Happy reading...
💐💐💐💐💐💐
Nyonya Amel dan Henry saling membisu, menatap punggung Adel yang semakin mengilang.
"Kau tahu, Son? Baru kali ini Mommy melihat orang yang menolak uang."
"Ah, Mom itu hanya akal-akalan dia saja."
"Tapi dia berbeda, Son."
"Kebanyakan wanita itu menyukai uang, Mom. Mungkin dia sedang bermain tarik ulur untuk meminta lebih."
Henry pergi begitu saja, meninggalkan Mommy Amel yang masih berkutat dengan pikirannya. Ia melanjutkan niatnya untuk membawa Baby El pada Metta.
"Hei, Anak Bodoh, mau kau apakan Baby El?" Nyonya Amel memicingkan matanya.
"Mom, kau jangan lupa, dia ini anaku," jawab Henry santai.
"Kau tahu dia baru saja tertidur. Sedari tadi dia menangis. Jangan kau ganggu dia," Nyonya Amel memelintir telinga Henry.
"Aww ... Ampun, Mom. Kenapa kau suka sekali dengan telingaku? Lagi pula aku sudah jadi Daddy. Apa kata El kalau tahu Omanya galak?" Bukanya melepas Nyonya Amel semakin memelintirnya.
"Kau ini emang sudah jadi Daddy, tapi kelakuanmu masih seperti bayi."
"Mom ... Metta merindukan El," papar Henry, barulah Mommy Amel melepaskan telinga Henry yang terlihat memerah.
"Kalau begitu biar Mommy yang bawa dia."
"Tapi Mom, aku juga ingin menggendongnya."
"Mommy atau tidak sama sekali?"
Henry menghela nafas panjang, dia pasti tidak akan pernah menang melawan ibu negara. "Hah, baiklah," desahnya.
Mereka berjalan beriringan, diikuti dokter anak El yang membawa box bayi. Pengawal yang berjaga membukakan pintu mereka. Di dalam ruangan, Metta nampak tertidur diranjang pasien.
"Biarkan dia istirahat, kau mandilah dan ganti pakaianmu! Biar Mommy disini menjaga mereka," pinta Mommy Amel.
Melihat kondisi metta membaik dan Baby El tertidur pulas, Henry pun mengiyakan perintah ibunya. Ia juga butuh istirahat dan akhirnya memutuskan pulang ke rumah bersama Arga.
Sebenarnya Henry sangat berat meninggalkan mereka, tetapi dia tidak dapat memaksakan diri karena sudah 2 hari ini, dia hanya tertidur untuk waktu yang singkat.
Sampai di rumah, Henry langsung membersihkan diri. Ia sangat bahagia, sebentar lagi rumah ini akan ramai dengan tangisan Baby El. Dikamar mandi Henry terus besenandung.
Selesai dengan ritual mandinya, ia pun terlelap diatas ranjang tanpa memudarkan senyum di wajahnya. Rasanya sudah tidak sabar untuk memboyong istri dan anaknya pulang.
Sementara itu di rumah sakit, setelah kepergian Henry, Metta terbangun. Ia tak mendapati siapa pun di sana. Hanya box bayi, dimana putranya terbaring dengan gemasnya.
Metta memaksa untuk bangun. Nyonya Amel yang baru datang langsung membantunya.
"Shhh ... perih sekali Mom," eluh Metta.
"Kau jangan banyak bergerak dulu, Sayang. Kenapa kau gak tekan tombol darurat?" Nyonya Amel mengomeli menantunya yang memaksakan diri.
"Maaf, Mom. Aku hanya ingin melihat Baby El," elak Metta membela diri.
"Biar Mommy bantu." Nyonya Amel segera memindahkan Baby El. Ia menaruhnya dalam dekapan Metta.
"Hai, Sayang ... maafkan Mommy ya," bisiknya seraya mengecup wajah putranya.
Baby El yang merasa terusik menangis. Metta panik, ia berusaha menenangkan Baby El dengan menahan sakit bekas luka sayatan.
Saat bersamaan, suster yang baru saja masuk segera mengambil alih Baby El. Membawanya keluar ruang perawatan untuk menenangkanya.
Nyonya Amel pun ikut panik, tatkala melihat bercak darah di baju Metta. Ditambah menantunya semakin kesakitan. Wanita paruh baya itu memutuskan untuk memanggil dokter.
Dokter Alvin masuk dengan tergesa, diikuti dokter anestesi yang hendak memeriksa kondisi Metta dan beberapa perawat. Mereka segera bertindak dan meminta Nyonya Amel menunggu di luar.
Nyonya Amel menghubungi Tuan Abimanyu. Di sana Tuan Abimanyu sedang memimpin rapat, beliau yang menggantikan Henry selama kondisi Metta belum membaik. Nyonya Amel pun menghubungi Arga supaya menjemput Henry.
Di mansion Henry masih tertidur, ia kembali bermimpi tentang Metta. Didalam mimpinya Metta dan dirinya, memakai pakaian serba putih. Metta meninggalkan Henry yang memeluk Baby El. Kali ini ia tak sehisteris mimpinya yang lalu. Metta terus melambaikan tangannya. Hingga bayanganya ditelan cahaya putih menyilaukan.
"Sayanggg ...." Henry terlonjak. Ia bangun dalam posisi duduk. Diluar kamar Arga masih mengetuk pintu.
"Haish, siapa yang berani mengganggu tidurku?" gerutu Henry. Dia segera bangun dan membukakan pintu, tampaklah Arga dengan wajah panik.
"Heu ada apa denganmu? Kenapa wajahmu jelek sekali hahaha ...."
Astaga, Tuan masih sempat kau menertawai wajahku. Kau harus tau beritanya dulu. Aku yakin kau tak akan bisa tertawa.
"Emm ... itu ...."
"Amm ... emm ... ada apa cepat katakan," sentak Henry tak sabar menunggu.
"Anda harus kerumah sakit sekarang ...."
"Baiklah tunggu sebentar!" Tanpa menunggu Arga menyelesaikan kalimatnya, Henry sudah pergi bersiap-siap.
Beberapa menit berlalu, kini mereka sudah berada didalam mobil.
"Kau ini kenapa lelet sekali, hah? Biar aku yang menyetir." Tak ingin berdebat Arga bertukar posisi. Kini Henry yang mengemudikan mobilnya. Ia seperti pembalap profesional. Salip kanan, salip kiri, gas poll.
*Tuhan, jangan dulu kau ambil nyawaku. Aku masih ingin menikah, masih ingin membahagiakan keluargaku, masih ini berkeliling dunia. A*h, bagaimana dengan cicilqn mobilku?
Jarak yang biasa mereka tempuh dalam 45 menit. Karena Henry yang menyetir menjadi 25 menit.
Arga masih mengatur naasnya. Sementara Henry sudah tak terlihat lagi batang hidungnya. Pikiran Henry kacau, hanya kondisi Metta yang terus membayanginya.
Bugh!
Dua orang bertabrakan dan terhuyung, bahkan orang yang Henry tabrak hampir saja terjatuh.
"Hei, di mana matamu, hah! Apa kau gak melihat jalan?" Henry memaki seorang wanita yang berusaha menahan sang ibu.
"Tuan, kau saja yang jalan tidak hati-hati. Masih menyalahkan orang lain? Kami sudah berada di pinggiran koridor," bela wanita itu.
"Ah, sudahlah!" Henry berlalu begitu saja, tanpa ada niat meminta maaf.
"Dasar menyebalkan, dia yang salah tapi menyalahkan orang lain, dasar arogan, gak berperasaan. Awas saja, hidupnya tidak akan bahagia," Adel memaki laki-laki yang hampir membuatnya celaka.
"Sudahlah, Nak. Ibu gak apa-apa, kok. Ayo kita keruangan dokter. Sebentar lagi jam prakteknya habis," bujuk ibu paruh baya yang bersama wanita itu.
Henry tiba di depan ruangan Metta, peluh bercucuran karena ia berjalan seperti orang berlari.
"Mom, apa yang terjadi? Bukankah tadi baik-baik saja," tanya Henry.
"Maafkan Mommy, Son, tadi Mommy ke toilet sebentar, dan bla bla bla ...." Mommy pun menceritakan semuanya. sampai terakhir ia melihat bercak darah di baju Metta.
"Kenapa kau keras kepala sekali, Sayang?" Henry menyugar rambutnya kebelakang.
Tak lama Tuan Abimanyu datang bersama Arga. Nyonya Amel merasa bersalah karena meninggalkan Metta. Ia terus saja menangis dalam pelukan suaminya.
Mereka menunggu sangat lama. Hingga 1 jam, dokter Alvin beserta timnya keluar dengan wajah masam.
Henry segera menerobos masuk. Ia melihat Metta sudah ditutupi kain putih. Henry malah tersenyum.
"Sayang, bercandamu kelewatan," ucapanya. Ia mengira Metta hanya tertidur.
"Sayang," panggil Henry lagi.
Hening.
Tidak ada jawaban.
"Kau jangan membuatku takut."
Henry mengguncang tubuh Metta. Merasa dipermainkan, ia membuka penutup kain itu. Wajah metta sangat pucat. Bahkan alat medis sudah dilepaskan.
"Nggak mungkin! ini pasti mimpi. Yah, aku pasti sedang bermimpi."
Henry kembali keluar. Nyonya Amel tak sadarkan diri. Tuan Besar bersimpuh memeluk tubuh istrinya. Arga dan semua pengawal menundukkan kepala.
"Alvin, ini pasti mimpikan, katakan padaku! Ini semua hanya mimpi. Coba kau bangunkan aku!" Henry terus mengguncang lengan Dokter Alvin membuat semua orang yang melihat merasa iba.
"Henry dengarkan aku, dia sudah benar-benar pergi!" lirih dokter Alvin memegang kedua bahu bos sekaligus sahabatnya.
Henry beralih ke Tuan Abimanyu. "Dad, bilang padaku, apa yang dikatan Alvin bohong. Dia sedang menipuku."
"Son, dia memang sudah pergi," ujar Tuan Besar memeluk putranya.
Arga berusaha memapah Henry. Membawanya duduk dikursi tunggu. Air mata tampak berderai dari kedua sudut matanya.
"Henry tolong dengarkan aku, dia mengalami robekan pada jahitan pasca caesar, hal itu menyebabkan pendarahan hebat pada rahimnya. Terlebih hb-nya sangat rendah dan ..." Dokter Alvin menghela nafas panjang.
"Dan gangguan ginjal yang dialaminya, memperburuk keadaanya. Kami sudah melakukan semua yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain."
Henry masih terus berfikir. Kilas balik pada kepingan puzzle yang dialaminya. Mimpi-mimpinya selama ini adalah pertanda. Metta akhirnya pergi. Benar-benar pergi dari hidupnya.
Yang Henry sesalkan, mengapa baru sekarang dia mengetauhinya. Mengetahui penyakit ginjal yang dideritanya. Semua sudah terlambat. Metta pergi bersama kesakitan yang ia rasakan.
***
Henry masih berlutut. Punggungnya semakin bergetar karena tangisnya. Nyonya Amel sudah dibawa keruanganya. Tuan Abimanyu mendekati putra semata wayangnya.
Ia menepuk punggung Henry. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia memapah Henry, mendekatkanya dihadapan Metta yang sudah terpejam untuk selamanya.
"Mettaa .... Sayangg ...." Henry terus meraung. Membawa tubuh pucat itu dalam dekapanya.
"Aku benci kamu ... aku sangat membecimu .... Kenapa kau meninggalkanku? Ajak aku bersamamu sayang."
"Kamu tidak boleh seperti ini terus. Kamu harus terus hidup untuk baby El."
"Baby El?" tanyanya. Henry menghentikan tangisnya. Ia melepas pelukanya, berdiri tegap, dan air matanya berhenti mengalir.
"Yah, Baby El putramu, anak kalian," ucap Abimanyu.
"Putraku? Hahaha ...." Henry tertawa sangat keras. Namun terdengar kesedihan didalamnya.
Semua orang mengernyit heran. Mereka saling melempar pandangan.
"Aku harus melihatnya," gumam Henry.
"Ya aku antar kau ke sana," pinta Tuan Abimanyu. Ia memberikan kode kepada Dokter Alvin dan teamnya untuk melaksanakan tugasnya kemudian bergegas mengikuti Henry.
Tuan Abimanyu terus mengikuti Henry. Mereka berhenti diruangan khusus bayi. Disanalah baby El. Ia sedang menyusu dibantu susternya. Melihat kedatangan Henry dua orang suster sedikit membungkuk.
"Ini dia baby El."
"Yah, karena kau istriku meninggalkanku. Seharusnya kau tidak perlu lahir ke dunia ini," maki Henry dengan suara menggelegar. Baby El yang hendak tertidur terbangun, menangis ketakutan.
Tuan Abimanyu membelalak. Ia tak menyangka dengan tindakan bodoh putra semata wayangnya. Suster pun ketakutan, mereka berusaha menenangkan baby El.
Tanpa pikir panjang Tuan Abimanyu menyeret Henry keluar. Henry hanya menurut saja. Ia tetap diam, mengikuti daddynya.
Setelah menjauh dari ruang bayi. Tuan Abimanyu menghempaskan tangan Henry secara kasar. Ia sungguh marah dengan tindakan Henry.
"Apa kamu sudah gila, hah!" bentak Tuan Abimanyu.
"Apa kamu mau membunuh putramu juga? Dia itu darah dagingmu. Hasil perbuatanmu." Henry masih tak bergeming ditempatnya.
"Tolong jangan seperti ini, Son. Bukan hanya kamu yang kehilangan. Daddy, Mommy semua orang pun merasa kehilangan. Terlebih Baby El. Dia sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu," jelas Tuan Abimanyu. Ia sudah menguasai emosinya.
"Dia butuh kamu, Daddy-nya. Pikirkan itu baik-baik." Tuan Abimanyu menepuk bahu putranya. Kemudian berlalu dari sana.
"Aarghh ...." Henry hanya bisa meluapkanya pada benda disekitarnya. Guci mahal dilorong rumah sakit hancur seketika. Ia mengusap wajahnya kasar. Matanya terlihat memerah. Namun tak ada air mata.
Henry menatap wajah pucat istri tercintanya. Tatapannya kosong, tak ada air mata. Hanya ada kabut duka disana. Ia pun ikut mengebumikan sang istri sebagai bentuk rasa sayangnya.
Semua kerabat dan kolega berangsur meninggalkan pemakaman. Namun Henry masih terus mengusap nisan sang istri. "METTA PARAMESWARI". Nama yang tertera diatas nisan.
Rintik hujan perlahan membasahi tubuh tampan Henry. Mommy dan Daddy nya sudah lelah untuk membujuknya. Namun Henry enggan beranjak dari sana.
Hingga kini tinggallah Henry seorang. Air matanya kembali turun bersama derasnya air hujan.
"Sayang ... aku menyesal bertemu denganmu. Jika akhirnya kau meninggalkanku. Aku menyesal pernah mencintaimu. Jika cintaku telah terkubur bersamamu, tetapi nyawaku masih ada disini. Maafkan aku sayanf!"
"Aku gak mungkin bisa menepati janjiku padamu. Aku gak sanggup melihatnya. Melihat Baby El, selalu mengingatkanmu padamu. Tatapan matanya sama seperti saat kau menatapku. Aku sakit, sangat sakit." Henry terus meluapkan isi hatinya. Ia memegangi dadanya, memukul dengan keras. Seolah dengan begitu beban hidupnya akan segera menghilang.
. Hb\= hemoglobin, protein yang berada di dalam sel darah merah. Protein inilah yang membuat darah berwarna merah. Dalam kadar yang normal, hemoglobin memiliki banyak fungsi bagi tubuh.
.
.
TBC
MOHON DUKUNGAN LIKE VOTE DAN COMEN YA READERS
TERIMA KASIH
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 204 Episodes
Comments
Andras 28
ahhh nyesek banget bacanya
2022-03-11
1
Titien Sugicharto
Td katanya jenasah sdh di semayamkan kok masih icu?
2021-05-21
1
👩 [ nia ]
mski dri awall trllu muter2 blm faham tpi d.bab ini bru faham🤗
2021-04-25
1