Bab 2 — Suara dari Dalam Bayangan

Malam di gunung Langit Tenang lebih pekat daripada sebelumnya. Kabut menebal, membungkus setiap batu dan pohon dalam selimut putih yang menyesakkan. Udara dingin menusuk kulit Shen Wuyan hingga ke tulang, namun ia tetap duduk di atas batu datar, menutup mata dan menahan napas. Suara alam samar, dari gemerisik dedaunan hingga hembusan angin, terdengar lebih berat, lebih menyeramkan.

Bayangan di sampingnya bergerak perlahan, tipis tapi jelas, seolah menunggu sesuatu yang Shen Wuyan sendiri belum mengerti. Ia bisa merasakan energi yang berasal dari bayangan itu — tidak hanya gelap, tapi penuh kesadaran. Sesuatu di luar dirinya sendiri, namun tetap intim, dekat, seakan telah ada di dalamnya sejak lahir.

Wuyan menarik napas panjang. Hun–Po Refinement bukan sekadar latihan fisik. Ini adalah proses membedakan Hun dan Po, menyatukan fragmen jiwa yang terpecah. Hun adalah kesadaran, jiwa yang logis, yang mengarahkan, memimpin. Po adalah naluri, sisi gelap, dorongan tersembunyi yang kadang menakutkan. Bayangan itu sepertinya merupakan representasi Po yang hidup, menantang dirinya untuk menghadapi sisi yang belum ia kenali.

Desahan angin membawa aroma tanah basah dan embun dingin. Shen Wuyan merasakan tubuhnya bergetar, napasnya tersendat. Bayangan itu bergeser selangkah lebih dekat, menyesuaikan diri dengan aliran energi tubuhnya. Ia menahan ketakutan, mencoba menyatukan fragmen Hun dan Po di dalam diri sendiri, membiarkan energi mengalir tanpa terputus.

Tiba-tiba, suara samar terdengar dari bayangan itu. Tipis, seperti bisikan di tengah hening, namun cukup untuk menembus pikirannya. “…Shen Wuyan…”

Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menelan ludah, tubuhnya membeku. Suara itu bukan berasal dari mulutnya sendiri, bukan angin. Itu benar-benar bayangan, hidup, dan menyadari keberadaannya. Ada sesuatu yang asing, gelap, tapi juga memikat, menembus kesadaran.

Wuyan menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ketakutan ini adalah bagian dari latihan Hun–Po. Hun mengajarkan untuk tetap sadar, Po menuntutnya untuk menghadapi insting dan ketakutan terdalam. Ia menutup mata lebih rapat, mengarahkan energi qi dari kaki ke seluruh tubuh, mencoba menyelaraskan diri dengan bayangan itu.

Suara itu terdengar lagi, sedikit lebih jelas. “Kau takut…” Kali ini ada nada penuh maksud, seperti menantang, tapi juga menggoda. Shen Wuyan merasakan energi Po dalam dirinya bergetar, merespons bayangan. Ada bagian dirinya yang ingin melawan, tapi Hun menahan, mengingatkannya untuk mengamati, memahami, bukan menolak.

Kabut berputar, membentuk pola tipis di udara. Bayangan itu mencondongkan tubuh, senyum samar melengkung di wajah gelapnya. Shen Wuyan bisa merasakan arus energi yang keluar darinya, lembut tapi menekan, menuntut pengakuan. Ia menelan ludah, mencoba membedakan antara Hun dan Po.

Hun menuntunnya untuk tetap logis, tetap sadar, memahami energi yang hadir. Po menggerakkan naluri gelapnya, dorongan untuk merespons, untuk menyerang atau lari. Shen Wuyan menyesuaikan diri, membiarkan energi mengalir tanpa menahan, membiarkan bayangan itu menjadi cermin bagi dirinya sendiri.

Suara bayangan terdengar lagi, kali ini lebih jauh tapi jelas dalam kesadaran Wuyan. “Kau belum melihatku sepenuhnya…” Kata-kata itu menimbulkan getaran di tulang belakangnya. Ia menahan napas, merasakan energi di sekitar mereka berubah, seakan malam ikut menahan napas bersama mereka.

Shen Wuyan membuka mata perlahan. Bayangan itu bergerak selangkah lebih dekat, wajahnya lebih jelas dalam siluet kabut. Senyum itu tetap menempel, namun ada kedalaman di mata gelapnya, seperti rahasia yang belum pernah Wuyan temui. Ia bisa merasakan bahwa bayangan itu bukan sekadar cerminan, tapi entitas yang menantang sisi terdalam dirinya.

Wuyan menelan ludah, tubuhnya tegang. Ia memusatkan energi Hun di pikiran, mencoba menenangkan Po yang gelisah. Hun–Po Refinement mengajarkannya menyatukan kedua jiwa itu, bukan menghancurkan atau menekannya. Bayangan itu tampaknya mengerti prosesnya, menyesuaikan diri dengan energi yang mengalir dari dalam Wuyan.

Angin malam berdesir, dedaunan bergetar, dan cahaya bulan menembus kabut tipis. Bayangan bergerak ke arah sinar bulan, membuat siluetnya tampak memanjang, menakutkan sekaligus memikat. Shen Wuyan merasakan adrenalin dan rasa penasaran bercampur. Ia tahu malam ini bukan latihan biasa; ini ujian batin yang nyata.

Suara lagi terdengar, kali ini lebih intens. “Kau takut kehilangan dirimu…” Kali ini bayangan benar-benar berbicara kepada inti kesadarannya, menembus lapisan Hun dan Po. Shen Wuyan menutup mata, mencoba menyelami energi itu, merasakan setiap getaran, setiap dorongan naluri, setiap keping kesadaran.

Ia sadar bahwa bayangan ini bukan musuh. Ia adalah bagian dari dirinya, sisi yang belum ia kenali, menunggu pengakuan. Hun menuntunnya menerima, Po memaksa naluri menghadapi. Shen Wuyan menahan napas, memusatkan energi qi, merasakan integrasi fragmen jiwa yang rapuh menjadi satu kesatuan sementara.

Cahaya bulan bergeser, bayangan menatapnya lebih lama. Senyum samar itu kini terasa seperti undangan, bukan ancaman. Wuyan menelan ludah, tubuhnya tegang tapi pikirannya mulai jernih. Ia menyadari bahwa suara yang keluar dari bayangan bukan untuk menakutinya, tapi untuk memaksanya menghadapi kebenaran tersembunyi di dalam diri.

Shen Wuyan membuka mata lebih lebar. Bayangan itu menatapnya dengan intensitas yang menusuk, diam tapi penuh pesan. Kabut malam berputar di sekitarnya, menempel pada tubuh dan jubahnya. Udara terasa dingin, seolah setiap molekul mengandung rahasia. Ia bisa merasakan Po bergetar di dalam dirinya, naluri gelap yang menantang logikanya sendiri. Hun menuntunnya untuk tetap sadar, tetap jernih, tetap mengamati.

Suara bayangan terdengar lagi, kali ini lebih dalam, lebih berat. “Apakah kau masih mengenal dirimu sendiri?” Bisikan itu menembus pikiran Wuyan, memaksa setiap fragmen jiwa untuk bereaksi. Ia merasakan ketegangan di tulang belakang, jantungnya berdegup lebih cepat. Tapi ada rasa penasaran yang lebih kuat daripada takut. Ia ingin tahu, ingin memahami, ingin menghadapi bayangan itu bukan hanya sebagai cermin, tapi sebagai entitas.

Ia menutup mata, memusatkan diri. Hun menuntunnya menyadari fragmentasi: logika, kesadaran, energi jiwa. Po menuntut naluri, dorongan gelap, insting yang tidak pernah ia hadapi. Shen Wuyan mengalirkan qi dari kaki ke seluruh tubuh, merasakan energi mengisi setiap ruang antara Hun dan Po. Bayangan itu seolah membaca setiap gerakan energi, menyesuaikan dirinya, mendekat tanpa menghilangkan jarak yang menegangkan.

Desau angin membawa aroma basah dan dingin. Setiap gerakan bayangan memunculkan getaran halus di udara, membuat Shen Wuyan sadar akan setiap lapisan kabut dan cahaya bulan. Ia menahan napas, membiarkan energi mereka saling bertemu tanpa kontak fisik. Bayangan itu mencondongkan kepala sedikit, senyum samar semakin melebar, dan suara terdengar di pikirannya lagi:

“Kau takut menghadapi dirimu sendiri…”

Shen Wuyan merasakan dorongan Po meningkat. Nalurinya ingin mundur, melawan, lari dari ketegangan ini. Hun menuntunnya menahan diri, menerima, menyatukan, bukan menolak. Ia memusatkan perhatian pada energi yang mengalir di tubuhnya, mengarahkan fragmen-fragmen jiwa yang terpecah menjadi satu kesatuan sementara.

Bayangan itu bergerak perlahan, mengikuti aliran qi Shen Wuyan, seakan menari di sekitar energi yang ia lepaskan. Senyum itu tetap melekat, menembus setiap lapisan psikologis, menguji keberanian, kesadaran, dan identitas Wuyan. Ia menelan ludah, tubuhnya tegang, tapi pikiran mulai jernih. Hun dan Po bekerja sama dalam simfoni halus yang baru pertama kali ia rasakan.

Suara bayangan terdengar lebih jelas. Kali ini bukan bisikan, tapi kata-kata penuh makna dan ancaman lembut: “Kau menghindar dari dirimu… dari kegelapan yang seharusnya kau kenal.”

Shen Wuyan menutup mata lebih erat, merasakan energi yang memancar dari bayangan. Ia menegakkan punggung, merasakan setiap fragmen jiwa bergetar. Hun membimbing kesadarannya, Po menggerakkan naluri menghadapi. Ia mulai memahami bahwa bayangan ini bukan sekadar refleksi; ia adalah sisi gelap dirinya, sisi yang menuntut pengakuan.

Kabut malam berputar, menciptakan pola halus di sekeliling mereka. Cahaya bulan menyelinap di celah-celah kabut, membentuk siluet bayangan yang memanjang, menyeramkan tapi memikat. Shen Wuyan mengatur napas, merasakan aliran qi yang sebelumnya samar kini mengisi setiap ruang di dalam tubuh. Ia menyadari bahwa ketegangan malam ini bukan ancaman, tapi latihan nyata untuk menghadapi dirinya sendiri.

Bayangan itu mencondongkan tubuh lebih dekat. Mata gelapnya menatap Shen Wuyan dengan intensitas yang menekan, seakan membaca setiap fragmen kesadarannya. Suara terdengar lagi, kali ini jelas dan menembus inti pikiran:

“Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”

Kata-kata itu mengguncang Wuyan. Jantungnya berdegup cepat, tubuhnya kaku, tapi kesadaran mengalir penuh. Ia merasakan ketegangan, rasa takut, dan rasa penasaran bercampur menjadi satu. Bayangan itu menunggu responsnya, diam tapi hidup, menantang dan memikat sekaligus.

Shen Wuyan menelan ludah, menarik napas panjang. Ia sadar bahwa malam ini, ia tidak hanya berhadapan dengan bayangan, tapi dengan sisi dirinya yang belum ia kenali sepenuhnya. Hun dan Po bersatu, menciptakan keseimbangan rapuh yang menahan ketakutan, menyalurkan rasa ingin tahu.

Kabut malam berputar lebih tebal, menelan bayangan dan dirinya sejenak. Angin berdesir, dedaunan bergetar, dan cahaya bulan berinteraksi dengan kabut, menciptakan bayangan yang tampak hidup, bergerak di sekitar mereka. Shen Wuyan menutup mata, memusatkan energi, dan merasakan komunikasi batin yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Bayangan itu tersenyum, dan untuk pertama kalinya, bukan hanya sekadar gerakan atau bisikan: ada kehadiran yang nyata, intens, seakan hidup di luar dirinya, tapi tetap menjadi bagian dari dirinya. Shen Wuyan sadar bahwa hubungan mereka bukan sekadar latihan; ini adalah pengenalan pada sisi gelap dan sadar dari jiwa yang belum pernah ia pahami.

Ia membuka mata perlahan, merasakan napasnya, detak jantungnya, dan aliran energi di tubuhnya. Bayangan itu tetap menatapnya, diam tapi hidup, menunggu langkah selanjutnya. Shen Wuyan menelan ludah, tubuhnya tegang tapi pikirannya mulai menerima: malam ini adalah awal dari pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri, sisi gelap, dan sisi sadar yang harus bersatu.

Suara bayangan terdengar satu terakhir, lembut tapi menekan: “Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”

Malam itu menutup tirai kabutnya, namun ketegangan tidak hilang. Shen Wuyan duduk di batu datar, tubuh lelah, jiwa terjaga, dan mata tetap menatap bayangan yang diam namun penuh kehidupan. Ia tahu, perjalanan untuk memahami bayangan ini — untuk menyatukan Hun dan Po — baru saja dimulai, dan malam ini adalah ujian pertama yang mengajarkan bahwa identitas dan kesadaran bukanlah sesuatu yang pasti, tapi teka-teki yang harus dipecahkan perlahan.

Kabut menutup gunung lagi, mengaburkan bayangan dan Shen Wuyan dalam misteri malam. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar, selaras dengan getaran energi di sekitarnya. Dan di balik semua itu, bayangan itu tetap ada, menunggu langkah selanjutnya, mengingatkan bahwa perjalanan jiwa Wuyan baru saja dimulai, dan rahasia bayangan itu akan menguji batasnya lebih dalam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!