Jodoh Istikharah
"Sayang, aku mau ngomong sama kamu. Tapi kamu janji jangan marah, ya?" kata Leon seminggu yang lalu.
"Ngomong aja! Kamu tahu, bukan? Kalau aku tidak pandai marah," balas Arini sambil tersenyum menatap suaminya.
Leon menimbang-nimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menikah lagi. Tapi aku janji akan berbuat adil terhadap kalian," ucap Leon dengan sungguh-sungguh.
Mendengar itu, Arini bagai di sambar petir. Ia yang sedang dalam tahap pemulihan pasca operasi, langsung lemas dan pucat. Beruntung ia tidak pingsan. Dia sangat tidak siap jika harus di madu.
Tapi setelah menimbang dengan baik-baik, akhirnya Arini menerima jika dirinya harus di madu.
Dan hari inilah pernikahan kedua suaminya akan di laksanakan. Ia duduk termenung di depan cermin meja rias. Pandangannya kosong. Tampak tak memiliki arah dan tujuan.
Hatinya begitu sakit, saat enam bulan yang lalu dirinya harus kehilangan rahim. Akibatnya ia tidak akan bisa memiliki anak. Lalu seminggu yang lalu suaminya berkata ingin menikah lagi.
"Sayang. Sudah selesai belum? Ayo kita berangkat!"
Itu adalah suara Leon dari luar kamar. Laki-laki itu sudah selesai dari tadi dan sekarang sedang memilih sepatu yang paling cocok untuk digunakan hari ini.
"Iya, ini sudah mau keluar, kok," sahut Arini dengan suara pelan.
Arini lalu keluar dari kamar dan mendapati suaminya sedang bingung memilih sepatu.
"Hei! Kamu cantik banget, sih," goda Leon begitu melihat Arini berdiri di belakangnya. Istrinya itu mengenakan gamis warna peach beserta hijab lebar berwarna senada.
Setelah selesai memilih sepatu, Leon lalu menggandeng tangan Arini untuk keluar dari apartemen dan menuju lakosi pernikahan.
Saat berada di depan pintu keluar, Leon menghentikan langkahnya dan menghadap Arini. "Aku bangga sama kamu. Dan makin sayang tentunya," ucap Leon sambil mencium mesra kening Arini.
Arini hanya tersenyum kaku.
"Aku janji. Setelah nanti menikah, akan adil," janji Leon sambil memegang pundak Arini dan menatapnya lekat-lekat.
Tanpa sadar air mata Arini mengalir deras. Ia tak ingin menangis, tapi entah mengapa tiba-tiba saja air matanya mengalir.
"Kamu kenapa, sayang?" Leon mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Arini. "Sampai kapanpun aku akan selalu sayang kamu," ucap Leon lembut. Ia memeluk Arini dengan erat. Seperti tak ingin melepaskannya.
Biar bagaimanapun, Leon menikah lagi bukan karena sudah tidak mencintai Arini. Hanya saja, ia memang sangat ingin memiliki anak.
"Jangan nangis lagi, oke! Aku sayang kamu," bisik Leon lembut. "Aku tidak akan kuat melihat wanita yang kucintai meneteskan air mata," lanjutnya sambil mengelap sisa air mata Arini menggunakan tisu.
Arini mencengkeram erat tali sling bag-nya. Berharap ia mendapatkan kekuatan entah dari mana saja. "Aku baik-baik saja. Ayo kita berangkat. Kalau kita terlalu lama di sini, bisa terlambat," ucap Arini lirih dengan suara bergetar menahan perih di hati.
Leon mengangguk dan menggandeng Arini keluar. Selamat perjalanan menuju parkiran, ia tak pernah melepas tangan Arini.
Cintanya kepada Arini masih tumbuh dengan subur hingga saat ini. Tapi hatinya mengatakan harus menikah lagi saat ini juga, karena untuk menjaga dirinya dari perbuatan zina terhadap Becca-- calon istri keduanya.
Leon tahu jika keputusannya menikah lagi akan melukai Arini. Apalagi saat ini Arini sedang dalam tahap pemulihan mental maupun fisik. Tapi Leon tak punya pilihan lain. Hatinya mengatakan harus menikah lagi sekarang. Karena saat ini ia sangat ingin segera memiliki anak.
Luka di perut Arini pacsa operasi belum kering, akan tetapi ia menambahkan luka di hatinya. Terkadang Leon merasa bersalah terhadap Arini. Tapi lagi-lagi ia tak punya pilihan lain.
Leon mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Biarpun ini adalah pernikahan kedua, tetap saja ia merasa gugup. Bahkan ini lebih gugup daripada saat ia ingin menikahi Arini tiga tahun lalu.
Leon datang ke pernikahan hanya berdua saja dengan Arini, karena kedua orang tuanya tinggal di Korea dan tidak bisa pulang karena urusan pekerjaan.
Sementara Arini, sedari tadi ia membuang pandangannya ke jendela kiri. Matanya kosong menatap jalanan. Ia tak ingin menghadiri pernikahan ini, akan tetapi Leon terus memaksa dengan dalih supaya ia dan madunya bisa akrab.
Arini tidak tahu perempuan seperti apa yang akan di nikahi Leon. Karena Leon belum pernah memperkenalkannya. Bahkan namanya pun, Arini tidak tahu. Yang ia tahu, calon madunya bekerja di perusahaan yang sama dengan suaminya.
"Sayang," panggil Leon saat mereka berhenti di lampu merah.
Arini menoleh tanpa mengucapkan kata apa pun. Bibirnya di paksakan menarik senyum, walaupun ia tahu senyumnya pasti gagal.
"Aku deg-degan. Bahkan lebih deg-degan daripada pernikahan kita dulu," kata Leon lirih sambil memegang dadanya.
Mendengar itu, Arini ingin sekali menangis. Hatinya terasa di cabik-cabik oleh Leon. Bagaimana tidak? Secara tidak langsung, Leon menganggap ia biasa saja, bukan? Buktinya tadi Leon mengatakan sendiri kalau pernikahannya dulu tidak se-nervous ini.
Arini tidak menjawab apa-apa. Hanya sebuah senyum kecil yang ia berikan kepada suaminya.
"Huft..." Leon menghembuskan nafas lalu menghirup udara pelan-pelan. "Sayang, lihat. Tanganku gemetar," kata Leon masih menatap Arini karena mereka masih di lampu merah.
"Sudah lampu hijau," ucap Arini pelan. Ia bersyukur karena lampu segera berubah menjadi hijau. Ia merasa terselamatkan karena tak perlu menanggapi kata-kata suaminya lagi.
Keduanya kembali terdiam. Saling sibuk dengan pikiran masing-masing.
Dulunya Arini adalah seorang perempuan yang periang. Akan tetapi, semenjak ia mengetahui kalau suaminya akan menikah lagi, ia menjadi pribadi yang sangat pendiam dan tertutup.
Tapi hal tersebut tidak di sadar oleh Leon. Karena ia terlalu sibuk dengan pernikahannya, jadi ia tak menyadari perubahan sikap Arini.
Leon menghentikan mobilnya di sebuah rumah minimalis bernuansa bunga. Di halaman bahkan di pagar, banyak tumbuh bunga-bunga beraneka ragam.
"Ayo, sayang!" ajak Leon. Ia berjalan masuk terlebih dahulu. Dan Arini mengikutinya di belakang.
Sungguh Arini sangat ingin menangis. Bagaimana mungkin ia di suruh jalan sendiri tanpa di gandeng saat sedang rapuh seperti ini? Bahkan ia sudah merasakan matanya memanas.
Acara pernikahan Becca dan Leon diadakan sangat sederhana. Mereka hanya mengundang beberapa orang tamu saja. Yang terdiri dari keluarga dekat.
Suasana rumah pun tampak sepi karena hanya ada beberapa orang tamu saja.
"Arini, ya?" tanya seorang ibu paruh baya.
"Iya," jawab Arini sambil tersenyum kaku.
"Saya Rania, ibunya Becca. Ayo saya antar ke kamar Becca. Tadi Becca pesan, katanya kalau Arini sudah sampai, langsung saja di ajak ke kamarnya," kata Rania sambil menggandeng tangan Arini menuju kamar Becca.
Arini hanya bisa pasrah saja mengikuti langkah Rania.
Sesampainya di kamar Becca, perempuan itu sedang di touch up. Sepertinya acara make up telah selesai.
"Mbak Arini, ya?" tanya Becca sambil tersenyum ramah. "Ternyata lebih cantik aslinya daripada foto," kata Becca dan langsung cipika-cipiki kepada Arini.
Arini hanya bisa tersenyum canggung.
"Mama keluar dulu, ya. Mau lihat yang di luar," kata Rania dan di 'iyakan' oleh Becca.
Arini duduk di ujung kasur Becca, sementara Becca sendiri duduk di kursi rias. Sang make up artist masih men-touch up hasil kerjanya.
Becca hanya di make up oleh satu make up artist saja. Pernikahannya memang sangat sederhana.
Akan tetapi pakaian yang di kenakan Becca terlihat mewah. Kebaya modern dengan model yang sangat bagus, seperti yang sering di pakai artis ibu kota.
"Kita sama-sama pakai warna peach, Mbak," kata Becca sambil memainkan ponselnya. "Mbak Arini suka peach juga?" tanya Becca ramah.
"Iya," sahut Arini asal. Sebenarnya ia menyukai monokrom, akan tetapi Leon sering membelikannya pakaian warna-warni.
"Mas Leon sukanya makanan apa, Mbak?" tanya Becca.
"Soto betawi," jawab Arini singkat.
"Mbak Arini mau di tauch up?" tanya sang make up artist begitu ia telah selesai melakukan pekerjaannya.
"Tidak usah. Terima kasih," tolak Arini dengan diiringi senyum yang sangat di paksakan.
Becca terus saja mengajak Arini mengobrol apa saja. Karena ia ingin mencoba untuk melakukan pendekatan dengan Arini.
Tak lama, acara pernikahan pun di mulai. Sepanjang acara, Arini sering menunduk dan memejamkan mata, mencoba untuk tidak melihat ataupun mendengar saat suaminya mengucapkan ijab kabul.
"Arini sakit?" bisik Rania yang duduk di sebelah Arini.
"Tidak, Tante. Saya baik-baik saja," jawab Arini sambil memaksakan untuk tersenyum.
"Yakin?" tanya Rania dan di angguki oleh Arini.
Acara ijab kabul telah selesai, Becca sedang mencium punggung tangan Leon. Dan setelah itu Leon mencium kening Becca dengan mesra.
Tanpa sengaja tatapan Arini dan Leon bertemu. Arini langsung memutuskan pandangan itu lalu menatap lantai.
***
Selesai acara, Leon menyuruh Arini untuk pulang sendiri. Karena ia akan menginap di rumah Becca.
"Sayang, kamu pulang sendiri, ya! Aku pesanin taksi online buat kamu," kata Leon sambil merangkul pundak Arini. "Malam ini aku tidur di rumah Becca. Besok aku pulang," lanjutnya.
Pakaian kamu?
Hampir saja Arini bertanya seperti itu, tapi tidak jadi karena ia tahu pasti Leon dan Becca telah mempersiapkan semuanya dengan baik.
"Iya," jawab Arini singkat.
"Mbak Arini mau pulang, ya? Bawa mobil aku aja," kata Becca yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
Menyadari kehadiran Becca, Leon langsung melepaskan rangkulannya di pundak Arini. Ia tak ingin membuat Becca cemburu.
"Arini jarang mau nyetir, Honey. Dia lebih suka naik taksi," jawab Leon.
Arini tersenyum kecut menatap lantai, ia tak menyangka nasib percintaannya akan seperti ini.
Ternyata mereka sudah memiliki panggilan sayang, kata Arini dalam hati.
"Sudah di order, mas? Kasihan Mbak Arini, mau istirahat," kata Becca.
"Sudah, kok. Sebentar lagi sampai," kata Leon sambil mengacak rambut Becca dengan mesra.
Melihat itu, hati Arini seperti di cabik-cabik lagi. Ingin rasanya untuk cepat-cepat pulang ke apartemen lalu menumpahkan semua air mata di atas bantal.
"Duduk, yuk! Jangan berdiri terus," kata Becca lalu berjalan menuju sofa.
Arini dan Leon mengikuti di belakang.
Belum sempat Arini duduk, taksi yang di pesan sudah datang. Ia lalu berpamitan kepada Becca, ibunya, dan Leon. Lalu setelah itu masuk ke dalam mobil.
Setelah di dalam mobil, Arini langsung menangis. Ia membuang wajahnya ke jendela kiri agar sang supir tak melihatnya.
Namun sayangnya sang supir mengetahui itu setelah tak sengaja melihat spion tengah.
"Mbak nangis?" tanya supir laki-laki yang kira-kira berusia kepala tiga.
"Oh. Tidak. Saya lagi sakit mata, Mas. Jangan di lihat! Bisa nular!" kata Arini sambil menunduk dan menghapus air matanya menggunakan punggung tangan.
Sang sopir hanya bisa mengangguk dan tak menanyakan apa-apa lagi. Ia tahu, costumer-nya sedang tidak ingin di ganggu.
Setelah sampai di apartemennya, Arini langsung menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia menangis sejadi-jadinya. Guling ia jadikan sebagai objek untuk melampiaskan kekesalan.
Arini lalu duduk di atas kasur dan membantai guling malang tersebut. Di patah-patahkannya dan di pelintir guling tersebut.
Ia pernah membaca sebuah artikel, bahwasanya ketika kita sedang tidak baik-baik saja, lakukanlah pelampiasan terhadap bantal atau guling. Itu akan lebih baik daripada kita menyakiti orang lain.
"Mengapa hidupku seperti ini? Aku harus kehilangan rahim lalu harus di madu. Mengapa harus aku?" ucap Arini diiringi dengan tangisan pilu. Siapapun yang mendengar akan merasa tersayat mendengar tangisan Arini.
Bunyi nyaring di ponselnya tak membuat Arini berhenti menangis. Bahkan suara nada dering tersebut kalah oleh suara tangis Arini.
Ia terus melampiaskan kekesalannya pada guling, hingga busa guling tersebut patah menjadi beberapa bagian.
Setelah sedikit tenang, Arini duduk di lantai sambil menyadarkan kepalanya pada tempat tidur. Ia memejamkan matanya kuat-kuat sambil memijit pelipisnya yang berdenyut.
Suara kumandang adzan magrib menyadarkan Arini. Ia berjalan lunglai menuju kamar mandi lalu bersuci, dan setelah itu melaksanakan shalat magrib.
Selesai shalat magrib, Arini mengecek ponselnya. Ternyata ada beberapa panggilan video call yang tak terjawab dan sebuah pesan masuk dari Leon.
Leon: Sayangku, jaga kesehatan, ya. Aku sayang kamu.
Arini tak berniat membalasnya. Ia mengubah ponselnya menjadi mode silent lalu menaruhnya di atas nakas, setelah itu tidur.
Pukul dua dini hari, Arini terbangun karena lapar. Ia lalu menuju dapur untuk membuat roti bakar dan telur rebus. Setelah itu, ia makan dengan pelan.
"Aku harus ke psikolog. Jangan sampai aku setres gara-gara ini," gumam Arini sambil mengupas cangkang telur dengan gerakan sangat pelan sekali.
Entah mengapa sejak seminggu yang lalu ia telah kehilangan kekuatan. Ia sering mengerjakan sesuatu dengan gerakan sangat lambat. Terkesan tidak berniat.
Setelah selesai mengisi perut, Arini langsung menunaikan shalat isya dan tahajut. Karena tadi ia tidur belum sempat shalat isya.
Dalam hening malam, Arini khusyuk berdo'a. "Tolong lapangkan hatiku, Ya Allah. Buat aku menjadi wanita yang kuat," lirih Arini dalam do'a.
Air mata kepedihan mengalir deras. Membuat pandangannya mengabur. Ia lalu mengusap air matanya dengan punggung tangan.
Setelah menunaikan ibadah dan berdo'a, hati Arini menjadi lebih tenang. Ia bisa melanjutkan tidur kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Hariani Yusuf
carain aja leonx dr pada d madu
bikin sakit hati ajah......😂😂😂
2022-08-21
0
Imas
athor bikin cerai aja bkin leonnya mnyesal
2021-07-25
1
Misik Japar
entah knp aq g suka klo lht wnt itu kya lembek gitu,knp arini msh sj mau brthn sih. klo tersakiti mnding pish sj aplg g ada ank.
2021-03-22
2