Tok..... Tok..... Tok.....
"Masuk...." Pintu terbuka, terlihat Gio Adietama tengah sibuk dengan berkas yang berserakan dimeja. "Kamu sudah sampai?"
"Iya Pa." Meletakkan tas diatas sofa lalu berjalan menghampiri Papanya yang terlihat sibuk. "Ada apa Pa?"
"Tolong, urusi dokumen yang itu, Papa mau ada pertemuan bersama Tuan Oxley untuk cabang Rumah Sakit kita yang akan didirikan di St Ives, Inggris." Putra mengangguk, lalu dia duduk dikursi kebesaran Gio dan mulai membaca dokumen yang sudah diserahkan kepadanya. "Papa pergi sebentar."
"Iya Pa."
"Kalau butuh apa-apa, telepon saja Inggrid, dia ada diruangan Mamamu biasanya."
"Iya."
Pintu ruangan Gio sudah tertutup, menyisakan Putra yang tengah berjuang dengan lembaran kertas penting. Sejak SMP kelas 3, Putra sudah dipercayakan oleh Papanya untuk mengurus masalah kecil Rumah Sakit.
Saat dia sudah mulai masuk ke SMA lebih tepatnya kelas dua, Papanya sudah lebih sering memberikan tugas berat kepadanya.
Dia sudah sangat mahir dalam menangani masalah besar sekalipun, bahkan Gio sudah bersiap diri untuk menyerahkan segalanya kepada Putra. Namun Putra menolak keras untuk mengambil semua yang telah Papanya perjuangkan.
Gio bangga sekali ketika Putra mengatakan. "Putra akan berjuang sendiri untuk membuat Rumah Sakit sesuai keingin Putra tanpa campur tangan seorang Gio Adietama." Begitu kata seorang anak laki-laki berumur lima belas tahun. Semenjak itu, Gio memberikan pelajaran tentang menangani masalah Rumah Sakit.
Sampai jam setengah empat Putra sudah menyelesaikan tugasnya, dan dia merebahkan diri disofa sembari memainkan ponselnya.
Ponselnya bergetar menandakan ada pesan masuk, dari Noel.
Noel Sanjaya
Put, gue denger dari Delisa
Si Meysa bully Clarisaa.
Betul kah?
^^^Putra R. Adietama^^^
^^^Iya, udah gue urus.^^^
Noel Sanjaya
Bagusdeh, lo harus buat
Meysa jengah sama hidupnya.
^^^Putra R. Adietama^^^
^^^Aman, tenang aja.^^^
Noel Sanjaya
Bokap gue bilang bakal
bantu soal itu.
^^^Putra R. Adietama^^^
^^^Jangan, kalau sampai ica tau,^^^
^^^dia gak akan suka. Biar gue yang^^^
^^^urus soal tu cewek.^^^
Noel Sanjaya
Yaudah, perlu apa-apa
bilang gue.
^^^Putra R. Adietama^^^
^^^Thanks, gue bakal kabarin lo^^^
^^^Salam buat Bokap lo.^^^
Noel Sanjaya
Ok.
Meletakkan ponselnya diatas meja, memandang langit-langit ruangan Gio Adietama dengan sentuhan warna cokelat gelap. Semua akan mudah baginya.
Papa Noel, Firman Sanjaya adalah abdi negara, memiliki pangkat Irjen Pol atau lebih sering disebut Inspektur Jenderal Polisi, dan Firman Sanjaya bersahabat baik dengan Gio Adietama.
Beliau mengatakan akan membantu apa saja yang Putra butuhkan, Putra tersenyum tipis, mengingat yang pernah ia lakukan kepada Kakak kelasnya yang sudah berani menyakiti Clarissa.
Terdengar pintu terbuka membuat Putra membuka matanya dan mengangkat tubuhnya dari sekedar tidurannya. Terlihat Gio berjalan sembari membawa bucket bunga.
"Apa Papa membangunkan mu?"
"Putra lagi gak tidur kok." Menatap Papanya yang sudah duduk didekatnya, sangat gagah memakai kemeja berwarna abu-abu dengan setelan jas berwarna abu-abu gelap. "Apa sudah selesai?"
"Sudah dong. Tugasmu sudah siap?"
Putra mengangguk. "Sudah Putra serahkan pasa Inggrid, dia bilang ingin membicarakannya pada Papa nanti."
"Bagus."
"Kalau gitu, Putra pulang." Papanya menghentikannya saat akan meraih ranselnya, dengan menggunakan bucket yang dibawanya tadi.
"Langsung pulang? apa tidak ingin menemui Clarissa? tadi saat dijalan Papa melihat bucket ini dan teringat padanya, berikan." Putra meraih dan berjalan keluar menuju ruangan Clarissa.
...🌼🌼🌼...
Ayolah, Putra sudah merasa lemas berdiri terlalu lama karena pintu tidak kunjung terbuka. Dia mengintip lewat celah kaca berukuran kecil yang tetap saja tidak terlihat penghuni didalamnya.
Putra menggeser kecil pintu, hingga akhirnya dia buka lebar dan terdengar suara tawa begitu nyaring dari dalam.
Itu suara ica. Tapi kenapa dia tidak berusaha membuka atau apapun, dan lagi, apa yang membuatnya tertawa begitu lepas.
Putra masuk dan matanya berkeliaran mencari Clarissa, perempuan itu tengah bersenda gurau dengan seorang pria yang sepertinya Putra kenal.
"Ehh, Putra disini?" Mereka berdua terdiam, ketika mendengar Dinda menyadari akan kehadiran Putra. "Ica gak denger ya kalau ada yang ketuk pintu?"
"Engga. Memangnya ada?" ucapnya polos, dan masih tidak menganggap kehadiran Putra.
Putra tersenyum sinis, iyalah lagi asik bercandaan kok, mana kedengeran. "Kirain udah pulang tante,"
"Belum, besok baru pulang, Papa ica gak ngizinin pulang cepat." Mengajak Putra untuk duduk disofa. "Tante lagi mindahin beberapa buah untuk dibagikan, makanya gak denger ada yang datang, ica gak terlalu suka buah."
"Biar Putra bantu tante."
Dinda menggeleng. "Eh gak usah, kamu kesini mau jenguk ica kan."
"Engga kok."
Deg....
Clarissa merasa kecewa, dia sudah tidak berminat lagi memainkan game onet diponselnya bersama Rehan, membuat laki-laki manis itu menatap datar. Padahal Clarissa semula baik-baik saja.
"Putra disuruh anter ini sama Papa, buat ica katanya." Menyodorkan bucket bunganya. "Papa ada pertemuan diluar, katanya teringat ica pas lihat bucket itu."
"Wah...." Menerima bucket dari Putra, Dinda tersenyum lebar. "Duh, repot-repot."
"Mau nganter sendiri, tapi lagi istirahat, jadi Putra yang disuruh anter." Melepaskan kemeja sekolahnya yang sudah tidak dikancing lagi dan dia letakkan disandaran sofa, menyisakan kaos hitam lengan pendek. "Mana aja tante yang perlu dikeluarin."
"Yang diatas aja, kalau yang dibawah buah lama, gak enak mau ngasih yang itu."
Putra menghampiri kulkas dan berjongkok. "Tapi masih segar semua tante?" bergerak mengeluarkan seluruh buah yang telah diarahkan oleh Dinda.
"Putra....." Dinda memanggil pelan dan ikut berjongkok menata buah yang sudah dikeluarkan Putra, "kamu disini bentar gak apa-apa kan? sampai Bintang dateng, tante belum mengenal Rehan, tidak nyaman kalau mereka ditinggal berdua saja."
"Iya tante."
"Terima kasih." Mereka berdua berdiri setelah siap mengeluarkan buah yang akan Dinda bagi. "Sini biar tante saja."
Mereka bejalan mendekat kearah Clarissa. "Sayang, Mama mau bagikan buah ke pasien lain dulu ya?"
"Iya."
"Rehan, sebentar ya?"
"Iya tante." Rehan sempatkan berdiri dan menunduk kecil.
"Putra, titip ica sebentar?"
"Iya." Clarissa hanya memandangi Mamanya, kenapa harus mengatakan itu didepan Rehan, dan kelihatannya Rehan memahami sikap yang ditunjukkan oleh Dinda.
Melihat Dinda sudah keluar, Putra berjalan dan duduk menyandarkan kepalanya, hari ini dia lelah sekali, lelah mendengar omelan Kanya dan ingin menghilangkan penatnya saat melihat Clarissa, tapi ternyata.... Ah sudahlah.
Putra terlihat seperti seorang bodyguard yang menjaga anak majikannya, menjaga Clarissa dari laki-laki bernama Rehan dan dia hanya diam mendengarkan mereka yang sudah kembali tertawa.
Dia melirik, hati kecilnya merasa iri pada Rehan yang terlihat diterima baik oleh Clarissa, berbeda saat dia yang mengajak Clarissa untuk berinteraksi atau sekedar bertegur sapa.
Pintu terbuka kembali, Bintang datang dengan membawa bola basket ditangannya. "Eh, hai Put. Udah lama?"
"Enggak kak, Habis main basket?"
Bintang mengangguk. "Iya nih, eh ada tamu?"
Rehan yang merasa ditatap oleh Bintang intens sontak berdiri. "Halo Kak, saya Rehan." Mereka berjabatan tangan.
"Satu sekolah sama ica?"
"Saya kuliah di Bandung, lagi liburan."
Bintang mengangguk. "Lah, jangan-jangan kamu yang mau bantuin ica masuk kekampus yang memiliki jurusan game?"
Rehan menoleh menatap Clarissa. "Engga, tapi kalau boleh saya bantu, dikampus saya juga ada jurusan itu."
"Gak perlu, ica bakal masuk Harvard soalnya."
"Harvard?" Rehan menatap Clarissa ngeri.
Bintang tertawa. "Haih, itu baru ajakan Papamu aja kan Put, ica belum pasti juga." Putra hanya menggidikkan bahunya. "Kok bisa kenal sama ica?" tanyanya sembari duduk dihadapan Putra.
"Lulusan SMA Gemilang Cahaya Kak." Perasaannya tidak enak, Mama Clarissa tidak banyak bertanya seperti yang Bintang lakukan. "Dulu dekat sama Kanya, jadi kenal Clarissa."
"Ohh, kalau gitu kenal juga dong sama Putra?"
"Saya kenal, mungkin Putra yang tidak kenal." Putra hanya mengangkat bahunya tidak perduli, untuk apa dia mengenal laki-laki itu. Dia asik memainkan ponselnya.
Merasa semua orang menunggu respon darinya, Putra mendongak. "Maaf, gak inget."
"Wajar kok, dulu saya juga sempat masuk tim basket, tapi keluar karena pernah cedera lengan kanan." Menatap bola basket dipangkuan Bintang. Putra pura-pura teringat, padahal memang dia sudah mengingatnya sejak pertemuan dibioskop hari lalu.
"Ohh ingat, cedera karena waktu latihan sama Erlangga kan?"
Rehan mengangguk. "Benar, benar. Sempat jadi pemain inti. Tapi karena cedera, sudah digantikan sama Erlangga kalau gak salah."
Putra tersenyum tipis, dia sangat mengingat Rehan kali ini, bagaimana tidak? Erlangga sangat menginginkan jabatan sebagai pemain inti, dan guru olahraga melarang karena masih tahap anak baru dan tidak melihat kemampuan anak dari pengusaha mebel itu. Padahal Erlangga termasuk aktif seperti Putra, saat mereka tengah latihan berdua, Erlangga mengatakan kepada Putra bahwa dia akan merebut jabatan dari Rehan sebagai pemain inti.
Dan ternyata, cara itulah yang dia lakukan.
Mata Rehan menatap layar ponselnya yang menyala, lalu tersenyum kepada Clarissa. "Aku pulang dulu ya, soalnya ada temen yang mau mampir kerumah."
"Oh iya kak, makasih udah mampir."
"Cepet sembuh, besok kalau udah sembuh kita nonton, lanjutin yang kemarin." Clarissa mengangguk, sebelum keluar dia berpamitan kepada Bintang dan Putra.
"Loh, mau kemana kamu Put?" Bintang menatap Putra yang sudah berdiri, mengambil kemeja sekolahnya.
"Mau pulang kak."
"Dih, cepet banget?"
Putra tersenyum. "Ada acara nanti malem kak, jadi mau istirahat dulu sebelum pergi."
"Belum malam minggu juga, udah mau ngapel aja?" Putra tersenyum lagi, tanpa berbasa basi pada Clarissa, laki-laki itu sudah keluar ruangan.
Oh astaga...
Apa itu? Putra sama sekali gak nyapa dan cuek banget. Bintang menautkan alis menatap adiknya heran, kenapa wajah adiknya itu terlihat sangat merasa kecewa.
"Dek, mau Kakak ambilin buah?"
"Gak."
"Butuh sesuatu?"
"Gak, ica mau tidur." Dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Dasar aneh.
...🌼🌼🌼...
"Kalau ada apa-apa telepon Kak Bintang ya?" Clarissa mengangguk dan langsung keluar mobil, susah sekali saat dia berangkat sekolah bersama Kakaknya itu. Disepanjang jalan hanya membicarakan siapa Rehan, dan harus bagaimana sikap dia kepada seorang pria... Bikin pusing.
Dia terpaksa diantar oleh Bintang karena dia tidak pulang kerumah dan masih menginap di Rumah Sakit.
"Ca..." Daze berlari menghampiri Clarissa. "Udah sembuh lo? padahal rencana gue mau jenguk."
"Dih."
Daze tertawa, "gak usah ikut olahraga aja Ca, lo nyusul ambil nilai praktek basketnya."
"Iya." Memang sudah dia rencanakan, dia tidak mengenakan pakaian olahraganya.
Sampai didepan kelas, teman yang merasa kesepian karena tidak ada Clarissa sudah menunggu didepan. Padahal Clarissa sama sekali tidak menyenangkan tapi mereka senang karena Clarissa adalah teman curhat yang selalu baik mendengarkan. Apalagi Clarissa sangat bisa dipercaya untuk menyimpan sebuah rahasia.
Jadi saat perempuan mungil itu tidak masuk, mereka merasa tidak ada yang bisa diajak curhat.
"Clarissaaa......." Ririn berlari menghampirinya dengan wajah memelas karena merindukan sosok pendengar. "Gue kangen lo."
"Iya, iya." Menepuk lengan Ririn yang masih menggelayut manja pada lehernya. Tidak sadar dirikah Ririn ini? badannya lebih besar dari Clarissa malah nyaman menggelayut. "Udah Rin, berat nih."
"Eh, hehe sorry."
...🌼🌼🌼...
Setelah kelas Dua belas IPA satu menyelesaikan lari maraton seperti biasanya sebelum melaksanakan jam pelajaran olahraga. Mereka berkumpul dilapangan basket, hanya Clarissa yang menyaksikan mereka dipinggiran lapangan.
Bu Aini sudah mengabsen sebelum melaksanakan kegiatan belajarnya, beliau berjalan menghampiri Clarissa.
"Clarissa, kamu ke UKS atau ke kelas saja, sabtu depan kamu sendiri yang akan mengambil nilai praktek basket ya?"
"Baik bu." Clarissa berdiri dan berjalan menuju kelasnya, tiba-tiba mengantuk karena semalam dia berhadang bermain game, ini adalah kesempatan emas.
Mereka melakukan pemanasan, dan diberikan waktu selama 15menit untuk berlatih sebelum mengambil nilai praktek.
"Yeeyyy........" Kanya bersorak gembira setelah berhasil mencetak dua kali bola masuk.
Peraturan yang telah dibuat oleh Bu Aini, setiap murid harus bisa memasukkan bola kedalam ring sebanyak empat kali, satu kali masuk mendapatkan nilai 70 dan itu nilai standar sekolah, dua kali masuk mendapatkan nilai 80 dan itu cukup bagus, tiga kali masuk mendapatkan nilai 90 dan itu bagus, empat kali masuk sudah tidak diragukan lagi.
Dan sudah pasti hanya para anak cowok yang mendapatkan nilai tinggi, karena kelas mereka kebanyakan anak basket.
Saat giliran Putra mengambil nilai, mereka menatap lapar, melempar bola dengan sangat gagah, menampilkan otot lengan yang bergerak saat dia mulai mendribble bola.
Pletak....
"Ponsel kamu disimpan dulu." Ucap Bu Aini ketika saat pelemparan bola terakhir, ponsel Putra terjatuh. "Simpan ditas dulu sana."
"Iya Bu."
Dia keluar dari area lapangan basket menuju kelasnya dengan belari kecil, namun sampai didepan pintu langkahnya menjadi santai, dia ingat ada seseorang yang tengah beristirahat dikelas. Putra berjalan masuk kedalam kelas, menghampiri Clarissa, ngapa dia duduk ditempat gue??
Perlahan Putra memutar kursi yang berada didepan tampat duduknya, agar berhadapan dengan Clarisaa. Entah apa motifnya, dia hanya ingin melihat Clarissa tertidur saja.
Dia tersenyum kecil, Entah mengapa hanya menatap Clarissa setenang itu saja sudah membuat hatinya senang, mungkin karena selama ini setiap Putra mengajaknya berinteraksi Clarissa selalu menghindar. Jadi, biarkan ia menatap Clarissa lebih lama.
Ada sesuatu yang mendorong dia untuk ikut merebahkan kepalanya berhadapan dengan Clarissa, menatap setiap wajah halus perempuan cuek itu, bibir tipis yang tidak pernah tersenyum, mungkin Clarissa akan semakin terlihat manis jika saja dia mau tersenyum.
Clarissa memang sungguh menggemaskan, mungkin itu alasan mengapa Nyonya Adietama begitu menginginkan bisa dekat dengannya. Seperti yang Putra rasakan, ingin dekat dengan Clarissa yang sudah pasti sangat mustahil.
...When you hurt under the surface...
...Like troubled water running cold...
...Well, some can heal, but this won't...
...So, before you go...
...Was there something I could've said to make your heart beat better?...
...If only I'd have known you had a storm to weather...
...So, before you go...
...Was there something I could've said to make it all stop hurting?...
...It kills me how your mind can make you feel so worthless...
...So, before you go...
...Would we be better off by now...
...If I'd have let my walls come down?...
...Maybe, I guess we'll never know...
...You know, you know...
...Before you go...
Putra bersenandung pelan, akhir-akhir ini perasaannya sering melow dan hanya ingin menyanyikan lagu galau saja. Setiap Clarissa bersikap cuek padanya, ada perasaan teluka dalam hatinya.
"Ca, jangan menghindar dari gue terus dong." Bodo amat soal Clarissa mendengar atau tidak, yang jelas dia ingin mengeluarkan isi pikirannya, mumpung tidak ada yang melihat.
...Would we be better off by now...
...If I'd have let my walls come down?...
...Maybe, I guess we'll never know...
...You know, you know...
...Before you go...
Clarissa tersenyum kecil, mimpi disiang bolongnya indah sekali. Karena kejadian di Rumah sakit saat dirinya berbagi handset dengan Putra, membuat lagu milik Lewis Capaldi itu terus terngiang dalam pikirannya, bahkan dia melupakan lagu Bad Omens yang seharusnya dia hapalkan karena terus memutar lagu Before you go dalam play list musik diponselnya.
"Jangan ganggu mimpi indah gue please." Gumamnya, saat kembali memaksa untuk tidur. But wait, dia membuka matanya lagi saat tidak sengaja sekelebat wajah laki-laki pujaannya ada didepannya. "Gue masih mimpi kah?"
Tangan Clarissa bergerak meraba wajah Putra yang dia yakini sebagai alam bawah sadarnya. "Gue mimpi didalam mimpi?" Masih belum menyadari bahwa yang dia sentuh bukan lagi bayangan mimpi.
"Awalnya pegang wajah, lama-lama bisa pegang hati loh." Clarissa tersentak ketika laki-laki dalam hadapannya menggumam dengan mata masih terpejam.
Jadi gue udah bangun? yang dihadapan gue Putra asli dong?
Astaga... Putra??
Sontak Clarissa berdiri, dia gugup sekali sampai bingung akan pergi kearah mana, apalagi dia tengah merebahkan kepala dimeja Putra. Apa yang akan dia jelaskan padanya? Bodoh lo Clarissa, tangannya bergerak memukul kepalanya sendiri untuk mengembalikan kepintarannya, dia memang bodoh saat berhubungan dengan Putra Rizqi Adietama.
Clarissa menghentikan reaksi bergerak yang berlebihan, dan sekarang dia lebih dari sekedar gugup. Tubuhnya membeku saat Putra dengan santai meraih pergelangan tangannya agar dia tidak bergerak.
"Mau kemana?"
"Gue mau ke Uks, pusing."
"Biar gue anter."
"Gak usah.." Bahkan tidak menunggu Putra untuk menegakkan badannya atau apapun, Clarissa sudah menarik tangannya dan lari keluar kelas tanpa tujuan.
💜💜💜💜💜 BERSAMBUNG 💜💜💜💜💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Rancito
Gimana Ca, berdebar-debar ye
2022-12-09
0