"Apakah hatimu yang sekeras batu sudah mencair, hingga mengalir menjadi bulir-bulir Rindu"
By Rajuk Rindu
"Kenapa tidak membangunkan abang" Azkia terkejut ketika menyadari tangan kekar Herman sudah melingkar di pinggangnya. Azkia yang sedang mencuci piring bergeser ke samping dan menghentikan aktifitasnya.
Deg... debar jantung Azkia berpacu, seakan berloncatan keluar, tatapan Herman menghunjam ke ulu hatinya, benarkah ini suami yang telah menikahinya enam tahun yang lalu, atau ini hanya mimpi Azkia yang selalu dikhayalkannya. Berulang ditepisnya bayangan Herman di wajahnya, tapi tetap saja nyata.
"Hay, kamu kenapa." Herman mencubit kedua pipinya, menyadarkan kalau ini bukan mimpi.
Wajah Azkia merona malu, Herman menyadari itu, karena selama ini dia tidak pernah memperlakukan istrinya semesra sekarang. dia memandang wajah polos itu, dan mendekatkan bibir ke bibir Azkia.
"Bang!. jangan!, ntar diliat Arta." Azkia menolak tubuh Herman agar sedikit menjauh. Herman tak perduli, dia semakin mendekap tubuh Azkia, hingga bibirnya menyentuh lembut bibir Azkia.
"Bunda." terdengar teriakkan Arta yang baru keluar dari kamar mandi.
Azkia mendorong tubuh Herman, melepaskan diri dari pelukannya, dia tidak memperdulikan wajah Herman yang terlihat kesal, bergegas ke kamar Arta, gadis kecilnya sudah berpakaian rapi.
Arta menyodorkan sisir dan pita rambutnya, dia ingin Azkia menyisir dan mengepang rambutnya.
"Ayok, kita berangkat." Azkia meraih tangan gadis kecilnya, yang sudah memanggul ransel warna merahnya. Kebiasaan Azkia mengantar Arta kesekolah dulu, baru dia berangkat ketempat kerja.
"Hari ini ayah yang antar Arta ke sekolah ." tiba-tiba Herman sudah berdiri di depan pintu kamar Arta. Arta dan Azkia saling berpandangan, seakan meminta kepastian kalau Herman serius dengan ucapannya.
Selama ini Herman tidak pernah perduli dengan Azkia, mengantar Arta ke sekolah adalah kewajiban Azkia, bahkan dulu ketika Azkia tiba-tiba sakit perut dan meminta Herman mengantar Arta, Herman tak mau, yang akhirnya Arta tidak ke sekolah hari itu, karena tak tega memaksa bunda yang sedang sakit harus mengantarnya.
Hari ini tiba-tiba Herman menawarkan diri untuk mengantar Arta, apakah ini pertanda kalau hubungannya dengan Herman akan membaik?, Azkia menepis perasaannya yang seketika menjadi baper, yah... wajarlah kalau Herman mau mengantar Arta, Artakan anaknya bersama Anjeli, atau Herman ingin menjauhkan Arta dariku, pikir Azkia. Berbagai prasangka berloncatan di kepala Azkia.
"Biar, aku saja yang antar Arta bang, abangkan harus ngantor."
"Yah.. udah bareng aja, aku pingin liat sekolahnya Arta, emang gak boleh ya?." ujar Herman dengan mimik memelas.
Sekali lagi Azkia memandang Arta, Arta hanya mengangguk, memberi isyarat kalau Herman boleh ikut mengantarnya. Herman bergegas masuk ke kamar dan mengganti pakaiannya. Azkiapun masuk ke kamar mengganti baju dan mengambil tas tangannya.
Perasaan Azkia pagi ini bermekaran, dia merasa jatuh cinta untuk kedua kalinya, pada lelaki yang belum menganggapnya istri itu. Dia mulai berharap banyak, kalau pagi ini merupakan, pagi terindah selama 6 tahun menjadi istri Herman.
Debar jantung Azkia berdetak kencang, ketika Herman menggandeng tangannya, membukakan pintu mobil dan menyuruh Azkia duduk di sampingnya. Entah sudah berapa lama dia tidak pernah masuk mobil suaminya.
"Aku di belakang aja. Bang!."
"Istri aku duduknya harus di sampingku." ujar Herman sambil mengangkat Arta kepangkuan Azkia.
"Istri." terdengar sangat indah kata itu di telinga Azkia, kata pengakuan yang sudah sekian lama diharapkan Azkia.
Apakah Herman sudah mengakuinya sebagai istri, atau hanya khilafan yang disengaja untuk membuatnya terbuai mimpi indah, kemudian akan kembali menyakitinya seperti biasa.
Entahlah, Azkia selalu salah mengartikan setiap perubahan laku Herman, yang kadang baik, yang kadang arogan, semua yang dilakukannya penuh dengan ketidak pastian.
Azkia menarik napas dalam, kemudian membuangnya kesembarang arah, berjuta kebimbangan masih meniti di kisi hatinya. Dia melihat ketulusan di mata suami, tapi binar keraguan masih menguasai palung hatinya.
"Ingat Kia!, dia menikahimu hanya karena warisan, dan dia tetap bertahan denganmu sampai sekarang, yah... karena warisan itu." Azkia menepis harapannya yang mulai bermekaran.
"Bunda, ayuk turun." Arta membuyarkan lamunan Azkia, ternyata disepanjang perjalanan tadi dia hanya melamun.
Herman keluar dan membukakan pintu untuk Azkia dan Arta, dia dan Azkia mengantar Arta sampai kepintu gerbang sekolah.
Arta terlihat sangat senang sekali, mata indahnya berbinar bahagia, baru kali ini dia melihat senyum bundanya begitu sumbringah dan sangat tulus.
"Semoga saja ayah akan terus berbaikan dengan bunda." doa Arta dalam hati sambil melambaikan tangan. dia memeluk kedua orang yang sangat menyayanginya itu, sebelum melangkah masuk kepekarangan sekolah.
Herman menggenggan jemari Azkia, kemudian merengkuh bahunya, sambil berjalan beriringan meninggalkan pintu gerbang Taman kanak-kanak.
Azkia hanya diam, tanpa bicara sepatahpun, dia sibuk menenangkan perasaannya yang hampir meluap keluar, karena kegirangan diperlakukan sangat romantis oleh suaminya.
Azkia menangkupkan kedua telapak tangan kewajahnya, ketika sudah berada di mobil, dia berharap Herman tidak melihat rona wajahnya yang memerah karena bahagia. Dan jangan sampai Herman juga mendengar debar jantungnya, Azkia mengambil tissu dan melap wajahnya yang tiba-tiba saja berkeringat.
OMG apa sebenarnya yang dia pikirkan, kenapa debar jantungnya susah untuk netralkan, semakin dia berusaha tenang, semakin kuat debarannya berpacu.
"Ya Tuhan, jangan sempat Herman mendengar debaran jantungku yang semakin kencang, jika itu terjadi pasti Herman akan mentertawakanku, dimana akan diletakkan wajahku ini, karena malu terlalu baperan." batin Azkia sambil membuang pandangannya ke samping, berpura-pura asik melihat jalanan. Padahal dia lagi sibuk menetralkan gejolak yang sedang bergemuruh.
Sekali-kali Azkia melirik Herman yang lagi fokus menyetir, pagi ini wajah suaminya itu sangat cerah, seakan tak perduli dengan gemuruh semambu yang sedang terjadi di hati Azkia, Herman bersenandung kecil dengan pandangan lurus ke depan.
Entah apa sekarang yang ada dipikiran Herman, Azkia berteka-teki menebaknya, sebenarnya dia ingin menikmati binar indah di mata suaminya, tapi takut kalau tiba-tiba Herman mengetahui, kalau dia diam-diam memperhatikannya.
Untuk menghilangkan grogi, Azkia mengambil ponsel di dalam tas dan kemudian pura-pura sibuk dengan membalas beberapa chat dari teman-temannya. Namun kepura-puraannya belum mampu menata kembali hatinya yang terlanjur terbawa perasaan.
"Kia!."
"Iya bang, ada apa." Azkia gelagapan menyahut panggilan Herman yang tiba-tiba memecahkan keheningan.
"Nanti siang, aku jemput makan siang bareng ya."
"Makan siang di mana?." tanya Azkia gugup bibirnya sedikit bergetar, aduh... kenapa sich kamu Kia, kok debar jantung ini semakin kencang.
Belum sempat pertanyaan Azkia dijawab Herman, mobil berhenti tepat di depan butik Kayra tempat kerjanya, pengunjung masih terlihat sepi. Herman turun membukakan pintu untuk Azkia. Ah... wajah Azkia kembali bersemu. Dia menyodorkan tangannya meraih dan mencium punggung tangan suaminya, spontan Herman memegang ke dua pundaknya dan mengecup keningnya.
Dag dig dug perasaan Azkia, dia menatap lurus manik netra di depannya. Ada ketulusan di situ, membuat kegelisahan yang sulit dimengerti Azkia.
"Azkia!."
Azkia membalikkan tubuhnya, membelakangi Herman, mencari suara yang memanggilnya, sosok yang berdiri di depan kini, membuatnya mematung, dia tidah dapat berkata-kata, hanya menatap sosok itu beberapa detik.
"Anjeli!." teriak Herman sambil mendekat dan mengembangkan
kedua tangannya memeluk Anjeli.
*****
Jangan lupa teken likenya
Terima kasih🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Santy Mustaki
Rasain azkia, makax jd otgjgn baperan
2021-12-13
0
Santy Mustaki
Azkia kok bpdoh banget, baru dibaikin sedikit langsung baper... sebell😡😡
2021-12-13
0
Liya Agus
hadeuh 🤦🤦 Thor,,, kenapa Anjeli datang lgi,,, si Herman kan baru mau membuka hatinya untuk kia 🤦🤦
2021-08-14
0