"Astaghfirullahaladzim..." ucapku terdengar keras dan membuat mereka kaget menghentikan aktifitas itu. Aku pergi menjauh, duduk di sofa ruang keluarga. Baru kali ini aku mendengar hal seperti itu dengan telingaku sendiri. Aku terus meremas remas kedua tanganku, bingung harus melakukan apa. Aku yang mendengar tapi aku yang malu.
"Maaf.." kata pertama yang Dama ucapkan setelah kejadian barusan.
"Sayang...kenapa harus minta maaf?" wanita itu terdengar tidak suka.
"Andini...aku harus memberitahukan satu hal"
aku masih diam menunduk, meremas remas tanganku.
"Rania..dia bukan hanya sekretarisku atau pacarku, dia istri sirihku" seketika bagai petir menyambar langsung ke tubuhku. Air mataku tak dapat aku bendung lagi. Rahasia apa ini?
Aku memberanikan diri menatap mata Dama.
"Sejak kapan?" tanyaku ingin tahu.
"Sudah 2 bulan yang lalu"
Plak
Aku menampar dengan keras pipi kiri Dama. Wanita itu marah dan memeluk suamiku, ah suaminya, tidak...suami kita.
"Kenapa mas menikahiku?" aku terisak, merasakan sakit karena telah dibohongi.
"Ayah Bunda tidak setuju dengan Rania. Jadi aku nekat nikah sirih dengannya. Tapi aku tidak tau kalau akhirnya harus menikah denganmu. Semua atas keinginan Ayah dan Bunda. Kau tahu itu" Dama berkata keras didepan wajahku.
"Jadi ini salahku?" aku bertanya pada Dama.
"IYAA...harusnya kau menolak lamaran orangtuaku. tapi kenapa harus menerimanya? kau menyukaiku?" dengan pedenya dia berkata seperti itu.
"Cihh...siapa yang menyukaimu? semua aku lakukan untuk kebahagiaan orangtuaku, orangtua kita. Mereka sangat bahagia, apa aku tega mengecewakannya? mereka malaikatku" aku menangis sesenggukan. Memikirkan nasibku yang ternyata adalah istri kedua. bagaimana ayah dan ibu jika mereka tau?
"Sesuai dengan perjanjian kita. Tidak lebih atau kurang dari satu tahun. Ingat itu!! jangan coba coba pergi atau kabur!!" Dama mengancamku.
Aku berlari menaiki anak tangga, membuka pintu kamar dan menguncinya. Menangis dan terus menangis, hingga aku lelah dan tertidur meringkuk.
******
Alarm handphoneku kembali berbunyi, entah sudah berapa kali. Badanku terasa lemas. Mataku bengkak karna semalaman menangis. Segera aku bangun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, melaksanakan sholat subuh.
Berdiri di balkon kamarku, masih memakai mukena. Menatap langit yang masih gelap. Dan kini duduk dikursi dan memeluk kakiku sendiri. Mata yang sembab, lelah untuk menangis, air mata terasa sudah kering.
Apa yang sudah terjadi tidak akan dapat kumundurkan kembali. Aku akan jalani takdir ini sebagai istri kedua. Sabar Andini, hanya sebentar, satu tahun, setelah itu aku akan bebas.
Melepaskan mukena dan memakai kerudungku kembali, lalu kuputuskan untuk menyiapkan sarapan. Membuka pintu kamarku dan berjalan menuju tangga, melewati pintu kamar Dama dan Rania.
Kubuka kulkas, melihat bahan yang ada yang bisa aku masak untuk sarapan. Memotong motong sayuran, menumis dan selesai. Menu sarapan pagi ini kuletakkan di meja makan, capcay seafood dan ayam goreng.
"Kamu masak?" suara Dama terdengar jelas ditelinga, membuatku kaget.
"iya mas" jawabku sambil melihat ke sekeliling mencari Rania.
"Rania?"
Dama seperti cenayang yang tau apa pikiranku.
"Tadi malam aku antar dia ke apartemen" kata Dama sambil menarik kursi disebelahku.
"Kenapa?" tanyaku heran.
"Tidak perlu dibahas!"
"Harusnya aku aja yang di apartemen mas"
"Kamu istri sahku! kalau ayah bunda dan orangtuamu datang kemari, lalu yang ada justru Rania. Apa kamu mau semua berantakan?"
"Oke..terserah kamu saja mas. Kamu yang mengatur semuanya"
Aku langsung mengambilkan nasi, sayuran dan lauk untuk Dama. Walaupun hati masih sakit dan marah, aku tetap berusaha untuk melayaninya.
"Kamu mau kemana?" Dama menarik tanganku saat aku akan berjalan ke kursi dihadapannya.
"Duduk disini!" Dama menarik kursi yang ada disebelahnya. Menarikku untuk segera duduk dan sarapan bersama.
Aku dan Dama sarapan bersama dalam diam. Setelah selesai sarapan, aku membereskan meja makan dan mencuci piring. Ada sesuatu yang melingkar dipinggangku, piring yang sedang kucuci terlepas dari tanganku. Aku melihat kebawah, tangan Dama melingkar tepat diatas perutku yang rata. Saat aku mencoba membalikkan badanku, Dama menahan lalu menundukkan wajahnya bersandar ke bahuku.
"Sebentar saja" ucapnya tepat ditelinga kananku.
Aku bingung dengan laki laki satu ini. Dia yang buat perjanjian tapi kenapa dia seolah olah akan melanggarnya. Sebentar dibuat melayang sampai atas lalu dihempaskan.
"Lepas mas" aku melepaskan tangan Dama dan melanjutkan mencuci piring. Dama menyandarkan badannya ditembok dengan tangan dilipat kedepan dadanya, menatap punggungku.
"Hari ini apa scedulemu?" tiba tiba Dama menanyakan kegiatanku hari ini.
"Kuliah trus ke coffee shop" jawabku sembari mengeringkan piring.
"Untuk apa masih bekerja di coffee shop? aku sudah bilang, akan kuberikan uang bulanan untukmu!" Dama menarik tanganku kuat agar aku menatapnya.
"Aku bosan mas kalau dirumah terus, rumah ini terlalu besar untukku" jawabku berusaha melepaskan genggaman tangan Dama yang membuat pergelangan tanganku sakit.
"Apa kuliah tidak cukup untuk mengisi kesibukanmu?" Dama terus saja menatap dengan sorot mata mengintimidasi. Aku bingung harus menjawab apa.
"Ini kartu debit, gunakan sesukamu. Aku tidak mau melihatmu masih bekerja di coffee shop!" Dama meletakkan kartu itu ditelapak tanganku lalu pergi kekamarnya untuk bersiap ke kantor.
Huft...kubuang nafasku kasar.
Di perjanjian dilarang mencampuri urusan pribadi masing masing, tapi kenapa dia membatasi gerakku? sedangkan dia bebas melakukan apa saja 😒. Sepertinya perjanjian itu hanya berlaku untukku, bukan untuknya 😤
*******
Hari ini aku ada kuliah pagi, segera menaiki tangga menuju kamar dan membersihkan diri. Saat akan ke kamar, aku melewati kamar Dama. Pintu kamarnya terbuka dan tanganku lagi lagi ditariknya masuk ke dalam. Aku terkejut melihat Dama yang sudah rapih dengan setelan jasnya.
"Bantu aku pakaikan dasi!" Dama memberikan dasinya kepadaku.
Aku mencoba memakaikannya tapi jarak tinggi badan kami terlalu jauh.
"Mas, aku pendek" Dama mengerti, lalu membungkukkan badannya sedikit ke arahku untuk memudahkanku memakaikan dasi.
"Udah mas" selesai memakaikan dasi untuknya.
"Kamu belum siap siap?" tanya Dama padaku.
"Ini mau mandi mas" aku membalikkan badanku kembali ke kamarku untuk bersiap siap.
"Aku tunggu dibawah" Dama keluar dari kamarnya.
"Kenapa harus tunggu aku mas?"
"Aku antar kamu ke kampus"
"Apa?? gak perlu mas. Nanti mas telat. Aku kuliah jam 9"
"Aku gak masalah telat, kantor sendiri"
"Ooo..yaudah. terserah aja" aku langsung meninggalkan Dama, masuk ke dalam kamar.
******
"Selesai kuliah jam berapa?" Dama bertanya namun pandangannya tetap fokus ke depan.
"Belum tau mas" jawabku singkat sambil melihat keluar jendela dan Dama tidak bertanya lagi sampai kami tiba didepan kampus.
"Mas, aku turun dulu. Makasih udah nganterin" aku mencium punggung tangannya, layaknya istri berpamitan pada suaminya.
"Tunggu!"
"Kenapa mas?"
"Nanti aku telfon" Dama menggerak gerakan jari kelingking dan jempolnya tanda telephone.
"iya mas, Assalammualaikum"
"Walaikumsalam"
Aku berjalan masuk ke dalam kampus, tidak fokus karena memikirkan tingkah Dama yang berubah ubah. Kadang manis, perhatian tapi berubah jutek, galak. Laki laki aneh.
******
Dama POV
Malam ini sungguh kacau. Baru satu hari menikah dengan Andini tapi justru membuatnya kecewa mendengar suara desahanku saat berhubungan badan dengan Rania di dapur. Aku tak tahan melihat Rania yang terus menggodaku. Tanpa sadar Andini mendengar hal tak senonoh yang kami lakukan. Padahal aku dan Rania suami istri walaupun sirih tapi seperti sedang kepergok berselingkuh.
Andini syok, marah saat aku memberitahukan bahwa aku dan Rania sudah menikah sirih 2 bulan yang lalu. Andini langsung menamparku, menangis dan pergi ke kamarnya. Aku tau dia kecewa karna aku tak jujur dari awal.
"Rania, aku mohon untuk sementara kamu tinggal di apartemen. oke?" kataku pada Rania dengan memegang kedua tangannya.
"Tapi sayang..nanti aku gimana? aku sendirian di apartemen. aku gak mau!" Rania bersikukuh enggan pindah ke apartemen.
"Aku akan datang tapi tidak setiap hari. Aku harus membagi waktu untukmu dan Andini. Bagaimanapun juga dia istriku. Kalau ada sesuatu yang terjadi padanya, aku juga yang kena masalah. Mengertilah sayang, ini demi hubungan kita" kataku panjang lebar mencoba meyakinkan Rania.
"Hemm..."
"Aku bantu berkemas ya, ku antar ke apartemen malam ini juga. oke?"
Terlihat jelas Rania tak ingin pergi. Dengan terpaksa ini satu satunya jalan keluar agar tidak diketahui ayah bunda.
Aku mengantarkan Rania ke apartemen. Menemaninya hingga terlelap lalu aku kembali ke rumah. Memang jarak apartemen dan rumah hanya butuh waktu 15 menit. Aku melihat pintu kamar andini sebentar lalu masuk ke dalam kamarku. Merebahkan badan, sungguh hari yang melelahkan. Memiliki dua istri sekaligus, membuat pusing kepala.
Pagi ini aku keluar dari kamarku dan melihat pintu kamar andini terbuka. Aku mengetuk pintunya tapi tak ada jawaban. Kubuka lebar dan melihat sekeliling, tak ada Andini. Kuputuskan turun ke lantai bawah. Benar saja, aku melihat Andini menyiapkan sarapan di meja makan.
Apa dia sudah tidak marah? apa dia sudah bisa menerima semua?
Selesai sarapan, aku melihat Andini sedang mencuci piring. Tanpa berfikir panjang, aku memeluknya dari belakang. Dia kaget dan berusaha membalikkan badannya namun aku cegah.
"Sebentar saja" hanya sebentar saja ingin sekali memeluknya.
Entah perasaan apa yang ada saat ini untuk andini. Rasanya ingin berlama lama berdua dengannya. Surat perjanjian itu terasa seperti boomerang untukku.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
Euis Aidah
terkututuk tu laki
2021-07-05
0
Eti Guslidar
andini ceraikan damar kan msh perawan...
2021-07-04
1
Masiah Firman
huuuuh knp kalau baca novel yg ada poligaminya bikin nyesek
2021-07-04
0