Tolong Aku!

"Sayang, kamu harus ingat dengan perjanjian itu. Kamu menikah dengan Andini karna syarat dari orangtuamu. Agar kamu bisa mengambil alih semua perusahaan"

Aku mendengar jelas perkataan Rania pada Dama. Aku menutup mulutku dan berlari ke kamarku, menutup rapat dan menguncinya.

Aku sungguh bodoh mempercayai semua perkataan Dama. Dia hanya memanfaatkanku. Hiks hiks hiks....Aku menangis.

"Benar benar bodoh!!!"

duk duk duk

Membenturkan dahiku ke tembok kamar.

*******

Dama POV

Setelah bunda berpamitan pulang, Rania menarik tanganku menuju lantai atas ke ruang kerjaku, meninggalkan Andini dibawah. Kami bertengkar hebat. Rania menggebrak meja, menamparku dan membanting barang barang.

"Maaf sayang..aku mencintai Andini"

"Aku menepis perasaan itu sayang, karna aku hanya mencintaimu tapi aku salah. Aku mencintainya. mencintai kalian berdua sekaligus. Maafkan aku" Aku memeluk Rania, menenangkannya. Rania mencium bibirku dengan penuh gairah.

Lalu Rania mengingatkanku kembali tentang perjanjian itu, bahwa aku menikahi Andini hanya semata mata karna ingin mengambil alih semua perusahaan.

"Maaf Rania, kamu salah. Aku memang benar benar tulus mencintai Andini. Aku tidak perduli lagi soal perusahaan akan jatuh ke tanganku sepenuhnya atau tidak" kataku menjelaskan semua pada Rania.

Plak

Rania kembali menamparku.

"Lalu bagaimana denganku? apa aku selamanya akan menjadi istri sirihmu? terus menerus menyembunyikan aku didepan orang banyak? kamu egois!!" Rania menangis sejadi jadinya, memukul mukul dadaku. Kutarik tubuhnya, memeluknya kembali.

"Maafkan aku..aku belum siap jika ayah dan bunda tahu tentang hubungan kita. Bersabarlah sayang. Akan aku usahakan" Aku mengusap lembut rambut hitam Rania yang tergerai.

"Janji? kamu gak akan tinggalin aku demi Andini?" Rania mendongakkan wajahnya menatapku.

"iya aku janji" aku mengusap air mata Rania dipipinya.

"jangan menangis lagi ya?!"

"Malam ini aku tidur disini" Rania malam ini tidak ingin kembali ke apartemen, karena sudah 2 hari aku tidak datang.

"Baiklah...kamu mandi dulu. Aku harus melihat Andini" pamitku pada Rania.

"Buat apa sayang? aku daritadi di cuekin. kamu sekarang mesra banget sama dia. Aku cemburu" Rania mencebikkan bibirnya.

"Andini sedang sakit sayang, tolong mengertilah. Dia istriku juga" Aku menepuk bahu Rania dan pergi keluar kelantai bawah, karna aku fikir Andini masih dibawah. Dia masih susah untuk berjalan.

Sesampainya dilantai bawah, aku tak melihat Andini. kucari keruangan lainpun tidak menemukannya. Aku kembali naik ke lantai atas, ke kamar Andini.

krek krek

pintu kamar Andini terkunci. aku semakin khawatir.

tok tok tok

"Andini, kamu ada di dalam?"

"Andini...Andini..kamu tidak papa? kenapa tidak menjawabku?" tak ada sautan dari andini di dalam. Aku sangat khawatir dan langsung mendobrak pintu.

Brak Brak Brak

Sangat sulit untuk mendobrak pintu yang terbuat dari kayu yang tebal dan keras.

Ceklek

Suara pintu Andini terbuka. Aku langsung memeluk Andini.

"Kamu gak papa? kenapa diam saja? aku khawatir" aku memeluknya erat, lalu menatap wajah andini dengan mata sembabnya.

Aku menutup pintu, lalu mendudukan andini di sofa depan ranjangnya.

"Kenapa diam saja? kamu menangis?" aku menangkup wajah andini dengan kedua tanganku. Andini hanya menggeleng gelengkan kepalanya.

"Apa masih sakit?" Andinipun hanya mengangguk.

"Kenapa gak nunggu aku dulu? aku bisa bantu ke kamar" Andini hanya diam. Aku memeluknya dan menciumi pucuk kepalanya.

"Mau mandi?" Andini menggelengkan kepalanya lagi.

"Kamu kenapa sih? gak mau jawab daritadi. Apa salahku?" Andini masih tetap diam. Aku kesal dan mencoba menciumnya tapi Andini membuang wajahnya ke kiri.

"Mas, aku mau istirahat. Tolong keluar dari kamarku" kata pertama Andini yang terucap.

"Aku temani ya?"

"Gak perlu mas, ada mba Rania. Aku pengen sendiri" Andini menepis tanganku saat membelai rambutnya.

"Baiklah, kalau ada apa apa ketuk saja pintu kamarku" Aku mengecup kening Andini dan keluar dari kamarnya.

*****

Pagi ini aku masih tetap diam saat sarapan bersama dengan Dama dan Rania. Ya, disaat hanya ada kami bertiga, aku duduk dihadapan Dama sedangkan Rania duduk disebelah Dama. Mereka berdua sudah rapih dengan pakaian kerja masing masing. Aku tau mereka berdua semalam habis melakukan itu, nampak dari rambut Rania yang basah. Aku menggigit bibir bawahku, rasanya kenapa sakit sekali melihat mereka romantis dihadapanku? aku lebih banyak memandang makanan di piringku atau melihat ke arah lain.

"Andini, maaf ya..malam ini Dama menginap di apartemen sampai lusa. Kamu gak papa kan?!" aku tau dari kata kata penekanan Rania dan dari kode matanya yang menyuruhku untuk mengiyakan.

"I iya mba, gak papa kok" aku tak sengaja menatap Dama. Dama seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tak dapat dia katakan, mungkin karna ada Rania.

"Sayang...ke mobil dulu ya? Ada yang harus aku katakan pada Andini. sebentar saja" Dama mendorong Rania masuk ke dalam mobil, sedangkan dia masuk kembali ke dalam rumah untuk menemuiku yang sedang duduk dipinggir kolam renang.

"Andini" Dama memanggilku, akupun langsung menoleh ke arahnya lalu membuang mukaku karna aku malas melihatnya. Perkataan Rania semalam masih ada di kepalaku.

"Kamu kenapa? apa salahku?" Dama terlihat frustasi, aku tetap tidak mau mengatakannya. Aku bertekad untuk tetap menyetujui perjanjian no 4 : pernikahan hanya berjalan tidak kurang atau lebih dari satu tahun. Akan aku kabulkan keinginanmu mas Dama!

"Mas sudahlah, Mba Rania sudah menunggu. Nanti telat ngantor" aku mengusir Dama agar segera pergi.

"Aku tidak bisa meninggalkanmu dengan keadaan seperti ini, harus kita selesaikan dulu. Apa yang kamu pikirkan? sampai sampai marah dan tidak mau menatapku!" Dama bersikeras untuk tau jawaban dariku.

"Mas.."

ttin ttin

suara klakson mobil berbunyi, memotong kata kataku yang akan aku sampaikan pada Dama.

"Sudahlah mas, Mba Rania sudah bunyiin klakson tuh"

"Oke, aku tunggu jawabanmu lewat telfon nanti"

Dama langsung pergi.

Lagi lagi aku menangis. Seharusnya aku tidak perlu menaruh hati dan jatuh cinta padanya. Kenapa aku melewati batasku??

Byur

Aku berenang untuk menyegarkan pikiranku, nyatanya selesai berenang pikiranku masih saja sama. Paha dalamku masih terasa sakit.

*******

Kebetulan hari ini tidak ada jadwal kuliah, aku berniat ke coffee shop untuk bertemu Soni mengajukan resign. Sebenarnya aku tidak ingin keluar dari pekerjaan itu. Kalau sudah Dama tinggal begini, aku butuh kegiatan lain. Dirumah sebesar ini membuatku bosan dan takut.

"Maaf Soni, aku harus resign" ucapku sambil menyodorkan surat pengunduran diriku di meja ruangan Soni, pemilik coffee shop teman SMAku dulu.

"Kenapa Andini? apa gaji yang kuberikan kurang?" Soni bertanya padaku.

"Bukan Soni, justru gaji yang kamu berikan terlalu banyak, tidak sesuai dengan pekerjaanku. Aku tidak enak hati dengan yang lain" kataku menjelaskan. Soni tidak tahu kalau aku sudah menikah.

"Tidak perlu kamu memikirkan apa kata pegawai lain. Aku memang melihatmu karna kau rajin, ramah dan cekatan" Soni tetap bersikeras tak ingin aku resign.

"Maaf Soni, aku benar benar harus resign. Aku permisi" Aku pergi meninggalkan ruangan Soni yang berada di samping meja kasir coffee shop.

"Andini...tunggu!" Soni mencekal tanganku erat. Semua pegawai dan pelanggan melihat ke arah kami. Waktu makan siang dimana banyak pelanggan datang. Aku berusaha melepas tangan Soni, namun dia dengan cepat membawaku masuk ke dalam ruangannya kembali. Aku sekilas melihat Dama dan Rania yang sedang duduk tidak jauh dari meja kasir, menatapku bersama Soni.

Bersambung...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!