04. KERUDUNGNYA MAU COPOT

Nadhifa asyik menyantap sepotong kue kering sambil menatap layar komputernya ketika bayangan tinggi menghalangi cahayanya.

“Jam istirahat kok disini sendirian lagi? Ayo, ke kafetaria.”

Nadhifa menengok. Renzo berdiri dengan tangan di saku celana, senyumnya ramah tapi nadanya tidak menerima penolakan.

“Aku nggak lapar, Mas Renzo. Aku bawa bekal,” jawab Nadhifa, mencoba menolak dengan halus.

Renzo mendekat, suaranya berbisik tapi tegas. “Kalo lo nggak ikut sekarang, gue ancam lo bakal lembur setiap hari sampai laporan kuartalan selesai. Percaya, gue bisa nekad.”

Nadhifa memandangnya dengan mata terbelalak. Itu ancaman yang kejam, dan dia tahu Renzo bisa melakukannya. Dengan nafas berat, dia akhirnya berdiri.

Dia berjalan mengikuti Renzo, tetapi dengan sengaja menjaga jarak beberapa langkah di belakang, seolah-olah ingin menegaskan bahwa mereka tidak bersama.

Tiba-tiba, di tengah koridor yang sepi, Renzo berhenti mendadak dan menoleh. Nadhifa yang tidak waspada nyaris menabraknya. Refleks, tangannya menahan dada, jantung berdebar kencang.

Renzo memandanginya dengan ekspresi jahil. Kemudian, bukannya melanjutkan jalan, dia malah melangkah maju, mendekati Nadhifa. Satu, dua langkah, sampai punggung Nadhifa menempel di dinding dingin. Tangannya dengan ringan mendarat di dinding, tepat di samping kepala Nadhifa, mengurungnya.

“Dhifa,” bisiknya, suaranya tiba-tiba serius dan dalam. “Kita mulai sesuatu yang ... terlarang, yuk? Sesuatu yang nggak seharusnya, tapi bisa bikin kita lupa segalanya.”

Mata Nadhifa membulat. Darahnya berdesir dingin. “Nggak,” jawabnya lirih, penuh keyakinan. “Kita nggak bisa. Kita punya darah yang sama. Darah Alverio.”

Untuk sesaat, udara terasa pekat. Lalu, tiba-tiba, Renzo terkekeh. Ekspresi seriusnya pecah menjadi geli. “Bodoh sekali lo. Just kidding.” 

Tangannya hendak mengacak-acak kerudung Nadhifa, tapi dia mengurungkan niatnya tepat waktu, mengingat Nadhifa tidak nyaman disentuh. 

“Maaf, lupa. Ayo, lift udah datang.”

Dia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Nadhifa yang masih terpaku di dinding, jantungnya berdebar kencang antara rasa kaget, lega, dan sedikit ... kecewa? 

Dia buru-buru mengusir pikiran terakhir itu.

***

Membawa nampan, Nadhifa berusaha keras untuk tidak menatap ke mana pun. Dia bisa merasakan ratusan pasang mata menusuknya dari segala penjuru. 

Duduk berdua Renzo Alverio di meja yang sama telah menjadikannya pusat perhatian yang tidak diinginkan.

Dari meja seberang, bisik-bisik mulai terdengar samar-samar.

“Lihat itu, baru beberapa bulan udah berani duduk sama si Bos Muda.”

“Tadi gue lihat di koridor, dia sengaja jalan pelan-pelan biar ditungguin.”

“Jangan-jangan dari magang dulu udah ada taktik. Pura-pura alim, pinter, eh ujung-ujungnya nyari perhatian ke atas.”

“Ya elah, pake jilbab gitu loh, kok berani-berannya main mata sama Renzo?”

“Dia pasti ngira bisa dapet posisi enak dengan godain si ‘Mommy’s Boy’ itu. Licik banget.”

Setiap bisikan seperti silet yang menyayat kulitnya. Nadhifa menunduk, fokus pada nasinya yang hampir tidak disentuh. Rasanya mual.

Renzo, yang seolah tidak peduli dengan keributan itu, justru bertanya, “kok diam terus? Makanannya nggak enak?”

Nadhifa hanya menggeleng. Di dalam hatinya, dia bertekad. Dia akan bekerja lebih keras lagi. Dia akan membuktikan bahwa semua yang dia raih adalah karena kemampuannya, bukan karena siapa pun, atau ‘hubungan terlarang’ apapun yang hanya ada di dalam pikiran kotor mereka. 

Tapi pada saat yang sama, kehadiran Renzo yang kontradiktif—kadang pelindung, kadang pembuat onar—mulai membuatnya bingung sendiri.

...***...

Cahaya sore menyelinap melalui jendela kaca di lorong lantai 11, menerangi dua sosok yang berdiri di depan pintu ruang kerja Renzo. Pintu itu tidak tertutup sepenuhnya, menyisakan celah cukup untuk melihat ke dalam.

Di dalam, Renzo sedang membahas sesuatu di atas selembar dokumen dengan Nadhifa yang berdiri di sampingnya. Jarak mereka berdua terlihat akrab, kepala mereka hampir bertemu. 

Renzo tersenyum, mengangguk atas penjelasan Nadhifa, dan sesekali menunjuk sesuatu dengan pena yang dipegangnya. Nadhifa, meski tetap profesional, terlihat cukup nyaman berada di zona kerja pribadi bos mudanya itu.

Di luar, bayangan panjang terpantul di lantai marmer. Alaric berdiri kaku, matanya menyipit menatap pemandangan di balik celah pintu. Rahangnya mengeras, dan jari-jari panjangnya mengepal erat, buku-bukunya memutih. Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa membeku.

Alaric selalu datang menemui Renzo kalau dia sudah selesai di kantor pusat yaitu gedung Alverio Grup yang tak jauh dari Alvera Corp tapi pemandangan tadi membuatnya tak rela.

Dia menoleh, dan di belakangnya, Pak Virgo—sekretaris pribadi yang telah setia melayani keluarga Alverio selama puluhan tahun—berdiri dengan tablet di tangan, menunggu dengan sabar.

“Virgo,” ujar Alaric datar, memecah kesunyian yang tegang tanpa menoleh sedikitpun. “Saya ingin Nadhifa dipindahkan.”

Virgo mengangguk cepat, tanpa menunjukkan ekspresi. “Baik, Pak. Ke divisi mana?”

Mereka berdua mulai berjalan menjauhi pintu ruangan Renzo, langkah Alaric cepat dan penuh wibawa. Virgo mengikuti di belakangnya dengan setia.

“Dia pernah magang di divisi mana sebelumnya?” tanya Alaric, seolah sedang mempertimbangkan suatu keputusan strategis.

“Divisi Keuangan, Pak,” jawab Virgo, jarinya sudah mengetik cepat di tabletnya. “Catatan magangnya sangat baik.”

“Latar belakang pendidikannya?”

“Akuntansi, lulusan Universitas Alverio dengan predikat Cum Laude.”

Alaric mengangguk pelan, pikirannya bekerja cepat. “Pindahkan dia ke Divisi Keuangan. Segera.”

Virgo sedikit terhenyak. “Apakah perlu saya sampaikan alasan tertentu? Mungkin … agar dia jera?” tanyanya halus, mencoba membaca keinginan sang bos.

Alaric berhenti berjalan dan menatap Virgo. Tatapannya tajam dan dingin, seperti es yang membeku. “Tidak perlu. Katakan saja ini murni keputusan perusahaan. Divisi Keuangan sedang kekurangan personel inti, dan profil Nadhifa dianggap paling cocok untuk mengisi kekosongan itu. Itu saja.”

“Dipahami, Pak,” jawab Virgo dengan hormat, menundukkan kepala.

Alaric kemudian melanjutkan langkahnya, meninggalkan bayangan panjang di lorong yang sunyi. Keputusannya telah dibuat. 

Dengan memindahkan Nadhifa jauh dari jangkauan Renzo, dia bukan hanya memisahkan mereka, tetapi juga meletakkan Nadhifa di tempat yang menurutnya lebih ‘aman’—di bawah pengawasan divisi yang lebih ketat dan jauh dari godaan serta drama yang bisa merusak nama keluarga Alverio. 

Namun, di balik alasan logis itu, ada gejolak emosi pribadi yang hanya dia dan dinding lorong mewah itu yang tahu.

Dia belum merelakan Renzo.

...***...

Pertemuan kecil mereka telah usai. Dokumen-dokumen telah rapi. Renzo memandangi Nadhifa sambil bersandar di meja kerjanya.

“Ngomong-ngomong, Nadhifa, lo tinggal di mana?”

“Nge-kos, Mas,” jawab Nadhifa polos.

Renzo menghela napas pelan. Sebuah bayangan tentang kamar kos sempit dan sederhana melintas di pikirannya. “Gue janji, sebagai atasan lo, gue akan bantu lo untuk bisa naik jabatan. Bekerja keras di sini, dan suatu hari nanti, lo bisa tinggal di apartemen khusus karyawan Alverio. Itu benar-benar nyaman, lho.”

Sebenarnya, Nadhifa pernah melihat kemewahan Apartemen Alverio dari jauh. Tapi dia hanya tersenyum kecil. “Aku tinggalnya nggak jauh dari sana, kok. Cuma seberang jalan, masuk ke sebuah gang kecil. Di ujung sana, ada kos-kosan yang bersih dan nyaman.”

Cara Nadhifa bercerita terdengar begitu ikhlas dan lembut, tidak ada sedikitpun keluhan. Justru nada syukur itulah yang membuat hati Renzo terasa adem, sekaligus terenyuh. 

Dia tidak bisa membayangkan seorang putri Ravenshire Alverio yang tidak diakui harus tinggal di sebuah gang kecil.

“Kos-kosan di gang …,” gumam Renzo, rasa kasihan tak terbendung. “Dhifa, gue punya akses ke salah satu unit apartemen karyawan. Lo bisa tinggal di sana. Gratis. Anggap aja sebagai bagian dari benefit untuk anggota tim inti gue.”

Nadhifa langsung menggeleng, mata bulatnya menunjukkan penolakan yang tegas. “Nggak bisa, Mas Renzo. Terima kasih banyak, tapi aku nggak mau merepotkan. Aku mau segala sesuatu didapat dengan usaha sendiri. Aku mau menunggu sampai kerja keras aku benar-benar membuahkan hasil dan aku layak untuk itu.”

Prinsipnya yang kuat membuat Renzo tidak bisa memaksa. Dia hanya bisa mengangguk, menghormati pilihannya.

“Okay. Kalo gitu, pulangnya hati-hati ya.”

“Iya, terima kasih, Mas Renzo.”

Nadhifa membungkuk sedikit lalu berbalik menuju pintu. Saat melewati sudut meja kerja Renzo, tanpa disengaja, sisi kanan kerudung panjangnya tersangkut pada sebuah tonjolan dekorasi kecil di meja.

Dia tertarik mundur secara tiba-tiba. Jerat di lehernya mengencang, dan peniti penahan kerudungnya nyaris terlepas, mengancam membuka sebagian rambutnya. Nadhifa terkesiap, matanya panik, tangannya berusaha meraih ujung kerudung yang tersangkut tapi tidak bisa.

Melihat itu, Renzo bergerak dengan cepat. Daripada berusaha melepaskan kerudung yang tersangkut—yang justru berisiko membuatnya semakin berantakan—dia mengambil jalan yang lebih halus.

Dengan gerakan satu tarikan, ia mengambil jas yang tergantung di sandaran kursi. Dengan langkah pasti, dia mendekati Nadhifa yang sedang kebingungan dan tanpa sepatah kata pun, menjulurkan dan meletakkan jas itu di atas kepala Nadhifa, menutupi seluruh bagian atas tubuhnya, termasuk kerudungnya yang hampir terlepas, seperti sebuah payung atau tenda kecil yang melindungi.

“Diam sebentar,” bisiknya, suaranya tenang dan meyakinkan.

Dari dalam naungan jas itu, Nadhifa hanya bisa terdiam, mencium aroma wangi parfum Renzo dan sesuatu yang khas dari Renzo.

Hatinya berdebar tak karuan.

Dengan hati-hati, tangan Renzo bekerja di balik naungan jas itu, melepaskan kain kerudung yang tersangkut dari tonjolan meja. Hanya butuh beberapa detik.

“Udah,” ujarnya lembut.

Dia menarik kembali jasnya, dan Nadhifa pun kembali ‘terbuka’. Kerudungnya masih terpasang dengan rapi, tidak ada yang tergeser. Renzo mengambil satu langkah mundur, memberinya ruang.

Matanya dengan sengaja menatap lurus ke mata Nadhifa, menghindari untuk melihat ke bagian kepala atau kerudungnya.

“Aku nggak lihat apa-apa,” ucap Renzo, suaranya berbisik namun terdengar jelas di ruangan yang sunyi. 

Sebuah janji dan jaminan bahwa kehormatan dan privasinya tetap utuh.

Mata Nadhifa berkaca-kaca. Bukan karena malu, tapi karena terharu oleh sikapnya yang begitu bijak dan menghormati. Dia hanya bisa mengangguk pelan.

“T-Terima kasih, Mas Renzo,” ucapnya terbata-bata, sebelum akhirnya berbalik dan hampir berlari keluar ruangan, meninggalkan Renzo sendirian dengan jas di tangannya.

Pada saat itu, Nadhifa merasa, di balik semua kekacauan keluarga ini, Renzo Alverio tetaplah seorang pria dengan hati yang paling lembut yang pernah dia temui.

Episodes
1 01. MEREKA BERCIUMAN
2 02. ANAK HARAM SANG KAKEK
3 03. DIKASIH TAS MAHAL
4 04. KERUDUNGNYA MAU COPOT
5 05. DITINGGAL SI ALIM
6 06. RENZO MABUK
7 07. DIAJAK DINNER MAS RENZO
8 08. DITINGGAL RENZO
9 09. TERJEBAK DI HALTE
10 10. DANA GELAP UNTUK NADHIFA
11 11. DIAJAK NIKAH RENZO
12 12. NASI GORENG NADHIFA DIREBUT
13 13. MENCARI CARA MENIKAHINYA
14 14. RESMI DILAMAR
15 15. BULAN MADU MANIS
16 16. SETELAH HALAL
17 17. ANAK ADOPSI NADHIFA
18 18. UNIT APARTEMEN SEBERANG
19 19. MASIH GUGUP
20 20. RENZO SUKA GOMBAL
21 21. MENJADI BUNDA DAN ISTRI
22 22. MALU TAPI MAU
23 23. BELUM DIKASIH ANAK
24 24. SUAMI IDAMAN BANGET
25 25. TERJEBAK KATA ‘GAY’
26 26. PIJATAN SUAMI
27 27. DI TANGAN YANG TEPAT
28 28. DIKEJAR PASUKAN KUCING
29 29. SETELAH PUASA WAKTUNYA UNBOX
30 30. GAYA ALA BIKSU
31 31. GADIS GILANYA
32 32. PINTUNYA TERBUKA DIKIT
33 33. KENANGAN SUSU STROBERI
34 34. AYAH IDAMAN
35 35. KECUP PELUK DI TAMAN HARAM GAK?
36 36. MALAM SETELAH AMARAH
37 37. KECUPAN ALA KANTOR
38 38. INSIDEN KUCING KAWIN
39 39. TANDA-TANDA KEHAMILAN
40 40. NADHIFA PINGSAN
41 41. MALU, ADUH MELOROT
42 42. JEALOUS DIKASIH ADIK
43 43. NYICIP SUSU
44 44. ADIK YANG POLOS
45 45. DIBENTAK, PINGSAN!
46 46. TERBUAI WANITA LAIN
47 47. PULANG KE ISTRI
48 48. KEUSILAN RENZO
49 49. YUDA X ARSHEN. ROMANTIS SIAPA?
50 50. MERAWAT BABY SALMA
51 51. BABY SITTER UNTUK SALMA
52 52. NADHIFA CEMBURU SAMA NANDINI
53 53. OM YANG POSESIF
54 54. SALMA BONEKA HIDUP
55 55. DIGIGIT SALMA
56 56. MANIS DAN GILA
57 57. BUTUH CHARGE
58 58. AYAH IDAMAN
59 59. ROMANTIS PAGI YANG TERGANGGU
60 60. PACAR IDAMAN
61 61. CALON MENANTU
62 62. SATU APARTEMEN, MASIH PACAR
63 63. TERLLAU INTIM DI DEPAN UMUM
64 64. MANDI SUCI
65 65. SALMA BISA JALAN
66 66. ABANG POSESIF
67 67. SOSIS JUMBO
68 68. JANJI DILAMAR
69 69. DISAAT SUAMI NAGIH
70 70. SI KECIL LIHAT OMNYA CIUMAN
Episodes

Updated 70 Episodes

1
01. MEREKA BERCIUMAN
2
02. ANAK HARAM SANG KAKEK
3
03. DIKASIH TAS MAHAL
4
04. KERUDUNGNYA MAU COPOT
5
05. DITINGGAL SI ALIM
6
06. RENZO MABUK
7
07. DIAJAK DINNER MAS RENZO
8
08. DITINGGAL RENZO
9
09. TERJEBAK DI HALTE
10
10. DANA GELAP UNTUK NADHIFA
11
11. DIAJAK NIKAH RENZO
12
12. NASI GORENG NADHIFA DIREBUT
13
13. MENCARI CARA MENIKAHINYA
14
14. RESMI DILAMAR
15
15. BULAN MADU MANIS
16
16. SETELAH HALAL
17
17. ANAK ADOPSI NADHIFA
18
18. UNIT APARTEMEN SEBERANG
19
19. MASIH GUGUP
20
20. RENZO SUKA GOMBAL
21
21. MENJADI BUNDA DAN ISTRI
22
22. MALU TAPI MAU
23
23. BELUM DIKASIH ANAK
24
24. SUAMI IDAMAN BANGET
25
25. TERJEBAK KATA ‘GAY’
26
26. PIJATAN SUAMI
27
27. DI TANGAN YANG TEPAT
28
28. DIKEJAR PASUKAN KUCING
29
29. SETELAH PUASA WAKTUNYA UNBOX
30
30. GAYA ALA BIKSU
31
31. GADIS GILANYA
32
32. PINTUNYA TERBUKA DIKIT
33
33. KENANGAN SUSU STROBERI
34
34. AYAH IDAMAN
35
35. KECUP PELUK DI TAMAN HARAM GAK?
36
36. MALAM SETELAH AMARAH
37
37. KECUPAN ALA KANTOR
38
38. INSIDEN KUCING KAWIN
39
39. TANDA-TANDA KEHAMILAN
40
40. NADHIFA PINGSAN
41
41. MALU, ADUH MELOROT
42
42. JEALOUS DIKASIH ADIK
43
43. NYICIP SUSU
44
44. ADIK YANG POLOS
45
45. DIBENTAK, PINGSAN!
46
46. TERBUAI WANITA LAIN
47
47. PULANG KE ISTRI
48
48. KEUSILAN RENZO
49
49. YUDA X ARSHEN. ROMANTIS SIAPA?
50
50. MERAWAT BABY SALMA
51
51. BABY SITTER UNTUK SALMA
52
52. NADHIFA CEMBURU SAMA NANDINI
53
53. OM YANG POSESIF
54
54. SALMA BONEKA HIDUP
55
55. DIGIGIT SALMA
56
56. MANIS DAN GILA
57
57. BUTUH CHARGE
58
58. AYAH IDAMAN
59
59. ROMANTIS PAGI YANG TERGANGGU
60
60. PACAR IDAMAN
61
61. CALON MENANTU
62
62. SATU APARTEMEN, MASIH PACAR
63
63. TERLLAU INTIM DI DEPAN UMUM
64
64. MANDI SUCI
65
65. SALMA BISA JALAN
66
66. ABANG POSESIF
67
67. SOSIS JUMBO
68
68. JANJI DILAMAR
69
69. DISAAT SUAMI NAGIH
70
70. SI KECIL LIHAT OMNYA CIUMAN

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!