Angkot Jemputan
“Baru pulang Mbak?” Aditia menyapa penumpang mobil angkotnya.
“Iya Dit, biasalah shift siang jadi pulangnya malam.” Rosa yang seorang buruh pabrik penggulung kabel menjawab angkot langganannya.
Rosa biasa duduk di depan saat menumpang angkot, terlebih supirnya Aditia, dia sangat percaya bahwa Aditia adalah orang yang ramah dan sopan. Tidak seperti supir angkutan yang lain, cenderung kurang ajar kalau sudah malam.
“Dit, sepi ya nggak kayak biasa.” Rosa bertanya.
“Ah enggak kok, rame.” Aditia tersenyum.
“Untung nggak ujan ya Dit, kalau nggak susah jalan dari pabrik keluar.” Memang pabrik tempat dia bekerja jauh dari jalanan besar tempat angkot mangkal.
“Besok saya nggak narik ya, jadi naik aja yang lewat duluan, jangan pulang terlalu malam, kasihan anak-anakmu Mbak, nungguin di rumah.” Rosa memang janda anak 3, suaminya pergi dengan perempuan lain, Rosa merasa nyaman bercerita karena Aditia memang orang yang baik dan enak diajak ngobrol, makanya mereka terlihat akrab.
“Kamu tau aja aku nungguin kamu, abis kalau yang lain aku takut Dit, maklum, aku kan perempuan, udah malam juga, walau bajuku tertutup gini tetap aja kalau niatnya jahat mah.”
“Iya makanya aku bilangin, kalau perlu minta jemput ojek langganan aja ya, Mbak.”
“Nggak Dit, mahal, kan rumah Mbak Jauh.”
“Yaudah yang penting hati-hati aja yang mbak.” Aditia mengingatkan kembali. Aditia memang menganggap Rosa seperti kakaknya sendiri, karena dia melihat sosok ibunya dalam diri Rosa. Berjuang sendirian merawat 3 anak. Bedanya kalau Rosa ditinggal suami karena perselingkuhan, kalau ibunya Aditia ditinggal meninggal oleh ayahnya dan angkot inilah satu-satunya warisan dari beliau.
...
“Baru pulang Ka?” Dita, adiknya Adit bertanya.
“Iye, Mana ada makanan nggak?” Aditia bertanya.
“Tuh di meja makan, ibu udah tidur sekitar 30 menit yang lalu lah. Nungguin lu tau, pulang malem banget jam berapa ini.” Dita menunjuk jam dinding yang sudah menunjukan pukul dua lewat sepuluh malam.
“Bawel," jawab Aditia.
“Lu yang rese, angkot tuh biasanya cuma sampe jam sepuluh, trus pulang. Nah elu jam dua lewat baru pulang, nganter setan lu!”
“Huss .... “ Aditia menutup mulut adiknya dengan telapak tangan.
“Napa?” Walau sudah ditutup Dita masih bisa bertanya.
“Ntar disamperin setan lu.” Aditia menakuti adiknya yang memang sangat penakut.
Seketika Dita langsung memeluk kakaknya dengan serampangan, Aditia tertawa puas karena berhasil mengerjai adiknya, walau yang dikatakan Dita tidak sepenuhnya salah.
“Dah lepas, berat lu, nggak nyadar diri badan gede masih aja penakut.”
“Elu yang rese, udah ah gue mau tidur di kamar.” Dita dan ibunya tidur sekamar, karena memang rumah mereka yang hanya memiliki 2 kamar.
“Dit,”Aditia memanggil Adiknya, menyalakan senter dari telepon genggam dan mengarahkan ke wajahnya sendiri, tepat saat Dita menengok.
“Kak!!!” Dita langsung kabur ke kamar ibunya.
Tok ... tok ... tok ....
Ada yang mengetuk pintu ketika Aditia sedang menikmati makanan sederhananya. Dia memang tidak pernah makan di luar, selalu pulang jika merasa lapar.
Aditia melihat jam menunjukan pukul tiga dini hari.
Dia lalu mendekati pintu, saat dia sudah dekat pintu ketukan menjadi keras dan tidak beraturan.
“To-looonggg .... “ Suara berat dan parau datang dari balik pintu, Aditia mengambil sesuatu dari kantung celana jinsnya.
Ketukan di pintu kembali berbunyi namun perlahan seperti semula.
Aditia mulai merapal,
“Diteuteup ti hareup sieup,
Mikaeunteup mikasieup,
Mangka eunteup mangka sieup,
Ka awaking,
Ti luhur kuwung-kuwungan,
Panca buana di buana panca tengah,
NYINGKAH SIA!!!”
Bersamaan dengan teriakan mengusir, dia juga menekan benda yang dia ambil dari kantung celananya ke pintu, sehingga benda itu menempel di pintu, ketukan pintu masih ada tapi sangat lemah sekali, lagi Aditia menempelkan benda itu dengan tangannya ke pintu dengan lebih rapat dan seketika suara dari luar berhenti.
...
“Mbak Rosa, ayo naik.” Tidak seperti biasanya Rosa yang langsung sadar kalau angkot Aditia lewat, Aditia harus berkali-kali memanggilnya kali ini.
“Kok tumben nggak ngeh kalau saya lewat?” Aditia bertanya. Rosa hanya menunduk.
“Mbak, ada masalah?” Aditia bertanya lagi, sementara yang ditanya masih tertunduk.
Udara malam terasa lebih dingin, Aditia sesekali menatap Rosa yang masih saja menunduk.
“Mbak? anak-anak sehat?” Aditia mencoba mencairkan suasana lagi.
“Dit, berhenti disini,” Rosa berbicara. Akhirnya setelah hampir 30 menit mereka saling diam.
“Kenapa Mbak?” Aditia heran, tapi tetap memberhentikan laju kendaraannya dekat gerbang areal pemakaman, Aditia tidak ingin berhenti terlalu lama di sini.
“Dit benar kata kamu ya, ternyata angkot kamu ini rame setiap malam.” Rosa berbicara dengan tatapan kosong ke depan.
Aditia melotot dan bertanya, “Memang apa yang mbak lihat?”
“Mereka.” Rosa menunjuk kebelakang angkot Aditia, tanpa menolehkan badan, hanya jarinya yang menujuk ke arah belakang.
Aditia lemas dan memperhatikan seluruh tubuh Rosa dengan seksama, Aditia memang jarang sekali melihat jelas tubuh penumpangnya, karena itu tidak sopan, apalagi seseorang yang duduk di sebelah supir, bisa dianggap pelecehan. Tapi kali ini dia terpaksa memperhatikan tubuh Rosa dan memastikan sambil berharap bahwa apa yang dia sangka itu salah.
“Mbak!!!” Aditia menangis setelah berteriak memanggil nama Rosa, dia menangis seperti anak kecil dengan air mata yang luruh tak henti.
“Adit, Mbak udah coba nurutin seperti yang kamu bilang, naik angkot yang pertama lewat, tapi memang sepertinya hari itu adalah waktunya Mbak.” Rosa menangis.
“Hari itu setelah tiga hari kamu nggak ngangkot, Mbak pulang larut sekali karena Mbak Shift siang dan pulang jam sepuluh malam tapi lanjut lembur untuk menambah uang karena si bungsu mau masuk sekolah, mbak jadi pulang larut sekali, jam 11 malam baru pulang. Mbak naik angkot pertama yang mbak temuin. Memang agak mencurigakan karena tidak lama beberapa pemuda naik, mereka berbau alkohol, Mbak duduk di samping supir seperti biasa, tapi entah kenapa tiba-tiba si supir membelokan angkotnya ke pemakaman ini.”
Aditia masih menangis tapi fokus mendengarkan.
“Setelahnya angkot itu berhenti di tengah pemakaman, mereka memaksa Mbak turun, lihat Adit.” Rosa menunjukan kedua tangannya. “Mbak tidak pakai perhiasan, memakai pakaian yang tertutup. Tapi, lihat Adit apa yang mereka lakukan.” Rosa menunjukan perutnya.
Perut itu sudah tertancap sebuah kayu yang terlihat tajam dikedua sisi, darah segar keluar dari perut itu, Aditia menangis lagi.
“Mereka memperkosa Mbak beramai-ramai, lalu membunuh Mbak dengan kayu ini. Mereka mabuk Adit, sakit sekali rasanya. Mereka mengubur Mbak yang masih dalam keadaan kotor di pemakaman ini dengan tidak layak.”
Rosa menunjukan tempatnya, Aditia dan Rosa sudah di dalam areal pemakaman.
“Tolong Mbak, Adit. Sudah seminggu mereka menunggu Mbak pulang, anak-anak Mbak, Adit.”
Adit mengangguk dan menelpon polisi, mencari jejak kejahatan pemuda-pemuda itu, setelahnya datang polisi dan menggali kuburan yang ditunjuk Mbak Rosa, tentu polisi yang biasa dia hubungi.
“Berapa pemuda Dit?” Pak Dirga yang seorang kepala polisi divisi kejahatan bertanya, lelaki ini sudah mengenal Aditia sejak kecil, dulu sekali ayahnyalah yang selalu melapor kejadian seperti ini.
“Rosa bilang lima Pak, satunya supir angkot, tapi ciri-ciri yang dikatakan Rosa tidak aku kenal, mungkin supir aplusan karena aku kenal semua supir angot di trayek ini.”
Pak Dirga menghembuskan nafas dan berdoa untuk Rosa.
“Katakan pada Rosa, pulanglah ke alamnya, di dunia akan menjadi urusanku,” Pak Dirga berkata.
“Mbak, jangan khawatir,tiga anak Mbak akan aku bantu bertemu dengan orang baik agar mereka tetap bisa bersekolah, aku sudah punya donatur tetap untuk anak-anak yatim piatu, tanpa mereka harus ke panti asuhan. Ikhlas Mbak, setelah ini biarkan nenek mereka merawatnya.”
Rosa mengangguk dan mengucapkan terima kasih lalu pergi bersamaan dengan munculnya wangi melati dari kubur yang telah tergali. Di sanalah jasadnya dikubur dengan hina, tapi sekarang dia akan dikubur dengan layak dan kembali kepada Tuhannya.
Aditia kembali ke angkotnya dan melihat penumpangnya masih ada lima, sekarang dia harus mencari kepala Pak Asep, katanya dia di begal dan kepalanya dipenggal dengan golok lalu di tinggalkan begitu saja di semak dekat kali, tidak sulit mencari kali sesuai ciri-ciri yang Pak Asep katakan.
Lalu ada seorang kakek yang ditinggalkan kelaparan oleh cucunya yang merantau jauh, kakinya sudah membusuk, Aditia menghela nafas dan mulai membayangkan Dita bakal ngomel-ngomel lagi, tapi mau gimana lagi, ini amanah dari Ayah.
...
Namanya Aditia, saat ini dia berumur 22 tahun, masuk kuliah di Universitas Indonesia karena dapat beasiswa, kalau pagi dia kuliah sore narik angkot, dia harus kuliah dan kerja karena ayahnya sudah meninggal, satu-satunya yang mencari nafkah adalah Aditia, dia harus membiayai ibu dan adiknya, walau terkadang ibu mengambil job catering di tempat orang, tapi itu tidak cukup untuk kebutuhan mereka sehari-hari.
Pada umur Aditia yang ke 20 tahun, ayahnya sakit-sakitan dan akhirnya kritis karena penyakit yang sampai sekarang menjadi misteri bagi keluarga mereka, tapi bukan itu yang membuat hidup Aditia berubah, Aditia seorang anak muda milenial harus memegang amanah dari ayahnya, amanah yang jika siapapun mendengarnya akan tertawa bahkan menghina.
“Nak, kemudikan angkot ini, terima semua jenis penumpang dan antarkan mereka dengan segala keperluannya.” lalu ayahnya memberikan keris mini ke tangan Aditia, benda yang selalu ada di saku celananya, karena mereka yang meminta tolong terkadang adalah jiwa yang jahat dan bermaksud mengambil alih tubuh manusia yang peka. Makanya Ayahnya Aditia mewanti-wanti untuk melihat lebih jauh saat menolong orang.
Awalnya Aditia takut, tapi setelah membantu beberapa makhluk yang tersesat, akhirnya Aditia sadar, amanah ayahnya adalah tanggung jawab yang telah Tuhan berikan pada mereka yang terberkahi.
Karena itu, kuliahnya terbengkalai dan belum juga diselesaikan, karena tugas sebagai seorang kepala rumah tangga dan pengemban amanah dari ayahnya.
Dari sanalah kisah Aditia berawal, sang supir penjemput jiwa yang tersesat.
_____________________
Catatan Penulis :
Aditia, lelaki muda yang mencoba mengatarkan semua makhluk, baik terlihat maupun tidak, mampukah dia?
Jangan lupa Like, Vote dan Coment ya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 568 Episodes
Comments
Mas Budian
aku baca ulang, boleh kan....? dulu anakku masih bayi aku baca ini kadang sambil ngelonin bayi ku, sekarang anak ku sudah hampir 5 tahun.... dulu aku selalu nunggu update tiap bab nya 🤭
2024-11-15
0
Duwi Andriani
aku alumni 2023 tapi kangen cerita ini jadi balik lagi 🤣
2024-07-16
0
pioo
Halooo aku dari 2024
2024-06-24
0