Semua keluarga menuju pemakaman begitu juga dengan Indira dan Federic yang mengiringi pengantaran jenazah Tuan Damar ke tempat peristirahatan terakhirnya. Begitu banyak mobil-mobil mewah yang ikut mengiringinya ke pemakaman.
"Maafkan aku, Ningrum." ucap David di dalam mobil yang tersenyum sinis.
"Papi...jangan tinggalin Indira Pi." teriak tangis pecah Indira yang memeluk nisan Tuan Damar.
Ningrum yang melihat putrinya terpuruk segera meraih pundak Indira dan memeluknya lalu ikut menangis, semua pengunjung tampak satu persatu meninggalkan mereka. Kini hanya tersisa Gibran bersama dengan Federic yang menunggu kedua wanita itu.
"Kuat sayang, Papi kamu sudah tenang di sana jangan membuatnya bersedih dengan kau yang tidak merelakannya." ucap Ningrum berusaha menenangkan putrinya.
Sedangkan Gibran dan Federic hanya berdiri tegak melihat kedua wanita itu menangis mata mereka juga tidak bisa menahannya. Sesekali air matanya jatuh namun segera di tepis oleh kedua tangannya.
Setelah cukup lama mereka kini beranjak meninggalkan pemakaman, sedangkan Indira yang enggan meninggalkan Tuan Damar sendirian di tarik tangannya oleh Maminya.
Selama seminggu Indira terus mengurung diri di dalam kamar tanpa mau makan sedikit pun, untung saja Federic ikut bersamanya. Saat-saat seperti ini kehadirannya lah yang sangat di butuhkan oleh Indira dan keluarganya sementara Nyonya Ningrum juga tidak bisa menahan kesedihannya. Gibran yang setiap hari bersama Federic penasaran dengan hubungan pria itu pada Kakak perempuannya.
Di dapur Federic yang sedang memasakkan bubur untuk Indira di hampiri oleh Gibran.
"Kau mau juga?" tanya Federic dengan bahasa Inggris.
"Tidak, terimakasih." jawab Gibran dengan cepat.
Matanya terus menatap ke arah Federic yang tengah sibuk mengaduk-aduk bubur di wadahnya.
"Apa hubunganmu dengan Kakakku?" tanya Gibran sambil menatap dalam mata Federic.
Federic yang mendengarnya tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan Gibran tangannya mengusap-usap kepala Gibran.
Gibran mengikuti langkahnya sambil terus menunggu jawaban dari Federic. "Ayo katakanlah." desak Gibran.
"Aku hanya berteman dengan Kakakmu." jawab Federic.
"Jika kalian hanya berteman mengapa Kau begitu dekat dengannya?" tanya Gibran dengan penasaran.
Federic yang enggan untuk menjawab kini memilih meninggalkan Gibran di dapur dan melangkah menuju kamar Indira dengan membawa bubur buatannya.
"Apa katanya cuman teman? sampai seperhatian itu." gerutu GIbran yang melihat kepergian Federic menuju kamar Indira.
"Ayo makan." ajak Federic pada Indira dan menyodorkan sendok ke mulut mungil gadis itu.
Indira tidak menjawab sama sekali hanya air mata yang terus menetes deras di pipi gadis itu, Federic yang melihatnya segera meletakkan perlahan bubur di meja dan duduk di sebelah Indira.
"Kemarilah." Federic yang perlahan merebahkan tubuh Indira ke dalam pelukannya.
Indira kembali menangis dalam pelukan Federic tanpa bisa ia tahan lagi, seluruh ruangan kamar itu penuh dengan tangisan pecah Indira. Ia terus terbayang wajah almarhum Papinya yang masih tidak bisa di terima sampai saat ini.
"Aku tidak percaya ini, Ric." ucap Indira sambil terus menangis dan memukul dada Federic.
"Ku mohon kuatlah, Ra. Demi Papimu kau harus kuat kejar kembali impianmu buat Papimu bangga padamu." Federic berusaha memberikan semangat pada Indira.
"Tapi aku tidak bisa sendirian berdiri." ucap Indira yang mengeluh.
"Ada aku, Ra. Aku selalu ada bersamamu." ucap Federic yang kembali mengeratkan pelukannya dan mengecup kening Indira dengan lembut.
Kini setelah lama Indira menangis di pelukan Federic akhirnya perasaannya mulai membaik dan Federic yang merasakan wanita di hadapannya berhenti menangis dengan segera menyuapinya bubur yang sedari tadi sudah menunggu untuk di lahapnya.
Federic yang sudah selesai memberikan Indira makan segera memperbaiki posisi Indira agar segera tertidur. Wajah wanita itu tampak sangat sembab entah sudah berapa hari ia terus menangis tanpa henti.
“Tidurlah, kau harus istirahat besok kita harus kembali ke London.” Ucap Federic mengingatkan Indira.
Indira yang mendengar hanya terdiam dan menutupi tubuhnya dengan selimutnya kini wanita itu tertidur dengan air mata yang nampak tersisa di pinggir matanya.
Federic yang sedang duduk di ruang tengah melihat Nyonya Ningrum datang mendekat padanya dengan mata yang juga bengkak karena menangis.
"Kau belum perkenalkan dirimu pada kami." ucap Nyonya Ningrum.
"Maaf, saya teman kuliah Indira dari London." jawab Federic.
"Apa kalian ada hubungan spesial?" tanya Nyonya Ningrum.
"Tidak, kami hanya sahabat sampai sejauh ini, Nyonya." jawab Federic.
Nyonya Ningrum yang tersenyum dengan panggilan Federic padanya menghelas nafasnya dengan kasar.
"Panggil saja aku Mami, seperti Indira memanggilku." ucap Nyonya Ningrum.
Federic yang terkejut mendengarnya kini tersenyum. "Mami." lanjutnya.
"Siapa namamu?" tanya Nyonya Ningrum lagi.
"Federic, Mam." jawabnya.
Setelah cukup lama mereka berbicara tentang Tuan Damar yang tidak lain adalah mantan suami Nyonya Ningrum, kini Federic memberi tahu jika besok mereka harus segera kembali ke London. Nyonya Ningrum yang mendengarnya merasa sedih namun ia tidak ingin mencegah putrinya untuk melanjutkan impian yang sudah ia janjikan pada Almarhum suaminya.
Nyonya Ningrum yang berusaha kuat hanya bisa menitipkan putrinya pada Federic karena saat ini hanya Federic yang ia kenal di London. Dengan senang hati Federic akan menjaga Indira sekuat tenaganya. Nyonya Ningrum yang mendengar janji Federic merasa jauh lebih tenang sekarang.
Hari berlalu begitu cepat kini pagi sudah menyambut sinar mentari yang sangat cerah mengantar kepergian Indira dan Federic kembali ke London. Wajah tanpa semangat terlihat jelas di wajah Indira, Federic yang mengerti hanya berusaha terus menenangkan Indira agar bisa sampai di tujuan tanpa menangis.
Mereka menuju bandara di antar oleh Nyonya Ningrum dan Gibran yang terlihat berat melepaskan kepergian wanita itu. Namun semua harus tetap berjalan semestinya untuk menata hidup kedepannya lebih baik lagi semua jelas ada di tangan Indira karena ia anak pertama yang akan bertanggung jawab atas Gibran.
Setelah kepergian Indira, Nyonya Ningrum menangis sambil memeluk tubuh putranya yang kini satu-satunya keluarga yang ia miliki. Mereka kembali menuju mobil untuk pulang meninggalkan bandara, sementara Indira yang terus berada di samping Federic tidak ada melontarkan satu kata pun.
Pesawat sudah mulai bergerak dan meninggalkan bandara dengan sepercik kenangan pahit yang masih membekas di hati Indira. Kenangan yang tentu tidak akan mudah hilang dari ingatan gadis itu semua berjalan berbanding terbalik dari harapannya.
Selama penerbangan Indira terus menatap ke langit bayangan di matanya seperti melihat kehadiran sang Ayah yang mengantar kepergiannya menuju impiannya. indira perlahan tersenyum melihat Tuan Damar yang tersenyum tampak menaruh harapan besar padanya.
Federic yang melihat Indira terus menatap ke arah jendela pesawat perlahan menepuk pundaknya memberi isyarat pada Indira untuk bersandar padanya. Indira yang mendapat perintah dengan segera melakukannya ia begitu terlihat nyaman ketika berada di pundak Federic. Sebenarnya Indira juga memiliki rasa dengan Federic namun ia tidak ingin semuanya menghambat jalannya untuk sukses.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 272 Episodes
Comments
Meliala Kolompoy
tuan damar suaminya nuonya nigrum atau MantaN suami..??
membaca smbil meraba2 jalN ceritanya...
rada bingung
2023-03-21
0
Maya Astuti
Semoga indira jodoh sama federic
2021-08-19
0
Susilawati Dewi
kynya pedricd suka
2021-08-05
1