05. Ingin memulai semuanya dari nol

Ekspresi Daniel langsung berubah seketika begitu melihat sosok yang datang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia pergi dan memilih untuk mendekati kedua anaknya. Di sisi lain, Nancy tanpa ragu langsung merangkul lengan Darrel, menunjukkan sikap yang manja dan intim.

"Halo, selamat pagi. Apakah kehadiranku mengganggu waktu kalian berdua?" tanyanya lembut, sambil menatap Darrel dengan pandangan memikat.

Meski merasa sedikit terkejut dengan kedatangan Nancy yang tiba-tiba, Darrel berusaha menampilkan senyumnya dan tetap tenang. Dia terlihat tidak nyaman dengan sikap Daniel yang sepertinya tidak menyukai kedatangan Nancy.

"Tidak, sama sekali tidak mengganggu. Kami hanya sedang membahas sesuatu," jawab Darrel berusaha meyakinkan. "Ada apa pagi-pagi datang kemari?" lanjutnya bertanya.

Nancy mengeratkan pelukannya di lengan Darrel. "Aku ingin mengajakmu jalan. Kurasa kita perlu mengenal satu sama lain lebih jauh, supaya hubungan ini tidak hanya sebatas perjodohan. Kamu mau, kan?" pintanya dengan manja.

Dari kejauhan, Daniel semakin jengah melihat tingkah Nancy yang menurutnya berlebihan. "Dasar, cari perhatian!" gumam Daniel kesal.

"Haruskah aku beritahu Mami, bahwa dialah penyebab Ren patah hati? Tapi... sepertinya Bang Rel benar-benar sudah terpikat padanya." Daniel dilanda kebingungan.

"Argh...entahlah. Biarkan saja mereka menjalani takdirnya sendiri." Daniel menghela napas berat, tangannya dengan kasar menggaruk kepalanya, merasa frustasi.

Sementara Darrel mengangguk sambil tersenyum, menanggapi ajakan Nancy. Mami Mia datang bersama Zeya. Wanita itu tampak sangat senang melihat kedatangan calon menantunya.

"Sayang, kapan datang?" tanyanya seraya memeluk Nancy dengan sayang.

"Aaah...beberapa menit yang lalu, Tante. Saya kemari ingin mengajak Darrel jalan, supaya kami lebih akrab satu sama lain," tutur Nancy dengan lemah lembut.

"Boleh kan, Tante?" tanyanya kemudian.

Mami Mia tersenyum lebar, merasa senang dengan rencana Nancy. "Oh, boleh sekali, Sayang. Kalian memang sebaiknya sering jalan bareng, agar saling mengenal lebih dalam."

"Tante harap, kalian akan merasa cocok dan saling melengkapi," lanjutnya penuh harapan.

Zeya yang berdiri di samping ibu mertuanya hanya diam mendengarkan tanpa menyela, sementara Daniel menatapnya dari kejauhan dengan pandangan yang sulit diartikan.

Setelah berpamitan, Darrel dan Nancy meninggalkan rumah, sementara Mami Mia masih tersenyum bahagia. Zeya tetap diam, tetapi matanya tertuju pada Daniel yang masih berdiri di kejauhan. Keheningan merayap di antara mereka.

Setelah beberapa saat, Mami Mia memecah keheningan, "Zeya, Mami rasa kita harus secepatnya membicarakan pernikahan mereka. Mami ingin semuanya berjalan dengan sempurna." Lagi, Zeya hanya mengangguk pelan, menanggapi ucapan mertuanya.

Daniel kemudian datang mendekat sambil membawa kedua anaknya. "Apa Mami sudah merasa yakin, menerima gadis itu sebagai menantu Mami dan menjadi bagian dari keluarga kita?" tanya Daniel dengan ekspresi datar.

"Mami yakin, Kak. Dia sepertinya gadis yang baik dan sopan. Dia juga berpendidikan serta keluarganya terhormat. Yang penting dia mencintai Abang dengan tulus." Mami Mia mencoba mengungkapkan pemikirannya.

"Mencintai Abang dengan tulus, atau hanya karena Abang seorang pewaris perusahaan keluarga?" Daniel berusaha membuka pikiran maminya.

Mami Mia terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan pertanyaan Daniel. "Mami tidak berpikir Nancy seperti itu, Kak. Dia tampaknya benar-benar menyukai Abang," jawabnya dengan yakin.

Namun, Daniel masih terlihat skeptis. "Mungkin Mami terlalu percaya pada kesan pertama, tanpa melihat apa yang ada di balik semua itu," katanya serius.

Zeya yang mendengarkan percakapan mereka, mulai merasakan adanya ketegangan di antara ibu dan anak itu. Dia menatap Daniel sambil menggeleng pelan, seakan memberi kode agar suaminya tidak melanjutkan kata-katanya.

Daniel yang mengerti maksud istrinya tampak diam, lalu mengajak anak-anak mereka masuk ke dalam rumah meninggalkan Mami Mia yang terdiam seperti memikirkan sesuatu.

*

*

*

Sementara itu, Darren melangkahkan kakinya keluar dari area masjid. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Beruntung dompet dan ponselnya ada dalam saku celananya, jadi masih aman.

"Aku harus ke mana sekarang?" gumamnya pada diri sendiri.

"Labih baik aku cari kost-an atau kontrakan. Minimal aku punya tempat tinggal untuk berteduh."

Darren mulai menyusuri jalanan yang kian ramai di jam sibuk. Peluh mulai membasahi dahinya. Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, dia pun memutuskan untuk mengisi perutnya yang mulai keroncongan. Darren masuk ke warung makan yang tampak ramai, lalu memesan menu sesuai seleranya.

Selesai makan Darren tidak langsung pergi, melainkan bertanya pada pemilik warung seraya membayar makanannya.

"Maaf, Bu. Kira-kira di sekitar sini ada kost-an atau kontrakan murah nggak, Bu?"

"Oh, ada sih, Mas. Nggak jauh kok, paling lima ratus meter. Nanti di situ ada tulisan 'Kost Pria'. Coba saja ke sana barangkali ada yang kosong," jawab ibu warung tersebut.

"Terima kasih, Bu. Kalau begitu saya permisi." Darren langsung pergi dari warung dan bergegas menuju tempat kost-an yang dimaksud oleh ibu warung tersebut.

"Permisi, Bu," sapa Darren sopan pada seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di teras. Wajahnya terlihat lelah, tetapi tidak sejudes yang dia bayangkan.

"Iya, Mas? Ada yang bisa dibantu?" sambut ibu tersebut dengan tersenyum ramah, sembari menatap Darren dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pakaiannya yang kusut dan wajahnya yang sedikit kuyu mungkin membuatnya tampak mencurigakan.

"Apa di sini masih ada kamar kost yang kosong, Bu?" tanya Darrel.

"Oh, ada, Mas. Kebetulan ada satu kamar yang kosong. Barangkali masnya mau lihat?" kata ibu itu menawarkan.

"Boleh, Bu. Siapa tahu cocok," jawab Darren lalu mengikuti ibu tersebut menuju kamar kost yang kosong.

Kamar itu tampak sempit, hanya satu ruangan yang cukup untuk kasur ukuran single dan lemari kecil, serta kamar mandi di dalam. Jauh sekali dari kamar mewahnya di Jakarta. Darren menghela napas, tetapi kemudian dia mengangguk mantap. "Saya ambil, Bu. Berapa kira-kira harga satu bulannya?"

"Sebulan tiga ratus ribu saja, Mas," jelas Ibu Kost.

Darren mengeluarkan dompetnya dan mengambil tiga lembar uang merah, lalu memberikannya pada Ibu Kost.

"Terima kasih ya, Mas, semoga betah tinggal di sini. Sebentar saya ambil sprei dan sarung bantal yang baru," ucap wanita paruh baya itu, lantas pergi meninggalkan Darren.

Tak lama kemudian dia datang lagi. "Ini, sprei-nya, Mas. Bersih kok, habis di loundry." Ibu itu menyerahkan sprei sambil tersenyum lalu pergi lagi.

"Terima kasih, Bu." Darren menerimanya, lantas memasang sprei pada kasur.

Sesaat setelahnya, Darren duduk dan bersandar pada tembok. Dia membuka dompetnya yang hanya menyisakan uang tak seberapa. Dia tidak mungkin menggunakan kartu sakti dari orangtuanya, karena sudah bertekad untuk mandiri dan tidak lagi menggunakan fasilitas dari mereka. Darren ingin memulai semuanya dari nol, berjuang dari awal tanpa embel-embel nama besar keluarganya.

"Aku harus mencari pekerjaan." Darren mengambil ponselnya. Lalu mencari lowongan pekerjaan di internet.

Setelah beberapa saat mencari, dia menemukan lowongan pekerjaan yang sesuai keahliannya. Dengan jantung berdebar, dia menghubungi nomor tersebut.

"Halo, selamat siang. Saya Darren ingin me...."

.

.

.

Jangan lupa like dan komen, biar othor makin semangat 🤗

Terpopuler

Comments

ora

ora

Mami Mia nggak tahu aja yang sebenarnya gimana🙂🙃

2025-10-13

2

Nar Sih

Nar Sih

semagatt daren sabar ngk usah mikirin cewek matre sprti nancy

2025-10-13

1

ora

ora

Daniel yang maksud istrinya? Adakah kata yang hilang/CoolGuy/

2025-10-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!