Sudah sepuluh hari Ibu Sofi dirawat di rumah sakit. Selama itu Sofi selalu menemani ibunya. Perkembangan kesehatan ibunya semakin membaik. Tekanan darah sudah stabil. Makannya sudah lumayan. Sudah latihan duduk dan berdiri, jalan ke kamar mandi.
"Sofi, sini nduk. Ibu mau bicara sebentar."
Sofi mendekati ibunya. Digenggam erat dan diciumnya tangan ibunya.
"Iya Bu, ibu haus? atau lapar?" Sofi bertanya penuh kelembutan.
Ibunya menggeleng. Senyumnya mengembang. Matanya memandang Sofi dengan teduh.
"Nduk, sebentar lagi kamu wisuda. Apakah sudah ada calon?"
Deegg
Jantung Sofi serasa berhenti sedetik. Tidak biasanya ibu bertanya seperti itu. Paling menanyakan kuliah. Sekarang kok tiba-tiba tanya calon.
"Buk, ibu tenang saja. Insya Allah besok pasti bertemu jodoh yang terbaik."
"Iya, ibu percaya. Tapi kapan? Ibu sudah tua, pingin gendong cucu. Kakakmu sudah menikah. Tinggal kamu, nduk."
Sofi terdiam. Tak ada kalimat indah untuk disampaikan ke ibunya lagi. Sofi takut melukai perasaan seorang Ibu yang disayanginya. Tiba-tiba...
"Assalamualaikum..."
Dio datang menyelamatkan dari pertanyaan Ibu yang sulit dijelaskan.
"Eh, Dio. wa Alaikum salam... sendirian? Mana Rubby?"
Sofi mencari keluar kamar. Tidak ada. Dio datang sendiri. Dio menenteng tas kresek berisi buah-buahan. Dio mencium tangan ibu, kemudian meletakkan buah di meja.
"Sendirian kok. Sejak ibu masuk rumah sakit, Rubby ngambeg. Berkali-kali aku ke rumah tidak bertemu."
"Rubby ngambeg??? Benarkah? Pantesan WA ku centang satu terus. Kemana dia?"
Dio mengangkat bahu. Mereka membicarakan Rubby yang aneh. Gara-gara janjian tak terlaksana dia ngambek. Rencananya setelah ibu pulang dari rumah sakit, mereka akan menemui Rubby dan menjelaskan semuanya.
"Nak Dio..."
Panggilan ibu menghentikan pembicaraan kami. Dio mendekati ibu.
"Iya Bu, maaf. Ibu kenapa?"
Ibu menatap Dio penuh kelembutan. Senyumnya menghiasi wajahnya yang teduh.
"Nak Dio kuliahnya sudah selesai?"
"Alhamdulillah Bu, sebentar lagi wisuda. Kemarin sudah selesai penasaran, Insya Allah tahun ini wisuda Bu. Mohon doa restunya."
"Alhamdulillah,. berarti bisa barengan wisuda dengan Sofi."
"Mudah-mudahan Bu."
"Nak Dio sudah punya calon?"
"Saya Bu? Eh, anu... eh...belum Bu. Mana ada yang suka sama saya."
Dio menjawab dengan gugup. Matanya melirik ke arah Sofi. Sofi pura-pura tidak tahu. Didekati ibunya dan dicium tangannya.
"Buk, ibu tenang saja. Mohon doanya, semoga Sofi dapat jodoh yang terbaik. Sofi Yaqin."
"Iya Bu, Sofi anak yang baik, Sholehah, cerdas. Pasti dapat jodoh yang terbaik."
Dio menambahi, mereka saling pandang. Senyum tipis dilempar Dio pada Sofi. Sofi tertunduk malu. Tiba-tiba dokter dan perawat masuk.
"Permisi, gimana Bu, sudah sehat?"
Dokter memeriksa ibu.
"Tekanan darah normal dok, denyut jantung stabil, sudah bisa duduk dan berjalan."
Perawat menjelaskan pemeriksaan tadi pagi. Ibu tersenyum dan mencoba duduk.
"Alhamdulillah sudah baik Dok, boleh pulang ya Dok...."
"Boleh...yang penting ibu tetap jaga kesehatan, jangan kerja berat-berat. Juga jangan terlalu berpikir berat ya Bu. Ibu boleh pulang hari ini."
"Alhamdulillah, ibu boleh pulang Dok?" tanya Sofi.
"Silakan urus administrasi di kasir ya mbak." pesan perawat.
Sofi menegaskan kembali. Dokter mengangguk. Kemudian meninggalkan kami dengan sejuta kebahagiaan. Sofi segera mempersiapkan semuanya.
"Sof, biar aku yang urus semuanya ya. Kamu temani ibu di sini."
"Nggak merepotkan kamu?"
"Nggaklah, biar aku saja."
"Ini uangnya, mungkin tambah, selain dari BPJS."
"Nggak usah, simpan aja. Aku ada koq."
Dio langsung pergi ke kasir meninggalkan Sofi yang melongo. Ibu melihat mereka berdua sambil tersenyum.
"Sofi, Dio anaknya baik ya. Ibu suka..."
"Ah, ibu..."
Sofi tersipu malu, sambil pura-pura sibuk membereskan semuanya. Padahal hatinya berbunga-bunga. Angannya melambung ke angkasa bagai bidadari. Dio memang sangat baik. Sejak pandangan pertama di kampus itu, Sofi sudah merasakan debaran jantung itu.
Setengah jam berlalu, Dio sudah selesai mengurus administrasi.
"Gimana Dio, sudah beres semuanya?"
"Alhamdulillah, semua sudah beres. Seminggu lagi ibu harus kontrol."
"Makasih ya Dio."
"Untuk apa? Beliau seperti ibuku sendiri. Aku seperti menemukan ibu kembali."
***
Dio memandang keluar jendela, teringat peristiwa lima belas tahun yang lalu. Saat itu Dio berusia sepuluh tahun, kelas empat SD. Ketika pulang sekolah, Dio melihat keramaian di rumah. Bendera merah, ada teratak terpasang, juga kursi-kursi. Banyak orang berpakaian hitam-hitam, wajah mereka terlihat berduka.
"Pak...pak.... ibu mana??? Mana ibu?"
Dio berlari menerobos kerumunan. Bajunya basah oleh keringat. Wajahnya merah karena kepanasan setelah pulang sekolah.
Bulik Ti memeluk Dio erat-erat dan membisikkan kata. Beliau adalah adik bapak. Rumahnya berdampingan dengan rumah Dio.
"Sabar ya Le, ibumu telah pulang."
Dio terdiam, meskipun air matanya tak terbendung. Mata Dio memandang peti berwarna putih di depannya. Ibunya terbujur kaku, wajahnya tersenyum, seperti tidur lelap. Dio mencium ibunya.
***
"Eh, kok malah melamun. Ayo kita pulang, semua sudah siap."
Sofi membuyarkan lamunan Dio.
"Eh, maaf...maaf... aku .. aku teringat ibuku. Sini suster, biar saya yang dorong kursi rodanya."
Dio mengambil alih kursi roda yang didorong perawat. Sofi memandang wajah Dio penuh takzim. Ibu tersenyum bahagia.
Mereka sudah sampai di lobi rumah sakit. Mobil grab sudah menunggu. Setelah semuanya sudah masuk mobil, kami pulang.
Setengah jam kemudian kami sampai di rumah.
"Alhamdulillah, akhirnya bisa mencium aroma rumah kembali."
Ibu tersenyum bahagia. Wajahnya berbinar-binar. Badannya terlihat segar kembali. Sofi melihat ibunya dengan bahagia. Begitu pula Dio, seperti melihat ibunya kembali.
"Lho, mas..."
Sofi melihat Dio ...
"Ada apa Sof...?"
"Bukannya tadi ke rumah sakit naik motor?"
"Astaghfirullahaladzim... iya Sof, Lupa... Kamu sih gak ngingetin aku..."
Dio mencubit tangan Sofi. Sofi tertawa kecil. Keakraban mereka terekam ibunya. Doa ibu Sofi terlantun untuk mereka berdua.
"Eh, maaf ya Sof, aku pamit dulu, mau ambil motor ke rumah sakit. "
Dio menghampiri ibu di kamar yang sedang istirahat.
"Bu, Dio pamit dulu ya. Besok ke sini lagi. Ibu pingin dibelikan apa?"
"Nggak usah repot-repot Dio, kamu kesini saja ibu sudah bahagia."
Dio mencium tangan ibu, selanjutnya pulang.
Sofi mengantarkan Dio sampai pintu gerbang. Gojek sudah menunggu di depan. Rupanya Sofi sudah memesannya.
"Eh, sudah dipesankan to. Makasih ya Sof."
Sofi mengangguk pelan. Senyumnya mengembang. Dio memandang Sofi penuh hormat. Ah, Sofi ... Sofi...kamu perempuan yang baik. Cantik dan Sholehah.
"Pamit dulu ya Sof, kalau ada apa-apa, hubungi saya ya.. Assalamu'alaikum..."
Sofi mengiyakan, tangannya melambai.
"Wa Alaikum salam, hati-hati ya..."
Dio melambaikan tangannya. wajahnya terlihat bahagia. Begitu juga dengan Sofi. Gojek membawa Dio ke rumah sakit. Setengah jam kemudian Dio sampai di rumah sakit. Dia langsung menuju tempat parkir motor.
"Dio..."
Ada seseorang memanggilnya. Dio menoleh.
Bersambung
Terima kasih, sudah membaca kisahku.
kasih komentar ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
BELVA
ka dyah aku mampir lg absen like buatmu
2021-01-23
1
Tamie
udahla Dio SM Sofi aja . 🤭
2021-01-23
1
dhorizt cleverley
permulaan yg oke 🤭
2021-01-15
1