Sudah sangat malam saat mereka bertiga tiba di rumah. Camelia merasa lelah sekali, ia langsung duduk di atas sofa, tanpa mempedulikan Ayah Sbastian yang sedang sibuk dengan laptopnya.
"Capek, ya?" Suara itu mengejutkan Camelia. Ia terlonjak, lalu menatap Handoko dengan tatapan malu.
Handoko tertawa melihat tingkah Camelia. "Nggak apa-apa. Gak usah sungkan sama papi, toh sebentar lagi kamu akan menjadi menantu papi."
"Maaf, Papi, tadi saya nggak lihat ada Papi di situ."
"Iya, iya. Santai saja. Papi tahu kamu pasti capek sekali. Begitulah kalau keluar dengan dua orang itu, itulah sebabnya Papi selalu menolak kalau salah satu dari mereka mengajak papi keluar. Mereka berdua itu ribet sekali," ujar Handoko sambil tertawa. Camelia pun ikut tertawa, ia setuju sekali dengan perkataan Handoko. Sbastian dan ibunya memang ribet sekali.
Saat akan pulang dari butik tadi, ibu dan anak itu berdebat tentang siapa yang berhak membawa Camelia kembali pulang ke rumah. Mereka berdebat hampir setengah jam sampai akhirnya mereka sepakat, kalau mobil Sbastian akan ditinggal di butik, biar nanti sopir mereka yang datang untuk menjemput mobil tersebut.
Saat sudah di dalam mobil pun mereka masih berdebat. Sbastian ngotot ingin duduk di belakang berdua dengan Camelia dan membiarkan sang ibu yang menyetir. Namun, Nyonya Handoko tidak mau kalah. Ia menjelaskan panjang lebar kepada Sbastian bahwa seorang pria adalah sosok yang harus melindungi wanita, yang harus berada di depan seorang wanita. Bukan pria sejati jika membiarkan wanita kelelahan menyetir, sementara ia dengan santainya duduk di kursi belakang.
Maka Sbastian pun mengalah, demi menjaga harga dirinya sebagai seorang pria sejati.
"Amel, Amel! Aaah kamu di sini, Sayang. Istirahatlah, kamu pasti lelah sekali," ujar Nyonya Handoko sambil meletakan barang bawaan di atas sofa. Tidak lama kemudian Sbastian masuk dan ikut duduk di samping Camelia, sambil melingkarkan lengannya di pundak Camelia. Sebenarnya Camelia ingin menepis lengan sialan itu, tapi dengan adanya Handoko dan istrinya tidak mungkin Camelia melakukan hal itu.
"Ternyata punya anak perempuan itu menyenangkan sekali ya, Pi? Besok mami mau nyalon bareng Amel, 'kan kebetulan kita diundang di acara ulang tahun pernikannya Pak Alex. Mami mau datang ke sana kalau Amel mau ikut."
"Nggak bisa gitu dong, Mi, besok Tian mau jalan bareng Amel, ada urusan penting." Sbastian memotong pembicaraan antara ibu dan ayahnya.
"Ah, kamu ada urusan apa? Pokoknya besok mami seharian mau jalan sama Amel, biar teman-teman mami kenal sama calon menantu mami. Semua teman mami itu sudah punya cucu, cuma mami yang belum. kalau sudah pada ngumpul semua kadang mami itu malu, sudah setua ini tapi belum punya cucu. Ya tapi mau bagaimana lagi wong anak satu-satunya mami gak becus cari jodoh!" ujar ibu Sbastian dengan ketus.
"Tapi, Mi ...." Sbastian menghentikan ucapannya, karena mendengar dengkuran halus di sampingnya. Ternyata Camelia tertidur.
"Astaga, kasihan sekali calon menantu mami sampai ketiduran di sofa."
"Pasti dia lelah meladeni kemauan kalian berdua," ujar Handoko sambil menutup laptopnya. "Tian, angkat dia ke kamar," perintah sang ayah.
"Siap, Papi," ujar Sbastian bersemangat, lalu dengan sangat perlahan ia memindahkan Camelia ke gendongannya dan melangkah menuju Kamar.
"Hei, Sbastian, mau kamu bawa ke mana dia?" desis Handoko.
"Ke kamar!" jawab Sbastian singkat.
"Kamar tamu, Tian, bukan kamarmu," ujar Handoko dengan gemas.
"Hem, nakal, ya, nakal!" ibu Sbastian tertawa sambil menunjuk-nunjuk anaknya.
Dengan berat hati Sbastian berbalik arah, menuju kamar tamu.
Sesampainya di kamar tamu, Sbastian meletakan Camelia di atas tempat tidur dengan hati-hati dan menyelimutinya, lalu menepiskan beberapa helai rambut dari wajah cantik gadis yang tengah tertidur pulas itu.
Ia terus memperhatikan wajah cantik tersebut. Sebenarnya dirinya ingin sekali ikut berbaring di samping Camelia dan memeluknya hingga pagi, tapi itu sama sekali tidak mungkin.
Sbastian kembali teringat kejadian sore tadi di tepi danau saat ia memeluk Camelia. Sebenarnya saat itu dia tidak sedang berakting dan tidak ada sang ayah yang memperhatikan mereka seperti yang dikatakannya pada Camelia.
Itu semua hanya alasan agar dirinya dapat memeluk Camelia. Sebenarnya dari awal bertemu dengan gadis itu, ia sudah merasakan debaran saat melihat Camelia. Namun, ia tidak begitu yakin dengan perasaannya. Hingga pada malam itu, saat Camelia pergi dari apartemen karena kebodohannya, di saat itulah ia merasa sangat panik dan kehilangan. Ia takut terjadi hal yang buruk pada Camelia.
Dirinya pun merasa cemburu saat Camelia menyebut nama Al. Entah siapa Al itu, tapi yang jelas ia bereaksi berlebihan saat Amel menyebut nama laki-laki itu.
Sbastian menyentuh puncak kepala Camelia dan mendaratkan kecupan lembut di bibir gadis itu, sebelum akhirnya ia buru-buru keluar dari kamar. Sungguh ia tidak ingin akal sehatnya menghilang, lebih baik dirinya menghindar secepat mungkin.
"Argh! Sial, dia sangat cantik," gumamnya, sambil menutup pintu kamar dan bergegas melangkah ke kamarnya sendiri.
***
"Hai, Tuan Bucin bangun, ini sudah pagi." Camelia mengguncang tubuh Sbastian. Ia sangat ingin kembali ke apartemen untuk berganti pakaian.
"Bangun cepat! Ayo kita ke apartemenmu, aku belum ganti baju dari kemarin. 'Kan waktu ke sini kita nggak ada rencana buat menginap, aku gak bawa baju. Cepat, Bucin bangun!" Camelia merengek sambil terus mengguncang tubuh Sbastian.
Sbastian menarik tangan Camelia, lalu dengan mudah memposisikan tubuh Camelia agar berbaring di sampingnya.
"Eh, apa-apaan ini? Lepasin gak! Dasar kamu, ya, udah bucin, mesum pula!" Camelia menggeliat berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Sbastian.
"Ini hukuman karena sudah membangunkan singa yang tidur," ujar Sbastian, masih dengan mata terpejam.
"Singa?" Camelia terlihat sulit mencerna arti perkataan itu, "Ada singa di sini? Atau kamu keturunan siluman singa?" tanya Camelia, membuat Sbastian tertawa terbahak-bahak lalu segera melepaskan pelukannya dari tubuh Camelia.
"Pergilah, sebelum aku lupa kalau kita belum menikah!" Sbastian mendorong tubuh Camelia menjauh darinya. "Gak baik kamu berbaring di sebelahku, padahal kita ini belum resmi menikah," tambahnya lagi, membuat Camelia gusar.
Camelia bangkit untuk duduk di samping Sbastian, lalu mendorong Sbastian dengan kakinya hingga Sbastian terjatuh dari atas ranjang.
"Siapa juga yang mau tidur di sampingmu, yang barusan itu 'kan gara-gara kamu." Camelia bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu, ia sempat menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti "Dasar sampah", sebelum akhirnya membanting pintu di belakangnya dengan keras.
Sbastian menatap kepergian Camelia dengan tersenyum, sambil mengusap pinggangnya yang terasa sakit karena jatuh dari atas ranjang. "Dasar cewek bar-bar," ujarnya sambil meringis kesakitan.
***
Setelah rasa sakit di pinggangnya sedikit berkurang, Sbastian keluar dari kamar dan mencari keberadaan Camelia.
"Mi, Camel mana?" tanyanya pada sang ibu yang sedang asyik mencatat daftar belanjaan.
"Tadi sih dia ke danau," jawabnya singkat.
Sbastian langsung berbalik dengan cepat, menuju bagian belakang rumah.
"Hai anak nakal, jangan rusak mood menantu mami, ya, semenjak keluar dari kamarmu dia cemberut terus!" Teriaknya."
Sbastian melihat Camelia sedang berdiri di tepi dermaga. Ia kemudian memutuskan untuk menghampiri Camelia.
"Mau coba naik perahu?" tanya Sbastian, begitu dirinya tiba di samping Camelia.
Camelia terkejut, lalu mengedarkan pandangan untuk mencari asal suara itu. saat matanya menangkap sosok Sbastian, ia mendengus dengan kasar lalu berbalik pergi.
"Hei, hei, mau kemana?" Sbastian menghentikan langkah Camelia.
"Mau masuk! Moodku tiba-tiba rusak!" desis Camelia.
"Aku bantu perbaiki moodmu! Ayo." Lalu Sbastian menggandeng tangan Camelia dan menuntunnya berjalan ke dermaga, menuju ke sebuah perahu.
Sbastian lebih dulu menaiki perahu tersebut, lalu kemudian mengulurkan tangannya kepada Camelia. Camelia menyambutnya dan sejurus kemudian dia sudah duduk tepat di samping Sbastian.
"Kamu bisa mendayung?" tanya Sbastian, Camelia hanya menggelengkan kepalanya. Seumur hidupnya ia tidak pernah naik perahu, mana mungkin ia bisa mendayung.
"Oke, kalau begitu biar aku saja yang mendayung," ucap Sbastian, lalu menggenggam kedua tongkat berbentuk pipih dan lebar di ujungnya itu dengan kedua tangan.
"Kamu harus duduk di depanku," ujar Sbastian kemudian.
"Kenapa?" tanya Camelia bingung.
"Aku harus mendayung supaya perahu ini bisa jalan, kalau kamu duduk di sampingku mana bisa aku menggerakan tanganku."
"Aaah benar juga," ucap Camelia. Maka ia berpindah duduk di depan Sbastian, tetapi sulit sekali jika mereka duduk berhadapan, perahu itu sangat kecil, dengan posisi duduk seperti ini, maka makin terasa sempit karena lutut mereka saling bersentuhan.
Sbastian memperhatikan Camelia yang gelisah.
"Duduklah di depanku dengan tubuhmu menghadap ke depan supaya gak sempit. Bukannya menghadap ke arahku."
"Enggak ah!" tolak Camelia.
"Ya sudah, terserah kamu," ujar Sbastian singkat sambil terus mendayung.
Lama-lama Camelia merasa semakin tidak nyaman dengan posisi duduknya.
"Tapi jangan macam-macam!" desisnya Camelia kemudian, lalu perlahan mengubah posisi duduknya. Sekarang ia duduk dengan bersandar pada dada bidang Sbastian. Senyum mengembang di bibirnya. Sebenarnya dirinya merasa senang bisa sedekat ini dengan Sbastian, hanya saja sebagai seorang perempuan ia harus menjaga wibawanya agar tidak terlihat murahan.
Angin berembus lembut, sekarang mereka berada di tengah danau. Rambut Camelia berterbangan di tiup angin, menutupi sebagian wajahnya. Saat ia merapikan rambutnya, tiba-tiba saja Sbastian menyentuh rambutnya lalu merapikannya dan menggelungnya menjadi gulungan yang indah.
"Trims," kata Camelia dengan pipi merona.
"Sama-sama," balas Sbastian. Lalu bertanya, "Apa benar kamu gak bisa berenang?"
"Iya, aku gak bisa."
"Mau aku ajarin?"
Camelia terkejut dengan tawaran itu. " Gak usah, nanti kamu macam-macam!"
Sbastian menghela napas dengan berat. "Kenapa selalu bilang begitu, kalau aku mau macam-macam aku bisa melakukannya sekarang. Kita ada di atas perahu, di tengah danau dan kamu gak bisa berenang. Aku leluasa kalau memang aku mau macam-macam."
Mendengar perkataan Sbastian tiba-tiba saja Camelia menjadi panik.
"Astaga, kamu benar-benar takut!" Sbastian tertawa terbahak bahak. "Tenang saja aku nggak akan macam-macam, aku hanya akan menciummu di sini." Lalu ia mendaratkan bibirnya di bagian leher belakang Camelia. Camelia merinding menerima kecupan itu.
Ia memiringkan kepalanya, berusaha menatap wajah Sbastian, "Jangan coba-coba--"
Belum selesai ia mengucapkan kata-katanya, Sbastian tiba-tiba mendaratkan bibirnya di bibir Camelia dan ********** dengan lembut.
Camelia ingin menolak, tetapi tidak bisa. Karena ciuman itu terasa hangat dan lembut di bibirnya. Alih-alih menolak, Camelia malah ikut berpartisipasi dalam ciuman itu. Ia memejamkan mata dan membiarkan Sbastian menjelajahi setiap lekuk bibirnya.
Sbastian mengubah posisi mereka, sekarang Camelia menghadap ke arahnya, ia menatap lurus pada mata indah gadis cantik itu, lalu kembali mendekatkan wajahnya ke wajah Camelia dan kembali meciuminya dengan lembut.
'Cara Sbastian mengembalikan moodku indah sekali dan sangat menyenangkan,' batin Camelia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Merry Dara Santika
Bastian bucin bngt sih jd gemes dech☺
2021-08-16
0
Naifa Azahra
baperr
2021-01-06
0
Dzakiah Azzura Rahnah
next
2020-11-28
0