Sbastian tidak memedulikan pertanyaan sang Ayah, ia sibuk memeriksa keadaan Camelia.
"Kamu gak apa-apa? Mana yang sakit hah?"tanyanya khawatir.
"Gak apa-apa kok. Gak usah berlebihan begitu," ujar Camelia santai lalu mencoba untuk berdiri, tapi gagal. Kakinya terasa sakit sekali. Sbastian menangkap tubuhnya agar tidak terjatuh lagi.
"Siapa dia Tian?" tanya sang Ayah.
"Dia perempuan murahan, perusak hubungan kami, Papi!" Isabel yang menjawab.
"Sepertinya tidak terlihat seperti itu," ujar sang ayah, sambil memperhatikan Sbastian dan Camelia, lalu melanjutkan, "Lagi pula, aku tidak sedang bertanya padamu Isa!"
Isabel terdiam, "Dasar orang tua sombong," batinnya.
Sebenarnya Handoko memang tidak begitu menyukai Isabel, menurutnya Isabel gadis yang sangat angkuh. Seandainya saja ayah Isabel bukan sahabat baiknya, Handoko pasti tidak akan membiarkan putra satu-satunya itu bertunangan dengan perempuan seperti Isabel.
Handoko Sanjaya, seorang pengusaha sukses yang bergerak di bidang properti itu berjalan menghampiri putra satu-satunya. Ia melihat kekhawatiran yang nyata di mata Sbastian untuk gadis cantik yang ada di depannya. Padahal sebelumnya Sbastian tidak pernah bersikap seperti itu. Putranya itu sangat cuek kepada siapapun, termasuk kepada Isabel yang sudah hampir dua tahun ini menyandang status sebagai tunangannya.
"Tian, bawa dia ke kamar tamu. Sepertinya kakinya terkilir. Papi akan telpon dokter," ujarnya sambil menyentuh pundak Sbastian.
"Baik, Papi," jawab Sbastian singkat, lalu menggendong Camelia ke kamar tamu.
"Aku bisa jalan sendiri, turunin aku," pinta Camelia.
"Tidak apa-apa, jarang sekali Tian menggendong perempuan." Ayah Sbastian yang menjawab sambil berlalu, membuat pipi Camelia merona. Sementara wajah Isabel tak kalah meronanya, merona karena marah.
Sbastian melanjutkan langkahnya menuju ke kamar tamu, meletakan Camelia dengan perlahan di atas tempat tidur. "Tunggu di sini, aku akan panggil dokter," ucapnya terlihat panik.
"Gak usah, Tuan Bucin, panggilkan saja tukang pijat. Terkilir begini lebih enak kalau langsung dipijat. Aku sering dipijat kok," pinta Camelia.
Sbastian telihat berpikir sejenak."Tapi aku gak kenal satupun tukang pijat. Biar aku saja yang pijat kalau begitu." Ia lalu menghampiri Camelia. Camelia buru-buru menutupi kakinya dengan selimut.
"Gak bisa sembarang pijat, nanti malah bengkak," ujarnya sambil menatap Sbastian.
"Ya sudah, tunggu sebentar." Sbastian lalu keluar dari kamar itu dan menuju ruang keluarga yang merupakan ruang utama. Sesampainya di ruang keluarga, Sbastian membunyikan bel, tanda untuk semua pelayan di rumah itu agar segera berkumpul ke ruang utama. Rumah Sbastian memang sangat besar, sulit sekali jika ingin mengumpulkan semua pelayan jika ada sesuatu yang ingin tuan rumah sampaikan, oleh karena itu Handoko berinisiatif memasang bel yang khusus untuk mengumpulkan semua pelayan di rumah itu.
Tidak berapa lama, para pelayan di rumah itu sudah berkumpul. Ada sekitar dua puluh pelayan di rumah itu. Tidak berlebihan sebenarnya, mengingat rumah itu memiliki ukuran yang luar biasa besar.
"Apa ada di antar kalian yang bisa memijat kaki yang terkilir?" Sbastian bertanya saat mereka semua sudah berkumpul.
Mereka semua saling melempar pandangan. Sbastian menunggu dengan sabar. Kemudian salah seorang dari mereka mengangkat tangannya. "Saya bisa tuan," kata seorang pelayan laki-laki. Pelayan itu masih muda, mungkin seumuran dengan Sbastian.
"Kamu baru? Sebelumnya aku nggak pernah melihatmu di sini." Sbastian bertanya.
"Benar tuan, saya baru dua minggu kerja di sini," jawabnya.
Untuk ukuran seorang pelayan, pemuda itu terlihat sangat tampan. Sbastian tidak ingin kalau Camelia disentuh oleh pemuda lain.
"Heeem begini, yang akan dipijat itu tunanganku. Jadi aku ingin yang memijat kakinya seorang perempuan juga." Sbastian menjelaskan.
"Maaf, Tuan, maaf. Saya pikir Anda yang akan dipijat, maaf saya lancang."
Sbastian tersenyum ramah. "Gak apa-apa!" ujarnya, lalu kembali bertanya, "Bagaimana, apa ada yang lain?"
Kali ini seorang pelayan perempuan paruh baya yang mengangkat tangannya. Tanpa bertanya lagi, Sbastian langsung membawanya ke kamar tamu.
"Aku bawa pelayan yang bisa memijat kakimu!" seru Sbastian, begitu tiba di kamar tamu. Camelia mengangguk lalu membuka selimut yang menutupi kakinya.
"Permisi ya, Non," ujar pelayan tersebut sambil menyentuh kaki Camelia. Camelia hanya mengangguk gugup. Pasti akan sakit sekali. Biasanya jika ia dipijat, akan ada Al yang menemani di sampingnya, yang dengan sukarela memberikan tangannya untuk diremas oleh Camelia.
"Aaaw ... aduuuuh, ya ampuuun!" jeritnya
Sbastian mendekat, ikut duduk di samping Camelia. Wajahnya terlihat ngeri, seumur hidup dirinya tidak pernah dipijat. Jika ia sedang sakit maka dokterlah yang keluarga mereka panggil untuk datang bukan tukang pijat.
Camelia terus merintih, tanpa sadar ia meremas-remas tangan Sbastian yang masih duduk di sampingnya. Sbastian membiarkannya, walaupun tangannya terasa sakit sekali.
Dua puluh menit kemudian pelayan itu sudah selesai memijat kaki Camelia, hingga kakinya terasa lebih baik. "Wah, terima kasih, Bu, kaki saya sudah gak sesakit tadi," ucapnya sungguh-sungguh.
Pelayan tersebut hanya tersenyum dan menunduk, lalu pamit undur diri.
"Sudah baikan," tanya Sbastian.
"Sudah," jawab Camelia sambil tersenyum.
"Tapi sekarang aku yang nggak baik-baik saja," ujar Sbastian sambil memijat mijat tangannya yang menjadi korban remasan Camelia.
Camelia nyegir. "Siapa suruh kamu duduk di sampingku," ucapnya tanpa rasa bersalah. "Biasanya Al yang dengan suka rela menawarkan tangannya untuk kuremas begitu kalau aku sedang dipijat."
"Al? Pacarmu?" tanya Sbastian kecut.
"Al itu--" Camelia ingin menjelaskan bahwa Al bukan pacarnya, tapi tiba-tiba ayah Sbastian muncul di ambang pintu. "Kalau kalian sudah selesai keluarlah!" ucapnya dengan suara berat.
Sbastian langsung berbalik dan meninggalkan Camelia yang masih terpincang-pincang.
"Kenapa jadi jutek begitu!" gumam Camelia sambil meringis.
Mereka kemudian menuju halaman belakang rumah dan lagi-lagi Camelia dibuat takjub dengan pemandangan yang tersuguh di hadapannya.
"Oooh, ya, Tuhan!" ujarnya kagum. Bagaimana tidak, tadinya ia berpikir akan ada kolam renang di belakang bangunan utama, tapi ternyata lebih dari itu, terdapat sebuah danau buatan lengkap dengan perahu kecil di tepinya.
Ayah Sbastian tersenyum melihat ekspresi Camelia. "Bagaimana? Suka dengan pemandangan ini?" tanyanya ramah, sambil menarik kursi santai di dekatnya dan memposisikan tubuhnya dengan nyaman.
Camelia hanya mengangguk tanpa menoleh siapa yang bertanya. "Aku pikiran. kir rumah yang modelnya begini cuma ada di filem-filem."
Sbastian menarik satu buah kursi di dekatnya dan menuntun Camelia untuk duduk di kursi tersebut.
"Semua ini akan jadi milikmu, kalau kamu menikah dengan putraku."
Camelia terbatuk, lalu mendongak menatap Sbastian yang berdiri di belakangnya dengan meletakan kedua tangannya di pundak Camelia.
"Papi apa-apaan sih. Kok ngomongnya begitu. Papi kalau bercanda suka keterlaluan deh!" Seru Isabel yang tiba-tiba saja sudah ikut duduk di samping Camelia.
"Saya tidak bercanda Isa," jawab Handoko santai.
"Tapi 'kan, Pap, Tian udah punya tunangan. Kok bisa-bisanya papi ngomong seperti itu!" protes Isabel lagi.
"Saya rasa sudah jelas, setelah melihat perlakuan Sbastian ke kamu dan ke gadis ini, saya rasa Sbastian lebih memilih gadis ini dari pada kamu Isa."
Sbastian mengangguk, sementara wajah Camelia terlihat pucat. Ia Merasa tidak enak pada Isabel, rasanya seperti ia mengambil milik orang lain.
Isabel berdiri, lalu memaki Camelia. "Lihat saja wanita murahan, lihat saja! Akan kuhancurkan seluruh hidupmu tanpa ampun. Kalian semua benar-benar sudah meremehkanku, cuiiiiih!" ucapnya penuh amarah, sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka.
Camelia tertunduk, air matanya menetes. Tidak biasanya dia secengeng itu, tetapi karena mendapat ancaman bahwa hidupnya akan di hancurkan, air matanya tiba-tiba saja menetes. "Bagian hidupku yang mana yang akan dihancurkannya. Toh hidupku sudah memprihatinkan tanpa di hancurkannya sekalipun," gumamnya.
Handoko mengambil tisu dan menyerahkan kepada Camelia, "Tenang saja, dia tidak bersungguh-sungguh," ujarnya, berusaha menenangkan Camelia.
Sbastian mengambil tisu tersebut dan mengusap air mata Camelia. Entah kenapa hatinya begitu terenyuh melihat Camelia menangis. "Sudah jangan menangis. Apa yang kamu khawatirkan? Ada aku di sini," ucapnya lembut.
Camelia menatap Sbastian, di kepalanya penuh pertanyaan, apakah Sbastian sungguh-sungguh pada perkataannya atau semua itu hanya pura-pura. Bukankah saat ini mereka sedang memainkan sebuah drama.
"Jadi kapan kalian akan menikah?" Pertanyaan dari Handoko mengagetkan Camelia dan Sbastian. Mereka secara bersamaan menoleh kepada sosok berwibawa itu.
Sbastian berdeham, terlihat bingung. "Tapi, Pap--"
"Tidak ada tapi-tapian. Papi setuju kamu menikah dengan dia, dia terlihat sopan dan anggun."
"Papi bahkan belum mengenalnya."
"Kalau begitu papi akan kenalan. Siapa namamumu, Nak?" tanya Handoko langsung kepada Camelia.
"Sa-saya ... saya Camelia, Om."
Handoko tertawa. "Panggil saya papi saja, toh kamu calon menantu Papi," ucapnya dengan ramah. "Sbastian, siapkan semuanya dalam beberapa hari ini. Minggu ini kita adakan resepsi. Papi hubungi dulu keluarga besar kita di Jerman dan tentu saja papi harus melamar Camelia," ujarnya sambil berlalu Meninggalkan Camelia dan Sbastian yang terpaku di tempatnya.
"Sekarang bagaimana?" keluh Camelia.
"Entahlah!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Nelly Katanya
jujur aja dgn keadaan Camelia. biar enak urusan nya. jgn bohong, nanti akan ada kebohongan lagi demi menutupi kebohongan yg lain👌
2022-11-29
0
Naifa Azahra
nikah donk
2021-01-06
0
Dzakiah Azzura Rahnah
semangay thor
2020-11-28
0