Jea berjalan menuju balkon yang berada di dekat ruang tamu. Nampaknya gadis ini sedang bosan.
Setelah sampai di balkon, gadis itu langsung duduk dikursi. Ia membiarkan angin menerpa kulitnya.
Seharian dia hanya makan dan tidur. Sungguh membosankan. Jea merapikan rambutnya yang sedikit menutupi wajahnya. Lalu ia mulai memejamkan matanya.
Saat ia hampir terlelap, ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhnya, membuat gadis itu terbangun.
"Apaan sih lo?" tanya Jea tak terima saat mengetahui bahwa Louis lah yang mengganggunya.
"Ini tempat gue," kata Louis.
"Emang ada namanya? Nggak kan," ujar Jea.
"Tapikan gue udah sering di sini, setiap malam," kata Louis.
"Ya udah, lo duduk aja," kata Jea, lalu kembali memejamkan matanya.
"Duduk di sebelah lo? Dih, ogah," kata Louis dengan songongnya, membuat Jea kembali membuka matanya.
"Lo tu ribet banget ya? Kalau nggak mau, lo tinggal duduk di bawah, kalau nggak mau juga, lo bisa pergi dari sini, bereskan?" kata Jea geram.
"Kok jadi lo yang ngatur gue sih?" tanya Louis sambil duduk di sebelah Jea.
"Udah, nggak usah bawel," kata Jea, ia kembali tertidur dan membiarkan angin malam menerpa kulitnya.
Diam-diam, Louis memperhatikan gadis di sampingnya. Jujur, gadis itu sangat cantik, tetapi hanya pada saat tertidur seperti ini. Wajahnya sangat tenang dan damai, tidak seperti saat dia terbangun, huh! Sangat menyebalkan.
"Ngapain lo liat-liat?" tanya Jea sambil membuka kedua matanya.
"Yee ... siapa yang liatin lo? Ge-er amat sih!" elak Louis sambil mengalihkan pandangannya.
"Kalau terpesona bilang aja kali, nggak usah malu-malu," kata Jea.
"Dibilangin gue nggak liatin lo," kata Louis.
"Tau ah, ngomong-ngomong lo pacaran Caca?" tanya Jea, entah kenapa ia sangat penasaran.
"Dih, apa urusan lo?" tanya Louis songong.
"Ya, kan gue dijodohin sama lo, ya ... gue harus tau lo punya pacar atau nggak," kata Jea.
"Iya, dia pacar gue," jawab Louis.
"Terus ngapain lo mau dijodohin sama gue?" tanya Jea.
"Siapa bilang gue mau? Orang gue dipaksa juga," ujar Louis membuat Jea geram.
"Tapikan, gue yang dijodohin sama lo," kata Jea.
"Ya terus?" tanya Louis.
"Tau ah."
"Ya udah gini aja, gimana kalau lo sama Caca lomba?" usul Louis.
"Hah?! Lomba? Lomba apaan?" tanya Jea bingung.
"Ya, lomba untuk nentuin siapa yang terbaik. Misalnya, lomba masak, lomba bangun pagi atau apa kek. Nanti kalau lo menang, lo boleh minta apa aja dan gue bakal mutusin Caca, tapi kalau lo kalah, lo harus pergi dari sini dengan alasan lo yang mau," kata Louis.
"Apaan sih, pakai lomba segala?"
"Ya udah kalau nggak mau, ya nggak papa," kata Louis sambil beranjak dari kursi.
Coba kalau Mama nggak janjiin gue mobil, mana mau gue kayak gini, batin Jea.
"Iya, iya, gue mau," kata Jea.
"Besok kita lomba masak," kata Louis lalu meninggalkan Jea.
Louis berjalan pelan menuju ruang tamu, "Ca, besok lo lomba masak sama Jea," ujar Louis sambil merebahkan tubuhnya di kursi.
"Ok, untung gue bisa masak. Ngomong-ngomong lo yakin sama rencana ini?" tanya Caca tak yakin.
"Yakin."
"Ya udah kalau lo yakin," kata Caca.
◇◇◇◇◇
Pagi ini, Jea bangun jam tujuh. Walaupun termasuk siang bagi para wanita, tetapi berbeda dengan Jea, ini adalah rekor terpaginya bangun selama liburan.
Jea pun segera mandi. Beberapa menit kemudian, Jea telah siap dengan pakaiannya. Ia pun segera turun.
"Cewek apa cowok? Bangun pagi aja nggak bisa," sindir Louis saat melihat Jea yang baru datang
"Kok kayak ada suara," ujar Jea sambil pura-pura tidak melihat Louis.
"Udah deh, kita jadi lomba nggak sih?" tanya Caca.
"Ya jadilah sayang," kata Louis sambil mengacak pelan rambut Caca.
Bagi mereka hal seperti ini sudah biasa, karena mereka sudah dekat sejak kecil. Tetapi berbeda dengan Jea, matanya langsung memanas seketika.
"Apa acara ini bisa dimulai?" tanya Jea.
"Yee ..., sirik aja lo!" ujar Louis sambil menarik Caca ke dapur. Sementara Jea hanya mendumel sambil mengikuti mereka dari belakang. Sungguh malang nasib gadis ini!
"Ya udah, lombanya kita mulai aja," kata Louis.
Mereka pun masak bersama. Bukan. Mereka tidak masak bersama, hanya Louis dan Caca lah yang memasak bersama, sedangkan gadis itu hanya mendumel.
"Kalau masak, yang kerja itu tangan, bukan mulut," sindir Louis.
Kalau saja Jea tidak bisa mengontrol emosinya, pasti panci yang tertata rapi di tempatnya itu sudah mengenai kepala lelaki di sampingnya.
Sabar, sabar, nggak usah diladenin, demi mobil baru. Yang sekarang harus gue pikirin itu, gimana cara masak. Mana gue nggak pernah liat orang masak lagi, batin Jea.
"Arghh ...," Jea mengacak rambutnya frustrasi.
"Udah mau nyerah? Kalau udah, langsung pergi aja dari sini," kata Louis.
"Siapa juga yang nyerah?" tanya Jea sedikit menantang.
Setelah memikir susah payah, akhirnya Jea memutuskan menggoreng telur. Memang terlihat mudah bagi sebagian orang, tetapi tidak untuk gadis tomboy ini. Jangankan mengggoreng telur, menghidupkan kompor saja tidak bisa.
Jea segera memecahkan asal telur yang ia pegang, membuat beberapa serpihan kulit telur tersebut ikut masuk ke dalam penggorengan. Bahkan gadis itu tidak tahu bahwa dia harus memanaskan minyaknya dulu sebelum memasukkan telur itu.
Gadis itu dengan susah payah menghidupkan kompor, membuat minyak terciprat kemana-mana. Dengan segera Jea melempar tutup panci ke atas penggorengan itu, Louis yang sedari tadi melihat aksi gadis tersebut pun hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Diliatin mulu," sindir Caca membuat Louis mengalihkan pandangannya.
"Apaan sih lo, Ca?" tanya Louis.
"Kalau suka bilang ae," kata Caca.
"Gue nggak suka," elak Louis.
"Bohong."
"Dibilangin ngeyel!" Louis mengambil tepung di dekatnya dan melempar ke arah Caca.
"Ih, apaan sih lo?" Caca tak tinggal diam, dia segera membalas perbuatan Louis tadi, mereka pun jadi perang tepung.
Jea yang melihat itu merasa sakit di dadanya, aneh. Jea memerhatikan keduanya dengan serius, nampak gadis ini sedang berpikir keras, bahkan ia melupakan sesuatu.
Aroma gosong masuk ke hidung Jea, membuat dirinya tersadar akan satu hal. Ia pun segera membuka tutup panci tersebut, membuat minyak terciprat ke tangannya.
"Aww!" ringis Jea sambil memegang tangan kirinya. Louis dan Caca pun menoleh.
"Lo kenapa?" tanya Louis masih tetap diam di tempat.
"Tangan gue kena minyak," kata Jea, matanya mulai berair menahan perih di tangannya itu.
"Ih, si ****, bukannya ditolongin," kata Caca sambil menoyor kepala Louis.
"Emang harus gue?"
"Udah sono tolongin," kata Caca sambil mendorong tubuh Louis.
"Iya, iya," kata Louis, "ikut gue," kata Louis, lalu berjalan, tanpa menunggu Jea.
"Ehh, tunggu ****!" pekik Jea.
"Dih, yang ada lo kali yang ****, masa goreng telur aja nggak bisa," ejek Louis.
"Bukan nggak bisa, tapi belum bisa," ujar Jea.
"Sama aja kali," kata Louis.
"Beda."
"Sama."
"Sekali beda, tetep beda," kata Jea tak mau kalah.
"Serah dah," kata Louis menyerah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments