Dengan langkah berat Aditia masuk ke dalam rumah dengan bangunan yang besar. Sebelum mencapai pintu masuk dia harus menaiki anak tangga yang tidak terlalu tinggi, lalu antara tangga dan pintu masuk ada halaman yang membentang sepanjang dua meter, setelahnya baru lah pintu masuk.
Kriettt ...
Aditia memutar gagang pintu bulat yang bergaya seperti tahun sembilan puluhan berwarna emas, walau tidak terawat warna emasnya masih terlihat jelas dengan pengelupasan di beberapa bagian.
“Kau benar akan bertahan di punggungku?” Aditia berkata pada jin usil yang masih ada di punggungnya.
Jin itu mengangguk saja dan tersenyum dengan taring yang tajam di kedua sisi kanan dan kiri mulutnya.
Aditia membuka pintu rumah itu lebar-lebar, begitu masuk, Aditia melihat kolam yang tidak ada air. Sepertinya ini dulu kolam ikan, kolam yang cukup besar hanya untuk tempat tinggal ikan, disana banyak debu dan batu-batu yang berserakan. Aditia terus berjalan masuk makin ke dalam, mencari Nona yang tidak mau pulang.
“Nona .... “ Tidak ada jawaban, dia melanjutkan berjalan makin kedalam, melewati beberapa pintu yang terlihat seperti pintu kamar. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada tangga menuju lantai atas, lagi-lagi gaya tangga tahun sembilang puluhan, dimana pegangan tangganya memiliki bandul disetiap anak tangga berwarna emas, bandulnya mirip kubah tapi dalam ukuran mini.
“Hei.”
Aditia menengok ke arah atas, karena dia mendengar suara itu dari sana, saat melongok dia melihat di ujung tangga ada sesosok wanita yang menghadap belakang, dengan gaun putih yang panjang hingga menutupi kakinya, bahkan gaun itu masih terhampar di beberapa anak tangga bawahnya. Wanita itu berambut panjang bergelombang, rambutnya tergerai hingga mata kaki, Aditia perlahan naik ke atas tangga.
“Nona .... “ Aditia berusaha memanggil sosok itu, walau dia tak yakin apakah dia Nona yang dimaksud ayahnya.
Wanita itu berjalan maju, Aditia mengejarnya dengan perlahan, saat ini mereka sudah di lantai dua rumah ini, ternyata tangganya cukup tinggi dan meliuk ke arah kiri.
“Kau yakin akan membujuknya? ayahmu saja tidak mampu, apalagi kau bocah ingusan.” Jin itu berkata di telinga Aditia, dan masih saja menggendongkan diri.
“Turun kau, kalau tidak aku benar-benar akan mengeluarkan kerisku.” Aditia sudah muak dengan setan ini.
Jin itu turun karena tau Aditia sudah tidak main-main, sekarang ruang gerak Aditia lebih ringan.
Di lantai dua rumah ini ada tiga pintu yang terbuka, sepertinya kamar-kamar pemilik rumah. Pintu itu terbuka lebar, Aditia bisa melihat di kamar sebelah kiri tangga yang letaknya paling dekat tangga, ada box bayi usang, walau Aditia tidak masuk, dia bisa melihat box bayi itu dengan jelas, ada beberapa boneka yang jatuh di lantai. Lalu Aditia berjalan lagi maju kedepan, di kamar kedua sebelah kanan yang letaknya melewati kamar pertama tadi Aditia melihat tempat tidur besar yang sudah usang dan kotor, mungkin ini kamar utama melihat dari kasurnya yang besar dan ruangannya sekitar tiga kali lipat dari kamar yang ada box bayinya tadi.
Wanita bergaun putih dan berambut panjang itu masih membelakangi Aditia, jarak antara Aditia dan wanita itu hanya sepanjang tangan yang di luruskan, sudah sangat dekat, dari sini Aditia bisa mencium wangi melati.
“Nona, apa yang kau tunggu? ayo kita pulang.” Aditia mengulurkan tangannya mengajak wanita itu untuk ikut dengannya.
Wanita itu masih ditempatnya, Aditia tidak menyadari bahwa wanita itu sedang melihat ke arah depan, di mana tidak ada apa-apa di sana, tidak ada jendela, tidak ada lukisan yang biasanya akan menghiasi dinding, hanya dinding kosong yang tentu saja kotor dan mulai terlihat lapisan batu-bata di dalamnya.
“Nona .... “ Aditia memanggil lagi.
“Anakku boleh ikut?” Bersamaan dengan kata yang keluar dari mulut wanita itu, dia berbalik, Aditia terperanjat karena kaget, ternyata wanita ini sedang menggendong bayi berlumuran darah di tangannya, gaun putih kusam yang dia kenakan penuh dengan darah mulai dari dada hingga kaki, yang membuat Aditia kaget adalah karena bayi itu menangis seperti bayi pada umumnya. Wanita itu mendekati Aditia dan membuat dia terjatuh.
“Dia bayiku, bayi malangku.” Wanita itu semakin mendekat, entah kenapa Aditia merasa takut, takut yang tidak pernah dia rasakan selama puluhan tahun setelah memiliki penglihatan ketiga.
Energi wanita ini kelam sekali, wajahnya sangat tirus, tulang rahangnya terlihat jelas, matanya hitam, terdapat garis seperti akar berwarna hitam di seluruh bagian wajahnya, tangan dan kakinya hanya tinggal tengkorak. Aditia bukanlah anak baru dalam dunia Ghaib, bahkan penampakan yang lebih menjijikan pernah dia lihat. Tapi ini berbeda, ada energi yang tidak bisa dia jelaskan, yang membuat dia merasa takut dan lemas, Aditia merasa sendirian dan kesepian yang teramat sangat, hingga sesak mulai muncul di dadanya.
“Sudah kukatakan, kau tidak akan sanggup.” Jin iseng sudah berada di samping wanita itu, dia mencoba melemahkan keyakinan Aditia, sementara Aditia masih belum bisa berdiri, kakinya lemas. Dia merasa sudah membaca catatan Pak Mulyana berulang kali dan tidak menemukan catatan yang mengatakan bahwa dia memiliki anak.
Ayahnya menulis bahwa wanita ini bernama Gita, untuk menghormatinya, Pak Mulyana memanggil Gita dengan sebutan Nona, dia dan suaminya tinggal di rumah ini dari tahun 1994 sampai tahun 2000 sekitar enam tahun. Suaminya Gita seorang pengusaha kapal laut dan sekaligus kapten dari kapal miliknya sendiri, sudah bekerja dari sebelum menikah, Gita dan suaminya hidup bahagia, sampai suatu hari suaminya berlayar dan dinyatakan hilang saat kapal lautnya tenggelam pada tahun 1999.
Setelah mengetahui suaminya menjadi korban dari kapal laut yang tenggelam tersebut, Nona Gita, terjebak di rumahnya, tidak minum, tidak makan dan tidak keluar, dia mengurung dirinya sampai meninggal dunia, jasad dikuburkan tapi jiwanya masih menunggu suaminya pulang, suami yang tidak akan pernah pulang lagi selamanya.
“Anakku boleh ikut?” Nona Gita semakin dekat, hingga darah dari tubuh anaknya menetes ke tubuh Aditia.
“Siapa kamu?” Aditia merasa ada yang salah, tidak mungkin catatan ayahnya yang salah, karena pasti ayahnya telah meneliti dengan baik sebelum menjemput.
Wanita itu berjalan melewati Aditia dan berjalan ke arah tangga, Aditia bangun dan mengikuti wanita itu.
Dia berjalan dengan langkah yang tertatih karena kakinya hanya tinggal tulang saja, menuruni tangga satu persatu, tertawa cekikikan.
Langkah wanita ini terhenti di depan kolam ikan yang cukup luas, dia duduk dipinggiran kolam itu sambil berusaha menidurkan bayinya, bayi yang sudah berhenti menangis sesaat saat Aditia jatuh tadi.
“Ayahmu akan pulang segera ya nak, jangan menangis lagi, tidurlah.” Wanita itu mengayun bayinya, entah kenapa Aditia merasa yakin dia bukan Nona Gita yang ayahnya maksudkan.
Aditia berlari ke tempat dia memarkirkan mobil angkotnya, setelah sampai dia mencari buku catatan ayahnya yang dia taruh di dasboard, lalu dia membaca ulang. Buku itu berukuran 16 x 21centi meter, buku yang biasa anak sekolah pakai, tidak besar tapi cukup tebal karena Pak Mulyana menempelkan potongan koran juga di sana, sampai pada catatan tentang Nona Gita dan rumah besarnya, Aditia melihat ada artikel koran yang Pak Mulyana tempelkan, artikel itu berisi tentang berita kapal tenggelam dan dan daftar korban dari kapal tenggelam itu, ada Kapten yang bernama Pak Setiawan, dia memiliki istri yang bernama Gita. Lalu di halaman selanjutnya ada berita tentang seorang perempuan bernama Gita istri dari pemilik kapal dan juga kaptennya yang tenggelam meninggal dunia karena depresi.
Aditia merasa ada yang janggal, kalau artikel ini menjadi acuan ayahnya dalam menyangka penghuni ghaib rumah ini adalah Gita, bisa jadi ayahnya salah.
Saat dia berfikir keras, dia melihat ayahnya menuliskan Nona pada akhir artikel tentang kematian Gita yang ditempel di buku ini, Aditia menyadari sesuatu dan berlari ke tempat di mana wanita itu duduk tadi.
Tidak ada, wanita itu menghilang bersama anak yang dia gendong, dari jendela sebelah kanan pintu masuk Aditia melihat Nona berjalan ke arah belakang rumah dari jalan samping yang berada diantara tembok pembatas lahan dan bangunan tempat tinggal, Aditia berlari mengejarnya.
Sampai di belakang rumah Aditia melihat rumput sudah tinggi bahkan hampir sepinggang, Nona masih saja berjalan tentu rumput tak menghalanginya karena dia bukanlah sesosok tubuh tapi sesosok jiwa. Aditia berlari dengan susah payah menyingkirkan rumput yang menghalangi.
“Nona .... “ Aditia memanggil wanita itu, tapi wanita itu masih terus berjalan menembus padang rerumputan.
“Mbak Nona!” Aditia berteriak dan seketika wanita itu berhenti, terusik dengan Panggilan Aditia.
Wanita itu berhenti dan mulai berbicara, “Mereka menguburku di sini.” Nona menunjuk kearah kakinya.
Aditia lega, karena akhirnya dia bisa menemukan petunjuk yang ayahnya berikan, bukan ayahnya yang salah, tapi Aditialah yang keliru mengenali perempuan yang belum terjemput ini, namanya bukan Gita, tapi namanya Nona, wanita yang meninggal itu bukan Gita istri dari pengusaha kapal laut yang tenggelam, tapi Nona, wanita yang tidak dikenal siapapun dan bisa jadi kematiannya pun sebuah misteri.
...
Tahun 1999
Seorang wanita kaya menyeret wanita lainnya ke luar rumah, rumah besar yang berdiri di lahan satu hektar. Suaminya adalah pengusaha kapal laut yang kaya raya, namanya Gita, dia menyeret pembantunya keluar rumah.
“Ampun Nyonya, ampun.” Pembantu itu ketakutan melihat kebengisan wajah nyonyanya.
“Pembantu sialan, bagaimana mungkin kau yang menjadi ahli warisnya sementara aku adalah istrinya!” Gita berteriak dengan kencang, sementara rumahnya yang begitu besar membuat teriakannya dan pembantu itu tertelan oleh deru suara kencang dari jalanan dan luasnya gerbang depan sampai ke bangunan tempat dia menyiksa pembantunya.
“Maafkan Nona, Bu Gita. Kami memang melakukan kesalahan tapi anak kami tidak bersalah, lepaskan anak kami aku tidak akan menggambil uang itu bu, aku mohon.” Nona, nama pembantu dari Gita, sang nyonya rumah. Dia memohon dengan menyentuh kaki nyonya rumahnya.
“Kau fikir aku bodoh? apa kau bilang? anak kami? anak haram itu kau sebut anak kami?” Gita makin marah, wajahnya sudah merah padam.
“Setiaji, kubur dia dan anak haramnya hidup-hidup.” Nyonya rumah memberi perintah.
“Pak Aji, bukankah dia keponakanmu juga? kenapa kau tega, dia anak kakakmu Pak Aji.” Nona memohon pada Setiaji.
“Harusnya kau pikirkan dulu sebelum berselingkuh dengan kakakku, lihat kau yang sengsara, kan?” Setiaji menendang wanita itu sampai mulutnya mengeluarkan darah.
“Bukankah kalian juga berselingkuh sampai Tuan Setiawan yang kesepian dan akhirnya mendatangiku! kau bahkan adiknya tapi kau berselingkuh dengan kakak iparmu sendiri!!!” Nona bangkit dan berteriak.
Gita Setiawan, dia adalah istri dari Kapten Setiawan, pemilik perusahaan kapal laut di jakarta, dia dan suaminya hidup bahagia sampai ketika Gita keguguran dan Kapten Setiawan terpaksa meninggalkan Gita untuk pergi berlayar, dalam duka kehilangan anak dan rahimnya karena kanker servik stadium tiga, mengangkat rahim adalah satu-satunya cara agar dia selamat pada tahun itu, akhirnya Gita terjebak pada hubungan kotor.
Gita kesepian, lalu Setiaji adik tiri Kapten Setiawan mulai mendekati kakak iparnya dengan maksud menumpang hidup, karena berbeda dengan kakak tirinya, Setiaji sangat pemalas dan hidup melajang dengan kemiskinan.
Tidak lama Kapten Setiawan bisa mencium aroma perselingkuhan mereka tapi tidak punya nyali mengungkapkan karena begitu mencintai Gita dan merasa bersalah karena meninggalkannya cukup lama dalam kesedihan kehilangan anak yang sudah dinanti hampir sepuluh tahun.
Nona, pembantu cantik yang ikut tinggal di rumah mewah itu sejak masih belia, harus terseret ke dalam hubungan rumah tangga yang rumit, dia dan Kapten Setiawan terjebak dalam kekecewaan pada takdir akhirnya melakukan hubungan gelap, hubungan kotor yang sama, yang istri dan adik tirinya lakukan, sayang muncul anak laki-laki dalam hubungan terlarang antara Nona dan Kapten Setiawan di rahim Nona.
Karena anak itu, rasa cinta Kapten Setiawan hilang pada istrinya, naas kecelakaan itu terjadi, kapal laut Kapten Setiawan tenggelam, ayah dari anak yang baru dilahirkan itu ikut menjadi korban, kekasih Nona sekaligus ayah anaknya harus meregang nyawa dalam gelapnya lautan.
Setelah mengetahui hubungan antara Nona dan suaminya, Gita meradang, apalagi Nona mampu melahirkan anak untuk suaminya, hal yang dia tidak bisa berikan untuk lelaki mana pun di dunia ini.
Kematian Kapten Setiawan membuat sakit hati Gita sedikit terobati, karena warisan dan uang asuransi akan segera menjadi miliknya, tapi malapetaka itu datang ketika pengacara Kapten Setiawan datang dan memberitahu bahwa semua harta kekayaan termasuk warisan sepenuhnya menjadi milik Nona, ibu dari anaknya.
Segera setelah kabar itu diketahui Gita, dia mempersiapkan kematian Nona dan anak suaminya, bersama dengan Setiaji, dia adalah kriminal kawakan yang bisa membantu Gita memalsukan kematiannya dan menjadikan Gita sebagai Nona, maklum pada tahun 1999 tidak ada tekhnologi canggih untuk memverifikasi identitas seseorang, ditambah Nona tidak mempunyai dokumen yang menjelaskan identitasnya, dia di bawa dari kampung oleh Gita dan dipekerjakan sebagai pembantu dari umur belia tanpa dokumen identitas.
Lalu muncul lah artikel kematian palsu Gita dan lenyapnya Nona serta anaknya yang memang tidak pernah diketahui publik.
“Pantas Ayah tidak bisa menjemputmu sampai lima kali.” Aditia berkata setelah melihat semua kejadian tadi. Tentu visual ghaib yang Nona tunjukan, dari ingatan jiwanya.
“Ayah tidak tau namamu makanya setiap kali dia menjemput kau menolaknya, sayang saat akhirnya ayah tau namamu, Tuhan keburu memanggilnya, dia hanya sempat menulis nama Nona di ujung artikel kematian Gita. Aku yang salah, karena menyangka Ayah memanggil Gita dengan sebutan Nona Gita untuk menghormatinya, tapi aku lupa Gita bukanlah Nona karena dia sudah menikah seharusnya kalau ayah mau menghormati Gita, dia memanggilnya dengan sebutan Nyonya, bukan Nona. Aku menyadarinya saat ayah menulis nama Nona di akhir artikel kematian Gita.”
Nona berbalik dan tersenyum, “Jadi, anakku boleh ikut?” Nona bertanya.
“Boleh asal kau perginya denganku.” Aditia mengulurkan tangannya.
“Setelah kita mengantarmu pulang, aku akan menggali kuburanmu yang berada tepat di bawah kakimu itu dan juga kuburan anakmu di lantai dua, di tembok yang batanya mulai terlihat itu bukan?” Aditia bertanya dan disambut anggukan oleh Nona.
“Oh ya satu lagi, aku akan memburu Gita dan Setiaji, mereka mungkin sudah sangat tua, entah masih hidup atau tidak, tapi yang pasti jika jiwa mereka tersesat, aku tidak akan membantunya pulang. Kau dan Kapten Setiawan salah karena berselingkuh biarkan Tuhan yang menghukummu, tapi yang Gita dan Setiaji lakukan jauh lebih berdosa, dengan membunuhmu dan anakmu, aku tidak akan biarkan mereka lolos.”
Setelahnya mereka naik angkot Aditia, Nona duduk di depan dengan anaknya.
“Kau tidak ikut?” Aditia bertanya pada jin iseng yang tadi minta di gendong.
“Tidak, pergi sana kau!” jin itu marah karena sekali lagi gagal membuat Aditia mengikuti maunya.
“Sudah siap pulang Nona?” Aditia mengendarai mobil angkotnya keluar dari rumah mewah yang memiliki cerita menakutkan dan memilukan. Setidaknya satu-satu amanah ayahnya tertunaikan.
...
Sudah jam 2 malam, lagi-lagi Aditia harus membuat alasan, Dita sudah menelponnya puluhan kali, Aditia sedikit ngantuk, dia berusaha tetap membuka matanya. Tapi di pertigaan jalan raya, dia terpaksa harus banting setir, ada seorang ibu yang menyebrang entah kenapa Aditia merasa tidak melihat ibu itu sebelumnya.
Aditia berusaha menyadarkan dirinya, dia membuka seatbelt dan bermaksud keluar melihat kondisi orang yang dia tabrak, tapi dia urungkan karena ....
“Kasep ... hayang milu nyak .... “ Suara yang nyaring di telinga membuat Aditia menutup kupingnya dan pingsan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 568 Episodes
Comments
Futuh Ilmi
keren
2024-03-14
0
ayon purdi
waduh kagak ngeh bahasa sunda ane gan/Silent/
2023-11-09
0
Mery Sihombing
sis tolong translate ke bahasa Indonesia bahasa sundanya
2023-06-24
1