Raina Pov
Perjalanan kami menuju lapangan sempat terhenti, karena Sindi yang tampak kagum melihat sosok pria, yang tengah asyik bermain basket bersama teman-temannya. Aku juga tidak tahu pasti siapakah lelaki yang sedang Sindi perhatikan itu.
“Rin..” begitulah Sindi menyapaku.
“Lihat deh.. itu tu..” katanya sambil menunjuk salah satu pria yang tengah asyik bermain basket itu.
“Iya.. seru kayaknya main basketnya ya,” ucapku polos.
Sindi tampak kecewa dengan tanggapanku yang datar. Kemudian ia mengarahkan mataku, untuk melihat pria yang ia kagumi, dan memintaku untuk memperhatikannya.
“Itu yang paling bening. Paling putih bersih. Namanya Dhuha, sepupuku. Dia juga mahasiswa yang populer disini, sama seperti Fajar.” Mendengar ucapan Sindi aku mengangguk paham, kemudian ia melanjutkan katanya.
“Sikapnya berbanding terbalik sama Fajar. Karena, Fajar populer dengan segudang kontroversinya, sedangkan Dhuha populer dengan segudang prestasinya. Pokoknya mereka berbanding 180 derajat. Andaikan dia bukan sepupuku, aku mampu bertekuk lutut di hadapannya.”
Aku yang mendengarkan ucapan dan penjelasan Sindi seketika terkekeh, tak sepatutnya dia mengatakan hal yang seperti itu, dengan ekspresi sekonyol itu.
“Ngenalinnya udah?” kataku masih dengan kekehan. Namun kekehanku terhenti, karena pria yang Sindi sebutkan tadi tampak datang menghampiri kami berdua.
“Siap-siap. Jantung para gadis di sini akan merasa panas. Lihat.. dia menghampiri kita," ucapnya yang membuatku langsung menundukkan kepalaku.
Aku tidak berani menatapnya ataupun melihatnya. Karena aku paham bagaimana Islam menjaga pergaulan kami.
“Sin.. pagi banget datangnya? Baru jam setengah delapan, kan mulainya jam sembilan nanti,” ucap pria itu, dengan suara yang kunilai cukup nyaman terdengar di telinga.
“Nih.. temanku Raina yang ajak aku datang pagi-pagi, katanya biar nggak telat dan bisa kebagian baris paling depan,” ucap Sindi dengan menyebut namaku di depan orang, yang bahkan belum ku kenal itu.
Lelaki itu tampak ber-oh ria mendengar jawaban dari Sindi, kemudian ia tampak mengambil sesuatu di ransel yang ia bawa .
“Ini dari Bunda. Katanya hadiah untuk hari pertama kamu kuliah,” ucapnya sambil menjulurkan sebuah bingkisan untuk Sindi.
Sindi yang bahagia menerima hadiah dari saudaranya, kemudian langsung membuka bingkisan yang pria itu berikan.
“Wah.. bagus sih Ha. Bilangin makasih ya buat Bunda. Tapi.. ini terlalu panjang buatku. Kan kamu tahu sendiri, jilbabku belum seperti Raina ini," katanya masih melibatkan namaku.
“Wah-wah-wah, kami kira.. setelah kuliah, kamu akan berubah. Dan mengikuti nasihat yang tempo hari Bunda berikan,” katanya dengan nada kecewa, karena Sindi tak memberikan respon yang seperti ia harapkan.
“Ok.. kalau gitu, biar kamu sama Bunda gak kecewa. Jilbab ini aku terima, tapi.. ini buat kamu ya Rin,” katanya yang membuatku terkejut. Kerena dengan nada suaranya yang tinggi, ia memberikanku khimar yang Kak Dhuha berikan padanya.
“Sin.. nggak ah, ini hak kamu. Kak Dhuha berikan itu untukmu bukan untukku,” ucapku pelan untuk menolaknya.
“Iya ini hakku. Makanya aku berhak kasih juga ke kamu kan? Dan sudah kewajiban kamu, untuk menerima hadiahku bukan?” katanya padaku, masih dengan sifat keras kepala yang Sindi miliki.
“Nggak papa, ini buat kamu aja Raina. Anggap aja itu hadiah perkenalan kita,” sambung Kak Dhuha dengan senyuman ramahnya. Aku tahu dia tersenyum, karena aku sempat melihat wajah Kak Dhuha ketika ia sedang berbicara.
“Kalau begitu, terimakasih ya Kak. In syaaAllah saya terima khimarnya,” kataku berterimaksih pada pria di depanku ini.
Aku tak memperhatikan reaksi apakah yang pria itu berikan, ketika aku mengucapkan terimakasih kepadanya.
*****
Semua mahasiswa/mahasiswi baru telah berkumpul di lapangan untuk pembagian kelompok.
Kemudian aku yang sedang mengamati keadaan, seketika pandanganku terhenti pada sosok yang tengah berdiri tegap di depan kami semua. Ia adalah Kak Dhuha sepupu yang Sindi kenalkan padaku tadi.
Otakku berputar memikirkan jabatan apakah yang kak Dhuha miliki? Sehingga bisa berdiri diantara para petinggi Kampus ini, ada juga Bapak Rektor duduk disampingnya.
Kemudian Sindi yang melihatku terdiam dan masih melihat ke arah Kak Dhuha, memberikanku pernyataan, bahwa kak Dhuha merupakan presiden mahasiswa di Kampus kami.
Dengan jabatan, prestasi dan fisik yang sempurna, tak mengherankan banyak gadis yang menyukainya begitulah fikirku.
Setelah sekitar satu jam kami medengarkan kata sambutan dari banyak tokoh di Universitas ini, akhirnya acara pembukaan ospek mahasiswa baru telah usai.
Kemudian tibalah, saat dimana kami mulai pembagian kelompok. Aku dan Sindi mendapatkan kelompok yang berbeda. Namaku di panggil untuk bergabung pada kelompok satu.
Dan yang lebih mengejutkanku, instruktur kelompok kami adalah dia, ‘pria es’ yang menabrakku pagi tadi. Kak Fajar. Aku memilih untuk menunduk ketika pria es itu datang menghampiri kelompok kami.
“Gimana.. udah lengkap anggotanya?!” katanya masih dengan nada yang dingin, tanpa alunan seperti kebanyakan orang bertanya, bahkan ia tampak seperti singa yang sedang manakuti mangsanya.
“Tidak tahu kak,” jawab kami kompak.
Kemudian aku melihat dirinya juga memegang sebuah kertas, yang kuduga itu adalah daftar hadir kami. Dan benar dugaanku, tanpa muqadimah ia langsung mengabsen kami satu persatu.
“Ok.. langsung aja. Saya cek lengkap atau tidak. Begitu saya panggil nama kalian. Bilang ada atau hadir. Jika tidak, saya anggap tidak ada,” katanya lagi untuk memperingatkan kami.
Seluruh nama tampaknya sudah dipanggil olehnya. Kini giliran namaku, “Aisyah Raina Abdullah," katanya singkat.
Aku yang mendengar namaku dipanggil lagsung mengangkat tanganku, dan mengeraskan suaraku, “Hadir kak!!”
Melihatku, tampaknya ia sedikit kaget karena penampilanku yang berbeda dengan teman-temanku. Dan pasti dia juga masih ingat sudah menabrakku tadi pagi.
“Apa alasan kamu memakai itu?! Bukankah disini bukan perguruan tinggi Islam?” tanyanya padaku masih tanpa ekspresi.
“Maaf kak, saya memiliki alasan yang tidak bisa untuk saya bagikan kepada orang lain, mengenai niqab yang saya kenakan,” jawabku dengan pasti.
Untuk apa aku menceritakan alasanku padanya, cara bertanyanya saja seperti seorang algojo yang hendak mengeksekusi seorang penjahat. Mana mungkin dia akan paham jika aku menceritakan alasanku.
“Whatever.. yang penting itu nggak ganggu aktivitas kelompok ini nantinya,” katanya lagi memperingatkanku. Yang ku jawab dengan anggukan sebagai tanda aku memahami katanya.
...*****...
Setelah aktivitas hari ini selesai, setiap kelompok diberikan nasi bungus untuk makan siang kami semua. Aku sangat paham akan situasi yang seperti ini, dan tidaklah mungkin bagiku untuk melepas niqab yang sudah kukenakan selama ini, hanya karena makan siang bersama ini.
Dengan penuh keberanian, aku meminta izin untuk makan di tempat yang terpisah, tepatnya tempat dimana tidak ada orang lain, yang akan melihatku nantinya. Namun nihil, usahaku tampaknya tak membuahkan hasil yang baik.
Dengan mentah dan sedikit tak menghargai. Kak Fajar sebagai instruktur kelompokku malah mengatakan hal yang cukup menyakitkan bagi siapa saja yang mendengarkannya.
“Ini peraturan. Kita selalu makan bersama. Dan seenaknya lo meminta izin seperti itu. Kalau lo gak bisa makan disini.. ya udah, gak usah makan! Simple kan?!” katanya padaku.
Aku yang sudah menebak perlakuan ini yang akan ku dapatkan, akhirnya aku memutuskan untuk tidak menyentuh nasi bungkus yang dibagikan dan menaruhnya di sampingku.
Aku menyebarkan pandanganku ke area pemandangan tempat ospek kami. Aku tidak memikirkan apapun itu. Aku sangat enjoy dengan keputusanku.
Bahkan aku sudah mampu menahan emosi. Apalagi hanya menghadapi sosok dingin Kak Fajar. Rasanya diriku sudah kebal, dengan orang-orang yang belum terbiasa dengan wanita yang memakai cadar seperti ku.
Sejauh aku memandang. Kemudian mataku melihat Kak Dhuha yang tegah berjalan mengontrol setiap kelompok. Mungkin ia ingin memastikan, apakah seluruh peserta ospek makan dengan baik atau tidak.
Sikap dan sifat mereka berdua memanglah berbanding terbalik. Namun, aku tidaklah ingin membandingkan antara kedua seniorku itu.
Kini giliran Kak Dhuha yang menghampiri kelompok kami. Aku sudah dapat menebak apa yang akan ia tanyakan pada instrukturku.
Hanya saja, aku bukanlah tipe orang yang menyukai keributan dan perdebatan. Jadi aku sudah menyiapkan jawaban, yang mungkin akan menghindari perdebatan mereka nantinya.
“Gimana kelompok satu, Makanannya aman? Kalau ada yang kurang, boleh kok minta lagi sama panitia,” katanya pada kami dengan ramah.
“Aman kak..” jawab kami semua kompak.
Namun, aku melihat Kak Dhuha tampak mengalihkan pandangannya kearahku. Mungkin dia heran dengan nasi bungkus yang tergeletak di samping tempat dudukku.
“Loh.. itu makanannya nggak dimakan?” katanya lagi, sambil menatap heran padaku.
“Itu---” ucap Kak Fajar yang langsung ku potong.
“Saya sedang puasa kak. Jadi.. maaf saya tidak bisa makan bersama,” jawabku dengan alasan yang kunilai bisa membuat Kak Dhuha percaya. Tanpa suara ataupun pertanyaan lainnya, kak Dhuha hanya mengangguk paham dengan jawabanku.
...-----♡●♡-----...
Fajar Oh, Fajar🤐
jangan lupa tinggalkan jejak ya teman-teman🤗
Jazakumullah Khairan 💖
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Dandelion
Fajar😬
2023-08-14
0
dNia
fajar ihh, kejem bangett
2021-01-02
1
Mega
rasanya gak cocok nama Fajar disematkan pada cowok sedingin es...
2020-12-27
1