Dokter pribadi keluarga Argantara, pria paruh baya bernama Dokter Samuel, masuk dengan langkah hati-hati. Ia membawa tas medis, wajahnya tenang tapi penuh kehati-hatian seperti seseorang yang sudah lama tahu betapa sensitifnya pasien yang satu ini.
“Selamat pagi, Tuan Reghan,” sapanya lembut. “Saya dengar semalam Tuan sempat terpeleset di kamar mandi.”
Reghan menatapnya sekilas, tanpa ekspresi. “Aku baik-baik saja.”
Namun, nada suaranya datar dan jelas terdengar lelah. Dokter Samuel menarik kursi, duduk di hadapannya.
“Saya tetap harus memeriksa. Luka Tuan tidak boleh sampai kambuh lagi.”
Pemeriksaan berlangsung dalam diam. Hanya terdengar bunyi stetoskop dan desahan kecil Reghan menahan nyeri ketika dokter menekan bagian punggung bawahnya yang pernah cedera.
“Masih terasa sakit di bagian tulang belakang?” tanya Dokter Samuel hati-hati.
Reghan menatap kosong ke arah jendela. “Kadang … terutama ketika terlalu lama duduk.”
Lalu ia menambahkan pelan, “Dan saat mencoba mengingat hal-hal yang seharusnya kulupakan.”
Dokter menatapnya sebentar.
“Tuan masih sering mengalami mimpi buruk?”
“Setiap malam.” Jawabannya tenang, tapi ada bayangan gelap di matanya.
“Kecelakaan itu … tidak hanya membuat kakiku berhenti berjalan, Dok. Tapi juga membuat pikiranku berhenti percaya bahwa aku masih bisa menjadi … laki-laki yang utuh.”
Hening sejenak, suara jam berdetak pelan di antara mereka. Dokter Samuel menunduk, mencatat sesuatu di buku kecil.
“Tuan, saya pernah bilang … yang rusak bukan diri Tuan. Hanya rasa percaya diri Tuan yang terperangkap di balik trauma itu. Reaksi tubuh yang datang karena kehangatan atau kedekatan ... itu tanda bahwa sistem saraf Tuan sebenarnya masih bekerja.”
Reghan mendengus lirih, menatap tangannya sendiri. “Tadi pagi…” katanya pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri, “Ketika dia membantuku berpakaian … ada sesuatu yang … aku rasakan. Aku kira aku sudah mati dari bagian itu, tapi ternyata...”
Ia menghentikan ucapannya, menunduk tajam. “Aku membencinya, aku membenci kenyataan itu.”
Dokter Samuel menghela napas panjang. “Bukan tubuh Tuan yang perlu disembuhkan, Tuan Reghan. Tapi hati Tuan, rasa marah dan malu itu yang membuat semuanya lumpuh.”
Di balik pintu yang sedikit terbuka, Arum berdiri terpaku. Ia tak bermaksud mendengar, tapi langkahnya terhenti begitu mendengar suara Reghan yang bergetar di antara kalimat-kalimatnya. Matanya perlahan memanas, menatap lantai marmer yang dingin.
Jadi, di balik sikap dinginnya, di balik amarah yang tak pernah habis, Reghan sebenarnya berperang dengan dirinya sendiri dengan rasa takut, rasa malu, dan keyakinan bahwa ia tidak pantas dicintai siapa pun lagi.
“Trauma seperti itu tidak hilang dalam sehari, Tuan,” lanjut Dokter Samuel lembut.
“Tapi dengan waktu, dan dengan seseorang yang sabar mendampingi, luka itu bisa pulih.”
Reghan tertawa pendek, getir. “Sabar? Aku bahkan tak bisa menatapnya tanpa merasa direndahkan.” Suara kursi berderit ketika dokter berdiri.
“Mungkin dia bukan orang yang ingin Tuan miliki,” katanya perlahan, “tapi bisa jadi dia orang yang ditakdirkan untuk menyembuhkan Tuan.”
Tak ada balasan, hanya keheningan panjang. Arum, yang masih di luar, menggigit bibirnya kuat-kuat. Hatinya sesak, bukan karena iba tapi karena untuk pertama kalinya, ia memahami mengapa Reghan menolak kelembutan. Sebab setiap sentuhan baginya bukan kasih, melainkan pengingat akan kehilangan dan kehancuran.
Dia mundur perlahan, tak ingin Reghan tahu ia mendengar. Tapi di dadanya, sebuah niat kecil tumbuh. Jika ia sudah harus menjalani pernikahan tanpa cinta ini, maka biarlah ia menjalaninya dengan cara lain menjadi seseorang yang, meski tanpa kata, bisa menyembuhkan luka-luka itu perlahan.
Langit pagi tampak berwarna kelabu, awan menumpuk rendah seperti menahan matahari agar tak menembus halaman besar rumah keluarga Argantara.
Di taman belakang, Arum duduk di bangku batu yang sedikit lembap, di antara deretan bunga mawar putih yang mulai layu. Tangannya meremas gaunnya di pangkuannya dingin, lembap, dan bergetar. Ia baru saja mendengar hal yang tak seharusnya ia tahu.
Tentang Reghan, tentang luka yang lebih dalam dari sekadar tubuh yang tak bisa berdiri.
“Jadi itu alasannya,” gumamnya lirih. Suaranya hampir tenggelam di antara desir angin.
“Bukan karena dia membenciku … tapi karena dia membenci dirinya sendiri.”
Mata Arum terpejam sejenak, seingatnya, sejak hari pertama ia melangkah ke rumah itu, semua tatapan terasa seperti ujian.
Maya yang selalu berbicara dengan nada merendahkan, Alena yang selalu tersenyum dingin setiap kali namanya disebut, pelayan-pelayan yang berbisik ketika ia lewat, dan Reghan suaminya sendiri yang memperlakukannya seolah ia hanyalah bayangan tak diinginkan. Namun pagi ini, untuk pertama kalinya, kebencian itu terasa berbeda.
Langkah lembut seseorang terdengar di belakang. Arum menoleh, mendapati Oma Helena, wanita sepuh yang masih berdiri tegak dengan tongkat peraknya, menatapnya dari jarak beberapa langkah.
“Sudah lama duduk di sini?” tanya Oma lembut.
Arum berdiri cepat, menunduk sopan. “Maaf, Oma, saya hanya ingin menghirup udara pagi ... namun aku melihat tanaman pada layu,"
Oma Helena mengangguk, mendekat pelan. “Sudah lama sejak hari itu tanaman ini tak ada yang merawat lagi, sejak Reghan tak peduli lagi dengan hidupnya. Udara di rumah ini memang terasa berat kalau kau belum terbiasa.”
Dia berhenti tepat di depan Arum, menatap lurus ke matanya. “Aku tahu, banyak hal di sini yang belum kau pahami, Nak. Tapi jangan pernah biarkan bisikan orang membuatmu goyah. Kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini, apa pun yang terjadi.”
Kata-kata itu terasa hangat, tapi juga seperti peringatan.Arum mengangguk pelan.
“Saya mengerti, Oma.”
Oma menepuk pelan punggung tangannya. “Aku percaya kau akan membawa perubahan di rumah ini.” Lalu, dengan tatapan yang dalam, ia menambahkan, “Termasuk untuk cucuku yang keras kepala itu.”
Arum menunduk, dia ingin bertanya banyak hal tentang Reghan, tentang masa lalu keluarga ini, tentang kebencian yang tampak berlapis di setiap sudut rumah tapi ia menahan diri. Semua yang ia butuhkan sekarang hanyalah waktu. Setelah Oma pergi, Arum kembali duduk.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Alena berjalan pelan di tepi taman, berhenti di dekat gazebo. Seorang pria menyusulnya beberapa detik kemudian yaitu Elion, adik tiri Reghan, dengan senyum samar dan sikap terlalu akrab.
Arum sempat mengerutkan kening. Ia tahu Elion adalah tunangan Alena, tapi tatapan yang ia lihat bukan tatapan seorang tunangan yang setia melainkan dua orang yang sedang menyimpan sesuatu yang lain. Ia berpaling, memilih tidak memperhatikan. Ia sudah terlalu lelah pagi ini.
Namun langkah kaki seseorang di belakangnya membuatnya menegang lagi. Suara itu dalam, berat, dan familiar. Pelayan meninggalkannya di depan pintu samping rumah menuju taman.
“Kenapa kau di sini?”
Reghan berhenti di dekat pintu kaca, mengenakan kemeja longgar dan duduk di kursi rodanya, tatapannya tajam tapi tidak setajam biasanya.
Arum berdiri pelan. “Saya hanya ingin menghirup udara, Tuan.”
“Dan mendengar lebih banyak rahasia yang bukan urusanmu?”
Nada sinis itu membuat dada Arum mengeras. Ia menunduk, menelan ludah.
“Saya tidak bermaksud mendengar, Tuan. Saya hanya ingin memastikan Tuan baik-baik saja.”
Reghan menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela napas berat.
“Mungkin aku tidak akan pernah ‘baik-baik saja’, Arum. Jadi berhentilah mencoba memperbaikinya.”
Ia memutar kursi rodanya, hendak pergi, tapi sebelum masuk ke dalam rumah, ia menambahkan tanpa menoleh,
“Dan satu lagi … jangan pernah menatapku dengan tatapan iba itu. Aku tidak butuh belas kasihan dari siapa pun.”
Arum menggenggam kuat sisi gaunnya menahan perih di dada. Ia menatap punggung Reghan yang menjauh, lalu berbisik nyaris tak terdengar,
“Bukan belas kasihan, Tuan … hanya rasa ingin tahu, kenapa seseorang yang begitu hancur masih berusaha menolak untuk disembuhkan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
Kar Genjreng
Num niat baik tapi tidak bersambut ya,,,, padahal buka kasian atau MESAKNE,,,,tapi hanya sebagai istri t tak di anggap,,, di kira hanya butuh uang padahal Anum saja lihat juga tidak apa yang buat seserahan,,,bobo di kasih lihat. tidak di bully saja dah bershukur jadi bebas tidak utang Budi karena sudah di rawat,,,,di jodohkan dapat suami gudril,,,,memndeman belum juga di tolong banyak Arum sudah mengultimatum reghan ga asik,,,,padahal ketika dekat dengan Arum burung mu bereaksi 😂😂
2025-10-15
  0
Teh Euis Tea
semoga km cepat srmbuh reghan semangatlah dan jgn selalu menyalahkan dirinh trs, berusahalah untuk bangkit dari keterpurukan
2025-10-15
  1
ken darsihk
Semangat Reghan dan jangan berfikir jelek dulu untuk sebuah niat yng tulus dari hati
2025-10-15
  0