Sbastian semakin mengeratkan pelukannya di pinggang Camelia. Ia baru pertama kali merasakan perasaan yang seperti ini, ia nyaman dan bahagia jika Camelia berada di dekatnya. Apakah ini yang di namakan jatuh cinta? kalau memang benar ia jatuh cinta, maka ajaib sekali perasaan itu. Tidak butuh waktu lama bagi Camelia untuk merebut hatinya. Menghidupkan hatinya yang terasa mati.
"Tuan, maaf, Tuan." Seorang pelayan meghampiri mereka di tepian danau. Camelia buru-buru melepaskan pelukan Sbastian dari tubuhnya, Sbastian membiarkan, tetapi tetap tidak melapaskan tangan Camelia dari genggaman tangannya.
"Ada Apa?" tanya Sbastian.
"Ini, Tuan, ponsel Nona daritadi berbunyi di dalam tasnya. Saya pikir barangkali ini panggilan penting."
Sang pelayan menyodorkan tas yang ia bawa kepada Camelia. Camelia mengucapkan terima kasih, lalu pelayan tersebut pergi dari hadapan mereka. Sbastian Kembali meletakan kedua lengannya pada pinggang Camelia, memeluknya dari belakang.
Camelia membiarkan, ia sibuk mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Dan di sanalah tertulis dari siapa panggilan itu, dari Alvian. Dengan posisi seperti itu, Sbastian dengan leluasa dapat melihat layar ponsel Camelia.
'Yang tersayang Alvian' begitulah tulisan yang muncul di layar ponsel Camelia. Camelia tersenyum semringah lalu menekan tombol hijau pada layar ponselnya.
"Halo Al, ada apa?" tanyanya dengan suara riang. Ia tidak memperhatikan wajah Sbastian yang berubah masam di belakangnya.
"Hai, Amel, kenapa gak telpon aku sama sekali, hah? Aku kepikiran terus, sekarang kamu dimana? Sama siapa? Aku sudah tau kalau kamu bohong sama Bu Lastri, Mel!"
"Hem Al pelan-pelan, segitu khawatirnya sama aku." Camelia berkata pelan, sambil mengedikan bahunya. Tubuhnya merinding, karena napas Sbastian terasa menderu di bagian belakang lehernya.
"Selain khawatir aku juga kangen. Kamu di mana sekarang?" Al kembali bertanya.
Camelia tertawa. "Kangen, ya. Aku juga kangen Al, aku sekarang lagi di--" Belum sempat Camelia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Sbastian merebut ponsel dari tangannya, lalu menonaktifkannya.
Camelia berbalik, ingin sekali ia melontarkan kalimat-kalimat protes pada Sbastian, tetapi melihat ekspresi wajah lelaki di hadapannya itu, ia mengurungkan niatnya. Bagaimana tidak, wajah Sbastian terlihat marah, membuat Camelia merasa takut. Maka ia mundur menjauh beberapa langkah dari Sbastian yang masih menatap marah kepadanya.
"Ada apa?" tanya Camelia dengan suara pelan.
"Gak kenapa-kenapa, cuma terasa aneh aja kalau aku dengar kamu kangen-kangenan sama pacar kamu. Sedangkan kita di sini sedang akting menjadi sepasang kekasih," ujarnya singkat, lalu menyodorkan ponsel tersebut pada Camelia dan berbalik meninggalkannya.
Camelia hanya menatap bingung pada sosok yang sedang melangkah menjauh darinya. "Memangnya kenapa? Apa kurang bisa menjiwai peran kalau aku kangen-kangenan sama Al. Idih, gak profesional ternyata, ckckck," ujarnya pada diri sendiri, lalu berlari menyusul Sbastian yang sudah semakin jauh. "Hei tunggu, Tuan Bucin."
***
"Jadi, Sayang, apa malam ini kamu gak ada kegiatan? Kalau gak ada, bagaimana kalau nanti kita ke butik langganan mami. Kita lihat, apa ada model gaun pengantin yang kamu suka di sana," ujar ibu Sbastian pada Camelia. Saat ini mereka sedang menyantap hidangan makan malam bersama-sama.
"Eehm, begini, Tante, eeh,Mami. Bukannya Amel menolak, tapi ...." Ia menatap Sbastian yang sibuk dengan piring dan sendoknya, sejak tadi Sbastian hanya diam saja, membuat Camelia sibuk sendiri menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari orang tua Sbastian.
'Aaah sial, kenapa dia diam aja sih daritadi. Keterlaluan! Awas aja nanti! Dia yang putus sama tunangannya, tapi aku yang sibuk," batin Camelia, kesal.
"Gimana, Amel? Setuju, kalau nanti kita ke butik yang mami bilang itu?"
"Ehm, begini, Mami--"
"Pergilah, pilih gaun mana yang kamu suka. Aku pasti suka apa yang kamu suka," Sbastian menyahut.
Camelia tersedak mendengar jawaban dari Sbastian. Ia menatap lurus pada Sbastian sambil mendelik marah. Bukannya berusaha menolak dan menggagalkan rencana ibunya, Sbastian justru memintanya untuk mengikuti rencana gila ibunya untuk memilih gaun pengantin.
"Wah, oke kalau begitu, kalian lanjutkan saja makannya. Mami siap-siap dulu," ujar ibu Sbastian, kemudian berlalu pergi dari hadapan Camelia dan Sbastian, disusul oleh ayah Sbastian.
Saat orang tua Sbastian sudah tidak ada di ruangan itu, Camelia menghampiri Sbastian, lalu duduk di sampingnya.
"Apa-apaan yang barusan?" tanyanya gusar.
"Yang mana?" Sbastian menjawab tak acuh.
"Yang tadi! Kamu diam aja daritadi. Giliran kamu membuka mulutmu itu, kamu bukannya bantuin aku untuk lepas dari masalah ini, malah kamu semakin membuat aku terjerumus ke dalamnya," ujar Camelia kesal.
"Masalah gaun pengantin itu? Kamu beneran gak mau berangkat bareng mami ke butik."
"Ya enggaklah, Bucin, lagian siapa yang mau menikah sama kamu. Kita 'kan cuma pura-pura di sini."
Sbastian tersenyum sinis mendengar perkataan Camelia, "Siapa juga yang mau menikah sama kamu, aku memintamu pergi ke butik itu bukan untuk memesan gaun untuk kita, tapi untuk kamu pakai saat kamu menikah dengan si Al sialan itu nanti."
Camelia terkejut dengan perkataan Sbastian. "Untuk pernikahanku dan Al? Aku dan Al--"
"Aaah sudahlah. Pergilah kalau kamu mau pergi, kalau enggak, ya, kamu tinggal bilang sama mami," ujarnya kesal, lalu bangkit berdiri.
Sebelum ia meninggalkan Camelia, Camelia buru-buru menangkap tangannya. "Kamu gak bisa begini. Aku kesini atas kemauanmu, bagaimana bisa sekarang kamu lepas tangan. Kamu harus bantu aku cari alasan ke mami kamu, supaya mami dan papi berhenti mempersiapkan ini dan itu," ujar Camelia bersungguh sungguh.
Sbastian memijat kepalanya. "Kamu benar benar gak mau pernikahan ini terjadi?
Camelia terkejut. "Pertanyaan macam apa itu? Kita bahkan baru kenal beberapa hari."
"Jawab saja, kamu mau menikah denganku atau tidak?"
Camelia diam saja.
"Baiklah, kalau begitu aku anggap tidak. Ayo kita kembali ke apartemen." Sbastian menarik tangan Camelia.
"Kita belum pamit ke mami dan papi, nanti mereka bingung nyariin kita," ucap Camelia sambil berjalan di belakang Sbastian, tangannya masih di genggam oleh Sbastian.
"Gak usah pamit. Gak usah meninggalkan kesan baik, toh kamu bukan siapa-siapanya mereka dan selamanya gak akan menjadi siapa-siapa."
"Iya memang, tapi kan kita harus pamit dulu." Camelia memaksa. Sbastian kemudian melepaskan tangan Camelia dengan kasar.
"Maumu apa, hah? Kenapa sih apa-apa selalu kamu buat ribet. Kita tinggal pulang saja sekarang, tapi kamu malah sibuk mau pamit. Kalau kamu gak mau jadi menantu di rumah ini, ya sudah, bersikaplah biasa. Gak usah berusaha mengambil hati mami ataupun papi aku. Buat apa? Gak akan ada gunanya kalau statusmu tetap sebagai orang luar!" Sbastian berkata dengan marah.
Camelia terkejut karena Sbastian bersikap begitu kasar padanya. "Kita datang baik-baik. Maka harus pulang dengan baik-baik pula. Aku bukannya mau merebut hati mami atau papi, tapi wajar 'kan kalau hanya sekedar pamit." Camelia tidak mau kalah.
"Jangan, Camel, saat kamu berpamitan, hal itu hanya akan membuat harapan bahwa kamu akan kembali. Jika memang kamu tidak berniat untuk kembali, maka pergilah seperti angin. Tanpa suara!" ucapnya, lalu berbalik pergi meninggalkan Camelia yang masih berdiri mematung.
Camelia tertunduk lesu. Belum sempat ia pergi dari ruangan itu, tiba-tiba saja ibu Sbastian datang. "Maaf menunggu, ya, Sayang. Mami harus dandan yang cantik dulu tadi, biar kelihatan seumuran kayak kamu," ujarnya ramah sambil tertawa terbahak-bahak.
Camelia tersenyum ramah, sebenarnya ia ingin menolak ajakan dari Nyonya Handoko itu, tapi alih-alih mengatakan penolakannya, ia malah tersenyum dan mengatakan, "Gak apa-apa, Mami. Yuuuk, kita berangkat."
Camelia dan Nyonya Handoko bergandengan tangan. Sambil tersenyum lebar, mereka bersama-sama keluar dari rumah megah itu.
'Biarlah untuk sekarang,' pikir Camelia, 'Aku tidak bisa mengecewakan hati seorang ibu.'
Setibanya di butik, Nyonya Handoko sibuk memilihkan gaun yang paling cantik dan yang paling mahal untuk Camelia. Ia membuat semua pelayan di butik tersebut repot, tapi tidak ada satupun dari mereka yang mengeluh. Karena Nyonya Handoko adalah anggota VVIP di butik tersebut.
"Mami selalu datang ke sini setiap tahun. Terkadang mami minta di rancangkan sendiri sesuai keinginan mami," katanya semringah, sambil memilih-milih gaun.
"Mami kemari setiap tahun?" tanya Camelia terkejut. "Apa mami menikah setiap tahun? Astagaaa, Mami!"
Nyonya Handoko tertawa. "Hampir bisa dibilang seperti itu, hanya saja pengantin prianya tidak pernah gonta-ganti." Ia tersenyum lalu melanjutkan. "Mami dan papi selalu merayakan ulang tahun pernikahan kami setiap tahun dan saat merayakannya, kami selalu melakukan sesi foto dengan gaun yang baru. Gak mungkin mami foto dengan gaun yang lama, karena setiap tahun mami selalu bertambah montok."
"Oh begitu. Syukurlah," ucap Camelia serius.
"Nah, coba yang ini, Amel, ini pasti pas sekali di tubuhmu."
"Harus di coba ya, Mi? Gak usah deh, Amel suka kok yang ini, langsung bungkus aja," pintanya.
"Eeh, gak boleh gitu. Harus di coba dulu, biar tahu ada yang kurang atau enggak. Mba tolong calon menantu saya dibantu ya," ujarnya, memberi perintah kepada salah satu pelayan.
Pelayan tersebut kemudian menuntun Camelia ke ruang ganti. Camelia hanya menurut dan mengikuti pelayan tersebut.
Setelah hampir lima belas menit berada di ruang ganti, akhirnya pelayan tersebut selesai mendandani Camelia, ia kemudian menuntun Camelia ke arah cermin yang sangat besar.
"Wah!" Camelia terkagum-kagum melihat pantulan dirinya di cermin. Gaun itu sangat indah, dengan model yang biasa di sebut Layering Wedding Dress, bagian atasnya putih polos, dengan bagian belakang terbuka lebar, memperlihatkan kulit punggungnya yang putih bersih, sementara pada bagian bawah, terdapat beberapa lapisan atau layer yang bertumpuk dari bagian pinggang hingga ke mata kaki.
Gaun itu terasa pas sekali di tubuhnya. Rambutnya disanggul sederhana dan kalung mutiara kecil melingkar anggun di lehernya. Ia terlihat luar biasa.
Camelia akan keluar dari ruang ganti untuk memperlihatkan pada Nyonga Handoko bagaimana penampilannya dengan gaun tersebut, tapi samar-samar ia mendengar suara yang tidak asing.
"Mami, kenapa Mami ke sini gak ngomong dulu sama Tian?"
"Kan tadi mami sudah ngomong, kamu bilang Amel boleh pilih gaun sesukanya. Kamu yang ngapain pakai acara nyusul segala!" suara Ibu Sbastian terdengar ketus.
Sbastian menghembuskan napas. "Sekarang di mana Camel? Dia tadi sedang tidak sehat, Mi, mungkin masuk angin karena Kami kelamaan ngobrol di tepi danau. Kenapa mami paksa dia ke sini?"
"Aah masa? Kelihatannya dia sehat-sehat aja, lagi pula mami gak paksa kok, Amel ikut sama mami dengan sukarela."
Sbastian menaikan alisnya. "Benarkah?"
"Iya tentu saja, sekarang dia lagi nyobain salah satu gaun pilihan mami, kita tunggu saja seperti apa penampilan calon menantu mami," ujarnya semringah.
"Mari Nona, silahkan lewat sini." Salah seorang pelayan mengagetkan Camelia yang menguping pembicaraan ibu dan anak itu.
"Gak usah mba, dilepas aja. Saya rasa gak perlu dilihat sama Bu Handoko, saya ganti pakaian saya yang tadi aja," pintanya, sebenarnya ia bersemangat ingin memperlihatkan penampilannya di hadapan Nyonya Handoko, tapi mendengar ada suara Tian, semangatnya jadi merosot.
"Tidak bisa, Nona, Anda harus memperlihatkannya dengan Nyonya. Itu pesannya tadi."
Camelia mengembuskan napas dengan berat. "Baiklah." Maka ia melangkah keluar dari ruang ganti, salah seorang pelayan memegang lengannya. Mungkin agar ia tidak tersandung gaunnya, mengingat ekor gaun itu sangat panjang.
"Oh, ya, Tuhaaaan!" Nyonya Handoko berdiri dengan wajah yang terlihat sangat terkagum-kagum.
"Cantik." Suara itu keluar dari mulut Sbastian, membuat pipi Camelia merona.
"Hei, tutup mulutmu anak nakal, ilermu bisa keluar," ujar Nyonya Handoko sambil menyenggol tubuh anaknya, lalu menghampiri Camelia yang berdri diam dengan malu-malu.
"Lihatlah menantu mami, cantiiik sekali. Beruntung mami menemukanmu, Nak."
"Kenapa jadi mami yang menemukannya?" tanya Sbastian.
"Kalau mami gak mengirim kamu untuk tugas di Kalimantan, gak mungkin 'kan kamu bertemu dengan Amel."
"Gak bisa gitu dong, Mi, Tian yang nemuin Camel, bukan Mami."
"Ya gak bisa dong gitu dong Tian, mami yang nemuin dia!" Nyonya Handoko tak mau kalah, lalu mereka berdua memperdebatkan hal yang tidak penting itu, sehingga membuat kepala Camelia pusing.
"Aduh, udah deh, yang ada tuh Amel yang nemuin kalian berdua," ujarnya dengan tidak sabar. "Karena Amel yang pertama nemuin Hp-nya Sbastian yang tergeletak di pinggir jalan." Camelia melanjutkan kepada Nyonya Handoko sambil menunjuk Sbastian.
"Oh jadi begitu ceritanya. Nanti sampai dirumah cerita lagi sama mami, ya, mami penasaran gimana anak mami yang cuek ini bisa bertemu gadis secantik kamu," ujarnya sungguh-sungguh.
Camelia hanya mengangguk. "Jadi sekarang Amel boleh ganti gaunnya, Mi?"
"Iya boleh, tapi foto dulu ya, Mel. Bareng Tian. Tian cepat sini, berdiri di samping amel, biar mami foto kalian."
Sbastian dengan cepat menghampiri Camelia.
"Gak Usah di foto segala deh kayaknya, Mi," pinta Camelia, tapi tidak digubris oleh pasangan ibu dan Anak itu.
"Kenapa enggak? Kamu calon istriku." Sbastian menarik pinggang Camelia agar tubuhnya mendekat ke arahnya.
"Aku bukan calon istrimu." Camelia membalas perkataan Sbastian sambil berbisik. "Sekarang lepaskan aku, atau akan kuhajar wajah sok manismu itu!"
"Benarkah? Tunjukan bagaimana caramu melayangkan tinju ke wajahku." Ujarnya, lalu menyentuh tangan Camelia, memutar tubuhnya seperti orang yang sedang berdansa dan Sejurus kemudian, Camelia sudah berada di depannya, memunggungi Sbastian dengan kedua tangannya digenggam Sbastian dari belakang.
"Oke, Mami cepat foto Kami," ujar Sbastian santai.
"Aha, good, good, tahan oke ... satu, dua, tiga! Wah kalian serasi sekali. Sekali lagi, Tian. Oke, ya, begitu ... ayooo ubah gayanya, Amel senyum dong, ya, lagi ... lagi, oke!"
Mereka melakukan sesi foto hampir setengah jam, sebelum akhirnya Camelia dibawa ke ruang ganti. "Huuuuft mereka berdua, ibu dan anak narsis sekali," keluh Camelia yang merasa lelah sekali harus berpura-pura tersenyum di depan kamera.
Saat hendak membuka gaunnya, tiba-tiba saja pintu ruang ganti itu terbuka, betapa terkejutnya Camelia saat melihat Sbastian masuk seorang diri.
"Ngapain kamu ke sini? Keluar sana, aku mau ganti."
Sbastian tidak mengindahkan perkataan Camelia. Pria itu terus maju mendekati Camelia. Camelia gugup sekali, ia mundur beberapa langkah, tapi Sbastian terus melangkah maju, mendekatinya. Sampai akhirnya Camelia menabrak dinding di belakangnya. Tidak ada tempat untuk lari.
"Jangan macam-macam, atau aku akan teriak," ancamnya.
Namun, Sbastian malah makin mendekat, bahkan sudah tidak ada jarak antara tubuhnya dan tubuh Sbastian. Tiba-tiba tangan Sbastian mengarah ke bagian belakang tubuh Camelia, Camelia memejamkan mata.
"Jangan berani-berani sentuh bokongku," desisnya menahan tangis.
Namun, tiba-tiba terasa Sbastian seperti menarik sesuatu dari Rok gaunnya. Camelia membuka mata dan kemudian terlihat olehnya Sbastian memegang kunci mobil.
"Tarsangkut di gaunmu!" ujar Sbastian, sambil mengayunkan kunci mobil di depan wajah Camelia. "Sangking besarnya tumpukan rok gaun ini, sampai-sampai kunci mobil saja bisa tersangkut," ejek Sbastian, lalu pergi meninggalkan Camelia. Sebelum mencapai pintu, Sbastian berbalik menatap Camelia. "Bokongmu bukan tipeku!" katanya, lalu pergi sambil terkekeh.
"Argh, kenapa aku selalu ke PD-an!" Camelia menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Merasa malu sekali karena berpikir Sbastian akan macam-macam dengannya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Naifa Azahra
next
2021-01-06
0
Siti Laili
lanjut thooor....
2020-11-21
0
Anita Jenius
Lanjut thor..
2020-11-06
1