💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜
Untuk beberapa hari kedepan, Clarissa harus terbiasa dengan perlakuan lembut yang diberikan oleh Anita, dia tidak menyangka akan diperlakukan seperti seorang ratu di kediaman Adietama. Apalagi, sudah tiga hari ini Gio dengan besar hati mengantarkan Clarissa kesekolah, jika ada waktu luang dia coba untuk menjemput juga. Tidak lupa dia menyapa para guru yang sangat menghormatinya. Sesekali mampir menemui kepala sekolah.
Mereka pasti akan menerima Gio dengan baik, secara Gio adalah seorang suami dari penyumbang besar disekolah swasta mereka. Perubahan yang Clarissa terima juga berdampak pada teman satu sekolahnya. Menanyakan apa yang telah terjadi antara dirinya dan putra sematawayang Adietama.
Kabar heboh itu menusuk gendang telinga Meysa dan anggotanya. Tentu saja, dia tidak akan tinggal diam dengan berita rendahan itu.
"Jadi, lo mau ngelakuin apa sama si cebol cadel itu?" tanya Tias yang duduk sembari menatap cermin kecil, tangan satunya sibuk menambah bedak yang tidak kunjung tebal baginya. "Kalau gue jadi lo ya Mey, perlu deh gue mampusin tuh anak."
"Ck, kalian gak capek kah? setiap hari cari masalah sama anak yang gak berdosa itu." Rosita yang duduk sembari menyantap gorengan sedikit terusik dengan obrolan teman-temannya. "Seharusnya lo udah mulai biasa aja dengan Clarissa, secara, Putra nempelin tuh anak karena pengen buat lo cemburu doang kan."
"Iya sih." Jesika menyetujui ucapan Rosita.
"Kecuali kalau Putra emang beneran suka sama tuh anak, baru lo boleh gangguin dia." Menatap tahu goreng yang sudah tinggal separuh. "Tapi, gak boleh juga sih, soalnya Putra kurang suka sesuatu yang udah jadi milik dia disenggol sama orang."
Meysa tampak kesal dengan Rosita yang tidak berpegang teguh pas ucapannya. "Argghhh, kalimat lo gak ada yang berguna Ros."
"Ya terserah sih. Dah ah," membuang bungkus gorengan kedalam tong ampah. "Gue mau kekelas, tuh mata-mata si Leo udah lihatin gue mulu."
"Penakut lo." Rosita tidak menanggapi, dia lebih takut diputusi oleh Leo dibandingkan dijauhi oleh geng nya.
Saat berjalan menuju kelasnya, tidak sengaja dia bertemu dengan Clarissa yang sedang membawa tumpukan buku ditangannya. "Sini gue bantu."
"Ehh, gak apa-apa."
"Apaan sih lo, cuma gue bantuin setengah doang. Kemana ketua kelas lo? mana boleh anggota kelas cuma sendirian bawa buku, banyak lagi."
Clarissa hanya tersenyum tipis, "lagi menghadap wali kelas, soalnya guru yang ngajar lagi ada urusan, jadi kami minta dikasih tugas."
"Emang beda ya kelas IPA satu sama kelas lainnya. Kelas gue kalau gak ada guru yang masuk, ya dibiarin aja sampai ada yang mau masuk buat gantiin." Clarisaa dan Rosita tertawa.
"Emang lo kelas berapa??"
Rosita menatap Clarissa sejenak. "Lo gak tau gue?"
"Enggak."
Baru Rosita akan menjawab, sepasang mata tajam tengah memandangnya. Kanya tampak terusik dengan Rosita yang mengajak sahabatnya mengobrol. Clarissa tidak pernah mau berbicara dekat dengan siapapun. "Icaaaa....."
Keduanya menghentikan langkah mereka, tampak Kanya mendorong seorang teman sekelas berjenis kelamin laki-laki yang Clarissa lupa siapa namanya untuk mengambil alih membawa buku ditangannya.
"Ngapain lo deket-deket Clarisaa." Tanyanya sembari berjalan mendekat.
"Gue cuma bantuin doang kok, gak ada niatan jahat sama Clarisaa." Ucapannya memang benar, toh hanya membantu membawakan buku saja. "Lo, jangan mikir yang aneh-aneh."
"Halah, gimana gue gak mikir yang aneh, secara lo kan sahabatan sama Meysa, pasti lo punya niat buruk."
Clarissa mengrenyit kaget. "Lo temennya Meysa?"
"Lo gak tau Ca?" Kanya tampak kaget. Bodoh sekali sahabatnya ini.
Clarissa menggeleng, hal itu membuat Rosita tersenyum dan mencubit pipi Clarissa gemas. "lo lucu juga Clarissa, masa gak inget sama gue. Gue yang jaga pintu waktu lo dibully sama Meysa ditoilet."
"Bangga gitu?"
Rosita mengangguk. "Hmm, tapi gue kan cuma jaga pintu doang, itupun kebetulan karena gue pas lagi disana juga. Lagian gue udah gak mau ikut-ikutan dia lagi. Gue kapok, udah dikasih ujian, sama pacar gue." Setelah mengucapkan kalimat panjang nan lebar itu, Rosita berjalan menjauh. "Dah ah, gue ke kelas dulu."
Clarisaa dan Kanya sama-sama menatap heran ke arah perempuan dengan rok ketat itu. "FREAK!!"
...🌼🌼🌼...
Clarissa menghela nafas pelan, terlihat Meysa dan para dedemitnya berdiri diujung lorong, menatap kearahnya sembari melambaikan tangan, melempar senyuman penuh arti. Dia sedang sendiri sekarang, teman-temannya sudah memiliki kesibukan masing-masing.
Sehabis menemui guru untuk memberikan tugas serta melaksanakan ujian susulan karena beberapa hari ketinggalan saat dia sakit beberapa hari lalu. Dia mencoba mencari keberadaan Kanya yang ternyata sedang berlagak sok pintar nongkrong didalam area perpustakaan bersama laki-laki yang dikejarnya. Mencari Delisa dan Vina yang ternyata sedang berada dikantin dengan Noel dan Rinda yang duduk disebrang mereka.
Tidak mungkin dia ikut bergabung bersama. Itu sangat tidak enak, "kok diem aja Clarissa?"
Terlihat Rosita asik mendengarkan musik tanpa mau ikut bergabung bersama teman-temannya, jika Leo tahu, dia akan benar-benar diputusi. Tapi, dia juga tidak ingin membantu Clarissa lebih dekat. Untuk apa? dia juga tidak terlalu akrab dengan perempuan itu.
Karena tidak ada jalan lain, yang membuat Clarissa memilih tetap melanjutkan perjalanan menuju kelasnya. Mau menghindar juga percuma, dia akan semakin diolok-olokkan.
"Apa kabar Clarissa?"
"Baik," bahunya ditahan saat hendak melewati tiga sejoli yang entah sejak kapan selalu menggangguinya. "Ada apa?"
"Gak ada apa-apa."
"Yaudah, bisa minggir."
Meysa tersenyum sinis, "makin lama, kok lo kayak makin soksokan gitu ya?"
"Biasa aja kok." Karena itu memang sifat yang melekat pada Clarissa, tidak perduli dengan keadaan sekitar, mungkin itu yang menyebabkan dirinya di cap sebagai kakak kelas sombong. Padahal Clarissa adalah tipikal anak pendiam yang tidak ingin terlihat.
Akibat perbuatan Putra, membuatnya tersorot, menjadi bahan pembicaraan dan ejekan dari satu sekolah yang tidak menyukainya karena berada didekat seorang laki-laki populer.
"Apa semenjak lo ditempelin terus sama Putra?" Meysa sedikit menunduk, tubuhnya memang tinggi melebihi Clarissa, jika dilihat secara fisik, Meysa lebih terlihat cocok bersanding dengan Putra dibandingkan dirinya. Clarissa menggeleng, memang siapa yang mau disandingin sama lo Clarissa? ujarnya pada diri sendiri.
"Lo tau kan? gue sama Putra gak pernah ada apa-apa??"
"Terus?? kenapa beberapa hari ini om Gio selalu nganterin lo sekolah?"
Seseorang tolong bantu. Para siswi yang sedang berkumpul hanya menyimak itu, mereka sengaja berkumpul disini karena mendengar berita bahwa Meysa yang akan melabrak Clarissa.
"Kenapa diam? apa jangan-jangan lo simpenannya om Gio?" Mata mereka melebar ketika mendengar kalimat pertanyaan Meysa yang mengerikan. "Jawab dong pertanyaan gue."
Clarissa berdehem, mengingat ucapan Kanya saat dirinya dirawat dirumah sakit akibat luka bullying sewaktu kelas dua. 'Ca, belajar buat jadi pemberani, lo jauhin orang yang bully lo itu gak dilarang kok. Acuhin apa yang menjadi pertanyaannya. Atau lawan omongannya."
"Apa lo sesuka itu sama Putra?"
"No one does not know." Jawab Tias mewakili. "Kenapa lo harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas lo tau jawabannya, Clarissa."
"Dan saat lo tau, kenapa masih aja nempelin Putra. Bahkan lo juga nempelin ke keluarganya, lo ngerasa gak sih kalau lo itu seperti benalu? bahkan dikeluarga lo sendiri." Dada Clarissa seperti sedang dilempar sesuatu, sakit dan sesak. Ucapan Jesika begitu menusuknya.
Clarissa menatap ketiganya. "Mey, kenapa lo gak coba jauhin Putra."
"Berani lo...." Clarissa mundur, untungnya kedua tangan Meysa dicegah oleh dua temannya. "Apa maksud lo."
"Gue udah pernah bilang sama lo, apa yang udah buat kakak gue jauh dari lo. Dan yang lo lakuin sekarang juga bakal buat Putra menjauh dari lo."
Meysa tersenyum kecut. "Dan lo ngerasa Putra udah ada digenggaman lo?"
"Engga. Gue gak pernah sekalipun menginginkan Putra."
"Kalau gitu jauhi dia."
Kalau Clarissa bisa, tanpa dimintapun pasti sudah akan menjauhi laki-laki idaman para kaum hawa itu. Tidak ada yang tahu bagaimana kondisi Clarissa yang membuatnya terpaksa bertahan berada didekat Putra.
"Kenapa? gak bisa kah??"
Clarissa menggeleng. "Gue bukan gak bisa jauh dari Putra, tapi gue gak bisa jauh dari keluarganya."
Lagi-lagi bahunya ditahan. Clarissa tidak bisa mengikuti perintah Kanya yang memintanya pergi saat dirinya sudah tidak mampu lagi membalas ucapan para pembully.
"Lo gak tau apa yang terjadi antara keluarga gue dan keluarga Putra, gara-gara lo, semuanya berantakan."
Decakan keluar dari mulut Clarissa. "Please, gue bener-bener gak perduli sama hubungan kalian. Gue cuma mau kekelas, tolong lepasin gue kali ini, gue capek."
Tubuhnya terdorong kebelakang. "Gue yang lebih capek disini, seharusnya lo mikir."
"Lepas...."
"Ck, hajar aja Mey, kesel gue liat muka dia yang berlagak paling oke aja." Tampak Tias begitu kesal dengan respons Clarissa yang biasa-biasa saja.
"Iya Mey, temen-temennya juga lagi gak ada. Apalagi Putra." Bisik Jesika yang mulai ikut mengompori.
Meysa menatap kedua temannya dengan tatapan kesal. "Bisa diam gak kalian berdua." Mereka terdiam. "Gue peringatin lagi sama lo, kalau lo gak bisa jauhin Putra secepatnya, gue bakal lakuin sesuatu yang lebih parah dari waktu itu."
"Terserah kalian, minggir..." Ucapan Clarissa yang tampak biasa saja membuat perempuan dengan rambut bergelombang itu murka dan dengan ringan tangan dia gerakan. Hal itu membuat Clarissa menutup matanya, takut sesuatu yang menyakitkan akan dia rasakan tanpa ada seorangpun yang berniat membelanya.
Rasa tamparan atau pukulan tidak ia rasakan, sedikit Clarissa membuka matanya. Tangan kekar seorang laki-laki tengah menahan pergelangan tangan Meysa dengan kuat, wajah ketiganya begitu kaget dan rasa takut mulai menyerang. "Bisa, gak main keroyokan?"
Tias menelan salivanya dengan ketakutan, mencoba meraih tangan Erlangga yang semakin menguat pada pergelangan tangan ketua geng nya. "Er, bisa lepas, kasian Meysa."
"Waktu mau jahilin dia, lo bertiga gak ngerasa kasian?"
Meysa masih berusaha untuk melepaskan cengkeraman tangan Erlangga yang kuat. "Lepas Er."
"Lo tau kan Mey perjanjian balapan malam itu, kalau Putra menang, setiap dia pergi yang kalah harus jagain Clarissa, karena sekarang yang lain lagi sibuk, gue yang turun tangan." Menghentakkan tangan Meysa. "Jadi gue peringatin sama lo, jangan ganggu dia, karena kalau salah satu diantara kita gak ada yang nyelamatin Clarissa, kami semua bakal kena dampaknya."
"Gak ada urusannya sama gue."
"Ada." Meraih lengan Clarissa, "bokap lo jawabannya."
Meysa melebarkan matanya, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi setelah Erlangga mengatakan hal itu, laki-laki itu sudah pergi menembus dinding yang ketiganya buat sembari menarik lengan Clarissa.
Clarissa hanya diam saja, sampai dia dibawa Erlangga masuk kedalam kelas dan diantarkan sampai dimejanya. "Disini tempat duduk lo kan?"
"Iya."
"Bisa gak lo lawan mereka?" Menatap Clarissa yang sudah duduk, entah sejak kapan laki-laki itu membawa sebuah kantong plastik berisi roti dan jajanan lainnya, menaruh diatas mejanya. "Kalau lo diem aja, rasanya kami semua yang harus nanggung itu, lo semacam beban buat gue, gak tau kalau mereka."
Baru dia akan merasa senang karena dari ribuan penghuni SMA Gemilang Cahaya yang memojokkannya masih ada satu yang menolongnya tadi dengan suka rela, namun pikirannya salah, dia menolong bukan karena ingin tapi karena terpaksa.
"Hemm...?" berusaha mengambil alih pikiran Clarissa yang kosong. "Gak bisa? kalau gak bisa ya gak apa-apa, gue tetep bantu lo kok."
Clarissa mendongak. "Lo boleh pergi, kalau gitu, gak usah bantuin gue apa-apa lain kali." Dia tidak perduli, tangannya sudah memasang ipods dan mulai mencari lagu kesukannya, dan Erlangga pergi tanpa mengatakan apa-apa.
...🌼🌼🌼...
"Eh, Gio." Gio menoleh, dia agak tersentak kaget karena ada yang memanggilnya.
"Loh, Bram.." Mereka berjabat tangan. "Kamu menjemput Rinda?"
"Iya, sekalian pulang dari kantor."
"Anakmu sudah besar, kenapa tidak dibiarkan membawa mobil sendiri." Dari sekian teman akrab Putra, hanya Rinda yang selalu diantar jemput oleh papanya. "Jangan manjakan anak itu."
Bram tertawa keras. "Haih, bukan aku yang memintanya, dia yang mau sendiri."
"Setidaknya beri dia peringatan, balapan saja berani, masa kesekolah naik mobil sendiri tidak berani." Bram tersenyum kecut mendapat penyindiran itu, namun itu hanyalah gurauan mereka saja.
Mereka duduk disebuah bangku taman didepan halaman SMA Gemilang Cahaya. "Menjemput Putra? bukannya dia sedang naik gunung beberapa hari terakhir ini?"
"Bukan. Aku menjemput menantuku."
"Siapa? Marisa? bukannya sudah batal sewaktu mereka kelas satu SMA dahulu?" Tidak ada yang tidak tahu masalah pertunangan mereka, karena pesta saat itu digelar dengan sangat mewah, tapi berpisah dengan sangat mudah, "aku dengar Marisa menjalin hubungan dengan Daze Hanendra, teman makan teman ya."
"Haihh, menantuku yang baru dong. Biarkan saja, selama putra tidak terusik, aku ya tidak masalah." Mereka menatap kearah gerbang sekolah yang masih belum menandakan para murid untuk pulang.
"Jadi, siapa menantumu?"
"Nanti kau akan tau Bram, tunggu saja, tahan rasa penasaranmu itu." Bram hanya mengangguk, mereka sontak berdiri ketika melihat para murid sudah berhamburan keluar.
Rinda dan Erlangga yang berjalan mendekat kearah mereka berdua, sejenak menunduk. "Halo om."
"Halo Rinda, Hey Erlangga, tersenyumlah, terakhir om melihatmu tersenyum saat kamu berumur lima tahun,"
"Dia mana bisa senyum om, sudah permanent." Ejek Rinda, memang Erlangga ini tidak pernah terlihat tersenyum sekali pun.
"Memang ya kamu ini pelit sekali," Erlangga hanya tersenyum tipis, "Kamu ini bagaimana sih Rin, sampai kapan kamu akan menyusahkan papamu? masa hanya sekolah saja harus diantar jemput sama papamu yang sibuk itu?"
Rinda tertawa kecil. "Mau bagaimana lagi om, hanya ingin dekat dengan orang tua satu-satunya saja."
"Makanya, suruh papamu menikah lagi dan memiliki anak, biar kamu tidak kesepian."
"Rinda gak mau kenal sama ibu tiri om, nanti rinda dijahatin kayak difilm-film." Mereka berempat tertawa, "om menjemput Clarissa?"
"Iya, kamu bertemu dengannya?"
"Kami kan beda kelas om,"
"Salah sendiri, kenapa tidak masuk IPA saja."
Rinda berdecak, "kalau masuk IPA, Rinda tidak akan bisa juara umum om, sudah direbut Putra, Clarissa sama Erlangga."
"Ya setidaknya kalian bisa satu kelas bersama-sama."
"Wah, Rinda tidak punya kuasa seperti Putra om, yang enak memilih kelas hanya karena ingin berada didekat perempuannya."
Bram terbahak. "Benarkah? semenyeramkan itu putramu Gio?"
"Aku juga tidak tahu kalau dia senekat itu, padahal aku sudah bilang pada sekolah. Jangan bedakan anakku, tapi mereka tetap saja menuruti ucapan Putra." Sekolah terlalu takut pada hal-hal yang berbau semacam itu.
"Aku jadi penasaran siapa menantumu itu."
"Apa om tidak tau?" sepertinya Erlangga mulai tertarik dengan obrolan itu, "Clarissa, putri dari Dokter Doni dan Dokter Dinda."
"APAAA!!!!" menatap Gio terkejut, mulutnya susah tetutup lagi, ucapan Erlangga membuatnya membeku, lalu dia tersadar dan tertawa. "Wah, tidak bisa mendapatkan ibunya, kamu mencoba meraih putrinya ya."
"Heey,,," Bram menggeser tubuhnya. Hampir saja Gio memukul bahunya. "Hentikan omong kosong mu, ada anak-anak disini."
"Haha, Rinda bisa jaga rahasia kok om, tapi tidak tau kalau Erlangga." Erlangga hanya tersenyum tipis, membuat Gio sangat kelabakan, bagaimana kalau berita ini tersebar.
Tiba-tiba Erlangga berdiri ditengah-tengah perdebatan dua orang tua itu. "Hentikan obrolannya, Clarissa datang."
💜💜💜💜💜 BERSAMBUNG 💜💜💜💜💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Intanksm98
Translate : "tidak ada yang tidak tahu."
2022-07-26
0
Mihayada
semangat terus Thor ceritamu juga bagus aku dukung🤗
2022-02-01
1