Aku, Dama & Rania

Aku, Dama & Rania

Dilamar

Hai perkenalkan namaku Andini, umurku 25 tahun. Aku kuliah s2 dan bekerja di sebuah coffee shop sebagai pekerja paruh waktu. Aku berasal dari keluarga yang sederhana, anak satu satunya. Dan aku sebenarnya hanyalah anak angkat dari rumah panti asuhan di Semarang. Orangtua angkatku membawaku ke ibu kota, tinggal dan menetap dikota besar ini.

Aku sangat menyayangi mereka seperti orang tua kandungku sendiri. Mereka sumber kebahagiaanku. Aku tidak akan pernah mengecewakannya.

Satu hari tepat hari Minggu, ada sepasang suami istri yang bertamu ke rumah kami. Rumah kami berada di sebuah gang, rumah padat penduduk.

Mereka adalah teman kedua orangtuaku sewaktu kuliah dulu. Nasib mereka berbeda dengan kami yang sederhana. Mereka sukses dan memiliki beberapa usaha kuliner baik di jakarta maupun dikota kota besar lain di indonesia.

Pada pertemuan pertama itu, aku ada dirumah dan berkenalan dengan mereka, berbincang bincang. Tipe orangtua yang sangat hangat, ramah dan penuh kasih sayang. Kamipun mulai akrab.

Setelah dua minggu berlalu, mereka kembali datang dengan anak laki laki mereka yang bernama Dama, usianya 30 tahun. Membantu mengelola usaha kuliner orangtuanya. Laki laki dengan tinggi diatas rata rata, tampan, pendiam dan juga mapan. Semua wanita pasti akan kagum melihatnya.

"Andika..aku datang kembali dengan maksud ingin melamar Andini untuk Dama anakku" om Tama, ayah Dama berterus terang. Sebenarnya Ayah terkejut karena lamaran itu. Lamaran tiba tiba.

Ayah menatap Ibu lalu beralih menatapku. Aku hanya menunduk. Aku berpasrah dan akan menyetujui segala keputusan Ayah dan Ibu.

"Baik, aku terima lamaran ini" ayah menjabat tangan om Tama tanda persetujuan. "Terimakasih sudah menerima lamaran keluarga kami" memeluk.

"Jeng Andina juga setuju kan?" tante Sindi menanyakan pada ibu.

"Iya jeng, saya mengikuti apa kata suami saja. Semua pasti yang terbaik untuk Andini. Iya kan nak?" ibu bertanya padaku. Aku menggangguk saja dan tersenyum. Tapi...Dama laki laki yang akan menjadi suamiku nanti hanya diam saja tanpa ekspresi, seperti terpaksa. Aku mengerti, akupun juga begitu karna belum mengenal satu sama lain.

"Untuk waktunya bagaimana kalau minggu depan?" om Tama bertanya kembali pada Ayah.

"Apa tidak terlalu cepat Tama?" kali ini ayah yang bertanya.

"Tenang saja Dika, semua akan aku urus. Acara sederhana saja, yang terpenting sah" jawab om Tama.

"Tapi apa kata orang pada putri kami? kami takut mereka berpikiran buruk karena pernikahan dadakan ini" Ayah khawatir.

"Bukankah lebih cepat lebih baik? aku ingin segera memiliki cucu. Putra putri kita sudah cukup matang. Tidak perlu dengarkan apa kata orang. Kenyataannya memang tidak terjadi apa apa bukan?" om Tama mencoba menenangkan Ayah.

"Baiklah" jawab Ayah menyetujui.

"Kalau begitu, besok...Dama akan menjemput Andini untuk memilih pakaian pernikahan mereka nanti" om Tama kembali berbicara dan menepuk punggung Dama putranya. Laki laki itu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.

"Baik Tama, besok biar Andini cuti kuliah dan cuti bekerja" jawab Ayah mengusap bahuku. Aku tersenyum.

Tidak lama, setelah mereka melamarku, mereka berpamitan pulang.

Aku membantu ibu membereskan gelas dan makanan kecil di meja tamu. Saat aku mencuci gelas dan piring, ibu menghampiriku dan bertanya.

"Nak, apa kamu senang dengan lamaran keluarga nak Dama?" ibu berdiri disampingku.

"Insya Allah bu, apapun itu asalkan ayah dan ibu bahagia, Andini juga pasti bahagia bu" aku tersenyum sambil membilas piring dan gelas.

"Ibu ingin kamu juga bahagia nak. Sepertinya nak Dama anak yang baik dan bertanggung jawab" mengusap punggungku lembut.

"Iya bu...sepertinya begitu. Semoga saja" aku meletakkan piring dan gelas di rak.

"Semoga semua lancar ya nak?" aku mengangguk dan memeluk ibu.

"Amin...bu. Andini ke kamar dulu, mau istirahat" melepas pelukan.

"Iya nak".

Aku berjalan masuk ke dalam kamarku yang kecil berukuran 3x3m, tanpa pendingin ruangan, cukup kipas angin. Melepaskan kerudungku kemudian berbaring diatas kasur busa yang tidak terlalu tebal.

Membuka laci lalu kuraih buku diaryku. Berkeluh kesah tentang keseharianku, termasuk lamaran yang tiba tiba tadi, tanpa aku tau bagaimana sifat dan tingkah laku calon suamiku sebenarnya.

Dalam doaku, semoga laki laki itu memang baik. Untuk soal cinta, semua pasti akan tumbuh dengan sendirinya. Lembar demi lembar kucurahkan semua dalam buku diary. Tak terasa mataku lelah dan tidur tengkurap diatas buku diaryku, masih memegang pulpen ditangan kanan.

*****

Siang ini, aku sudah berada di mobil Dama. Duduk disebelahnya. Kami masih sama sama diam dari awal berangkat tadi. Canggung...

Sampai di butikpun kami masih tidak berbicara. Masuk ke dalam butik, berjalan masing masing.

Di dalam butik calon ibu mertuaku sudah menunggu. Penampilannya selalu membuatku kagum. Sederhana tapi berkelas. Semua yang melekat ditubuhnya, sudah pasti barang barang mahal dan bermerk. Yang aku suka dari tante Sindi adalah keramahannya tanpa memandang status, derajat ataupun pekerjaan. Dan seorang ibu yang penyayang.

"Andini anakku" sapa tante Sindi padaku, merentangkan kedua tangannya. Aku menghambur ke pelukannya.

"Iya tante..Assalammualaikum" aku mencium tangannya.

"Walaikumsalam..Panggil aja bunda" tante Sindi tersenyum lalu menarikku untuk duduk.

"I-ya bunda" jawabku.

"Tadi ngobrol apa saja di mobil sama mas Dama?"

Aku bingung harus menjawab apa. Karena memang, kami tidak berbicara satu katapun. Dia diam, aku juga diam.

"Kok diam saja?" tanya bunda padaku kemudian beralih menatap Dama.

"Kami belum sempat ngobrol tan eh bunda" jawabku jujur saja.

"Kenapa nak? masih malu ya?"

Aku mengangguk.

"Yasudah, besok janjian lagi aja sama Dama. Jalan jalan ke Mall. Iya kan mas?" bunda memberi kode pada Dama.

"i iya bun" Dama menjawab ragu ragu, mungkin dia terpaksa.

Setelah pembicaraan singkat itu, aku mencoba gaun muslimah warna putih untuk akad nikah dan warna abu untuk resepsi. Begitupun dengan Dama, setelan jas warna biru navy untuk akad dan warna abu untuk resepsi.

"Cantik dan ganteng calon manten" pemilik butik memuji kami. Aku tersenyum, Dama masih sama saja, dingin tanpa ekspresi.

"Mas Dama kok diam aja sih dari tadi?" bunda mungkin merasa kalau Dama tidak memiliki ketertarikan soal pernikahan ini. Aku bisa apa?

"Gak papa bun. Maaf bunda, Dama ada urusan dikantor. Dama pergi dulu" Dama pergi terburu buru tanpa berpamitan padaku dan bunda.

"lho kok Andini ditinggal mas?" bunda berteriak saat Dama berjalan cepat keluar butik.

"Bun, gak papa. Nanti Andini bisa naik ojol" aku tersenyum.

"Jangan nak..sama bunda aja ya?! nanti sopir jemput kita" bunda merasa tidak enak hati denganku karena sikap putranya yang dingin itu.

"Iya bun" aku tidak berani menolak. Bunda memang ibu yang baik dan sabar. Alhamdulillah aku mendapatkan calon ibu mertua yang sangat baik, sholehah dan cantik. Dan juga menyanyangiku.

Bersambung...

******

**Author : Hai teman semua 👋👋👋 Judul ini karya keduaku tentang kehidupan cinta segitiga antara Andini, Dama dan Rania. Cerita kehidupan yang seperti apa, tetap ikuti bab bab berikutnya ya 😉

Terimakasih banyak 🙏 Jangan lupa like dan Komennya 😊**

Terpopuler

Comments

ᶜᵃˡˡ ᴹᵉ ᴶⁱⁿᵍᵍᵃ😜

ᶜᵃˡˡ ᴹᵉ ᴶⁱⁿᵍᵍᵃ😜

mampir sek..😁😁

2021-07-03

0

Momy

Momy

Andini.. Andina harusnya cowoknya andika🤣🤣

2021-06-08

0

kyyyy

kyyyy

AQ dtang 😁

2021-06-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!