Sore itu arus lalu lintas Kota Balikpapan sangat padat. Cemelia buru-buru memasukan buku-bukunya ke dalam tas, sebelum akhirnya melesat dengan kecepatan penuh yang bisa dilakukan kakinya menuju halte terdekat. Untuk menanti jemputannya.
Yaa, walaupun Camelia tinggal dan besar di panti asuhan, tetapi ia pun tidak kalah dengan anak-anak orang kaya yang setiap hari di jemput orang tua mereka menggunakan kendaraan roda empat, terkadang ada yang mengendarai mobil sendiri untuk ke kampus.
Camelia memilih untuk di antar jemput setiap harinya. Jika bosan maka ia akan berjalan kaki. Hitung-hitung olahraga.
Tiiit!
Naah itu kuda besinya, kuda besi yang tidak pernah membiarkan Camelia menunggu terlalu lama.
Dengan senyum semringah ia menghampiri kendaraan tersebut. Semakin dekat senyumnya semakin pudar.
"Yah, penuh, Al," keluhnya.
"Hehehe, rejeki gak boleh ditolak, Mel," ujar si pengemudi sambil terkekeh manis.
"Terus aku duduk di mana?"
"Yaelaah, tumben manja banget. Mau abang pangku, Neng? Ya, duduk di pinggiran pintunyalah, biasa juga gitu 'kan kalo lagi penuh."
"Ya udah deh, daripada jalan kaki." Camelia pun dengan cekatan menaiki kendaraan putih kuning tersebut, kemudian dengan anggun duduk di pinggiran pintunya. "Okeee lanjuuut, Bang!" serunya, sebelum akhirnya wuushh, angkot tersebut melanjutkan perjalanan, dengan penumpang penuh, dan gadis cantik duduk manis di pinggiran pintunya.
Alvian saputra adalah salah satu teman Camelia di panti, mereka memiliki usia yang sama. Hanya saja jalan hidup yang mereka pilih berbeda.
Al hanya lulusan SMP, sebenarnya dia anak yang cedas, tetapi memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya, dan lebih memilih untuk bekerja. Apa saja dikerjakannya, asal halal dan bisa menghasilkan uang. Dia selalu berkata,"Untuk apa sekolah tinggi tinggi, tidak ada yang mau dibuatnya bangga, toh aku gak punya orang tua."
Namun, semenjak Camelia masuk kuliah, Alvian memilih untuk menjadi sopir angkot. Alasannya agar bisa jalan-jalan setiap hari, siapa tahu bisa ketemu jodoh di jalan.
Padahal sebenarnya bukan itu, ia hanya ingin setiap hari bisa mengantar dan menjemput Camelia, karena jarak kampus dan panti lumayan jauh.
Alvian berperawakan tinggi, walaupun tidak kekar, tetapi tidak kurus juga. Kulitnya putih bersih, rambutnya berwarna coklat, ikal dengan potongan model curtains ala 90-an membuatnya semakin terlihat tampan. Tidak heran, angkot Alvian selalu penuh dan penumpangnya sudah pasti para gadis belia, wanita dewasa, ABG, bahkan emak-emak pun rela tidak menumpang angkot lain, demi menunggu angkot Alvian beroperasi.
Jika sudah begitu maka Camelia harus rela duduk di pinggiran pintu angkot. Menggunakan topi dan masker. Bukan karna Ia malu, tetapi hanya untuk menghindari debu.
Walau begitu tetap saja Camelia menjadi perhatian di jalanan, rambut panjangnya yang ikal dan berwarna kecoklatan berayun lembut terkena angin. Tidak jarang ia mendapat teriakan menggoda dari para abang ojek di jalanan.
"Kernetnya cantik eeuuuy!"
"Mau dong hati abang dikernetin sama eneng!"
"Sini deh jadi bini kang mas aja, daripada jadi kernet!"
Semua teriakan itu hanya disambut dengan lambaian tangan oleh Camelia. Toh wajahnya tertutup masker, gak akan ada yang mengenalinya.
"Al antarin aku ke BC (balikpapan Plaza center, salah satu mall besar di kota balikpapan) aja ya, gak usah langsung ke rumah."
"Lho mau ngapain ke Plaza. Emangnya kamu hari ini gak masuk kerja, ntar telat lho, Mel, 'kan sift malam."
"Enggak aah, hari ini bolos aja. Ada urusan bentar di sekitaran plaza."
"Oke lah kalau begitu, mau dijemputin jam berapa ntar? Atau mau ditungguin?"
"Gak usah ditungguin, ntar aku hubungin kalau udah mau balik."
"Oke bos, siap laksanakan!"
Setelah kurang lebih setengah jam akhirnya Camelia tiba di tempat tujuan. Tepat di bawah jembatan penyebrangan orang, dengan mantap ia melangkah menaiki tangga jembatan walaupun jantungnya berdegup tak karuan.
"Tenang Amel, ini mudah, hanya cukup kembalikan, minta maaf dan berees. Toh aku berjasa menemukan hp nya!" celotehnya pada diri sendiri. Sekilas ia menengok ke bawah, ada beberapa polisi yang sedang mengatur lalu lintas. Jika pria itu macam-macam dirinya akan bertriak minta tolong. Itulah alasannya kenapa ia memilih jembatan penyebrangan sebagai tempat untuk bertemu. Karena di sini tempat paling ramai, dan banyak polisi.
Sesampainya di tengah jembatan, ia berhenti. Menebarkan pandangan dan mengeluarkan ponsel mahal tersebut dari dalam tasnya.
"Gak ada panggilan. Huuft manusia mana yang hari gini wallpaper hp-nya bukan fotonya sendiri, harusnya dia pasang fotonya sebagai wallpaper, kalau hp nya ngilang gini yang nemuin jadi gak bingung toleh sana sini cuma buat nemuin sosoknya! Terima kasih enggak, eeeh malah bikin susah! Gak bisa On time."
"Maaf, anda bilang apa tadi?"
Terkejut, Camelia menoleh dengan cepat dan di sanalah pria tidak tahu terima kasih itu berdiri. Ia tampan, sangat tampan. Badannya tinggi dan atletis, sorot matanya tajam, rambutnya hitam legam, kulitnya putih bersih. Ia mengenakan setelah jas mahal, yang terlihat ganjil dikenakan di tempat seperti ini.
Camelia ternganga, tanpa bisa dikendalikan ada yang bergetar di dalam dirinya. Mungkin lambungnya yang bergetar karena seharian ini ia baru makan satu kali, atau mungkin ginjalnya, karena kurang air putih.
Aaah bukan, bukan! Camelia menggelengkan kepalanya, lambung dan ginjal tidak mungkin bergetar. Ini jantungnya, astagaa! Jantungnya tidak tahu diri, kenapa harus berdebar di depan manusia sombong seperti ini.
Tian menaikan sebelah alisnya, menatap bingung pada sosok gadis cantik di hadapannya. "Ada apa? Apa Anda waras?"
"Haaaah, pertanyaan macam apa itu. Saat melihat orang sedang terkagum-kagum bukankah lebih pas jika pertanyaannya adalah, apakah anda baik baik saja? Bukannya apakah Anda waras! Dasar laki laki angkuh!" Camelia mengomel dalam hati.
"Halo! Saya bicara dengan mumi!" Tian menjentikan jari di hadapan Camelia.
Tersadar dari lamunannya, Camelia mendongak menatap pria di depannya. "Belum sampai lima menit kita bertemu, Anda sudah mengambil dua kesimpulan tentang diri saya. Pertama, saya tidak waras! Kedua, saya mumi! Bukankah seharusnya anda menanyakan kabar, berterima kasih, meminta hp anda, lalu kemudian pamit pergi dengan sejuta rasa syukur karena hp anda sudah kembali!" cercanya.
"Ya mungkin karena hanya orang gila yang tidak berperasaan, yang mengaku-ngaku sedang bersama denganku, dan aku sedang di KA MAR MANDI!! " Tian menatapnya tajam, menunggu pembelaan dari sang lawan bicara.
Camelia tidak bisa berkata kata, padahal Ia sudah menyusun rencana ini dan itu, menyusun kata-kata yang panjang dan rumit bukan main bagaikan syair, tetapi sekarang ia hanya bisa terdiam seribu bahasa.
"Well, Anda mengakui kesalahan anda 'kan! Sekarang kembalikan hp saya, minta maaf pada tunangan saya, dan mari selesaikan Permasalahan ini sampai tuntas!" Tian berkata sambil menyodorkan tangannya, meminta ponselnya dikembalikan.
"Ke-kenapa saya yang harus minta maaf, tunangan Anda yang salah. Apa Anda tahu kalau mulut tunangan Anda sangat-sangat tidak manusiawi! Dia bilang--"
"Eeiiiit cukup, jangan mengata-ngatai Isabell! Dia gadis yang anggun. Andalah yang membuatnya emosi, kenapa anda menerima telepon yang masuk ke hp orang lain. Isabell itu pencemburu, wajar dia marah saat ada perempuan lain yang menerima telepon dari hp tunangannya."
"Haaah, apa saya gak salah dengar, Pak? Hp anda ini bergetar sebanyak EMPAT PULUH DELAPAN KALI! getarannya yang ke EMPAT PULUH ENAM membuat saya dimarahi habis-habisan oleh dosen di kelas saya, getarannya yang ke EMPAT PULUH TUJUH membuat saya dicaci maki oleh si nenek sihir itu, dan getarannya yang ke EMPAT PULUH DELAPAN membuat saya bertemu dengan Anda, manusia angkuh yang dengan enteng menilai saya yang salah. Kalau saya tahu pemilik hp ini ternyata manusia seperti Anda, gak akan saya pungut hp ini di jalan. Mungkin bakalan saya injak, saya tendang, saya lempar!" Wajah Camelia merah padam, ia benar-benar marah dan merasa sangat tersakiti, bagaimana bisa setelah dirinya bersusah payah menjaga ponsel itu hingga sampai ke tangan pemiliknya, justru malah ia mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan.
Orang-orang yang sedang lalu lalang di sekitar mereka, menatap Tian dan Camelia dengan bingung. Ada yang menatap sinis kepada Tian, mungkin mereka pikir mereka sepasang kekasih yang sedang bertengkar, dan biasanya saat pertengkaran terjadi di tempat umum, maka si prialah yang salah. Maka tidak heran, Sbastian mendapat banyak tatapan sinis, dan bisik-bisik dari orang-orang.
Menyadari hal itu Tian berusaha melembut. Apalagi air mata sudah terlihat akan jatuh dari pelupuk mata gadis di depannya.
"Argh sial, kenapa dia menangis. Apa kata-kataku begitu menyakitinya. Aaah tidak! Barangkali dia sedang berpura-pura. Mungkin dia butuh uang," batinnya.
"Oke, oke, berapa yang kamu mau untuk semua kesulitanmu itu?" Tian berkata sambil mengeluarkan dompetnya. "Satu juta, dua juta, atau lima juta? Bilang saja, gak perlu pakai adegan menangis segala hanya untuk ini." Tian menyodorkan uang tunai ke hadapan Camelia.
Camelia menepis tangan Pria itu, dan sekarang air matanya benar-benar jatuh. Uang yang dipegang Tian berhamburan, Camelia tidak peduli, walaupun sekilas ia terpikir, berapa banyak Mie instan yang bisa dibelinya dengan uang sebanyak itu.
"Terima kasih, tapi saya sangat tidak butuh uang dari Anda. Maksud saya, uang dari MANUSIA seperti Anda! " Ia menyodorkan ponsel Tian, lalu berbalik pergi. Tian terkejut, lalu ikut berbalik mengejar Camelia.
"Tunggu! " Ia meraih lengan Camelia dan menariknya dengan kasar. "Masalahnya tidak semudah ini, masalah ini rumit. Apapun alasanmu mengucapkan kata-kata itu pada Isabel, itu tetap tidak bener. kamu harus menyelesaikannya."
"Aku gak mau. Selesaikan aja sendiri!" desisnya, sambil melepaskan tangannya dari genggaman Tian kemudian berbalik pergi. Dadanya terus berdebar, ditatap saja ia sudah deg-degan, apalagi disentuh. Argh dadanya bergemuruh. Dasar perasaan tidak tahu diri.
"Kalau begitu aku akan lapor polisi!"
Deeeeeg ....
Mendengar kata itu membuat Camelia diam mematung, ia menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap pria di depannya.
"Polisi? Atas dasar apa?" tanyanya
"Belum jelas? Kamu memfitnahku!"
Camelia tak bisa berkata-kata. Kalau dia benar-benar harus berurusan dengan hukum, kasihan Bu Lastri, beliau pasti sedih. Belum lagi kuliahnya pasti terganggu.
Mereka saling menatap tajam, ke formalan yang dari tadi mereka pertahankan mendadak runtuh. Tidak ada lagi "saya" , "anda", yang ada hanyalah "aku" dan "kamu". Tidak ada lagi tatapan pura-pura ramah, mereka saling menatap sinis, dan tajam.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Camelia singkat.
"Kamu harus ikut aku bertemu tunanganku, untuk menjelaskan semuanya."
"Cuma itu?Itu sih keciiil," ujar Camelia sambil Menjentikan jarinya. "kalau gitu, ayo buruan. Di mana tunangan kamu, aku gak punya banyak waktu." Camelia berbalik, dan berjalan dengan cepat, berharap Sbastian mengikuti langkahnya.
Karena merasa tidak ada yang mengikutinya, ia berhenti dan menoleh. Aaaah si pria sok tampan itu masih berdiri diam di tempatnya tadi, dengan pose yang sangat menyebalkan. Satu tangannya diletakan di pinggiran jembatan, tangan satunya lagi mengacak acak rambutnya dengan frustrasi. Pose seperti itu membuat dada Camelia makin berdebar, yaaa dia meleleh.
"A-apaa? Kenapa diam saja." Camelia tergagap.
"Kamu mau kemana?" ujar sbastian sambil menyunggingkan senyuman mengejek.
"Nyamperin nenek sihir lah!"
"Jalan kaki?"
"Kamu mau naik angkot? Oooh tenang, sebentar aku hubungi angkot andalanku." Ia Mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya.
"Angkot andalanmu punya sayap?" Sbastian tertawa.
"Maksudnya?" Camelia menatap bingung.
"Jakarta, kita akan ke Jakarta!"
"Whaaat!!"
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments
Lee Je hoon
au bayangin si sbasti ini kok kayaknya cool banget ya 😍
2023-08-28
0
Nelly Katanya
yeye enak donk Camelia otw ke Jakarta, sekalian aj jalan² ke Monas🤣🤣
2022-11-29
0
Naifa Azahra
Jakarta cuyyy
2021-01-06
0