga pasti memiliki perasaan yang sama."
"Gak mungkin, Ola, aku 'kan perempuan, masa aku yang menyatakan cinta."
"Yaelah,Amel, hari gini gitu loh. Laki atau perempuan sama aja kalau sudah berurusan soal cinta. Setidaknya kamu harus memastikan kalau cintamu gak bertepuk sebelah tangan." Ola
menasehati.
"Enggak ah, dia anak orang kaya, La. Aku ini siapa, asal-usul aja nggak jelas. Rasanya gak pantas banget kalau aku jatuh cinta sama dia," ujar Camelia sambil mengusap air mata di pipinya lalu melanjutkan, "Tunggu aku, ya, mungkin sore aku balik ke sana."
"Oke aku tunggu, Camelia pengecut." Lalu telepon terputus, Camelia menatap sedih pada layar ponselnya. Ola selalu begitu, sahabatnya itu akan marah jika Camelia bersikap tidak tegar dan terkesan menghindari masalah. Apalagi masalah Camelia kali ini memang sangat besar, Ini masalah perasaan yang sulit sekali dihadapi dengan akal sehat.
***
Camelia keluar dari kamar dan menuju ruang keluarga, di sana terlihat Nyonya Handoko sedang asyik melihat sebuah album foto, saat melihat Amel memasuki ruangan ia langsung tersenyum dan memanggil gadis agar duduk di dekatnya.
"Lihatlah, Sayang, mami lagi milihin model undangan untuk pernikahanmu dan Sbastian. Kamu suka yang mana?" Nyonya Handoko bertanya padanya dengan wajah yang bahagia. Camelia tersenyum lalu menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
"Mami, ada yang mau Amel sampaikan."
"Ya, Sayang, bilang saja ada apa?"
"Hem, begini, Mi, bukannya Amel menolak pernikahan ini, tapi Amel kan belum selesai kuliahnya. Bolehkan Amel menyelesaikan kuliah Amel dulu, setelah itu baru Amel menikah dengan Tian," ujarnya dengan gugup lalu melanjutkan, "Amel sekarang sudah semester akhir, Mi, gak akan lama lagi Amel lulus. Amel cuma gak mau, saat nanti Amel sudah menjadi istri Tian, Amel malah sibuk dengan kuliah Amel, bukannya sibuk mengurus suami. Saat sudah menikah, Amel pengennya menjadi istri yang baik, yang benar-benar cuma fokus mengurus suami, rumah dan anak."
Nyonya Handoko tersenyum kepada Camelia. "Baiklah kalau itu maumu, Sayang, gak apa-apa kok. Toh nggak lama lagi kamu lulus. Mami dukung keputusanmu, kalau memang maunya seperti itu."
"Benarkah?" Amel menatap wajah ramah itu dengan gembira, ia tidak menyangka akan semudah itu. Ia pikir orang tua Sbastian akan menolak keinginanya dan tetap memaksa agar Sbastian segera menikahinya.
"Terima kasih, Mami, " ujarnya sungguh-sungguh, lalu memberikan pelukan yang erat kepada wanita ramah itu.
Pada saat jam makan siang, terlihat Sbastian memasuki ruang keluarga, ia tersenyum melihat Camelia sedang menonton TV dan tertawa bersama ibunya, senyum bahagia pun tersungging di bibirnya. Perlahan harapan itu muncul, harapan bahwa ia akan melihat pemandangan seperti ini setiap hari saat ia pulang bekerja.
Sbastian berjalan mendekati Camelia dan ibunya, lalu duduk di sebelah Camelia, tidak lupa Sbastian melingkarkan lengannya di seputaran pinggang Camelia. Camelia memandangnya lalu tersenyum. Beberapa hari ini sepertinya sikap seperti itu wajar, Sbastian selalu merangkul Camelia di mana pun, tidak ada kecanggungan di antar mereka. Seolah-olah mereka sepasang kekasih yang sama-sama sedang di mabuk cinta.
"Kok sudah pulang?" tannya Camelia.
"Iya, kangen," jawabnya santai sambil menyandarkan kepalanya di pundak Camelia. Camelia membiarkannya, ia berpikir bahwa Sbastian sedang berpura-pura karena ada ibunya di sekitaran mereka.
"Heem ingat, ya, ada mami di sini, dilarang mesra-mesraan di depan mami. Mami iri!"
Camelia dan Sbastian tertawa mendengar ucapan dari sang ibu.
"Mi, nanti sore Sbastian dan Camelia balik ke apartemen, kami harus bersiap-siap karena penerbangan Kami malam ini. Masalah pernikahan Camelia dan Tian--"
"Iya, iya, Camelia sudah menjelaskan semuanya ke mami, dia ingin menyelesaikan kuliahnya dulu sebelum akhirnya menikah. Mami setuju kok, gak apa-apa."
"Camelia sudah menjelaskan semuanya?"
"Iya sudah. Sekarang cepat ganti bajumu lalu pergilah makan siang. Kamu pasti belum makan," yitah sang ibu.
Sbastian bangkit dan menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Setelahnya, pria tampan itu segera menuju ruang makan. Perutnya memang sudah lapar sekalisejak tadi.
Saat memasuki ruang makan Ia melihat Camelia sedang menyiapkan makanan di atas meja. Gadis itu melarang pelayan untuk membantunya.
"Udah,gak apa-apa, biar aku saja."
"Tapi, Non ini semua tugas kami, biar kami saja," ujar salah satu pelayan merasa tak enak.
"'Kan aku udah bilang, biar aku aja. Aku kan juga pengen menyiapkan makan siang untuk calon suami aku, masa kalian gak ada yang mau ngerti sih," ujar Camelia dengan suara yang sengaja di buat sesedih-sedihnya, membuat wajah pelayan di dapur makin merasa tak nyaman.
Sbastian tersenyum lalu berjalan menghampiri meja makan. Melihat Sbastian yang tiba-tiba muncul membuat Camelia terkejut.
'Sejak kapan dia di situ? Apa dia dengar yang barusan kuucapkan?' batin Camelia.
"Kalian boleh pergi, biar calon istriku yang melayaniku." Sbastian memberikan perintah kepada semua pelayan yang berada di ruang makan.
"Calon istri apaan," ujar Camelia saat tinggal mereka berdua di ruang makan.
"Kan kamu sendiri yang bilang begitu tadi?" Sbastian tertawa melihat Camelia yang terlihat salah tingkah.
"Penerbangan kita malam ini?" tanya Camelia mengubah topik pembicaraan.
"Iya, malam ini, bisa jadi sore malahan." Sbastian menjawab sambil menyendokan makanan ke mulutnya.
Camelia duduk di sebelahnya, sambil melamun mengambilkan lauk apa saja untuk Sbastian.
"Hei, kamu mau bikin perutku meledak."
Camelia terkejut saat melihat piring Sbastian yang sudah penuh karena terus di isinya dengan berbagai macam lauk pauk yang ada di meja makan.
"Eh, maaf aku gak fokus," ujarnya, lalu mengambil piring kosong dan menyisihkan sebagian lauk yang sudah penuh di atas piring Sbastian.
Praang ....
Tanpa sengaja Camelia menjatuhkan gelas yang ada di atas meja makan.Ia buru-buru membungkuk dan memebersihkan pecahan kaca tersebut dengan tangannya.
Sbastian menghentikan kegiatannya.
"Sudah, jangan dibersihkan, biar pelayan nanti yang membersihkan," ujar Sbastian, sambil menghentikan kedua tangan Camelia yang sibuk membersihkan pecahan gelas itu.
Camelia terlihat bingung, lalu bangkit dan kembali duduk di samping Sbastian.
"Ada apa? Kamu terlihat gelisah, Mel."
"Gak apa-apa, aku ke kamar dulu." Camelia segera berjalan dengan cepat, meninggalkan Sbastian seorang diri.
sebenarnya hatinya merasa sangat gelisah, ia memang menantikan kepulangannya kembali ke Kalimantan, tapi di sisi lain ia tidak ingin berpisah dari Sbastian.
Semua itu sungguh membuatnya dilema. Siapa sangka dirinya bisa jatuh cinta secepat ini kepada Sbastian.
***
"Hati-hati di jalan, ya, Sayang. Sebenarnya mami sama papi pengen ngantar kamu ke bandara, tapi mami paling gak bisa mengantar kepergian seseorang. Mami gampang nangis." Nyonya Handoko menangis sesenggukan sambil memeluk Camelia.
"Sekarang juga Mami sudah menangis." Camelia mengusap air mata di kedua pipi Nyoya Handoko, lalu memeluknya. Ia juga ikut menangis.
Sbastian menyentuh pundak Camelia. Camelia segera melepaskan pelukannya dari tubuh Nyonya Handoko, kemudian memeluk Tuan Handoko.
"Jaga diri baik-baik, Nak, dan tolong jaga Sbastian. Kalau dia berani menyakitimu, telepon saja papi, akan papi turunkan jabatannya di perusahaan," ujar Handoko sambil tertawa, berusaha menceriakan suasana.
"Iya, Papi. Papi juga jaga diri dan kesehatan, ya. Amel titip Mami juga, jangan terlalu sering di izinin nangkap ikan di danau."
Sbastian kemudian menggandeng tangannya, lalu menuntunnya masuk ke dalam mobil. Mobil itu perlahan mulai bergerak meninggalkan rumah besar keluarga Handoko. Camelia melambaikan tangannya kepada kedua orang tua Sbastian, dengan air mata berderai ia berusaha tersenyum ke arah mereka. Sabastian menatapnya dengan saksama.
"Kamu benar-benar menangis."
"Kamu pikir aku bercanda?" Lalu ia mengusap wajahnya dengan jaket yang ia gunakan. "Mereka orang baik, entah kapan aku bisa menemui mereka lagi," ujar Camelia.
Sbastian merangkul pundak Camelia, berniat menenangkannya, tetapi Camelia menghindar. Gadis itu menepis lengan Camelia dari pundaknya.
"Jangan lakukan itu! Jangan buat aku terbiasa dengan semua sentuhanmu!" ujarnya serius, lalu memperlebar jarak di antara mereka. Sbastian diam saja. Ia memilih bersandar dan memejamkan mata hingga tiba di apartemen.
Saat tiba di gedung apartemen mereka berjalan beriringan dalam diam hingga tiba di kamar apartemen milik Sbastian.
Sbastian masuk terlebih dahulu kemudian disusul oleh Camelia yang langsung menuju ke kamarnya. Gadis itu membereskan semua barangnya yang berhamburan dan memasukannya ke dalam ransel.
"Ini untukmu." Camelia menyodorkan beberapa bungkus mie ke hadapan sbastian.
"Mie instan, untukku?"
"Iya, selama dua hari berada di rumah orang tuamu aku gak makan mie instan. itu berarti ada enam bungkus yang kulewatkan. Ambil saja, aku harus konsisten pada tanggal yang tertera di kartu-kartunya. Kalau kamu gak mau ambil ini, itu berarti aku harus menghabiskan enam bungkus mie dalam sekali makan, itu gak mungkin. Aku bisa gemuk nanti."
Sbastian tersenyum sambil menerima mie dari tangan Camelia. "Oke, aku terima, sekarang ayo kita turun. Perjalanan masih panjang," ajak sbastian sambil mengulurkan tangannya kepada Camelia, tetapi Camelia tak menghiraukan uluran tangan itu. Ia berjalan terlebih dahulu melewati Sbastian.
Dalam perjalanan menuju bandara pun Camelia tidak banyak bicara, gadis itudiam saja. Berbanding terbalik saat ia baru tiba di kota ini, saat itu Camelia sangat banyak bicara, tapi sekarang ia hanya menatap kosong pada setiap tempat yang dilewatinya.
Sesampainya di bendara, Camelia sangat berharap pesawat yang akan mereka tumpangi mengalami keterlambatan penerbangan. Ia sungguh tidak ingin berpisah dari Sbastian. Tapi ternyata harapannya sia-sia, tidak ada drama keterlambatan penerbangan. Semuanya berjalan lancar, hingga mereka sama-sama duduk di dalam pesawat.
"Oh, ya, bukankah tadi pagi kamu minta oleh-oleh." Sbastian memecah keheningan.
"Iya, tapi sekarang gak jadi. Lupakan saja, aku sedang nggak bersemangat."
Sbastian menyodorkan sesuatu di hadapan Camelia. Sebuah buku.
"Buku?"
"Bukan sembarang buku, itu novel karya Erich segal yang terbit pada tahun 1970. Kisah yang kemarin aku ceritakan di ruang musik, ini dia kisahnya." Sbastian menatap Camelia, "Kamu bilang gak akan ada lain kali untuk kita, makanya aku cari buku ini, supaya aku gak berhutang sebuah cerita yang pernah aku mulai," ucapnya lalu membuang muka.
"Oooh." Hanya itu yang dapat dikatakan Camelia.
Setelah kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di bandara Sultan Aji Muhamad Sulaiman Sepinggan International Airport .
Sbastian membawakan ransel Camelia.
"Rasannya baru kemarin aku mambawakan ranselmu sambil berlari, karena kita hampir ketinggalan pesawat, tetapi malam ini lihatlah, kita bahkan berjalan dengan lambat, seolah olah tidak ingin meninggalkan pesawat. Sangat Ironi," ujar Sbastian.
Camelia tersenyum masam. Benar apa yang dikatakan Sbastian, rasanya baru kemarin Ia tidak ingin pergi dengan pria itu ke Jakarta, tapi hari ini ia sangat tidak ingin berpisah dari Sbastian. Dua hari yang singkat itu benar-benar merubah segalanya.
"Aku antar kamu ke panti," ucap Sbastian.
"Gak usah, Al yang akan jemput aku."
"Oh iya, Al! Pacar kamu," ujar Sbastian dengan wajah masam.
Camelia sebenarnya ingin memberi tahu Sbastian kalau Al bukan pacarnya, tapi untuk apa. Toh mereka juga tidak memiliki hubungan spesial, maka Camelia membiarkan Sbastian berpikir bahwa Al adalah pacarnya.
"Tian, trims," ujar Camelia kemudian.
"Akhirnya kamu menyebut namaku, biasanya kamu cuma menyebutku Tuan Bucin."
"Ini hari terakhir kita, aku harus meninggalkan kesan yang baik," kata Camelia pelan.
Sbastian diam saja.
"Trims untuk dua hari yang istimewa di apartemenmu dan dua hari yang luar biasa istimewa di rumah orang tuamu. Trims untuk musik yang indah itu, untuk makanan buatanmu yang nggak enak dan untuk buku ini. Oh, ya, satu lagi, trims untuk pembelaanmu saat aku dihina di pesta itu," ujar Camelia sambil tersenyum, sebenarnya ia ingin menangis, tapi ia bersusah payah menahan air matanya.
"Tian, setelah ini kita gak ada kepentingan apa-apa lagi, toh masalah yang kubuat dengan Isabel sudah selesai." Camelia masih terus berbicara, tanpa sekalipum Sbastian menghiraukannya. "Jaga dirimu, simpan hp mu baik-baik supaya gak jatuh di jalan lagi. Kalau kamu kembali ke Jakarta sampaikan salamku untuk mami dan papi, masih ada waktu sekitar delapan bulan untuk kamu mencari tunangan yang sesungguhnya. Kamu harus cepat dapat tunangan baru, supaya mami dan papi gak kecewa. Kamu bisa bilang kita sudah putus, aku yakin mami dan papi gak akan mempermasalahkannya jika kamu segera mendapat calon menantu yang baru untuk mereka." Camelia tidak tahan lagi, Akhirnya Ia menangis. "Dan untuk kamu, jaga dirimu baik baik," lirihnya, sambil mengusap air mata. Sbastian mengangkat tangannya, ingin mengusap air mata Camelia, tapi kemudian ....
"Amelia!" Sbastian dan Camelia menoleh ke asal suara itu. Seorang pria tampan berlari ke arah Camelia, lalu memeluknya dengan erat. Pria itu adalah Alvian.
"Syukurlah kamu sudah kembali, ada apa? kenapa kamu menangis?" tanyanya terlihat Khawatir. "Siapa dia?" Alvian bertanya pada Camelia saat melihat sosok tampan yang tak lain adalah Sbastian.
"Bukan siapa-siapa. Ayo, aku capek sekali. Bye, Sbastian!" Camelia mengambil ranselnya yang masih berada di tangan Sbastian tanpa melihat wajah pria itu. Lalu ia berbalik pergi dan berjalan beriringan dengan Al, Al merangkul pundaknya,
sementara Camelia menyandarkan kepalanya di pundak sahabatnya itu.
Sbastian menatapnya, menatap kepergian Camelia sampai soso itu tak lagi nampak oleh matanya.
Tinggalah ia seorang diri meratapi kebodohannya. Ia jatuh cinta, tetapi ia terlalu gengsi untuk mengatakannya.
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Naifa Azahra
uhhh
2021-01-06
0
Dzakiah Azzura Rahnah
amel
2020-11-29
0
Dzakiah Azzura Rahnah
kira2 berjodoh gk ta tian ama amek
2020-11-29
0