Terhempas

Setelah melakukan untuk pertama kalinya, Dama mengangkat tubuhku membawa dalam gendongannya ke dalam kamar mandi. Mandi bersama untuk pertama kalinya juga. Dama begitu menggila, aku dibuatnya tak dapat beristirahat walau semenit. Aku merasakan tubuhku benar benar remuk.

"Mas..aku capek" kami masih dalam pergulatan panas dalam bathup.

"Sebentar Andini..sebentar lagi sayang"

15 menit kemudian

"Andini..ahh..kamu bikin aku gak bisa lepas. aku begitu sangat menginginkamu"

Dama terus saja meracau untuk mencari kepuasannya yang telah berkali kali dia dapatkan. Tapi tak kunjung untuk mengakhirinya.

"Mas..udah dong. Aku capek"

"Iya sayang" Dama mencium keningku lalu melepaskan pelepasan terakhirnya.

Dama berbaring diatas dadaku, memelukku, kami masih dalam bathup.

Selesai membersihkan diri, aku berusaha berjalan keluar kamar mandi. Tapi sangat sakit.

"Ahh..aw.." aku tak mampu berjalan.

"Kenapa sayang?" Dama menghampiriku lalu menggendongku untuk duduk di pinggir kasur.

"Sakit mas, perih. Kamu jahat! aku sampe gak bisa jalan" aku memukul dada Dama sambil merengek manja. Dama malah tertawa kecil melihatku kesakitan.

"Kamu kok ketawa sih mas? aku sakit ini, gara gara kamu" Bukannya Dama menjawab malah sibuk mengecup bibirku.

"Mas, serius dong" aku memundurkan bibir Dama dengan jariku.

"Aku juga serius sayang. Aku suka kalau kamu manja ke aku, aku suka kamu bergantung sama aku. kalo ngerengek begini, bikin gemes. bikin kepengen lagi" Dama tertawa keras sukses membuatku malu.

"Gak lucu mas..mas harus tanggung jawab!"

"Memangnya aku sekarang gak tanggung jawab? kamu kan istriku. Istri sahku secara agama dan negara. cup" Lagi lagi dama mengecup bibirku, entah sudah berapa kali. Sepertinya dia sangat terobsesi dengan bibirku.

"Maaasss...udah ah. ini gimana? aku kesakitan"

"Kita ke dokter?"

"Enggak ah, nanti kalau ditanyain keluhannya apa. Masa aku jawab, ini saya sakit dok habis berhubungan sama suami saya sampai berkali kali?! gitu? kan gak lucu mas"

"Hahahahaha....." Dama justru tertawa keras memegangi perutnya.

"Mas Dama, aku gak mau lagi kalo sakit gini" aku mencebikkan bibirku dan melipatkan kedua tanganku ke depan dada.

"Jangan dong sayang, nanti aku gimana?" Dama merengek memelukku, menggesek gesekan kepalanya pada tengkukku.

"Kan ada mba Rania yang lebih sexy dan hot"

"Enggak..aku maunya kamu" masih bermanja manja dengan tangan kanannya mulai meraba masuk ke dalam baju handukku.

"Gomball" aku menepis tangan Dama.

"Beneran aku gak gombal sayang" sungguh menyebalkan mata Dama yang bermain mata padaku.

"Udah ah..aku mau cari di google aja!"

"Maass.."

"Kenapa sayang? mau lagi? katanya sakit?" aku langsung mencubit lengan Dama.

"Aw..sakit sakit"

"Aku mau minta tolong ambilkan handphone aku di dalam tas"

"Ooo...aku pikir pengen lagi. hehehehe" Dama bangun, langsung mangambil tas dan meraih handphoneku.

Aku mulai berselancar di google untuk mencari "Cara meredakan nyeri pada **** * setelah berhubungan ****"...jreeettt, muncul beberapa artikel yang terpampang.

Kubuka satu artikel paling teratas. "Gunakan pereda nyeri alami seperti kompres es pada area **** * yang terasa sakit selama 10 menit"

"Mas, tolong ambilkan es dan handuk kecil ya"

"Buat apa?" aku memberikan handphoneku kepada Dama agar dia membacanya.

"Ooo...oke. siap sayangku. cup"

"Ih..sekarang hobinya nyiumin aku terus 😤"

Dama tersenyum genit dan keluar kamar lalu turun ke bawah, mengambil es didalam kulkas dan handuk kecil.

Dingdong

Tepat saat Dama akan naik ke lantai atas, terdengar bel rumah yang berbunyi.

"Bunda" Dama langsung mencium punggung tangan bunda Sindi setelah membuka pintu.

"Assalammualaikum mas"

"Walaikumsalam bun"

"Kok kamu dirumah? gak kerja?" bunda masuk ke dalam rumah, duduk diruang keluarga.

"Dama cuti bun"

"Kenapa?" tanya bunda sambil melihat ke segala arah untuk mencariku menantunya.

"Andini sakit bun"

"Hah?? sakit apa?" bunda langsung menaiki anak tangga menuju kamar Dama. Karna setau bunda kami tidur satu kamar setelah menikah beberapa hari yang lalu.

"Demam bun..tapi bun.." Dama ingin memberitahu keberadaanku di kamar yang lain tapi bunda sindi sudah langsung membuka pintu kamar Dama.

"lho kok gak ada Andini mas? Andini dimana?" tanya bunda heran.

"Emm...itu bun. di kamar sebelah kanan" Dama menunjuk kamarku .

"Kok disana? kalian tidur terpisah?"

deg

Dama bingung harus menjawab apa. Sedangkan bunda sudah membuka pintu kamarku. Aku yang sedang berbaring masih dengan bathrobe, terkejut melihat bunda yang sudah berjalan menghampiriku.

"Nak, kamu demam?" bunda memegang dahiku.

"Sudah gak demam kok bun" aku bangkit dan duduk berhadapan dengan bunda.

"Aw.." paha dalamku masih terasa sakit.

"Masih sakit sayang? ini es dan handuk kecilnya" Dama terlihat panik melihatku masih kesakitan.

"Mana yang sakit nak? ini es dan handuk untuk apa?" tanya bunda tak kalah panik. Aku malu untuk menjawabnya.

"Anu..itu bun" Dama menggaruk garuk tengkuknya yang tidak gatal.

"Anu apa mas?" tanya bunda pada Dama.

"Bukan apa apa bun. Andini mau ke kamar mandi dulu" Aku menghindari bunda karena malu, tapi saat akan melangkahkan kakiku, aku sempoyongan karena tidak kuat untuk berjalan.

"Ahh..."

Brukk

Aku terjatuh terduduk didepan pintu kamar mandi. Dama dan bunda langsung mendekatiku.

"Sayang..biar aku gendong" Dama langsung menggendongku, meletakkan kembali ke atas kasur.

"Sebenarnya kenapa nak? bunda panggilkan dokter sekarang!!" bunda meraih handphonenya didalam tas branded merk H****s miliknya yang berwarna hitam.

"Jangan bun" aku mencegah bunda menghubungi dokter.

"Kenapa jangan? kamu sakit Andini"

"Bun..maafin Dama. Ini salah Dama" Dama mengambil alih handphone bunda ditangannya.

"Apa yang sudah kamu lakukan pada Andini mas?" ibu bertanya dengan nada keras.

"Emm itu bun..kami habis melakukan itu.." Dama terbata bata menjelaskannya karena malu. Aku menunduk dan menutup wajahku malu.

"Astaga..bunda pikir kenapa. Dasar kalian ya, udah bikin bunda panik aja" bunda mendekatiku dan mencubit pipi kananku. Melihat banyak tanda merah dileher, tulang selangka dan dada bagian atas.

"Mas Dama jahat bun..hiks" aku merengek pada bunda, memeluknya. Dama membelakakan matanya melihatku yang sedang mengadu pada bunda. Memberi isyarat dengan matanya agar tak memberitahukan apa saja yang Dama lakukan.

"Jahat bagaimana nak?"

"Mas Dama gak mau udahan, Andini udah capek tapi mas Dama mau terus terusan. Jadi sakit, Andini gak bisa jalan. hiks hiks" Bunda tertawa mendengar rengekanku, menantu yang masih saja seperti anak kecil.

"Mas Daamaaa.." bunda melotot pada Dama.

"Maaf bun..tapi Dama gemes sama Andini. hehehehe" Dama menggaruk pelipisnya.

"Kamu pasti belum makan?" tanya bunda padaku.

"Iya bun" aku mengangguk.

"Yaudah, bunda kedapur dulu. Masakin buat kita makan siang bareng. oke?" Bunda mengusap kepala atasku lalu keluar kamar menuju dapur dilantai bawah.

"Mas, aku mau pakai baju" setelah mengompres dengan es, aku menyuruh Dama mengambilkan pakaian didalam lemari.

"Oke, sebentar aku ambilkan"

Saat Dama mengambil pakaian, aku melihatnya tersenyum.

"Mas kenapa senyum senyum?"

"Ini baju kamu?" Dama melihatkan baju tidurku, dress diatas lutut tanpa lengan dengan bagian dada yang rendah. Aku mengangguk pelan, pipiku menjadi merah.

"Pakai ini aja ya" Dama mengedipkan matanya genit.

"Mas, ada bunda. aku malu"

"Jadi kalau gak ada bunda, kamu mau pakai ini didepanku?"

"I iya mas" aku mengangguk.

Aku sudah memakai bajuku, walaupun dengan rasa malu yang harus aku tepiskan karna Dama yang memakaikannya.

"Ayok turun ke bawah, bunda pasti udah selesai masak" ajak Dama langsung menggendongku.

"Mas, aku bisa jalan sendiri"

"Udah gak sakit?" Aku mengangguk.

"Pelan pelan mas" Aku berjalan memegang erat lengan Dama.

"Massss.."

"Kamu lama banget, aku gak sabar" Dama langsung menggendongku.

Tinggal beberapa langkah lagi, aku dan Dama kaget saat melihat Rania diruang keluarga. Melihat kami dengan tatapan tidak suka.

"Rania" Dama menyebut namanya.

"Siang pak" Rania menganggukan kepalanya, bersikap seperti sekretaris dan pimpinan di hadapan bunda sindi.

"Mas, Rania baru aja datang. Katanya mau nganterin berkas penting" kata bunda yang sedang menata makanan di meja makan.

"Ooo..." jawab Dama yang berlalu melewati Rania, mendudukanku dikursi meja makan.

"Maaf ya Rania, menantu saya lagi sakit jadi harus digendong" celetuk bunda tersenyum meledek padaku.

"Iya bu" Rania mengangguk dengan ekspresi datar.

"Mba Rania, ayok sekalian makan siang bareng" ajakku pada Rania. Rania masih saja melihat kami berdua yang duduk bersebelahan. Seharusnya Rania yang disebelah Dama, bukan aku. Dama hanya diam tak ingin menatap Rania, karna Dama tau Rania sedang marah karena cemburu melihatku digendong Dama.

"Nak, makan yang banyak ya. Biar tenaganya full" Bunda meledekku.

"Uhuk uhuk" Dama terbatuk mendengar kata bunda. Aku dengan sigap langsung memberinya minum.

"Mas, minum dulu" Dama bingung harus meraih gelas yang mana? karna aku dan Rania sama sama memberikan gelas berisi air minum untuknya.

Karna dihadapan bunda, Dama tidak berani mengambil gelas yang diberikan Rania. Aku tau Rania sangat kecewa pada Dama. Disini aku merasa seperti merebut suami orang. Tanpa sadar aku memukul mukul dadaku yang sedikit nyeri memikirkan bahwa aku ada diantara Dama dan Rania. Aku sungguh bodoh.

"Kamu kenapa sayang?" Dama tanpa sadar memanggilku sayang dihadapan Rania dan mengusap lembut punggungku. Membuat mata Rania melotot ke arahku.

"Em..gak papa mas" aku menepiskan tangan Dama. Dama mengerti kalau aku tidak enak hati pada Rania.

"Kamu masih sakit nak?" tanya bunda padaku.

"Enggak kok bun" aku tersenyum pada bunda dan mengusap lembut punggung tangannya.

*****

Brak

Plak

Pranggg

Suara menggebrak meja, menampar dan membanting barang terdengar diruang kerja Dama. Aku yang sedang berjalan ke kamarku mendengar keributan hebat Dama dan Rania.

"Sayang..kamu gak bisa kayak gini. Kamu satu satunya milikku. Kamu bilang tidak akan berpaling dariku?!" suara Rania terdengar olehku. Entah kenapa aku ingin mendengar apa yang mereka katakan. Aku ingin mendengar perkataan Dama tentangku. Apa benar dia mencintaiku seperti yang dia katakan tadi pagi?

"Maaf sayang..aku mencintai Andini" jawaban Dama membuatku bahagia, dia benar benar mencintaiku.

"Sejak kapan?" Rania seperti mengulang saat aku menanyakan pada Dama soal pernikahan sirih mereka beberapa hari yang lalu.

"Pertama kali bertemu, saat ayah dan bunda datang melamar"

Plak

"Kamu bilang tidak ada perasaan apapun!!"

"Aku menepis perasaan itu sayang, karna aku hanya mencintaimu tapi aku salah. Aku mencintainya. mencintai kalian berdua sekaligus. Maafkan aku"

Aku melihat Dama memeluk Rania, karena pintu tidak tertutup rapat. Tanpa aku sadari Rania melihatku. Membuatku cemburu dengan mencium bibir Dama dengan penuh gairah. Aku membalikkan tubuhku membelakangi mereka. Hatiku terasa sakit, hingga aku meneteskan air mata.

"Sayang, kamu harus ingat dengan perjanjian itu. Kamu menikah dengan Andini karna syarat dari orangtuamu. Agar kamu bisa mengambil alih semua perusahaan"

Aku mendengar jelas perkataan Rania pada Dama. Aku menutup mulutku dan berlari ke kamarku, menutup rapat dan menguncinya.

Bersambung...

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!