Setelah jam Kimia selesai, kelas dua belas IPA satu memasuki pelajaran olahraga, satu mata pelajaran yang Clarissa tidak suka. Apalagi mendengar materi Basket yang akan mereka pelajari hari ini, membuatnya menguap beberapa kali.
Dia berlari kecil mengimbangi kaki Kanya dan Delisa yang berlari bersisihan. Clarissa hanya menjadi pendengar antara Kanya dan Delisa yang amat mencintai dunia perdrama koreaan.
"Nyak, Del, gue lari duluan ya, capek gue denger cerita lo berdua."
Hanya Delisa yang mengangguk sedangkan Kanya menggeleng kuat. "Gak usah, kalau lo lari cepet-cepet yang ada entar lo kecapekkan Ca."
Clarissa tidak mendengarkan, dia kembali melebarkan langkahnya meninggalkan Kanya dan Delisa, terdengar Kanya berteriak keras. "Perhatikan langkah lo."
Sudah menjadi kebiasaan sekolah mereka sebelum melakukan kegiatan olahraga, setiap siswa dan siswinya harus lari keluar area sekolah, menyusuri taman kota dan kembali lagi kearea sekolah. Mereka berlari kecil melewati trotoar.
Clarissa menyeka keringat yang sudah menetes melewati pelipisnya, sudah beberapa gerombol teman sekelasnya yang dia lewati. Clarissa memperlambat langkahnya ketika sudah hampir memutari taman kota. Rasanya ingin sampai dengan cepat, dia ingin merebahkan diri, rasa kantuk sudah menguasai pikirannya. "Wah, kaki lo yang pendek itu cepet juga ya Ca larinya."
Dia menoleh kekanan, menatap Putra yang tengah berlari kecil mengiringi langkah kakinya, Putra tersenyum kecil dan kembali menatap lurus kedepan.
"Gue sih yakin," Clarissa menoleh kekiri, Daze ikut mengiringi langkah kakinya. "Dulu Nyokap lo lupa kasih susu Hilo, malah semangat kasih susu Kedelai penumbuh stamina tubuh."
"Ck, gue malah yakin. Kalau Nyokap gue lupa punya gue." Langkah Kaki Clarissa dan Daze berhenti ketika secara tiba-tiba Putra menghentikan langkahnya.
Keduanya menatap Putra. "Sorry, gue kecapekan." Mereka bertiga kembali melanjutkan lari kembali menuju area sekolah, sudah ada beberapa teman satu kelas mereka yang duduk sembari menjulurkan kakinya lurus, meregangkan nyeri otot kaki setelah berlari.
Clarissa duduk dan langsung meluruskan kakinya, memijat kecil lututnya yang terasa melemas. Dia melebarkan matanya ketika Putra duduk di depannya, lebih tersentak lagi ketika Putra menggerakkan kaki Clarissa dengan kakinya yang lurus berhadapan.
Hal itu membuat Clarissa menoleh kearah lain, pura-pura tidak melihat apa yang tengah Putra lakukan kepada kakinya, menggigit bibir bagian dalam ketika merasakan sensasi aneh didalam dadanya.
"Capeeekk Caaaa...." Kanya datang, dan langsung meluruskan kakinya sembari merebahkan kepalanya dipangkuan Clarissa. "Lo larinya cepet amat sih, gue sama Delisa sampai ngosngosan, ya gak Del?" melirik Delisa yang duduk tidak jauh darinya.
"Iya Ca, gue ikut mode panik gara-gara Kanya kira lo di culik karena gak kelihatan." Clarissa menggeleng.
"Emang gue anak kecil, cuma lari sini sana doang, siapa juga yang bakal culik gue?"
"Ya bisa aja," Kanya duduk menatap Clarissa, "Daze sama Putra kan lari di deket lo, bisa aja mereka berdua yang culik lo."
Daze menatap tajam. "Heh, enak aja, lo kira gue seberani apa sampai nyulik Clarissa."
Kanya menatap Daze tidak kalah tajam. "Bisa aja kan, secara lo punya bos yang seenaknya sama orang."
"Siapa?" pertanyaan Putra membuat Kanya mendelik tajam. "Siapa yang lo maksud bos Daze?"
"Pikir aja sendiri." Kanya menarik kaki Clarissa agar menjauh dari kaki Putra, menempelkan pada kaki Delisa. "Gak usah sentuh-sentuh Ica gue."
Clarissa menghela nafas, Kanya memang selalu sensi saat bertatapan dengan Putra dan Daze. "Nyak, gue haus."
Wajah kecut Kanya berubah menjadi ceria. "Bentar ya Ca, gue ambilin di kelas dulu."
Daze menganga, menatap kepergian kanya yang ditemani oleh Delisa ke kelas, mengambil minuman yang di minta oleh Clarissa, dia menggeleng pelan. "Gila si Kanya, cuma gara-gara si Clarissa minta minum langsung berubah ekspresi wajahnya."
"Gue juga heran lihatnya."
"Gue juga," timpal Clarissa. "Heran, kenapa dia sejutek itu sama kalian." Sambungnya dengan mata terus mulai meredup, tidak kuat menahan rasa kantuk. Berlari tidak membuat kantuknya menghilang.
Kanya sudah datang, namun bukan bersama Delisa, tapi bersama Vina yang Clarissa kenal duduk di depannya. "Ca, nih."
"Thanks." Vina menyapa Daze dan Putra bergantian lalu duduk di dekat Kanya yang sudah merebahkan diri dengan kepala di pangkuan Clarissa.
"Clarissa, entar malem jadi kan? katanya mau nonton?" Clarissa mengangguk.
Kanya mendongak menatap Clarissa yang sudah memberikan botol aquanya kepada Daze, dan entah kenapa Daze langsung memberikan botol itu kepada Putra, padahal Clarissa hanya menawarkan Daze. "Ca, kak Rehan gak chat lo? mana tahu dia ngajak lo jalan gitu? secara entar malem kan, malem minggu."
Clarissa mengangkat bahu. "Gak tahu, gue gak buka room chat."
"Ck, di respon kali Ca."
"Besok." Kanya hanya tersenyum kecut, matanya melirik Putra yang telah tertangkap basah olehnya sedang menegak aqua bekas Clarissa.
"Heh, ngapain lo minum punya Clarissa." Ucapan keras Kanya membuat Putra hampir menumpahkan air di dalam botol yang baru ditenggaknya sedikit. "Sini balikin, rabies entar."
Putra hanya menggeleng kecil dan menyerahkan aqua yang sudah ditutupnya kepada Kanya. "Dikit doang Nyak, gue haus."
"Beli aja sendiri, katanya orang kaya." Ucapnya sinis. Sempat-sempatnya dia mengusap botol dengan bajunya, seperti takut tangan Putra memiliki virus dan menempel.
Daze mendelik tajam. "Lo gak takut ya Nyak, kalau Bokapnya Putra bakal pecat Nyokap lo dari Rumah Sakitnya? Kalau lo sinis sama gue sih gak masalah."
"Emang gue perduli, pecat aja, ada kemungkinan Bokapnya Ica bakal keluar juga." Putra menatap tajam kepada Kanya, perempuan itu memang benar-benar memiliki mulut berbisa. "Lagian, tanpa semua Dokter, Rumah Sakit dia juga gak bakalan berjalan kan?"
"Ya seenggaknya Nyak, gue kira lo sinis sama kita dari kelas dua itu cuma bercandaan doang, tapi setelah gue pikir-pikir enggak deh, lo emang kayak benci gitu sama kita berdua." Daze menatap kearah lain, membuang tatapan sinis yang Kanya sudah layangkan kepadanya. "Bukan, bukan ke kita berdua aja, tapi sama semua temen Putra."
Kanya mendengus. "Asal lo tau ya Daze Hanendra, gue itu cuma benci sama Putra karena dia pernah manfaatin Ica buat sesuatu yang malah nyakitin Ica, secara kebetulan aja lo deket sama dia makanya gue jadi benci juga sama lo, dan betul soal gue benci sama semua yang berhubungan dengan dia."
"Nyak .." Clarissa meraih lengan Kanya, untuk menghentikan kalimatnya.
Bukan Kanya namanya kalau tidak melanjutkan ucapannya yang mengunus kedua laki-laki di depannya ini. "Gue udah pernah bilang sama lo ya Put, jangan pernah manfaatin diemnya Ica. Lo gak kapok sama kelas dua dulu? gara-gara lo, Ica dibully kakak kelas cuma karena mereka kira kalian berdua ada hubungan. Lo selalu lari dari cewek-cewek ganjen yang ngejer-ngejer lo itu di belakang Ica. Ramah sama Ica, baik sama Ica, sok akrab sama Ica, gue yang jengah lihatnya."
"Nyak.." Clarissa menegur lagi. "Udah dong, pada lihatin kita nih."
Kanya menarik tangannya, dia melihat kearah teman-teman sekelasnya yang sedang beristirahat menatap kearah mereka. Semua orang kini mengerti masalah yang terjadi sewaktu kelas dua dahulu. Karena dulu mereka sempat salah paham terhadap Clarissa.
"Kalau lo mau manfaatin Ica lagi buat lari dari Ratu kecantikan si Meysa. Mending mundur deh dari sekarang, karena gue bakal jadi benteng terbesar Ica buat gak dimanfaatin sama lo lagi."
Putra mendongak menatap Kanya yang sudah berdiri. "Gue gak pernah manfaatin Ica, karena gue ngerasa kita temenan makanya gue minta tolong sama dia."
"Emang dia ada minta tolong sama lo Ca?" Clarissa menunduk, Putra menutup matanya, dia memang lupa meminta tolong. "Jangan jadiin satu sekolah di SMP sebagai alasan lo untuk nganggep kalian itu temenan, Delisa sama Vina aja yang selalu ngekor kami belum tentu Ica anggep temen. Karena yang Ica tahu, mereka berdua itu temen gue."
Daze berdiri menatap kesal kepada Kanya. "Lo bisa ramahan dikit gak sih kalau ngomong."
"Enggak, kenapa?" Kanya berkaca pinggang. "Baginda Putra Fucking Adietama, lo bakal terlihat cupu kalau lo balas dendam sama gue dengan ngelibatin Nyokap gue yang kerja di Rumah Sakit lo." Melirik tajam kearah Putra, "dan lagi, berhenti lo manfaatin Ica dari sekatang, muak tau gak!!!" Kanya menunjuk Vina untuk berdiri. "Temenin gue pipis Vin, liat muka mereka berdua gue jadi kebelet."
Daze melotot kaget. Wajah dia dan Putra diibaratkan toilet dong.
"Ca.."
"Gak apa-apa." Jawabnya, dia tahu maksud dari panggilan lirih Putra.
Daze sedikit mendekat. "Lo masih dendam kah sama peristiwa dulu?"
"B aja, gue malah kaget kalau Anya masih inget soal itu."
...🌼🌼🌼...
Bu Aini datang membawa sebuah buku yang selalu dia pegang, berdiri diatas semen yang lebih tinggi. "Hei kumpul-kumpul." Ucapnya, menatap siswa dan siswinya tidak berkumpul ditengah lapangan. "Hari ini, ibu ada urusan sampai jam berakhir, kalian latihan main basket aja sampai jam selesai. Kalau yang gak bisa boleh duduk-duduk. Tapi ingeett, jangan ada yang kekantin sebelum jam istirahat, tetap di area lapangan basket. Minggu depan kita pengambilan nilai basket." Seluruh kelas dua belas IPA satu bertepuk gembira, akhirnya mereka bebas. "Sana ambil bolanya sama Pak Marmut."
Setelah memberikan intruksi dan mengabsen murid yang hadir, Bu Aini kembali kedalam kantor.
Clarissa dan Kanya duduk di pinggiran lapangan basket diikuti beberapa siswa mengelilingi mereka berdua. Untuk kelas ini, seluruh perempuan tidak terlalu minat dalam bidang olahraga.
"Jadi, kita semua salah paham dong Ca sama lo?" tanya Mira yang duduk di belakang Clarissa. "Sorry ya Ca, gue sempet ngomongin dibelakang lo, soalnya dulu emang si Putra cuma mau ngobrol sama lo doang. Dan lagi, lo itu terlalu pendiam dan antisosial, makanya gue kira lo anak yang soksokan gitu."
"Gue maafin." Kanya menjawab, karena dia tahu, Clarissa masih dalam mode mengantuk dan tidak mencerna pertanyaan mereka dengan baik. "Makanya, kalian itu harus tahu inti masalahnya sebelum menjudge orang. Putra itu termasuk cowok bejat, mentang-mentang ganteng menurut semua orang, dia jadi bergaya gitu."
Mereka mengangguk, seperti benar-benar mendengarkan ucapan Kanya, dan Clarissa benar-benar tidak perduli dengan apa yang diucapkan oleh sahabatnya itu mengenai Putra kepada teman-temannya, karena memang posisi waktu itu membuat Kanya benar-benar membenci Putra hingga kini. Clarissa menguap beberapa kali, dia sangat mengantuk, semalam dia lupa kembali ke kamar untuk istirahat, menghabiskan semalam suntuk di ruang musiknya.
"Nih," Daze mendekat kearah perempuan. "Kalau yang mau main basket, gabung aja, kalau mau main voli nih bolanya." Ucapnya tanpa menatap gerombolan perempuan itu dan berlenggang pergi.
Kanya tersenyum penuh kemenangan. Akhirnya, seluruh orang sudah mengetahui bagaimana kisah Clarissa dulu sewaktu dibully dan dijauhi hanya karena seorang Putra. Mungkin Clarissa diam saja karena memiliki perasaan khusus terhadap laki-laki itu, tapi tidak untuk Kanya.
...🌼🌼🌼...
Seluruh siswi memilih untuk bermain bola voli kecuali Clarissa dan tiga teman perempuan yang lain karena merasa tidak bisa. Namun mereka duduk berjauhan, karena merasa tidak akrab dengan Clarissa.
Matanya semakin meredub, hingga senggolan seseorang membuatnya melebarkan mata dan menoleh kearah samping kanannya.
"Apa lagi?" Clarissa membuka suara.
Putra memutar bola basket menggunakan tangannya, laki-laki itu menunduk dalam. "Gue gak tahu Ca, kalau masalah dulu malah buat kita jadi canggung."
"Gue udah biasa aja."
"Apa karena itu, lo jadi kelihatan lebih pendiam? gue, minta maaf." Putra menghela nafas dalam. "Lo beneran gak pernah anggep gue temen."
"Put, gue ngantuk." Putra mendongak menatap Clarissa. "Please, minggir, Meysa lagi lagi lihat kesini, gue gak mau kenapa-kenapa."
Putra menatap kearah yang dituju oleh mata Clarissa, memang terlihat Meysa tengah menatap kearahnya dan dengan memasang wajah kesal.
"Putraaa......" Tanpa merasa malu atau risih, Meysa datang menghampir Clarissa dan Putra yang tengah duduk berdua. "Kalian ngapain duduk berdua aja, bukannya olahraga."
"Apaan sih lo Mey, mata gue perih tahu gak." Tanpa aba-aba Meysa berjongkok dan menyentuh kepala Putra, membuat laki-laki itu mendongak.
"Kenapa mata kamu? sakit ya? apa perlu kita ke Dokter." Putra menepis tangan Meysa dan menatap Clarissa yang tidak menanggapi tingkah Meysa terhadapnya.
"Do, sinian dong." Memanggil Edo yang tengah duduk menatap para teman-temannya bermain basket.
Edo mendekat dan duduk didekat Clarissa, dengan wajah keheranan. "Kenapa Ca?"
"Gue ngantuk. Pinjem punggung lo ya?" Menggeser Edo untuk membelakanginya, agar lebih mudah untuk dia merebahkan kepalanya. "Semalem gue main drum sampe menjelang pagi."
"Lo main drum apa lagi jaga pos ronda Ca?" tanya Edo sembari membiarkan Clarissa bersandar tanpa merespon pertanyaannya.
"Put, minggiran gih. Kaki gue gak enak nekuk. Sana kalau mau pacaran, sumpah gue ngantuk berat lihat drama Kanya sama Daze hari ini." Membuat Putra berdiri, Edo menunduk karena mendapat tatapan tajam dari Putra.
Sekali lagi, dia menghela napas ketika Meysa menyentuh lengannya tanpa izin. "Kita ke UKS yuk, obatin mata kamu yang sakit."
"Mata gue perih lihat lo tau gak, geser." Menepis bahu Meysa, hingga membuat perempuan itu tersentak kaget.
Clarissa membuka matanya, pandangannya memburam melihat Putra yang berjalan jauh, melewati lapangan basket, padahal teman-temannya tengah bermain disana. Entah benar atau tidak, dia melihat samar Putra tengah menatapnya dan membuang wajah kesembarangan arah.
...🌼🌼🌼...
Clarissa menggeliat pelan, sampai ia tidak sadar dan hampir terjatuh, untung saja tangan Edo cepat menangkapnya sebelum jatuh menghamtam semen.
"Ca, untung gue tangkep, nyaman ya sampai gak sadar kalau lagi disekolah." Clarissa membuka matanya, dia malah kembali menutup mata ketika Edo menangkapnya dengan sigap, tapi suara ini bukan Edo.
Clarissa mendongak. "Putra," dia bangkit dan menatap sekitar, sudah tidak ada lagi teman-temannya yang bermain basket dan sekolah sudah tampak sepi. "Loh mana yang lain? mana Edo?"
"Edo kelaperan, gak berani bangunin lo, yang lain udah pada pulang. Kanya masih beliin roti dikantin buat lo." Putra mengangkat dagunya. "Tuh mereka."
Clarissa mengucek matanya, menatap Kanya dan Daze tengah jalan beriringan menghampiri mereka berdua. "Udah bangun Ca? makanya kalau main game sama drum itu kira-kira, untung jam kosong sampai akhir, jadi lo bisa istirahat."
"Hmm..." Meraih botol aqua dan melahap roti yang sudah dibukakan oleh Kanya. "Nyak, pulang."
"Iya, lo berdiri gih, jangan sampai ada yang ngira lo sama dia ada apa-apa lagi. Terus berakhir dengan lo dibully lagi." Menarik kasar tangan Clarissa sampai meringis.
Daze tertawa kecil. "Gak mau ngucapin makasih Nyak sama gue yang udah bawain kantong belanjaan lo?"
"Gak."
"Gak mau ngucapin makasih Nyak sama Putra yang udah minjemin punggung buat sahabat lo tidur?"
"Gak," Kanya berbalik. "Gak usah mengemis makasih sama gue, karena kalian sendiri yang mau ngelakuin itu sendiri."
Clarissa menarik tangan Kanya. "Ayok, gue laper."
"Iya, iyaa..."
Daze duduk didekat Putra, memberikan laki-laki itu minuman dingin. "Lo sih Put, masih baik aja sama mereka."
"Gue gak enak aja, soalnya pernah satu sekolah pas SMP, seenggaknya gue harus beramah-ramah."
"Prett...." Keduanya langsung tertawa, entah apa yang sedang mereka tertawakan.
💜💜💜💜💜 BERSAMBUNG 💜💜💜💜💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Happy♡~
Mampir kaka, bintang 5 dan like sudah mendarat.
Tetap semnagat berkaryanya!
2022-09-17
0
lid
ica banyak yg ngincer ya
2022-04-11
0
Mira Wati
done kk
2021-12-11
1